PertanianUncategorized

Peningkatan Daya Saing Agribisnis Susu…(3)

Agribisnis

Pengertian Agribisnis
Agribisnis adalah kegiatan yang meliputi seluruh sektor bahan masukan usaha tani, produk yang memasok bahan masukan usaha tani yang terlibat dalam bidang produksi dan pada akhirnya menangani pemrosesan, penyebaran, penjualan, baik secara borongan maupun penjualan eceran produk kepada konsumen akhir (Downey dan Erickson, 1987).
Sebagai suatu sistem, agribisnis terdiri dari beberapa subsistem yaitu subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, subsistem usaha tani yaitu sebagai mekanisme untuk menghasilkan produk, subsistem agroindustri hilir yang mengolah produk-produk primer sehingga tercipta produk yang mempunyai nilai tambah dan subsistem pemasaran. Pengembangan agribisnis tidak akan berhasil bila hanya mengembangkan salah satu subsistem saja (Soehardjo, 1993).
Dalam sistem agribisnis, karena antara satu subsistem dengan subsistem lainnya saling berkaitan, maka untuk pengembangannya Soehardjo dalam Gumbira-Said dan Intan (2001) mengemukakan beberapa persyaratan berikut:
a. Pengembangan agribisnis harus mampu mengembangkan seluruh subsistem didalamnya karena tidak ada satupun yang lebih penting dibanding lainnya.
b. Setiap subsistem mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan. Keterkaitan ke belakang dapat dilihat dari keterkaitan subsistem pengolahan yang akan berfungsi dengan baik apabila ditunjang oleh ketersediaan bahan baku yang dihasilkan pada subsistem produksi.
c. Agribisnis memerlukan lembaga penunjang seperti lembaga keuangan, pendidikan, penelitian, pertanahan dan perhubungan. Lembaga-lembaga penunjang kebanyakan berada di luar sektor peternakan sehingga sektor peternakan semakin erat terkait dengan sektor lainnya.
d. Agribisnis melibatkan pelaku dari berbagai pihak (BUMN/pemerintah, swasta dan petani itu sendiri) dengan berbagai perannya masing-masing.
Selanjutnya Solahudin (1999), menyatakan bahwa strategi pokok dalam pengembangan agribisnis sebagai leading sector adalah:
a. Diperlukan penyamaan visi, persepsi dan keberpihakan berbagai pihak dalam mendukung penempatan agribisnis sebagai leading sector. Dukungan politisi, organisasi dan kelembagaan petani dan pelaku agribisnis harus kuat dan mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi elit politik dalam memperjuangkan kepentingan agribisnis.
b. Strategi pengembangan agribisnis harus dimulai dengan penataan kembali kebijakan makro dan mikro yang memberikan insentif bagi pembangunan agribisnis.
c. Kelembagaan pelayanan perkreditan, penyuluhan, manajemen, teknologi dan informasi harus diperkuat sehingga menjadi kekuatan pendukung yang kokoh dan berinteraksi dengan pelaku agribisnis dalam pola yang saling menguntungkan. Reorientasi dan reorganisasi kelembagaan ini harus dilakukan sehingga sektor pemerintah dan swasta dapat berperan optimal.
d. Perbaikan struktur pasar dalam negeri melalui penataan kembali lembaga pemasaran komoditas pada seluruh rantai subsistem agribisnis.
e. Di tingkat mikro, usaha-usaha yang dilakukan meliputi promosi, peningkatan dayasaing produk, peningkatan investasi dan pembinaan sumber daya manusia. Pembinaan dilakukan pada berbagai tingkatan mulai dari tingkat peternak, pengusaha kecil, pengusaha menengah dan besar dalam manajemen mutu, pemanfaatan peluang pasar dan kerjasama yang saling menguntungkan antar pelaku agribisnis.

