PertanianUncategorized

Strategi Optimalisasi Swasembada Daging…(2)

Strategi Optimalisasi

Strategi adalah sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir (sasaran). Sedangkan Steiner dan Miner (1977) menyatakan strategi adalah respon secara terus-menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi kelembagaan.

Menurut Porter (1995) strategi adalah alat yang paling penting untuk mencapai keunggulan bersaing. Suatu kelembagaan dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi ancaman eksternal dan merebut peluang yang ada. Inti dari persaingan adalah untuk mendapatkan ide memproduksi, menjual, mendistribusikan dan melayani. Operasional yang efektif adalah dengan meningkatkan daya saing yang lebih baik dan cepat serta menggunakan input lebih kecil dari pesaing. Untuk tetap dapat mempertahankan daya saing tersebut upaya perbaikan terus dilakukan secara berkelanjutan. Operasional yang efektif selalu mengutamakan produktivitas. Sesuai dengan teknologi yang tersedia, keterampilan, teknik manajemen, menurunkan biaya dan dalam waktu bersamaan juga meningkatkan nilai.

Menurut Rangkuti (1999) proses analisis, perumusan dan evaluasi strategi disebut sebagai perencanaan strategis. Tujuan utama perencanaan strategis adalah agar kelembagaan atau kelembagaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal.

Wahyudi (1996) menyatakan bahwa strategi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan kelembagaan. Strategi memiliki sifat antara lain: menyatu (unified), yaitu menyatukan seluruh bagian-bagian dalam kelembagaan; menyeluruh (comprehensive), yaitu mencakup seluruh aspek dalam kelembagaan; integral (integrated), yaitu seluruh strategi akan cocok/sesuai dari seluruh tingkatan (corporate, business dan functional).

Pokok perumusan strategi bersaing adalah menghubungkan kelembagaan dengan lingkungannya. Walaupun lingkungan yang relevan sangat luas, meliputi kekuatan-kekuatan sosial sebagaimana juga kekuatan-kekuatan ekonomi, aspek utama dari lingkungan kelembagaan adalah industri-industri dimana kelembagaan tersebut bersaing (Porter, 1995).

Perumusan strategi sangat diperlukan oleh kelembagaan untuk mencapai tujuan sehingga membentuk industri yang berdaya saing. Agar strategi yang dijalankan tepat, maka kelembagaan harus mengetahui faktor internal dan eksternalnya sehingga kombinasi strategi yang digunakan tepat dengan posisi kelembagaan saat ini (Marimin, 2004).

Terdapat tiga prinsip dalam menetapkan strategi bersaing, yaitu:
(1) Strategi merupakan kreasi yang unik dan bernilai dengan melibatkan berbagai kegiatan. Posisi strategi ini muncul dari tiga sumber yang berbeda dalam menyiapkan kebutuhan pelanggan, yaitu: a) menyiapkan sedikit kebutuhan untuk banyak pelanggan, b) menyiapkan banyak kebutuhan untuk sedikit pelanggan, c) menyiapkan banyak kebutuhan untuk banyak pelanggan.
(2) Strategi yang menghendaki pengelolanya untuk menutup perdagangan dalam suatu kondisi persaingan untuk memilih apa yang tidak akan dikerjakan.
(3) Strategi memilih kecocokan diantara beberapa kegiatan didalam kelembagaan (Porter, 1980).

Strategi bersaing merupakan perpaduan antara tujuan yang diperjuangkan kelembagaan dengan kebijaksanaan kelembagaan tersebut untuk berusaha sampai ke tujuan akhir. Pada dasarnya pengembangan strategi bersaing merupakan pengembangan formula umum mengenai bagaimana bisnis akan bersaing, apa yang seharusnya menjadi tujuan dan kebijakan apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut (Porter, 1993).

Strategi optimalisasi dapat diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumberdaya di suatu negara dalam sistem ekonomi yang terbuka. Hukum keunggulan komparatif dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan. Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasarkan tenaga kerja (labor theory of value) yang menyatakan hanya satu faktor produksi yang penting menentukan nilai suatu komoditas, yaitu faktor tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya (Ricardo, 1993).

Menurut Sudaryanto (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam arti daya saing yang ingin dicapai pada perekonomian tidak mengalami distrosi sama sekali. Aspek yang sama sekali terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan yang terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif atau revealed competitive advantage yang merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual.

Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh teori biaya imbangan (theory opportunity cost). Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya di sini menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan. Selanjutnya teori Hecksher Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa : komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam produksi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor (Ohlin, 2003).

