SUDAH NYAMANKAH WARGA JAKARTA?

Sudah nyamankah warga Jakarta? pertanyaan ini agaknya kurang pas, mengingat berbagai permasalahan yang ada di Jakarta sekarang, mulai dari kemacetan, polusi udara, banjir, permukiman kumuh, keamanan dan sebagainya. Namun pertanyaan ini perlu diajukan sebagai bahan evaluasi terhadap visi Jakarta. Visi Jakarta 2007-2012 adalah “Jakarta Yang Nyaman Dan Sejahtera Untuk Semua”

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nyaman berarti enak dan segar. Berdasarkan visi tersebut seyogyanya Jakarta memberikan kesegaran bagi warganya, udaranya bersih, sungainya jernih, air tanah yang cukup dan tidak tercemar, permukimannya teduh, sampah dapat terkelola dengan baik, terdapat ruang public untuk tempat bersosialisasi bagi warganya, taman kota yang asri dan ruang terbuka hijau yang cukup sebagai daerah resapan air.

Namun realitas yang terjadi justru sebaliknya. Pencemaran udara di Jakarta sudah sampai tahap yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data Koalisi Jakarta, 70 persen polusi udara bersumber dari kendaraan bermotor. Warga Jakarta hanya menikmati udara bersih selama 27 hari dalam setahun, serta kualitas udaranya jauh lebih buruk dari Kota Semarang dan Bandung. Kendaraan bermotor yang menyebabkan pencemaran udara juga menjadi penyebab adanya pencemaran suara di 49 Kelurahan (18,35 persen).

Polda Metro Jaya mencatat jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta saat ini ada 11.362.396 unit yang terdiri dari roda dua sebanyak 8.244.346 unit dan roda empat sebanyak 3.118.050 unit. Dari jumlah tersebut, 98 persen adalah kendaraan pribadi sisanya sebanyak 859.692 unit atau 2 persennya angkutan umum yang mengangkut 66 persen total penduduk Jakarta. Kondisi ini diperparah dengan tidak sinkronnya pertumbuhan jalan dan kendaraan. Panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 km dan luas jalan 40,1 km atau 0,26 persen dari luas wilayah DKI. Sedangkan pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 persen per tahun. Belum lagi tingginya angka perjalanan di Jakarta yang mencapai 21 juta perharinya.

Kondisi sungai di Jakarta lebih memprihatinkan. Dirjend Cipta Karya Kementerian PU menyatakan 13 Sungai yang mengalir di Jakarta, tidak satupun yang bebas dari pencemaran. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Program Pascasarjana UI yaitu, seluruh sungai yakni 13 sungai di Jakarta tercemar bakteri E-Coli, baik tercemar berat maupun sedang. Tidak hanya itu, air tanah dangkal di Jakarta tercemar 80 hingga 90 persen oleh bakteri E-Coli. Padahal kebutuhan air bersih orang di Jakarta setiap hari diperkirakan 175 liter air per orang. Dan untuk 9 juta penduduk, diperlukan 1,5 juta meter kubik per hari. Perusahaan air minum baru bisa memenuhi kebutuhan 52 persen lebih..

Fenomena ini sangat kontras dengan kondisi Jakarta tempo dulu. Zaman Belanda, Kali Ciliwung terlihat jernih, bersih dan jauh dari polusi. Bahkan Belanda dan warga sekitar menggunakan Kali Ciliwung menjadi sumber air bersih termasuk untuk mandi dan mencuci

Ada lagi fakta yang mencengangkan, berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), intrusi air laut di permukaan Jakarta sudah mencapai 3 kilometer ke daratan. Sedangkan intrusi air laut di bagian tanah dalam sudah lebih 10 kilometer ke daratan.

Intrusi di permukaan terjadi karena sebab alami berupa air laut pasang. Intrusi air laut tanah dalam terjadi karena penyedotan air tanah secara berlebihan dan tak terkendali selama bertahun-tahun. Rongga- rongga tanah yang kosong akibat penyedotan air menyebabkan tanah memadat dan terjadi penurunan permukaan tanah. Namun, di daerah pesisir, rongga tanah yang kosong diisi air laut yang bersifat korosif.