2.1.2.2. Peranan Agribisnis dalam Pembangunan
Peran agribisnis dalam pembangunan daerah menurut Riyadi dan Dedi (2003) dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu peran dan manfaat didalam suatu daerah (intra-region) dan peran dan manfaatnya terhadap beberapa perekonomian wilayah (inter-region). Secara intra agribisnis berbasis sumberdaya yang dimiliki oleh daerah termasuk sumberdaya manusianya (landless), agribisnis mencakup upaya diversifikasi usaha dan peningkatan nilai tambah bagi petani dan penduduk pedesaan, mengurangi tekanan terhadap lahan, karena merupakan perluasan dari usaha pertanian primer (on-farm), sehingga tekanan terhadap kelestarian alam dan lingkungan dapat dijaga. Sebagaimana diketahui, 66% penduduk Indonesia hidup di pedesaan (1994) dan 63,1%nya hidup dari pertanian (direct agriculture/farm), dan sisanya 36,9% hidup dari kegiatan non-farm (IFAD, 2002).
Hal ini berarti bahwa menjadikan pembangunan pedesaan melalui pengembangan agribisnis sebagai basis pembangunan ekonomi di daerah akan dapat memanfaatkan sumberdaya yang relatif banyak (abundant) di perdesaan, termasuk sumberdaya tenaga kerja, sehingga akan memberikan manfaat kepada 63,1% penduduk Indonesia. Selanjutnya, perluasan dari usaha pertanian primer ke non-farm dengan adanya pengembangan agribisnis akan memperluas cakupan pembangunan ke sepertiga penduduk perdesaan lainnya; mengingat berdasarkan data tersebut diatas, 36,9% penduduk yang hidup dari non farm mempunyai usaha di bidang manufaktur (23,8%), perdagangan (31,7%) dan jasa (24,2%) serta transportasi (8,2%).
Sebagai perbandingan, hasil penelitian IFAD menyatakan bahwa perluasan kegiatan non-farm telah berhasil meningkatkan kemiskinan di perdesaan China. Ini berarti kegiatan yang mengalihkan dari keterkaitan langsung dengan tanah, yaitu kegiatan off-farm yang merupakan sub-sistem hilir dari sistem agribisnis perlu dikembangkan terutama untuk memberikan alternatif kegiatan usaha penduduk perdesaan dalam rangka meningkatkan pendapatan mereka. Sebagaimana data yang ada (IFAD, 2002) pada tahun 1990, 83,4% penduduk miskin Indonesia hidup di daerah perdesaan, dan hanya 16,6% hidup di perkotaan.
Secara inter pembangunan agribisnis memberikan manfaat lebih luas terhadap pembangunan wilayah dan pembangunan nasional, antara lain: 1) mengurangi dan mencegah urbanisasi; 2) mewujudkan sistem perekonomian daerah dalam kerangka NKRI; dan 3) memperkuat basis perekonomian dalam rangka globalisasi.
Peningkatan kegiatan ekonomi di perdesaan akan dapat menarik (kembali) sebagian masyarakat perdesaan yang telah bermigrasi ke kota, terutama yang pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan di perkotaan. Dengan demikian, pembangunan satu daerah akan dapat menekan angka urbanisasi secara nasional. Pembangunan perdesaan di suatu daerah juga akan meningkatkan PDRB dan pendapatan perkapita masyarakat di suatu daerah. Peningkatan pendapatan akan mendorong dan menciptakan pertumbuhan usaha lainnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang semakin meningkat dan beragam.

Selain dampak langsung pada diversifikasi kegiatan ekonomi di suatu wilayah, akan menciptakan pula permintaan ke daerah lainnya, sehingga ada multiplier effect untuk pembangunan daerah di sekitarnya. Dampak terhadap peningkatan kegiatan usaha di daerah sekitarnya akan dapat menciptakan sistem perekonomian antar daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengalaman di masa lalu, pemusatan pembangunan telah menciptakan beberapa titik pertumbuhan yang dikontrol dari Jakarta. Dengan penciptaan jaringan kegiatan ekonomi dalam suatu wilayah, akan dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan yang lebih banyak di daerah, sebagaimana yang telah lama dicita-citakan, yang masing-masing mempunyai tingkat otonomi namun tetap saling terkait dan mempunyai hubungan saling ketergantungan yang saling menguntungkan (mutual interdependency). Dengan adanya otonomi daerah maka kesempatan untuk mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah akan tercapai, dan tercapai dengan upaya daerah secara otonomi dan bukan berdasarkan desain dari pemerintah pusat. Dengan demikian, parrtisipasi daerah dalam pembangunan pusat pertumbuhan dan sustainability dari tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan ini akan meningkatkan perdesaan yang pada akhirnya akan mempunyai dampak multiplier pada pertumbuhan daerah lebih lanjut.
Pertumbuhan sistem perekonomian yang terdiri dari simpul-simpul pertumbuhan di setiap wilayah akan memperkuat pula sistem perekonomian Indonesia dalam rangka menghadapi persaingan dengan adanya perekonomian yang semakin mendunia (globalisasi). Dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan tersebut, maka masing-masing pusat pertumbuhan akan dapat secara otonom meningkatkan daya saingnya dalam menghadapi persaingan global. Melalui pusat-pusat pertumbuhan ini pula upaya pemerintah untuk memfasilitasi peningkatan daya saing dan melakukan langkah-langkah keberpihakan akan dapat dilakukan dengan peran aktif daerah.