Pemerintah sebagai fasilitator harus duduk sejajar dengan para pelaku-pelaku peternakan, merumuskan suatu grand strategy untuk menggali potensi peternakan sehingga mampu menghasilkan devisa, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan para pelaku-pelaku peternakan dan masyarakat serta memberikan kontribusi bagi pendapatan regional dan nasional (Made, 2006).
Strategi optimalisasi untuk meningkatkan kontribusi peternak merupakan turunan dari strategi pembangunan pertanian yang telah dicanangkan tahun 2007. Strategi pembangunan pertanian atau revitalisasi pertanian tersebut, yaitu:
1. Memperkuat basis Ketahanan Pangan
2. Pengembangan Agroindustri Perdesaan
3. Pengembangan Teknologi
4. Pengembangan Kelembagaan dan SDM
5. Pengembangan Pasar
Sedangkan strategi untuk mencapai produksi daging menurut Data Kementan 2007, (sumber makalah Sekmen, DR Abdul Munif) yaitu:

Gambar 1. Strategi Peningkatan Produktifitas Daging
Menurut Gambar 1. diatas, strategi untuk meningkatkan produksi daging dalam rangka swasembada daging tahun 2014, yaitu:
1. Pengembangan mutu bibit
2. Pengembangan pakan ternak
3. Pengendalian penyakit repro dan Keswa
4. Permodalan dan pemberdayaan
5. Pengembangan HMT dan pengadaan air untuk ternak

Arah pengembangan ternak sapi melalui peningkatan populasi ternak dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain: (i) mempercepat umur beranak pertama, dari di atas 4,5 tahun menjadi di bawah 3,5 tahun, (ii) memperpendek jarak beranak dari di atas 18 bulan menjadi sekitar 12-14 bulan sehingga akan ada tambahan jumlah anak selama masa produksi sekitar 2 ekor/induk, (iii) menekan angka kematian anak dan induk, (iv) mengurangi pemotongan ternak produktif dan ternak kecil/muda, (v) mendorong perkembangan usaha pembibitan penghasil sapi bibit, serta (vi) menambah populasi ternak produktif, melalui impor sapi betina produktif.

Pengembangan agribisnis komoditas sapi harus ditujukan untuk: (i) meningkatkan manfaat potensi sumberdaya genetik dan sumberdaya peternakan lainnya bagi kesejahteraan peternak dan masyarakat, (ii) menciptakan kebijakan yang tepat dalam merespon perkembangan global yang sangat dinamis, serta (iii) mengembangkan agribisnis maupun agroindustri sapi pola integrasi in-situ maupun ex-situ, baik secara vertikal maupun horizontal, berbasis ketersediaan bahan pakan sumber serat, energi dan protein, serta dengan memperhatikan ketersediaan teknologi, kondisi sosial-budaya masyarakat, agroekosistem, dan/atau wilayah.

Sasaran yang akan dicapai adalah mengurangi ketergantungan impor daging maupun sapi potong, yang dalam lima tahun dapat mencukupi sebagian besar kebutuhan daging domestik Untuk mencapai berbagai tujuan dan sasaran tersebut, perlu ditetapkan kebijakan pengembangan agribisnis komoditas sapi, antara lain: (a) berorientasi pada petani/peternak serta pelaku agribisnis peternakan dan agroindustri terkait lainnya, serta mengacu kepada dinamika perkembangan global dan semangat desentralisasi, (b) menjamin agar produk yang dihasilkan mempunyai daya saing, sesuai kebutuhan pasar yang menghendaki ASUH, serta ramah lingkungan dan mampu menjamin keberlanjutan, serta (c) melindungi dari serbuan produk dumping, ilegal atau yang tidak ASUH, melalui kebijakan/perlindungan tarif dan non-tarif.

Strategi pada Subsistem Hulu
a. Mengembangkan bibit sapi lokal (PO, Bali, dll), terutama pejantan unggul hasil seleksi dan konservasi di daerah sumber bibit (2006-2010).
b. Perbaikan teknologi reproduksi dan bibit sapi untuk peningkatan mutu genetik (genetic improvement) melalui seleksi, pembentukan ternak komposit maupun up grading yang dapat dilakukan dengan perkawinan alam maupun Inseminasi buatan (2006-2010).
c. Sistem perbibitan yang murah dan efisien, terintegrasi dengan perkebunan, tanaman pangan dan memanfaatkan sumber pakan lokal (2006-2010).
d. Memantapkan kelembagaan sistem perbibitan sapi nasional (2006-2007).
e. Pemanfaatan biomas lokal, limbah pertanian dan agroindustri sebagai sumber pakan (2006-2010).
f. Membangun pabrik pakan skala kecil dan menengah dengan memanfaatkan bahan baku lokal dan inovasi teknologi (2006-2010).
g. Mengembangkan obat tradisional dan vaksin lokal (2006-2010).
h. Membangun sarana dan prasarana seperti laboratorium keswan, pasar hewan, sumber air untuk ternak, dll (2006-2010).
B. Strategi pada SubsistemUsahatani (On Farm)
a. Memberdayakan peternakan rakyat dengan membentuk kelompok besar dan pemberian kredit dengan bunga rendah 6 %/tahun (2006-2010).
b. Mengembangkan peternakan yang efisien, terintegrasi dengan perkebunan berskala besar dan memberi kemudahan bagi investor swasta, serta melibatkan rakyat dengan pola inti-plasma (2006-2010).
c. Mengembangkan feed lotter terintegrasi dengan perkebunan dan ketersediaan sumber pakan lokal, sehingga biaya pakan murah dan sumber bakalan lebih terjamin ketersediaannya. Keadaan ini akan terwujud apabila model integrasi ternak-perkebunan telah berkembang (2006-2010).
d. Meningkatkan produktivitas ternak melalui; (i) perbaikan manajemen, (ii) mempercepat umur (waktu) beranak pertama dari 42-50 bulan menjadi 26-36 bulan melalui perbaikan dan jaminan ketersediaan pakan sepanjang tahun, (iii) memperpendek jarak beranak dari 24-36 bulanmenjadi 12-18 bulan melalui perbaikan pakan dan ketersediaan pejantan unggul baik dengan kawin alam maupun inseminasi buatan, (iv) menekan angka kematian sebesar 50% melalui perbaikan manajemen dan penggunaan obat-obatan tradisional dan vaksin local yang sesuai (2006-2010)
e. Mempercepat pertambahan bobot badan ternak dan meningkatkan kualitas sapi potong dengan memanfaatkan sumberdaya lokal, terutama yang berasal dari limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri (2006-2010).
f. Memberi kemudahan bagi swasta untuk penyediaan sapi betina komersial (impor) dalamupaya meningkatkan populasi induk produktif (2006-2007).
g. Mempercepat penyediaan sapi pejantan lokal untuk menjamin kebutuhan pejantan pada sistemperkawinan alami maupun IB (2006- 2010).

