LainnyaSosial

Tragedi Minamata tidak boleh terjadi di Indonesia Hentikan Rencana Pembangunan NPK Cluster di Bontang

Tragedi Minamata
Tragedi Minamata merupakan pencemaran merkuri yang terjadi di Teluk Minamata, Jepang. Tragedi Minamata karena pembuangan limbah oleh pabrik pupuk kimia Chisso. Selain memproduksi pupuk kimia, Chisso juga memproduksi Asam asetat (Acetic acid), Vinyl Chloryde dan plasticizers. Dalam memproduksi asam asetat, Chisso menggunakan Methyl-mercury sebagai catalyst untuk membuat Acetaldehyde, Acetaldehyde diproses kemudian diubah menjadi asam asetat. Chisso membuang sampah Methyl-mercury ke teluk Minamata

Tragedi minamata terjadi akibat penumpukan (Bioakumulasi) zat methyl-mercury pada tubuh manusia. Methyl-mercury dalam tubuh dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan gangguan pada system syaraf. Methyl-mercury akan menyerang sel-sel syaraf. Dampak buruk mulai terlihat di 1949, ratusan orang meninggal karena kelumpuhan syaraf setelah mengkonsumsi ikan yang tercemar logam berat merkuri di Teluk Minamata.

Saat itu, terjadi wabah penyakit aneh di Minamata. Ratusan orang mati karena kelumpuhan syaraf dan menurut para ahli kesehatan, penyakit itu disebabkan karena orang Jepang suka makan ikan. Korban menderita Kejang-kejang, tidak bisa bicara dengan jelas, berjalan dengan terhuyung-huyung, lumpuh, koordinasi gerakan terganggu dan gangguan fungsi kerja system syaraf lainnya. Ketika diamati lingkungan sekitar, kucing juga menjadi gila, berjalan berputar-putar, terhuyung-huyung, bahkan sampai ada yang melompat ke laut. Tidak hanya itu, juga burung camar dan gagak yang mati dan terlihat di sepanjang teluk Minamata.

Yang lebih parahnya adalah ketika anak-anak yang lahir dengan berbagai gejala, kelumpuhan, cacat, keterbelakangan mental, bahkan ada yang meninggal beberapa hari setalah lahir. Padahal orang tua sang bayi dalam keadaan sehat, tanpa menunjukkan gejala-gejala tertentu. Total sebanyak 2.265 menderita sindrom minamata dan 1.784 diantaranya meninggal dunia.


Gambar Korban Tragedi Minamata

Mantan presiden Chisso dan seorang pengawas pabrik Minamata menghadapi proses pidana pada tahun 1979 karena menyebabkan kematian dan luka fisik yang serius. Mereka dijatuhi hukuman dua tahun penjara; Keputusan ini dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pada tahun 1995, Pemerintah Jepang mengusulkan sebuah rencana penyelesaian untuk mereka yang belum mendapatkan sertifikasi penyakit Minamata dengan imbalan mereka membatalkan semua proses pengadilan yang masih berlangsung.

Pada bulan April 2010, pemerintah Jepang menyetujui sebuah tindakan untuk memberikan kompensasi kepada penderita penyakit Minamata yang tidak bersertifikat. Tindakan ini akan memungkinkan pembayaran sekaligus kepada penderita yang tidak bersertifikat yang belum bergabung dengan tuntutan hukum terhadap pemerintah atau Chisso. Chisso akan membayar ¥ 3,15 miliar kepada tiga organisasi penderita penyakit yang tidak bersertifikat yang belum bergabung dalam tuntutan hukum.

Pada tanggal 31 Maret 2014, Pengadilan Distrik Kumamoto memerintahkan negara, Pemerintah Prefektur Kumamoto dan Chisso untuk membayar ¥ 106 juta atas kerusakan pada tiga orang yang tidak bersertifikat yang menuntut mereka. Dalam kasus tersebut, para terdakwa menolak pertanggungjawaban atas tuduhan bahwa penggugat telah mengontrak penyakit Minamata karena asupan merkuri

Pabrik Pupuk NPK Cluster Bontang
Pabrik Pupuk Kaltim Bontang (PKT) akan meningkatkan produksi pupuk NPK dalam skala besar. PKT menargetkan bisa memproduksi NPK lebih dari 1.000.000 ton per tahun. Pabrik baru ini nantinya akan memiliki kapasitas produksi 2 x 500.000 ton. Pembangunan pabrik menelan biaya USD 500 juta dollar.

