Strategi Sistem Perbenihan atau Seeding System Strategy

Pengaruh Tanaman Transgenik Terhadap Keamanan Lingkungan

Penolakan terhadap budidaya tanaman transgenik muncul karena dianggap berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem. Salah satunya adalah terbentuknya hama atau gulma super (yang lebih kuat atau resisten) di lingkungan. Kekhawatiran ini terlihat jelas pada perdebatan mengenai jagung hasil bioteknologi yang memiliki racun hasil bioteknologi untuk membunuh hamalepidoptera berupa ngengat dan kupu-kupu tertentu. Ada kemungkinan hama yang ingin dibunuh dapat beradaptasi dengan tanaman tersebut dan menjadi hama yang lebih tahan atau resisten terhadap racun hasil bioteknologi. Selain itu, kupu-kupu Monarch, yang bukan merupakan hamajagung, ikut terkena dampak berupa peningkatan kematian akibat memakan daun tumbuhan perdu (Asclepias) yang terkena serbuk sari dari jagung hasil bioteknologi.

Kontroversi lain yang berkaitan dengan isu ekologi adalah timbulnya perpindahan gen secara tidak terkendali dari tanaman transgenik ke tanaman lain di alam melalui penyerbukan (polinasi). Serbuk sari dari tanaman transgenik dapat terbawa angin dan hewan hingga menyerbuki tanaman lain. Akibatnya, dapat terbentuk tumbuhan baru dengan sifat yang tidak diharapkan dan berpotensi merugikan lingkungan. Sebagai tindakan pencegahan, beberapa tanaman yang disisipi gen untuk mempercepat pertumbuhan dan reproduksitanaman, seperti: alfalfa (Medicago sativa), kanola, bunga matahari, dan padi, disarankan untuk dibudidayakan pada daerah tertutup (terisolasi) atau dibatasi dengan daerah penghalang. Hal itu dilakukan untuk menekan perpindahan serbuk sari ke tanaman lain, terlebih gulma. Apabila gulma memiliki gen tersebut maka pertumbuhannya akan semakin tidak terkendali dan dengan cepat dapat merusak berbagai daerah pertanian di sekitarnya.Hingga sekarang belum terdapat petunjuk bahwa transfer horizontal ini telah menyebabkan munculnya “gulma super”, meskipun telah diketahui terjadi transfer horizontal.
Penggunaan Benih Varietas Unggul Bersertifikat
Penggunaan benih varietas unggul bersertifikat di tingkat petani perlu diperbaharui untuk bisa mempertahankan tingkat produktifitas secara berkelanjutan guna menghindari munculnya serangan hama dan penyakit tumbuhan. Penggunaan benih bersertifikat harus melalui penangkaran dengan menanam benih yang berkelas atau benih bermutu. Benih unggul yang diperbanyak oleh penangkar perlu pembinaan dan pengawasan oleh PBT setempat agar benih yang ditangkarkan melalui proses sertifikasi.
Cara memproduksi benih bermutu perlu menggunakan benih yang dihasilkan dari penelitian Badan Litbang Pertanian yaitu meproduksi Benih Dasar (Foundation Seed), varietas benih bersertifikat dari Benih Penjenis (Bredder Seed) yang daya hasilnya lebih tinggi. Selanjutnya Benih Dasar tersebut diproduksi menjadi Benih Pokok (Stock Seed) di balai benih tingkat Kabupaten. Benih Pokok tersebut lalu diperbanyak di tingkat petani penangkar menjadi Benih Sebar (Extention Seed) untuk dijual kepada para petani calon pengguna.
Selain itu, sosialisasi kepada petani penangkar dan pengusaha tentang pentingnya penggunaan benih varietas unggul bersertifikat produksi tinggi. Maka tingkat produksi yang lebih tinggi bisa terus menerus dicapai dan dijaga ketahannya dari serangan hama dan penyakit untuk mendukung peningkatan produksi tanaman pangan.
Penggunaan benih varietas unggul yang berproduksi tinggi yang mempunyai adaptasi luas dan umurnya relatif pendek. Dengan demikian secara bertahap varietas yang berproduksi rendah, sedang serta berumur panjang secara otomatis bisa digantikan oleh varietas yang memiliki potensi hasil tinggi. Jika varietas yang memiliki produktifitas yang tinggi ini sudah semakin banyak, otomatis sudah bisa mendukung peningkatan produksi pangan nasional.