C. Strategi pada Subsistem Hilir
a. Memfasilitasi tersedianya RPH skala kecil dan menengah yang memiliki fasilitas pendingin (cold storage) memadai untuk penyimpanan daging segar/beku yang tidak terserap pasar (2006-2010).
b. Meningkatkan efisiensi, higienis dan daya saing dalam pengolahan daging, jerohan dan kulit disesuaikan dengan permintaan /keinginan konsumen (2006-2010).
c. Mengembangkan diversifikasi produk olahan daging oleh swasta (2007-2010)
d. Pengembangan industri kompos dan meningkatkan mutu pengolahan limbah dan kotoran lainnya dengan melibatkan rakyat dan swasta sehingga mempunyai nilai tambah yang lebih (2006-2010).
e. Pengembangan pembuatan biogas sebagai sumber energi lokal yang berkelanjutan bagi keperluan bahan bakar keluarga (2006-2010).

D. Strategi pada Subsistem Perdagangan dan Pemasaran
a. Peningkatan efisiensi pemasaran ternak sapi dan hasil ikutannya melalui usaha pemasaran bersama dan melakukan pemendekan rantai pemasaran. Oleh karena itu kelembagaan kelompok petani-ternak dan system pemeliharaan kelompok perlu diperkuat/ dikembangkan (2006-2010).
b. Peningkatan ketersediaan fasilitas transportasi untuk mendukung pemasaran ternak antar daerah atau antar pulau (2006-2010).
c. Mengembangkan pola usaha peternakan yang mendekati pasar dengan sistem/pola inti-plasma yang dimodifikasi agar lebih berpihak kepada peternak rakyat (2006-2010).
d. Promosi dan positioning product bahwa daging sapi lokal merupakan produk organic farming (2006-2010).

E. Strategi pada Subsistem Penunjang dan Kebijakan
1. Kebijakan Teknis:
a. Mengembangkan agribisnis sapi pola integrasi tanaman-ternak berskala besar dengan pendekatan LEISA dan zero waste, terutama di perkebunan.
b. Mengembangkan dan memanfaatkan sapi lokal unggul sebagai bibit melalui pelestarian, seleksi dan persilangan dengan sapi introduksi.
c. Mengevaluasi kelayakan penerapan persilangan, teknologi IB, pengembangan Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIB), teknologi embrio transfer secara selektif.
d. Memanfaatkan teknologi veteriner untuk menekan angka kematian sapi.
e. Mengembangkan dan memanfaatkan produksi biogas dan kompos secara masal untuk tanaman dan memperoleh nilai tambah ekonomis bagi peternak.
f. Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) produk kompos.
2. Kebijakan Regulasi:
a. Mencegah terjadinya pemotongan hewan betina produktif dan ternak muda dengan ukuran kecil yang jumlahnya masih sangat tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan peraturan yang berlaku melalui pendekatan sosial-budaya masyarakat setempat.
b. Melarang ekspor sapi betina produktif, terutama sapi lokal yang sudah terbukti keunggulannya (terutama sapi Bali), karena selain memicu terjadinya pengurasan sapi di dalam negeri juga ekspor bibit sapi tersebut akan memberi kesempatan negara pengimpor untuk mengembangkan plasma nutfah Indonesia dan menjadi kompetitor produsen sapi dikemudian hari.
c. Mencegah dan melarang masuknya daging dari negara yang belum bebas penyakit berbahaya, terutama PMK, BSE dan penyakit lainnya sesuai anjuran OIE, serta memberantas masuknya daging illegal yang tidak ASUH.
d. Meninjau kembali aturan impor daging dan jerohan yang tidak berkualitas, serta sapi potong dengan ukuran besar, baik melalui pendekatan sanitary and phytosanitary (SPS) maupun tariff progresif yang layak, berturut-turut untuk sapi potong, daging dan jerohan yang semakin tinggi.
e. Mendorong swasta untuk mengembangkan ternak komersial ex impor yang produktif untuk dikawinkan dengan sapi lokal yang lebih adaptif.
f. Pemberian insentif berupa kredit berbunga rendah melalui kredit usaha mikro, kecil maupun usaha menengah yang mengembangkan sapi perbibitan.
g. Kebijakan pengembangan diversifikasi produk daging olahan.
h. Meningkatkan sarana dan prasarana usaha agribisnis sapi