Disamping itu, PKT menggandeng Jordan Phospate Mine Company, perusahaan tambang fosfat Yordania, untuk membangun tiga pabrik pupuk majemuk senilai US$900 juta. Perusahaan kolaborasi tersebut dinamakan PT Kaltim Jordan Abadi akan membangun pabrik asam sulfat, pabrik asam fosfat dan pabrik pemurnian gips Rencananya PKT akan membangun pabrik NPK Cluster di luasan lebih dari 20 hektar di daerah Lok Tuan Bontang.

Pabrik NPK cluster yang akan dibangun meliputi pabrik asam sulfat, asam fosfat, pemurnian gips dan NPK Chemical. Asam Fosfat dan Asam Sulfat adalah termasuk B3 Kategori 1 dengan kode limbah A106c dan A109c. Kategori 1 artinya langsung berdampak akut pada kesehatan manusia. Apabila terkena mata dapat menyebabkan buta, terkena kulit bisa iritasi dan terbakar. Asam Sulfat adalah asam kuat yang dapat membahayakan nyawa manusia, seperti kasus penyiraman bahan kimia asam sulfat ke wajah Novel Baswedan.

Gipsum juga memiliki dampak negative. kandungan radioaktivitas alam berupa U-234. Bahan beracun dan efek dari racun ini dapat menyebabkan kerusakan otak bahkan kematian. Apabila terhisap akan mengendap di dalam saluran pernafasan Sehingga akan akan berpotensi menimbulkan kanker paru-paru.
Secara keseluruhan industri pupuk menempati limbah B3 kategori 2 dalam PP 104 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3. Limbah kategori 2 artinya memiliki dampak yang akut terhadap manusia dan lingkungan namun dampaknya memiliki waktu delay. Artinya limbah terakumulasi dalam tubuh manusia, semakin lama semakin banyak dan dapat menimbulkan kanker dalam bahasa ilmiahnya limbah B3 kategori Karsinogenik.
Sayangnya rencana pembangunan pabrik NPK Cluster tersebut berada sangat dekat dengan permukiman penduduk, hanya berjarak 80 m. Warga sekitar rencana pembangunan pabrik NPK Cluster yaitu Warga Kelurahan Loktuan, Kecamatan Bontang Utara, Kalimantan Timur meminta agar rencana pembangunan pabrik minimal berjarak 2 km sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian No. 40/m-ind/per/6/2016 yang mengatur jarak lokasi industri dan permukiman minimal 2 km.

PKT tetap bersikeras dan menolak tuntutan warga Loktuan. Alasannya mereka memiliki teknologi canggih yang dapat mencegah polusi dan limbah. Dalam keterangan Ir. Santoso Direktur Utama PT Petro Jordan Abadi, teknologi yang dikatakan canggih tersebut berasal dari China. Namun teknologi ini belum mendapatkan penghargaan internasional ataupun nasional sebagai green teknologi. Dan yang menggunakannya di Indonesia baru pabrik Pupuk Petrokimia Gresik.

PKT menjadikan Pabrik Pupuk Petrokimia Gresik sebagai studi banding pabrik yang sukses mengelola polusi dan limbah. Padahal Pabrik pupuk Petrokimia Gresik bulan Juli 2013 dan Juni 2016 mengalami kebocoran gas yang mengakibatkan warga mengalami gangguan kesehatan. Tanggal 7 Juli 2013 telah terjadi masalah kebocoran pipa PT Smelting yang mengandung gas sulfur dioksida. Dari kejadian tersebut 119 orang dilarikan ke RS Petrokimia dan sebanyak 200 orang dievakuasi dari tempat kejadian. Tanggal 24 Juni 2016 terjadi kebocoran Sulfur Dioxide (SO2). Gas tersebut mengakibatkan warga mengalami sesak nafas, tenggorokan gatal,dan terasa pahit di lidah. Setidaknya 47 warga yang terdiri dari anak-anak, ibu rumah tangga dan orang tua dirawat intensif di RS Petrokimia Gresik.

