Pertanian

WORKSHOP BUDIDAYA SRI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

I. DASAR PEMIKIRAN

Padi merupakan tanaman pangan paling penting dan utama di Indonesia bahkan benua asia. Faktanya budidaya tanaman padi semakin lama semakin tidak diminati oleh para petani Indonesia karena berbagai macam sebab dan yang paling utama adalah karena minimnya penghasilan yang bisa diterima oleh petani dari bercocok tanam padi. Tantangan lain yang dihadapi umumnya pada pertanian di Indonesia yaitu lajunya penurunan lahan yang setiap tahunnya mencapai sekitar 2,8 juta hektar/tahun. Tingkat alih fungsi lahan pun terus terjadi dan meningkat setiap tahunnya, yaitu sekitar 110,000 hektar/tahun (Data Kementerian Pertanian, 2011).

Untuk mencoba meningkatkan penghasilan melalui peningkatan produktivitas, para petani menempuh berbagai macam cara dan yang paling umum dilakukan adalah dengan meningkatkan pemakaian input-input pertanian seperti memperbanyak pemakaian benih, pupuk dan obat-obatan/pestisida kimia sintetis. Upaya peningkatan pemakaian input-input pertanian ini pada awalnya memberikan peningkatan produktivitas tetapi untuk beberapa waktu kemudian produktivitasnya kembali menurun bahkan diperparah dengan semakin banyak dan kompleksnya masalah hama/penyakit pada tanaman padi. Tanpa disadari oleh para petani, peningkatan penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetis ini memiliki andil besar juga terhadap kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia baik para petaninya sendiri maupun masyarakat yang mengkonsumsi hasil pertaniannya.

Sistem budi daya pertanian di Indonesia dalam kurun waktu yang panjang mengalami penurunan dalam hal produktivitas, kualitas, dan efisiensi. Penurunan terjadi mulai dari luas lahan garapan yang kian susut akibat terdesak oleh kegiatan industrialisasi dan perumahan. Produktivitas semakin menukik tajam karena banyak lahan yang hilang kesuburannya akibat penggunaan pupuk kimia yang tidak bijaksana. Pemakaian pestisida dan pupuk kimia yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol pasti mengakibatkan keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi punah, sehingga hama dan penyakit tanaman berkembang pesat, dan adanya residu kimia pada hasil panen. Penghematan penggunaan pupuk dan pestisida kimia mutlak harus dilakukan.

Selain itu, krisis lingkungan karena pencemaran perlu disikapi mengingat dampak negatif yang tidak sedikit bagi manusia dan lingkungan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah harga pupuk dan antihama yang mahal, terkadang langka di pasaran serta faktor kolutif lain. Di antaranya mekanisme pasar yang cenderung memperkaya segelintir orang dan faktor politis yang tidak memihak petani. Dari aspek pengelolaan air, usaha tani sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus-menerus, di lain pihak kesediaan air semakin terbatas.

Semakin tidak prospektifnya budidaya padi menyebabkan semakin sedikitnya Sumber Daya Manusia yang tersedia dibidang pertanian padi dan bisa menimbulkan kekhawatiran bahwa suatu saat akan terjadi kerawanan pangan atau sektor pangan utama ini akan dikuasai oleh kaum kapitalis maupun pemodal asing. Untuk itu perlu segera dilakukan perbaikan maupun perubahan agar budidaya tanaman padi tidak ditinggalkan oleh para petani tetapi malahan dapat memberikan kesejahteraan kepada para petani.

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Salah satu teknologi yang sangat potensial untuk meningkatkan produksi beras nasional adalah Budidaya Padi System of Rice Intensification (S.R.I).

Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI.

SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentase SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar

System of Rice Intensification (SRI) merupakan sistem budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien berbasis pada pengelolaan tanaman, biologi tanah, tata air dan pemupukan secara terpadu untuk meningkatkan pertumbuhan sistem perakaran, jumlah anakan, keragaman hayati (biodeservity) dan kekuatan biologis tanah dalam mendukung peningkatan produktivitas padi.