Kebijakan yang diperlukan untuk mendorong perkembangan usaha ini antara lain adalah: (i) penciptaan suasana kondusif agar usaha dapat bersaing dengan pasar global secara lebih adil melalui kebijakan tarif maupun non-tarif (SPS), sehingga terhindar dari ancaman produk ilegal, tidak ASUH atau barang dumping, (ii) penyediaan sarana dan prasarana yang mampu memperlancar arus barang input maupun output, serta pengurangan berbagai pungutan atau kemudahan dalam hal perijinan, (iii) perlindungan investasi masyarakat atau swasta dari ancaman pencurian, penjarahan, dan kejadian lain yang merugikan, (iv) perlindungan ternak dari pengurasan dan ancaman penyakit berbahaya, penyakit eksotik maupun zoonosis (Brucellosis, SE, Anthrax, PMK, BSE, dll), serta (v) penyediaan dukungan modal yang memadai dan kompetitif, informasi, inovasi teknologi, dan kelembagaan.

Pada lokasi dimana sapi adalah komoditas unggulan dan andalan, seperti di Nusa Tenggara, kebijakan yang dilakukan adalah upaya untuk penyediaan pakan dan/atau penyediaan air pada musim kemarau, untuk mengurangi angka kematian anak dan mempertahankan kesuburan induk. Disini diperlukan inovasi yang terkait dengan penyediaan dan penyimpanan pakan, pemberian pakan tambahan yang terjangkau, dan konservasi air. Ternak yang dikembangkan harus mempunyai daya adaptasi yang tinggi, daya reproduksinya bagus, ukuran tubuh induk kecil atau sedang, serta dapat dikelola dengan teknologi yang sederhana (mudah/murah). Dalam hal ini ternak lokal adalah sangat tepat.

Pada daerah padat ternak dan padat penduduk seperti di Jawa, Bali dan Lombok, kebijakan pengembangan ternak dapat dilakukan dengan pola integrasi vertikal, baik secara in-situmaupun ex-situ. Dalamhal ini pakan ternak sebagian besar berasal dari limbah usahatani atau agroindustri, dan sedikit hijauan dari rumput dan leguminosa unggul. Inovasi untuk meningkatkan kualitas pakan dan penyediaan pakan pada saat kemarau sangat diperlukan. Ternak yang dikembangkan sangat bervariasi, dari ternak lokal, persilangan, sapi dwiguna, atau ternak perah yang high input, bergantung pada kemampuan peternak setempat. Teknologi IB dengan frozen semen maupun chilled semen dan dibarengi dengan penyediaan pejantan dapat diaplikasikan.

Pada daerah pengembangan yang sangat potensial seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, ketersediaan biomasa berupa tanaman cover crop dan limbah pertanian/perkebunan maupun agroindustri dapat atau cukup untuk mengakomodasi pengembangan ternak secara maksimal. Usaha cowcalf operation sangat cocok dikembangkan di ketiga wilayah tersebut.

Sedangkan usaha penggemukan harus dilakukan di daerah yang lebih dekat dengan pasar, yaitu tidak jauh dari kota besar atau pelabuhan. Tipe atau jenis ternak yang dapat dikembangkan sangat variatif, sepanjang dapat dilakukan secara integratif dengan usaha pertanian lainnya. Bangsa atau breed yang akan dipilih adalah ternak lokal seperti sapi Bali atau keturunan Bos Indicus seperti sapi PO dan persilangannya dengan sapi Eropa (darah Bos Taurus kurang dari 50%). Bila yang dikembangkan sapi potong atau kerbau, maka penyediaan pejantan untuk kawin alam sangat mutlak diperlukan.

Di daerah KTI khususnya Papua dan Maluku, kebijakan pengembangan ternak dapat dilakukan secara ekstensif, dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang masih tersedia cukup banyak. Di kawasan ini permintaan pasar produk peternakan relatif kecil, akan tetapi ada beberapa pasar potensial yang layak untuk digarap seperti Timika, kota-kota besar ibukota provinsi, dan kawasan pertambangan atau pengusahaan hutan.

2.2 Swasembada Daging
Indonesia pernah mengekspor sapi terutama ke Hongkong dalam jumlah yang cukup besar. Kondisi tersebut telah mendorong perkembangan investasi usaha peternakan sapi pola pastura di Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Investasi tersebut dimulai pada tahun 1970-an dengan munculnya peternakan komersial (producer atau breeder) sapi eksotik yang berasal dari Amerika dan Australia yang mempunyai ukuran tubuh sangat besar, misalnya: Santa Gertrudis, Angus, Charolais, Simmental, Hereford, dll. Namun ternyata hampir seluruh usaha peternakan tersebut telah menutup kegiatannya, karena tidak mampu memperoleh keuntungan yang memadai.