Adapun Kebijakan, Strategi dan Program Perbenihan Nasional :
1.      Kebijakan
a.       Meningkatkan penggunaan benih varietas unggul bermutu
b.      Menggantikan varietas lokal, produktifitas rendah dan sedang menjadi varietas untuk berproduksi tinggi
c.       Meningkatkan dukungan dalam pemuliaan dan penyebaran benih
d.      Memantapkan alur perbanyakan benih
e.       Mengoptimalkan pengawasan mutu dalam produksi dan peredaran benih
f.       Memantapkan kelembagaan produksi dan pengawasan mutu benih
g.      Menumbuhkembangkan produsen penangkar dan penyalur benih
2. Strategi
1.      Penelitian, Pemuliaan dan Pelepasan Varietas
·         Diperoleh varietas unggul baru
·         Diketahuinya komposisi penyebaran varietas baru
2.      Produksi dan Distribusi
·         Meningkatkan ketersediaan benih sumber dan benih sebar
·         Meningkatkan penyerapan benih sumber dan benih sebar
3.      Pengawasan Mutu dan Sertifikasi Benih
·         Teroptimalisasinya pengawasan mutu dan sertifikasi benih
·         Teroptimalisasinya pengawasan peredaran benih
4.      Penunjang kelembagaan, infrastruktur, sarana dan prasarana peraturan SDM, permodalan dan lain-lain
·         Teroptimalisasinya kinerja lembaga dan meningkatkan kemampuan usaha perbenihan
3. Program Perbenihan
a.       Peningkatan ketersediaan benih bermutu varietas unggul untuk mendukung pencapaian sasaran produksi tanaman pangan
b.      Optimalisasi penggunaan benih bermutu varietas unggul
c.       Aktualisasi data dan informasi perbenihan melalui sistem informasi perbenihan
d.      Optimalisasi kinerja kelembagaan perbenihan untuk mendukung peningkatan ketersediaan benih bermutu
e.       Penyempurnaan peraturan perbenihan yang tidak relevan dengan kondisi perbenihan saat ini
f.       Peningkatan penyebaran varietas unggul baru yang sesuai dengan agroekologi masing-masing daerah dan keinginan petani
g.      Mendorong berkembangnya produsen benih di daerah
h.      Sistem sertifikasi benih yang mengacu pada SNI dan pengembangan sistem sertifikasi mandiri bagi produsen yang memenuhi persyaratan
i.        Mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi perbenihan nasional
j.        Mendorong berkembangnya komoditas spesifik tanaman pangan melalui pengembangan benih padi hibrida.
Beberapa tahun belakangan ini penggunaan varietas unggul bersertifikat telah meningkat, penggunaan benih varietas unggul bersertifikat pada tahun 2010 meningkat 70% dan target pada tahun 2011 bisa di atas 70%. Namun belum semua menggunakan varietas unggul bersertifikat atau produktifitas tinggi. Menurut data dari Direktorat Pertanian Perbenihan. Petani yang sudah menggunakan varietas unggul bersertifikat dan berdaya hasil tinggi sekitar 75% dari total petani yang sudah menggunakan benih varietas unggul yang bersertifikat.
Sudah banyak sekali varietas unggul yang dilepas oleh Menteri Pertanian, varietas padi yang sudah dilepas Kemtan Tahun 2010 dengan beragam produktifitasnya, ada yang tinggi, sedang dan rendah. Yang potensi produktifitasnya tinggi untuk padi non hibrida adalah di atas 6 – 7 ton ton per hektar, produksi yang sedang 5 – 6 ton per hektar dan rendah produksinya 5 ton per hektar. Saat ini telah ada pula varietas padi hibrida yang telah dilepas dan mempunyai potensi hasil di atas 8 ton per hektar
Terlepas dari berbagai kaidah ilmiah yang kontroversial, upaya petani untuk membangun kemandirian pertanian perlu  didukung penuh. Walaupun kinerja litbang menghasilkan varietas baru per tahun cukup tinggi yaitu 11 untuk padi, 9 untuk
jagung dan 4 untuk kedelai (Deptan, 2005), namun adopsi varietas baru tersebut oleh petani yang rendah menjadi bukti bahwa kebijakan dan petani pada saat ini adalah dunia yang berbeda. Arah keduanya belum sinergis.