2.1.2.3. Agribisnis Susu Segar
Agribisnis susu segar mencakup semua kegiatan yang dimulai dengan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, produksi usaha tani/ ternak dan pemasaran produk usahatani/ ternak dan pemasaran produk usaha tani/ ternak atau hasil olahannya. Kegiatan ini mempunyai hubungan yang erat sehingga gangguan pada salah satu kegiatan akan berpengaruh terhadap kelancaran seluruh kegiatan dalam bisnis.
a. Pengadaan dan penyaluran sarana produksi
Sarana produksi peternakan antara lain, benih bibit makanan ternak, pupuk, obat pemberantas hama dan penyakit, kredit, bahan bakar. Pelaku kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi adalah perorangan, perusahaan swasta, lembaga pemerintah dan koperasi.
b. Usaha tani/ ternak
Usaha tani/ ternak menghasilkan pupuk – pupuk pertanian berupa bahan pangan, hasil perkebunan, buah – buahan, bunga, tanaman hias, hasil ternak, hewan dan ikan. Pelaku-pelaku kegiatannya yaitu produsen-produsen yang terdiri dari petani, peternak, pengusaha tambak, pengusaha tanaman hias.
c. Pemasaran
Adapun rangkaian kegiatan yang dilakukan disini yaitu mulai dari pengumpulan produk, pengolahan, penyimpanan dan distribusi. Sebagian dari produk yang dihasilkan usahatani didistribusikan langsung ke konsumen, dan sebagian mengalami pengolahan lebih dulu lalu didistribusikan ke konsumen. Pelaku-pelaku dalam kegiatan disini yaitu pengumpul produk, pengolah produk, pedagang, penyalur ke konsumen, pembuat peti dan kaleng pembungkus produk olahan.

Gambar 2. Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya (Eviyati, 2005)

2.1.3. Manajemen Strategik
2.1.3.1. Konsep Strategi
Strategi menurut Glueck dan Jauch (1991) adalah sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir (sasaran). Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis perusahaan dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dari perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh organisasi.
David (2006) menyatakan strategi merepresentasikan tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan jangka panjang. Dalam perusahaan besar, pada dasarnya ada empat tingkatan strategi yaitu korporasi, divisional, fungsional dan operasional. Tetapi dalam perusahaan kecil ada tiga tingkatan strategi yaitu perusahaan, fungsional dan operasional.
Sejalan dengan teori diatas, usaha kecil juga memerlukan suatu rencana strategis terutama dalam pengembangan usahanya. Keberadaan usaha kecil merupakan konsekuensi logis upaya transformasi sosial, ekonomi, dan politik dari sistem perekonomian yang mengandalkan pada sektor pertanian menuju pada basis ekonomi nonpertanian. Rencana strategis bagi pengembangan usaha kecil sangat dibutuhkan mengingat usaha kecil harus mampu merespon berbagai perubahan pada lingkungannya yang seringkali tidak dapat diperkirakan (Syaifudian, Haryadi dan Maspiyati, 1995).
Alternatif strategi yang dipilih dapat berupa berbagai bentuk. Alternatif tersebut menurut David (2006) antara lain strategi integrasi, strategi intensif, strategi diversifikasi, dan strategi defensif. Tabel berikut menunjukkan berbagai alternatif strategi dan definisinya.
Tabel 4. Alternatif-Alternatif Strategi
Strategi Contoh Strategi Definisi
Integrasi Integrasi ke depan Strategi mencari kepemilikan atau meningkatkan kontrol atas distributor atau pengecer
Integrasi ke belakang Strategi untuk mencari kepemilikan atau kontrol atas pemasok perusahaan
Integrasi horizontal Strategi mencari kepemilikan atau meningkatkan kontrol atas pesaing perusahaan
Intensif Penetrasi pasar Strategi yang berusaha meningkatkan pangsa pasar untuk produk/jasa saat ini melalui upaya pemasaran yang lebih besar
Pengembangan pasar Strategi yang melibatkan perkenalan produk yang ada saat ini ke area geografi yang baru
Pengembangan produk Strategi yang mencari peningkatan penjualan dengan memperbaiki atau memodifikasi produk jasa saat ini
Diversifikasi Konsentrik (terfokus) Strategi yang berusaha menambah produk atau jasa baru yang masih berkaitan dengan produk atau jasa lama
Horizontal Strategi yang menambah produk atau jasa baru, yang tidak berkaitan, dengan pelanggan saat ini
Konglomerat Strategi dengan menambahkan produk atau jasa baru yang tidak berkaitan dengan produk/jasa lama
Defensif Retrenchment Strategi yang terjadi ketika suatu organisasi mengelompokkan ulang melalui pengurangan aset dan biaya untuk membalikkan penjualan dan laba yang menurun
Divestasi Strategi yang dilakukan dengan menjual satu divisi atau bagian perusahaan
Likuiditas Strategi yang berusaha menjual seluruh aset perusahaan, sepotong-sepotong, untuk nilai riilnya.
Sumber: David (2006)