Pada tahun 1980-an pemerintah mengembangkan program Inseminasi Buatan (IB) secara nasional dengan menggunakan pejantan atau semen dari berbagai bangsa/breed (Simmental, Angus, Limousin, Brahman, Brangus, dll). Sapi hasil persilangan dengan sapi impor tersebut mempunyai ukuran badan yang cukup besar dan sangat disukai masyarakat, karena harganya yang lebih tinggi dibanding sapi lokal. Namun ternyata sapi hasil persilangan ini mempunyai kinerja yang buruk bila tidak didukung ketersediaan pakan yang memadai, disamping sangat rentan terhadap serangan berbagai penyakit ’tropis’. Akibatnya sapi persilangan ini hanya berkembang pada peternakan yang mampu menyediakan pakan dan manajemen yang baik, dan pada gilirannya membutuhkan biaya yang cukup mahal.

Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bakalan (cow-calf operation) 99% dilakukan oleh peternakan rakyat yang sebagian besar berskala kecil. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan lainnya, sehingga fungsi sapi sangat komplek dalam menunjang kehidupan peternak. Sementara itu di Nusa Tenggara dan Sulawesi, sapi dikembangkan secara ekstensif dan kadang-kadang dipelihara secara seadanya. Pada musim kemarau, sapi terlihat kurus dan banyak yang mati karena kekurangan pakan atau terserang penyakit.

Untuk memulai usaha cow-calf operation, investor menghadapi berbagai masalah dan kendala seperti: (a) harus menyediakan modal sangat besar untuk membeli sapi, (b) kredit dengan bunga bank yang sangat tinggi disamping rumit dan terbatas, (c) keterbatasan lahan (padang pangonan), infrastruktur dan kelembagaan, serta (d) masalah pencurian ternak, rantai pemasaran yang rumit, sarana transportasi yang terbatas. Oleh karena itu perlu dicari upaya terobosan yang mampu mendorong berkembangnya usaha peternakan sapi berdaya saing, untuk merespon peningkatan konsumsi daging di dalam negeri.

Pemerintah Indonesia telah mencanangkan program swasembada daging 2010. Namun dengan berbagai kendala, program swasembada tersebut ditangguhkan hingga 2014. Program Aksi untuk mewujudkan swasembada daging sapi tahun 2010, adalah diantaranya sebagai berikut.
1. Kebijakan Teknis:
a. Mengembangkan agribisnis sapi pola integrasi tanaman ternak berskala besar dengan pendekatan LEISA dan zero waste, terutama di wilayah perkebunan.
b. Mengembangkan dan memanfaatkan sapi lokal unggul sebagai bibit melalui pelestarian, seleksi dan persilangan dengan sapi introduksi.
c. Mengevaluasi kelayakan penerapan persilangan, teknologi IB, pengembangan BIB Daerah, dan teknologi embrio transfer secara selektif.
d. Memanfaatkan teknologi veteriner untuk menekan angka kematian.
e. Mengembangkan dan memanfaatkan produksi biogas dan kompos secara masal untuk tanaman guna memperoleh nilai tambah ekonomi bagi peternak.
f. Pengembangan SNI produk kompos.

2. Kebijakan Regulasi:
a. Mencegah terjadinya pemotongan hewan betina produktif dan ternak muda dengan ukuran kecil yang saat ini jumlahnya masih sangat tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan peraturan yang berlaku melalui pendekatan sosial budaya masyarakat setempat.
b. Melarang ekspor sapi betina produktif, terutama sapi local yang sudah terbukti keunggulannya (terutama sapi Bali), karena selain memicu terjadinya pengurasan sapi di dalam negeri juga ekspor bibit sapi tersebut akan memberi
c. kesempatan negara pengimpor untuk mengembangkan plasma nutfah Indonesia dan menjadi kompetitor produsen sapi di masa depan.
d. Mencegah dan melarang masuknya daging dari Negara yang belum bebas penyakit berbahaya, terutama PMK, BSE dan penyakit lainnya sesuai anjuran OIE, serta memberantas masuknya daging illegal yang tidak ASUH.
e. Meninjau kembali aturan impor daging dan jerohan yang tidak berkualitas, serta sapi potong dengan ukuran besar, baik melalui pendekatan sanitary and phytosanitary (SPS) maupun tarif progresif yang layak, berturut-turut untuk sapi bakalan, sapi potong, daging dan jerohan yang semakin tinggi.
f. Mendorong swasta untuk mengembangkan ternak komersial ex impor yang produktif untuk dikawinkan dengan sapi lokal yang lebih adaptif.
g. Pemberian insentif berupa kredit berbunga rendah melalui kredit usaha mikro, kecil maupun usaha menengah yang mengembangkan sapi perbibitan.
h. Kebijakan pengembangan diversifikasi produk daging olahan.
i. Meningkatkan sarana dan prasarana usaha agribisnis sapi.