Deptan perlu memotivasi kinerja litbangnya agar lebih turun ke petani menerapkan konsep farm to lab dan lab to farm secara simultan dengan target-target yang jelas. Indikasi peleburan aktivitas litbang dengan perguruan tinggi seyogyanya diartikan sebagai peningkatan peran litbang untuk mengadopsi hasil-hasil temuan perguruan tinggi yang siap diaplikasikan ke petani, termasuk membimbing petani untuk melakukan berbagai manuver secara benar.
Untuk mengembangkan varietas lokal dilakukan juga melalui program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Program tersebut berupaya meningkatkan kemampuan lokal dalam menyediakan kebutuhan berbasis kapasitas lokal. Pada tahap awal, program tersebut berorientasi kepada diseminasi hasil-hasil penelitian Balitbang Pertanian. Namun untuk selanjutnya, melalui kawasan ini hasil-hasil spesifik daerah yang sedang dan sudah digali dapat dipromosikan. Sebagai contoh, hasil kerja sama yang dilakukan oleh beberapa Pemda dan petani, seperti Pemda Provinsi Kaltim, Riau, dan Yogya, dengan Balitbang Pertanian untuk memperpendek umur varietas padi lokal tertentu tanpa mengubah mutunya.
  
UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) perlu direvisi dan dikaji ulang keberadaannya. Untuk dapat dilindungi suatu varietas harus : baru, unik, seragam, stabil dan diberi nama. Sifat kebaruan dan keunikan dari suatu varietas ditentukan pada saat permohonan penerimaan hak PVT. Suatu varietas dianggap baru jika bahan perbanyakan atau hasil panen dari varietas tersebut belum pernah diperdagangkan di Indonesia dan sudah diperdagangkan tetapi tidak lebih dari satu tahun, atau telah diperdagangkan diluar negeri tidak lebih dari empat tahun untuk tanaman semusim dan enam tahun untuk tanaman tahunan. Suatu varietas dianggap unik jika berbeda dengan varietas lain. Suatu varietas dianggap seragam jika sifat utama varietas tersebut meskipun cara tanan dan lingkungan yang berbeda-beda, namun hasilnya tetap seragam. Sedangkan suatu varietas dianggap stabil jika sifat-sifatnya tidak mengalami perubahan setelah ditanam berulang-ulang.
Hak-Hak Pemulia dan Hak-Hak Petani
UU tentang PVT memberikan perlakuan yang tidak sama antara hak-hak pemulia dan hak-hak petani, dan mempromosikan perlindungan yang kurang seimbang antara kepentingan umum dan kepentingan pemegang hak PVT. Hal ini karena UU PVT ini dibuat untuk melindungi hak-hak pemulia, peneliti dan pemulia tanaman yang komersial, dan bukan untuk melindungi hak-hak petani. Misalnya, UU menegaskan bahwa pemuliaan tanaman adalah rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan.

Ketentuan tersebut mengandung resiko karena bisa diinterpretasikan bahwa proses pemuliaan yang dikembangkan oleh petani dan masyarakat lokal tidak akan dianggap sebagai pemuliaan tanaman berdasarkan ketentuan diatas. Sebaliknya, varietas baru yang dikembangkan oleh pemulia tanaman komersial mungkin berasal dari tanaman asal yang dikembangkan oleh petani, tetapi UU tidak secara jelas menegaskan kompensasi untuk petani dalam mengembangkan varietas lokal yang digunakan oleh pemulia komersial untuk menbuat varietas baru.