Kondisi ini terjadi karena pengambilan air tanah di Jakarta saat ini mencapai 252, 6 juta meter kubik per tahun. Padahal, ambang batasnya hanya 186 juta meter kubik per tahun sehingga terjadi defisit sekitar 66,65 juta meter kubik per tahun.

Parahnya, defisit air tanah ini sulit diatasi secara alami dari limpahan air hujan karena minimnya ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta. Menurut BPLHD Jakarta, RTH di Jakarta baru 9,7%. Masih jauh dari amanat UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang yaitu sedikitnya 30%.

Mengenai kondisi permukiman, fakta yang ada tidak lebih baik. Data BPS tercatat jumlah rumah kumuh sebanyak 181.256 unit dengan kategori kumuh berat sebanyak 21.720 unit. Permukiman kumuh tersebut berada di 279 RW kumuh. Pemukiman kumuh di daerah DKI dapat ditemukan di daerah-daerah pinggiran kali, selain itu ada juga di derah-daerah kolong Jembatan Layang dan daerah pinggiran rel kereta api. Rumah-rumah kumuh ini biasanya berbentuk gubuk-gubuk yang terbuat dari triplek kayu pada dinding-dindingnya.

Ciri-ciri lain dari pemukinman kumuh tersebut diantaranya, pertama sanitasi atau masalah kebersihan di wilayah perumahan Kumuh tidak memadai. Sanitasi yang buruk akan menimbulkan dampak yang memprihatinkan bagi kesehatan. Masalah sampah juga tidak diperhatikan, banyak sampah-sampah yang yang tidak terurus dan tak ada tempat Pembuangan sampah disana.

Kedua, ventilasi udara atau pertukaran udara yang sedikit. Kondisi ini mungkin dikarenakan sudah terlalu padatnya pemukiman di kota Jakarta. Bisa dikatakan, perumahan-perumahan dikota Jakarta bila kesamping kanan kiri, kebelakang, dan kedepan bertemu dengan tembok karena terlalu padatnya pemukiman yang ada di kota Jakarta.

Ciri lain dari pemukiman kumuh lainnya adalah fungsi bangunan tersebut bukan hanya untuk hunian saja, sekaligus sebagai tempat usaha. Hal ini dikarenakan untuk membeli atau menyewa tempat untuk usaha di Jakarta sangatlah mahal. Ciri terakhir dari pemukiman kumuh adalah tidak adanya lahan untuk penghijauan. Hal ini lagi-lagi dikarenakan kepadatan penduduk di kota Jakarta.

Masalah lain yang menyebabkan ketidaknyamanan adalah sampah. Sumber limbah padat di wilayah DKI Jakarta umumnya berasal dari kegiatan rumah tangga, pasar, industri, komersial, taman, jalan dan sungai. Persentasi sampah terbesar disumbang oleh rumah tangga, yaitu sebesar 52,97 persen, sementara pasar 4 persen, sekolah 5,32 persen, dan selebihnya perkantoran serta industri.

Data terakhir Dinas Kebersihan Jakarta, menunjukkan jumlah sampah Jakarta sampai saat ini ± 27.966 M³ per hari dan prediksi kenaikan 5% pertahun. Jadi kalau dihitung. Penduduk DKI Jakarta dapat membangun 1 Candi Borobudur setiap 2 hari dari tumpukan sampah. Dalam setahun, kita dapat membangun 185 buah Candi Borobudur. (Volume Candi Borobudur adalah 55.000 M³).

Sekitar 25.925 M³ sampah diangkut oleh 757 truk sampah untuk dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Sisa sampah ± 2041 M³ yang tak terangkut menjadi masalah yang masih menunggu untuk segera diatasi. Jika dilihat dari tempat pembuangan sampah, 256 Kelurahan (95,88 persen) membuang sampah di tempatnya kemudian diangkut ke tempat penampungan, sedangkan 11 Kelurahan (4,12 persen) masih dibuang ke lubang kemudian di bakar. Saat ini Jakarta hanya mempunyai 1 (satu) TPA, yaitu TPA Bantargebang yang letaknya di wilayah Bekasi, dan 1 (satu) PDUK (Pusat Daur Ulang dan Kompos) milik swasta.