3. Kegiatan Operasional
a. Mengembangkan bibit sapi lokal (PO, Bali, dll), terutama pejantan unggul hasil seleksi dan konservasi di daerah sumber bibit.
b. Perbaikan teknologi reproduksi dan bibit sapi untuk peningkatan mutu genetik melalui seleksi, pembentukan ternak komposit yang dapat dilakukan dengan perkawinan alam maupun IB.
c. Mengembangkan sistem perbibitan yang murah dan efisien, terintegrasi dengan perkebunan, tanaman pangan dan memanfaatkan sumber pakan lokal.
d. Memantapkan kelembagaan sistem perbibitan sapi nasional.
e. Memanfaatkan biomas lokal, limbah pertanian dan agroindustri sebagai sumber pakan, dalam rangka pembangunan pabrik pakan skala kecil dan menengah melalui inovasi teknologi, untuk usaha penggemukan.
f. Mengembangkan obat tradisional dan vaksin lokal.
g. Membangun sarana dan prasarana seperti laboratorium kesehatan hewan, pasar hewan, dan sumber air untuk ternak.
h. Memberdayakan peternakan rakyat dengan membentuk kelompok dan pemberian kredit dengan bunga rendah.
i. Meningkatkan efisiensi pemasaran ternak sapi dan hasil ikutannya melalui usaha pemasaran bersama dan melakukan pemendekan rantai pemasaran. Kelembagaan kelompok petani-ternak dan sistem pemeliharaan kelompok perlu diperkuat dan dikembangkan.
j. Membangun fasilitas transportasi untuk mendukung pemasaran ternak antar daerah atau antar pulau perlu dikembangkan dan ditingkatkan.
k. Memfasilitasi tersedianya RPH skala kecil dan menengah yang memiliki fasilitas pendingin (cold storage) memadai untuk penyimpanan daging segar dan beku, agar dapat mengurangi pemotongan ternak muda atau kecil.
l. Meningkatkan efisiensi, higienis dan daya saing dalam pengolahan daging dan jerohan berdasarkan preferensi permintaan dan keinginan konsumen.
m. Promosi dan positioning product bahwa daging sapi local merupakan produk organic farming.

Sebagai gambaran roadmap pengembangan agribisnis komoditas sapi pada kawasan spesifik, seperti kawasan persawahan dan perkebunan, beberapa tahapan kegiatan yang dapat dilakukan antara lain sebagaimana dikemukakan dalam Tabel

Tabel Roadmap pengembangan agribisnis ternak sapi potong

Nilai aset sapi dan kerbau (13,5 juta ekor) di Indonesia saat ini diperkirakan lebih dari Rp. 40 triliun, yang perlu dikelola dengan lebih optimal. Usaha ini juga menghasilkan produk ikutan berupa kompos yang sangat diperlukan untuk menjaga kesuburan lahan pertanian. Kotoran ternak juga sangat berpotensi untuk menghasilkan energi alternatif, melalui pengembangan biogas bagi keperluan rumah tangga. Investasi dalam agribisnis usaha sapi harus bertumpu pada ketersediaan bahan pakan local yang masih berlimpah, sekaligus diarahkan agar mampu mendukung pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan.

Di Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, peternak memanfaatkan padang pangonan umum atau kawasan lainnya untuk menggembalakan ternak. Hampir tidak ada inovasi untuk meningkatkan ketersediaan dan kualitas pakan. Hal ini yang menyebabkan pada musim kemarau banyak ternak yang kurus atau mati karena kurang pakan. Di Jawa dan Bali, peternak lebih banyak memanfaatkan limbah pertanian sebagai sumber pakan utama. Di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur, pemanfaatan jerami padi sudah sangat umum, namun di sentra produksi padi Jawa Barat, maupun daerah lainnya, peternak belum memanfaatkan jerami padi sebagai sumber pakan walaupun mereka kekurangan pakan pada saat kemarau. Areal perkebunan yang sangat luas di Sumatera dan Kalimantan, praktis masih kosong ternak, walaupun kawasan ini mampu menyediakan pakan sedikitnya untuk 1-2 Animal Unit/ha.

Usaha cow-calf operation untuk menghasilkan pedet atau sapi bakalan memerlukan biaya pakan yang relatif sangat mahal. Dengan asumsi rata-rata jarak beranak sekitar 500 hari, dan biaya pakan seekor induk sekitar Rp. 4.000/hari, maka biaya pakan untuk menghasilkan pedet sedikitnya Rp. 2 juta. Hal inilah yang menyebabkan sampai saat ini tidak ada investor yang bersedia menanamkan modalnya untuk usaha cow-calf operation.

Dengan inovasi teknologi pakan dan pengolahan kompos, ternyata kinerja usaha sapi tersebut dapat lebih ditingkatkan, antara lain melalui pengembangan ternak pola integrasi crop-livestock system (SIPT, system integrasi padi-sapi). Bahkan untuk kawasan perkebunan sawit, pekebun dapat memelihara sapi dengan mudah dan murah (SISKA, sistemintegrasi sapi pada kebun sawit di Agricinal, Bengkulu), dengan skala 10-15 ekor/keluarga.

Pendekatan seperti ini mempunyai prospek sangat baik, karena: (i) ternak dapat diusahakan dengan biaya pakan sangat murah, (ii) tersedia kotoran ternak sebagai sumber energi untuk keperluan rumah tangga (biogas) dan pupuk untuk menyuburkan lahan, (iii) tersedia pakan sepanjang tahun, (iv) meningkatkan daya saing hasil pertanian/perkebunan, serta (v) pemilik ternak menjadi lebih sejahtera.