Konsep dasar pemikiran SRI adalah pada dasarnya padi bukan merupakan tanaman air tetapi hanya membutuhkan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan dan pertumbuhan tanaman padi paling baik adalah dalam kondisi tanah lembab (aerob) selama fase vegetatif (moist dur ing vegetat ive phase), sebaliknya perkembangan perakaran tanaman padi akan terhambat dalam kondisi tergenang selama fase tersebut, hal ini berarti dengan menerapkan pola SRI akan menghemat air paling tidak sekitar 50%.

Keuntungan lain dari penerapan Budidaya Padi SRI adalah mengurangi emisi CH4 karena sawah tidak digenangi. Hal ini merupakan keuntungan lain dari penerapan Budidaya Padi SRI. secara luas. Pemerintah Indonesia sudah menyatakan komitmennya untuk berpertisipasi aktif mengurangi emisi gas rumah kaca. Melalui penerapan Budidaya Padi SRI secara luas, emisi metan dari sawah juga akan berkurang secara nyata sehingga secara nasional, Pemerintah Indonesia dapat menunjukkan berpartisipasi aktif dalam menurunkan emisi CH4.

Sampai dengan tahun 2006, SRI telah berkembang di 36 negara, yaitu: Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, Bangladesh, Cina, India, Nepal, Srilangka, Gambia, Madagaskar, Mozambique, Sierra Leone, Ghana, Benin, Barbados, Brasil, Cuba, Guyana, Peru, Amerika Ser ikat, Afganistan, Iran, Irak, Pakistan, Bur kina Faso, Ethiopia, Guinea, Mali, Zambia, Colombia, Republik Dominika dan Haiti.

Uji coba pola SRI per tama di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi, Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan musim hujan 1999/2000 dengan hasil rata-rata 8,2 ton.

Di Indonesia SRI telah diterapkan di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Kalimantan dan Papua (Setiajie et al., 2008). Di Indonesia uji coba budidaya SRI pertama kali dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi, Jawa Barat dengan hasil 6.2 ton/ha pada musim kemarau 1999, dan 8.2 ton/ha pada musim hujan 1999/2000. Tahun 2006, di Jawa Barat SRI telah diterapkan di lahan seluas 749 ha oleh 3200 petani dengan hasil 7.85 ton/ha (Sato dan Uphoff, 2007).

Keunggulan metode SRI

1. Tanaman hemat air. Kebutuhan air hanya 20-30% dari kebutuhan air untuk cara konvensional

2. Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam kurang dll.

3. Hemat waktu, waktu panen akan lebih awal

4. Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha

5. Memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi tanah

6. Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli di lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan pertisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka

7. Membuka lapangan kerja dipedesaan, mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan keluarga petani

8. Menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak mengandung residu kimia

9. Mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang

10. Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan Mikro-oragisme Lokal), begitu juga penggunaan pestisida.

Selain memiliki banyak keuntungan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, SRI juga memiliki beberapa tantangan, yaitu:

1. Perlu kontrol pengairan yang lebih baik daripada biasanya (untuk memungkinkan penambahan volum air yang telah berkurang apabila perlukan demi mempertahankan kelembaban tanah tanpa mencapai titik jenuhnya, tidak perlu mengairi tanah secara terus menerus).

2. Petani yang tidak mempunyai kontrol atas pengairan atau tidak mempunyai akses terhadap air yang dapat diatur demikian akan kurang mendapatkan keuntungan atau untungnya sedikit sekali.

3. Keperluan atas tenaga kerja yang lebih banyak

4. Perubahan kebiasaan-kebiasaan petani yang drastis, hal ini yang sering tidak diterima oleh para petani, peneliti, atau pemerintah.

5. Tuntutan pada para petani agar lebih terampil (petani diharapkan menerapkan prinsip S.R.I. pada kondisi mereka sendiri berdasarkan ujicoba dan evaluasi mereka sendiri). Sebenarnya hal ini tentu bias menyumbang pada perkembangan sumber daya manusia, yang merupakan keuntungan juga dan bukan dilihat sebagai kerugian semata (Uphoff dan Fernandes, 2003).

Ditjen PSP Kementerian Pertanian menyatakan rencana anggaran APBN 2012 akan melakukan metode SRI seluas 60,000 hektar 101 kabupaten/kota di 20 propinsi di Indonesia. Untuk Kabupaten Karawang akan menambah 9,000 hektar, Kabupaten Subang 5,000 hektar dan Kabupaten Bandung 1,000 hektar.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button