Untuk mencegah terjadinya perbanyakan benih, maka penggunaan hasil panen yang digunakan untuk propogasi dan yang berasal dari varietas yang dilindungi harus mendapatkan persetujuan dari pemegang PVT.
Dengan luasnya hak yang diberikan kepada pemulia, maka hak yang tersisa bagi petani hanyalah penggunaan sebagian dari hasil panen dari varietas yang dilindungi sepanjang bukan untuk tujuan komersial. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan yang bersifat non-komersial adalah untuk aktifitas individu petani itu sendiri, terutama bagi petani-petani kecil untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak termasuk aktifitas untuk memenuhi kebutuhan temannya sesama petani.
Meskipun begitu, PVT tidaklah menjadi masalah bagi petani yang biasa melakukan kegiatan tukar-menukar benih sepanjang benih yang dipertukarkan oleh petani bukan benih yang dilindungi oleh PVT, dalam artian petani tetap bisa melakukan kegiatan tukar menukar benih, sepanjang benih yang dipertukarkan adalah benih yang tidak dilindungi oleh PVT, dan bukan benih varietas baru yang dibeli dipasar komersial, dan karenanya tidak dilindungi oleh PVT. Benih-benih varietas tradisional masih bisa dipertukarkan dan didistibusikan kepada petani-petani tradisional dan tetangga-tetangganya tanpa melanggar hak pemulia tanaman.
Namun, pertukaran bibit akan menjadi suatu problem jika seseorang mendapatkan bibit yang dilindungi oleh PVT dan kemudian dia menaman kembali benih-benih itu untuk masa tanam selanjutnya dan juga kemudian menukarkan itu ke teman-teman sesama petani. Kondisi seperti ini menjadi dilema bagi petani, hal ini karena jika petani mempertahankan benih-benih tradisional, mereka mungkin tidak akan mendapatkan keuntungan dari kemajuan dibidang pertanian yang ditawarkan oleh bibit-bibit yang dilindungi oleh PVT, sehingga menjadi tidak kompetitif. Tetapi, petani-petani yang seperti ini biasanya menjual hasil panennya dalam pasar tradisional dengan skala yang lebih kecil dan bukan pasar benih komersial dengan skala yang lebih luas yang menggunakan PVT.
Untuk bisa berkompetisi, petani-petani dianjurkan untuk menggunakan benih-benih yang dilindungi oleh PVT, tetapi karena hasil panen dari varietas tersebut tidak dapat dipertukarkan dan bahkan untuk jenis-jenis benih tertentu tidak dapat ditanam kembali, ketergantungan petani-petani pada industri perbenihan tidak dapat dielakkan. Dan dengan memperhatikan karakteristik petani di Indonesia yang merupakan petani kecil, dengan kepemilikan tanah yang terbatas, dan yang secara ekonomi terpinggirkan, maka jika mereka harus bersandarkan pada benih yang dibeli dengan mahal dari industri perbenihan maka kondisi seperti ini kemungkinan kurang menguntungkan bagi petani.
Perlindungan Varietas Local
UU PVT menetapkan bahwa negara menguasai varietas lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Varietas lokal ini mengacu pada varietas yang telah ada dan telah dibudidayakan oleh petani-petani secara turun temurun dan menjadi milik masyarakat. Salah satu wujud dari kontrol negara terhadap vareitas lokal ini adalah bahwa pemerintah berkewajiban memberikan nama terhadap varietas lokal tersebut. Pemerintah juga mengatur hak imbalan dan penggunaan varietas tersebut dalam kaitannya dengan PVT serta usaha-usaha pelestarian plasma nutfah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomer 13 tahun 2004, mandat untuk mengontrol varietas lokal diberikan kepada Bupati atau Walikota untuk bertindak untuk dan atas nama masyarakat di dalam wilayahnya sebagai pemilik varietas lokal. Konsekuensinya, mereka yang ingin menggunakan varietas lokal sebagai varietas asal untuk mengembangkan varietas turunan esensial harus melakukan perjanjian terlebih dahulu dengan Bupati atau walikota.
Melalui UU PVT, pemerintah bertindak sebagai otoritas yang mengontrol benih varietas tanaman. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah berusaha untuk mencegah penyalahgunaan varietas tanaman lokal. Namun, komunitas lokal yang telah mengembangkan varietas tanaman tersebut mungkin menolak penguasaan pemerintah yang berlebihan. Berdasarkan prinsip bahwa pemerintah mempunyai hak berdaulat atas sumber daya yang ada di wilayahnya, penguasaan dan kontrol yang seperti itu dapat dibenarkan. Namun, ketentuan seperti itu juga bisa bersebrangan dengan prinsip-prinsip hak petani yang terkandung dalam International Treaty for Plant Genetic Resources for Food and Agriculture dan usaha yang dilakukan oleh Convention on Biological Diversity dan Bonn Guidelines yang memperluas kontrol terhadap sumber daya biologi oleh petani lokal dan masyarakat.
Dengan demikian, meskipun PVT tidak bertujuan untuk menutup kesempatan petani kecil untuk menggunakan varietas baru untuk kepentingan mereka sendiri, namun dalam prakteknya UU PVT mempunyai potensi membatasi kesempatan bagi petani untuk mengembangkan varietas yang baru.
Tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT)
Berbeda dengan UU PVT dan Paten, yang dibuat dan disahkan setelah Indonesia menjadi anggota WTO dan menyepakati perjanjian TRIPs. UU SBT disahkan tahun 1992, dua tahun sebelum dibentuknya organisasi perdagangan dunia.
UU SBT ini dibuat tidak dalam kerangka melindungi hak mereka yang melakukan budidaya tanaman sebagaimana UU PVT dan Paten, tetapi UU ini dibuat dengan semangat untuk mengembangkan sistem pertanian yang maju, efisien dan tangguh, dan untuk melindungi tanaman dari segala upaya yang menyebabkan kerugian pada budidaya tanaman. Dengan demikian maka kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri dan eksport pertanian dapat ditingkatkan. Namun kelihatannya, UU SBT ini juga dipersiapkan untuk menghadapi liberalisasi dan globalisasi di bidang pertanian.
Untuk mencapai tujuan tersebut semua hal yang terkait dengan perencanaan budidaya tanaman ditentukan oleh pemerintah, termasuk penetapan wilayah pengembangan, pengaturan produksi berdasarkan kepentingan nasional, dllnya. Peran serta atau kontrol pemerintah yang cukup besar termasuk pengontrolan pada cara dan pola tanam mengakibatkan hak-hak yang dimiliki oleh pemangku kepentingan atas tanahnya, seperti petani, menjadi terpinggirkan.
Hal ini nampak jelas dalam ketentuan yang menetapkan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. Namun kekebasan tersebut diikuti dengan kewajiban petani untuk berperan serta dalam mendukung pelaksanaan program pemerintah dalam pengembangan budidaya tanaman diwilayahnya. Selanjutnya, jika petani harus mengikuti ketentuan pemerintah, sehingga kebebasan untuk menentukan jenis tanamannya, maka pemerintah harus berusaha agar petani tersebut mendapatkan jaminan penghasilan tertentu. Ketentuan seperti ini bisa diartikan bahwa hak-hak petani untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditaman di tanahnya sendiri dibatasi.
Ketentuan yang amat penting dalam UU SBT mengatur mengenai perbenihan. Dalam kaitannya dengan perbenihan ini, untuk pengembangan budidaya tanaman, perolehan benih dapat dilakukan dengan kegiatan penemuan varietas unggul, atau benih yang berasal dari luar negeri. UU ini juga mengatur bahwa benih yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standart mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Benih yang telah lulus sertifikasi juga harus diberi label. Ketentuan-ketentuan mengenai benih diatas bertujuan untuk mengembangkan sektor pertanian yang tangguh dan juga untuk mengembangkan industri perbenihan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah UU SBT tersebut tidak mempertimbangkan atau seakan-akan menegasikan adanya benih yang dikembangkan secara konvensional oleh petani. Selanjutnya, sistem perbenihan yang ditetapkan dalam UU tersebut menutup kemungkinan bagi petani untuk bisa menggunakan benih yang mereka kembangkan sendiri, karena petani harus mematuhi program pemerintah. Selanjutnya, sistem ini juga menutup kemungkinan bagi petani yang biasanya menjual, mengedarkan, atau membagi benihnya kepada teman sesama petani, karena harus memenuhi persyaratan yang sangat susah dipenuhi oleh petani.