Di pulau Jawa yang merupakan kawasan terpadat, peningkatan populasi ternak relatif sulit untuk dilakukan. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah mendorong perkembangan sapi yang lebih produktif, tipe dwiguna atau sapi perah pola low external input, seperti yang dilakukan peternak di Jawa Tengah. Saat ini harga susu di dalam negeri relatif sangat murah (berdaya saing) dibanding harga susu di pasar global (Rp. 1.700 vs Rp. 2.900/liter). Oleh karenanya pengembangan usaha sapi perah atau sapi tipe dwiguna mempunyai prospek yang sangat baik. Usaha ini memungkinkan peternak memperoleh pendapatan harian yang berasal dari penjualan susu, pendapatan bulanan dari penjualan kompos dan pendapatan tahunan dari penjualan pedet atau bakalan.

Dengan harga sapi impor yang melonjak sangat tinggi, saat ini sebagian usaha penggemukan (feed lotter) mulai mengalihkan usahanya dengan memanfaatkan bakalan dari dalam negeri. Bahkan sebuah usaha feed lotter di Jawa Barat memanfaatkan kerbau lokal sebagai bakalan untuk memasok kebutuhan daging untuk pasar tradisional. Hal inilah yang menjadi pertimbangan bahwa usaha penggemukan sapi dapat dilakukan dengan memanfaatkan sapi potong lokal, bakalan yang berasal dari sapi perah, kerbau muda, atau sapi bakalan impor.

Biaya terbesar untuk menghasilkan sapi bakalan atau daging adalah pakan, yang dapat mencapai 70-80%. Dengan pola integrasi, biaya pakan usaha cow calf operation dapat dikurangi secara signifikan, sehingga produk yang dihasilkanmempunyai daya saing yang sangat tinggi. Namun untuk usaha penggemukan diperlukan dukungan khusus berupa ransum rasional yangberkualitas namun tetap murah. Dalam hal ini yang terpenting adalah biaya ransum untuk meningkatkan pertambahan bobot badan masih ekonomis. Dengan kelimpahan biomasa yang berasal dari limbah atau hasil samping pertanian/perkebunan maupun agroindustri, biaya untuk penggemukan sapi di Indonesia saat ini sangat kompetitif (Rp. 4.000,- – 6.000,-/ 1 kg tambahan bobot badan). Inovasi teknologi pakan murah yang dikembangkan Balai Penelitian Ternak dan Loka Penelitian Sapi Potong Grati, telah membuktikan hal tersebut.

Investasi yang diperlukan untuk membangun pabrik pakan bagi 1.000 ekor sapi sekitar Rp. 0,5miliar. Alat dan mesin untuk keperluan pengembangan pabrik pakan sangat mudah diperoleh, baik untuk skala besar, menengah maupun kecil. Sementara itu kebutuhan peralatan untuk pengelolaan ternak juga sangat sederhana, dan dapat dikembangkan oleh pengrajin domestik. Kebutuhan peralatan yang cukup komplek adalah untuk mengembangkan sapi perah atau tipe dwiguna.

Usaha agribisnis hulu yang perlu dikembangkan adalah penyediaan calon-calon induk; dan pejantan unggul, baik untuk keperluan IB maupun pejantan untuk kawin alam. Usaha peternakan sapi yang sangat intensif di Jawa, Bali dan Lombokmemungkinkan untuk dilakukan aplikasi IB secara lebih luas, baik dengan menggunakan semen beku (frozen semen) maupun semen cair (chilled semen). Namun ketersediaan pejantan untuk ’menyapu’ betina yang masih birahi tetap diperlukan. Untuk peternakan yang bersifat ekstensif, penyediaan pejantan untuk mengawini secara alami sangat diperlukan. Dan yang lebih penting lagi adalah bangsa (breed) sapi yang akan digunakan harus sesuai dengan program breeding yang ditetapkan, bukan mengarah pada sistem up grading. Biaya yang diperlukan untuk menginseminasi 1.000 ekor sapi sekitar Rp. 25-50 juta per tahun.

Untuk menjamin sapi dapat berkembang dengan baik dan dapat terhindar dari ancaman penyakit berbahaya, diperlukan ketersediaan vaksin dan obat yang memadai. Biaya untuk kesehatan hewan idealnya tidak boleh melebihi 2-5% dari total biaya produksi (Rp. 50-100 juta untuk setiap 1.000 ekor sapi), namun bila hal ini tidak mendapat perhatian tidak menutup kemungkinan akan terjadi kerugian yang sangat besar (fatal). Biasanya usaha pencegahan yang harus mendapat perhatian, karena akan membutuhkan biaya yang relatif lebih kecil. Untuk keperluan itu fasilitas atau laboratorium yang saat ini sudah ada harus dioptimalkan, termasuk peralatan dan SDM-nya.

Industri hilir yang dapat dikembangkan untuk menunjang usaha sapi potong dapat dilihat pada diagram pohon industri agribisnis sapi potong, dimana bahan mentah utama yang akan dihasilkan adalah daging, susu dan kulit. Fasilitas utama dan pertama yang diperlukan adalah Rumah Potong Hewan (RPH) dan tempat penyimpanan produk yang memadai. RPH yang saat ini sudah ada perlu dioptimalkan penggunaannya, sedangkan pembangunan RPH baru harus dilakukan secara selektif agar dapat berjalan dengan baik. Industri pengolahan kompos juga merupakan peluang tersendiri, walaupun investasi dan inovasinya tidak terlampau sulit, dengan perkiraan investasi sekitar Rp. 0,5-1,5 miliar per 1.000 ekor sapi. Pengembangan sapi pola integrasi sangat memerlukan dukungan dalam pengolahan kompos, karena nilai kompos yang dihasilkan diharapkan dapat mencukupi sebagian kebutuhan eksternal input yang harus dibayar.