Alasan lain, PKT bersikeras bahwa rencana pembangunan pabrik NPK Cluster aman adalah PKT menggunakan teknologi yang berasal dari China yang akan mengurangi limbah dan polusi udara. Faktanya di China sendiri mereka mengalami permasalahan serius dalam hal polusi udara akibat asap industri. Tahun 2012 pemerintah di Beijing memerintahkan lebih dari 2.000 pabrik untuk menghentikan operasi atau mengurangi kegiatan sebagai bagian dari upaya darurat mengatasi kabut asap di ibu kota Cina tersebut..

Tahun 2016, Pemerintah kota Beijing memerintahkan 1.200 pabrik di dekat ibu kota China tersebut untuk menutup atau mengurangi produksi sebagai langkah guna mengurangi polusi udara. Akhir September 2016, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan Cina adalah negara dengan polusi udara di ruang publik yang paling mematikan. Di Shijiazhuang, ibu kota Provinsi Hebei, tingkat Particulate Matter (PM) 2,5 melonjak 1.000 mikrogram per meter kubik. Padahal patokan dari WHO untuk tingkat rata-rata aman tak lebih dari 10 mikrogram per meter kubik. Sementara itu, untuk PM 2,5 di Kota Tianjin tercatat mencapai level 334 mikrogram per meter kubik, dan di Beijing mencapai 212 mikrogram per meter kubik.

Menurut studi lembaga non-profit Barkeley Earth di 2015 mengungkapkan polusi udara adalah penyebab 17 persen kematian di Cina. Polusi bertanggung jawab atas kematian 1,6 juta warga Cina setiap tahun. Ini setara dengan kurang lebih 4.400 jiwa yang meninggal tiap harinya. Sebab 92 persen populasi di Cina terpapar udara tak sehat selama lebih dari 120 jam dan 38 persennya hidup di area dengan kualitas udara tidak sehat.

Studi Bank Dunia yang dipublikasikan awal tahun lalu menyatakan bahwa Cina telah menghabiskan 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya untuk biaya pengobatan warga yang sakit akibat polusi udara. Persentase ini menjadi yang tertinggi dibandingkan negara berkembang lain di Asia seperti India 7,69 persen, Sri Langka dan Kamboja masing-masing 8 persen.


Gambar Peta Lokasi Pembangunan yang dekat dengan permukiman warga

Berdasarkan paparan diatas, selayaknya PKT berpikir ulang untuk membangunan pabrik NPK Cluster yang berdekatan dengan permukiman penduduk. Apabila terjadi kebocoran atau kecelakaan kerja yang mengakibatkan polusi sampai ke permukiman warga baik itu untuk jangka pendek maupun jangka panjang, maka bersiaplah menghadapi tuntutan warga. Bahkan perusahaan investor, Jordan Phospate Mine Company yang joint dengan PKT dapat juga dituntut oleh warga tidak hanya perdata namun juga pidana apabila terjadi masalah kesehatan pada masyarakat akibat polusi yang ditimbulkan kawasan industri PKT.

Karena dalam UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 98 melarang perbuatan yang mengakibatkan kriteria baku kerusakan lingkungan dengan ancaman penjara maksimal 10 tahun, menyebabkan orang luka dan atau bahaya kesehatan manusia dipenjara maksimal 12 tahun dan menyebabkan orang luka berat dapat dipenjara hingga 15 tahun.

Dalam kasus Minamata, kasus lingkungan bahkan bisa sampai 50 tahun dan dapat menyebabkan ditutupnya pabrik dan pemiliknya dipenjara. Jangan sampai Direktur PKT, dan investornya dipidana gara-gara pencemaran lingkungan yang mengakibatkan bahaya kesehatan warga sekitar karena dekatnya jarak kegiatan industri dan permukiman warga.

Untuk kepala daerah seperti walikota Bontang dan Gubernur Kalimantan Timur, maka jika terjadi pencemaran, maka harus bertanggung jawab. Jarak yang hanya 80 meter antara permukiman dan rencana pabrik NPK Cluster menyebabkan resiko pencemaran menjadi tinggi. Pasal 112 UU 32 tahun 2009 menjelaskan Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button