2.1.3.2. Konsep Manajemen Strategis
Menurut David (2006), manajemen strategis (strategic management) dapat didefinisikan sebagai seni dan ilmu untuk memformulasi, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya. Manajemen strategis berfokus pada mengintegrasikan manajemen perusahaan, pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, dan sistem informasi komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Pearce dan Robinson (1997) mendefinisikan manajemen strategis sebagai kumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran perusahaan. Karakteristik keputusan manajemen strategis bervariasi menurut tingkat aktivitas strategik yang terlibat.
Manajemen strategis merupakan arus keputusan dan tindakan yang mengarah pada perkembangan suatu strategi ata strategi-strategi yang efektif untuk membantu mencapai sasaran perusahaan. Manajemen strategis pada akhirnya akan mendapatkan keputusan strategis (strategic decision). Keputusan strategis adalah sarana untuk mencapai tujuan akhir. Keputusan ini mencakup definisi tentang bisnis, produk dan pasar yang harus dilayani, fungsi yang harus dilaksanakan dan kebijakan utama yang diperlukan untuk mengatur dalam melaksanakan keputusan ini demi mencapai sasaran (Glueck dan Jauch, 1991).
Manajemen strategis memberikan berbagai manfaat bagi perusahaan, diantaranya (Pearce dan Robinson, 1997): 1) kegiatan perumusan (formulasi) strategi memperkuat kemampuan perusahaan mencegah masalah; 2) keputusan strategis yang didasarkan pada kelemahan mungkin sekali dihasilkan dari alternatif baik yang ada; 3) keterlibatan karyawan dalam perumusan strategis dapat mempertinggi motivasi mereka; 4) senjang dan tumpang tindih kegiatan diantara individu dan kelompok berkurang karena partisipasi dalam perumusan strategi memperjelas adanya peran masing-masing; 5) penolakan terhadap perubahan kurang.

2.1.3.3. Proses Manajemen Strategis
Glueck dan Jauch (1991) menyatakan proses manajemen strategis ialah cara para perencana strategi menentukan sasaran dan membuat kesimpulan strategis. Proses manajemen strategis (strategic-management process) terdiri atas tiga tahap yaitu tahap formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. Formulasi strategi termasuk mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menentukan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan strategi, dan memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan (David, 2006).
Implementasi strategi (strategy implementation) mensyaratkan perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang telah diformulasikan dapat dijalankan. Implementasi strategi termasuk mengembangkan budaya yang mendukung strategi, menciptakan struktur organisasi yang efektif dan mengarahkan usaha pemasaran, menyiapkan anggaran, mengembangkan dan memberdayakan sistem informasi, dan menghubungkan kinerja karyawan dengan kinerja organisasi.
Implementasi strategi sering disebut tahap pelaksanaan dalam manajemen strategis. Melaksanakan strategi berarti memobilisasi karyawan dan manajer untuk menempatkan strategi yang telah diformulasikan menjadi tindakan. Sering kali tahap ini dianggap tahap paling rumit dalam manajemen strategis. Strategi yang telah diformulasikan tetapi tidak diimplementasikan tidak memiliki arti apapun.
Evaluasi strategi (strategy evaluation) adalah tahap final dalam manajemen strategis. Tiga aktivitas dasar evaluasi strategi adalah (1) meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi saat ini, (2) mengukur kinerja, dan (3) mengambil tindakan korektif.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button