Solusi Untuk Mengatasi Masalah Benih Yaitu:

  1. Pemerintah perlu secara bertahap untuk menghilangkan ketergantungan terhadap benih. Caranya dengan mengurangi benih-benih impor dan mengembangkan sendiri benih melalui lembaga-lembaga penelitian dan universitas-universitas yang ada di Indonesia.
  2. Pemerintah perlu mengadakan program bank-bank benih yang bisa diakses petani kecil dan tidak menyerahkan pengadaan benih kepada badan-badan komersial yang bekerja berdasarkan mekanisme pasar.
  3. Pemerintah perlu membuat regulasi agar benih tidak dijadikan komoditi yang bisa dipatenkan, karena benih adalah mahluk hidup yang merupakan kekayaan alam suatu daerah dan menjadi milik bersama. Pemulia tanaman juga mengambil benih dari masyarakat secara bebas, jadi tidak sepatutnya hasil pemuliaan ini dimonopoli untuk kepentingan individual atau perusahaan pengembang benih. Petani dan masyarakat pada umumnya harus mempunyai hak yang sama untuk mengembangkan, memproduksi, menggunakan dan mempertukarkan benih-benih tersebut secara bebas.
  4. Pemerintah harus bertanggung jawab atas ketersediaan benih baik secara kualitas maupun kuantitas, jangan diserahkan pada mekanisme pasar
  5. Pemerintah harus melindungi kreatifitas petani yang meproduksi, menggunakan dan mempertukarkan benih dengan caranya sendiri.
  6. Pemerintah harus menjamin dan melindungi varietas lokal dan cara budidaya atau pemuliaan tanaman yang berbasiskan kearifan lokal.
Exit mobile version