Tidak terangkutnya sebagian sampah bisa disebabkan minim¬nya armada, masih banyak RT maupun RW yang belum punya bak penampungan sampah sementara. Kendala lain juga disebabkan gerobak peng¬ang¬kut sampah yang sulit mela¬kukan pengangkutan dari tempat pembuangan sementara ke truk pengangkut.

Namun bagaimanapun kondisi Jakarta, tanggungjawab kita bersama untuk membenahinya. Jakarta hendaknya memberikan ruang yang seimbang antara ekonomi, social dan lingkungan. Atau dalam istilah lain 3P, yaitu People, Profit, dan Planet. Konsep Tripple Bottom Lines (profit, planet dan people) yang digagas Elkington (1998) dalam bukunya Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business

Lingkungan alam memberikan jasa yang besar bagi aktifitas manusia. Jasa tersebut dalam bentuk jasa penyediaan, seperti pangan, air, sandang, biokimia dan sumber daya genetik; jasa pengaturan seperti pengaturan terhadap banjir, kekeringan, degradasi lahan dan penyakit; jasa pendukung seperti pembentukan tanah dan siklus hara; serta jasa kultural seperti rekreasi, spiritual, inspirasi, estetika, dan manfaat nonmaterial lainnya. Karena besarnya jasa lingkungan alam, maka kewajiban melestarikannya adalah sebuah keniscayaan.

Eksploitasi alam, tanpa mengindahkan daya dukung lingkungan akan menyebabkan jasa lingkungan disfungsi. Ketika jasa lingkungan disfungsi maka manusia juga yang akan merugi, terjadi banjir di musim hujan, kelangkaan air di musim kering, terjadi pencemaran baik di udara, air, dan tanah, wabah penyakit, bahkan sampai kematian.

Memberikan ruang yang seimbang kepada ekonomi berarti stakeholder ekonomi menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan. Penyisihan sebagian keuntungan sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap penggunaan jasa lingkungan alam. Menyisihkan keuntungan bisa dalam bentuk program Corporate Social Responsibility (CSR), pajak lingkungan atau biaya eksternalitas. Biaya eksternalitas meliputi biaya pengolahan limbah, biaya kesehatan manusia yang terkena dampak negative limbah yang dibuang ke lingkungan dan biaya pemulihan kerusakan lingkungan.

Perusahaan-perusahaan di DKI Jakarta di dorong untuk melaksanakan CSR. Apalagi UU No 40/2007 Tentang Perseroan Terbatas pasal 74 mewajibkan PT yang bergerak pada pengolahan sumber daya alam melakukan CSR. Pabrik yang terbukti mencemari lingkungan dikenakan pajak lingkungan atau “poluters-pay principle”. Dan produk yang berkembang diarahkan menuju green product. Karena green produk lebih mudah didaur ulang, ramah lingkungan, hemat energi, hemat penggunaan sumber daya dan berbagai kelebihan lingkungan lainnya

Keseimbangan ruang pada social berarti beretika lingkungan, menghargai kearifan masyarakat lokal, dan menyebarluaskan pendidikan lingkungan pada masyarakat. Sampah yang menumpuk di jalan atau sungai karena masyarakat jarang diberikan pengarahan bahaya membuang sampah sembarangan. Masyarakat belum dipahamkan mengenai etika lingkungan. Relokasi dari permukiman kumuh ke rumah susun dapat dikatakan gagal karena pemerintah belum memahami kearifan masyarakat lokal. Pendidikan lingkungan dapat mencegah pengambilan air tanah berlebihan, sikap berlebihan dalam penggunaan sumber daya, energy dan listrik.

Apabila keseimbangan antara lingkungan, ekonomi dan social dapat tercipta, maka impian Jakarta menjadi kota yang nyaman mudah-mudahan dapat terwujudkan. Amiin

Exit mobile version