Saat ini sebagian besar produksi, konsumsi, dan perdagangan produk peternakan dunia terkonsentrasi di beberapa negara atau kawasan. Misalnya untuk daging sapi (beef), Amerika adalah negara produsen sekaligus konsumen utama di dunia, karena sekitar 55% daging sapi dihasilkan dan dikonsumsi di negara adidaya tersebut. Sementara Jepang dan Korea merupakan produsen daging yang sangat kecil, tetapi mengkonsumsi cukup tinggi yaitu sekitar 13%. Negara-negara importir daging utama dunia adalah Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, Korea, Rusia, Cina, Kanada dan Meksiko.

Sementara eksportir utama adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, New Zealand, Uni Eropa, Brazil, Argentina, India, dan Cina. Saat ini perdagangan produk peternakan dunia dikendalikan oleh sejumlah kecil perusahaan multinasional. Lima perusahaan terbesar memiliki omset penjualan masing-masing lebih dari 10 miliar dollar AS per tahun, yang terbesar mencapai 24miliar dollar AS per tahun. Dengan struktur geografis dan pelaku pasar yang demikian terkonsentrasi, pasar produk peternakan dunia amat jauh dari persyaratan pasar yang bersaing sempurna. Perusahaan multinasional tersebut ternyata sangat menguasai inovasi teknologi tinggi yang secara nyata mampu mengakselerasi produksi dan produktivitas.

Kesepakatan Putaran Uruguay di bidang pertanian memang telah berhasil meletakkan landasan menuju liberalisasi pasar. Namun sebelum kesepakatan dicapai, pasar dunia sudah terlalu terdistorsi dan banyak negara maju justru kurang disiplin dalam melaksanakan komitmen masing-masing.

Sebagai contoh: komitmen pagu tarif impor daging beku 106% untuk negara OECD dan 75% di negara non-OECD. Secara umum, pagu tarif di negara maju lebih tinggi daripada di negara sedang berkembang. Selain pagu komitmen yang amat tinggi, penerapan tarif impor (applied tariff) untuk produk peternakan di negara maju juga masih amat tinggi dan bahkan umumnya cenderung meningkat. Tarif impor daging sapi di negara Uni Eropa meningkat dari 59% pada periode tahun 1986-1988 (sebelum kesepakatan Putaran Uruguay) menjadi 84% pada periode tahun 1999-2001. Selain mengenakan tarif, mereka juga menerapkan kuota untuk membatasi volume impor (tariff rate quota).

Selain ‘subsidi dan tarif’ yang luar biasa tersebut, negara maju juga dengan sangat ‘cerdik’ menerapkan non-tariff barrier antara lain dengan berbagai peraturan, seperti: (i)White Paper on Food Safety fromUE, (ii) Biosecurity Act from Australia, (iii) Bioterorism Act from US, serta berbagai issu (iv) IPR, Lingkungan (CITES), GMO, Gender, HAM, pengelolaanSDG,dll. Langkah-langkah tersebut dilakukan oleh Negara maju dengan satu tujuan,melindungi peternak di dalamnegeri dari serbuan produk asing, sekaligus mengakselerasi ekspor karena kelebihan pasokan atau produk yang tidak laku dijual.

Dengan demikian kebijakan Pemerintah untuk mencegah masuknya daging ilegal, serta mencegah atau membatasi masuknya produk yang tidak terjamin ASUH terutama offal adalah sangat tepat. Kebijakan yang ada harus tetap dapat mengakomodasi kebutuhan daging kualitas tertentu bagi masyarakat golongan menengah-atas, melalui kebijakan tarif yang adil baik untuk impor daging atau sapi potong.

Populasi Indonesia yang berpenduduk sekitar 220 juta orang memerlukan ketersediaan pangan yang bermutu tinggi, halal dan aman dikonsumsi. Rataan konsumsi pangan hewani asal daging, telur dan susu untuk masyarakat Indonesia adalah 4,1 ; 1,8 dan 0,3 gram/kapita/hari. Konsumsi pangan asal hewani akan meningkat sejalan dengan membaiknya keadaan ekonomi masyarakat maupun meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi yang baik. Diantara jenis pangan hewani asal ternak, sejak tahun 1955 Indonesia sudah mampu berswasembada telur dan daging ayam, akan tetapi sampai dewasa ini Indonesia belum mampu untuk swasembada daging sapi dan susu.

Tercatat selama periode 2005-2008, sebagian besar bahan pangan nabati mengalami peningkatan produksi. Bahkan tahun 2008 melalui P2BN mampu meningkatkan produksi beras sebesar 3,09 juta ton GKG (5,41 % dibanding tahun 2007). Sumber protein hewani meningkat pesat, seperti: daging sapi 3.94%, daging ayam 16,08%, telur 7,7%, dan ikan 2,88%.
Tabel. Produksi Pangan Nasional 2005-2008
Komoditas Produksi Pangan (2005-2008)
2005 2006 2007 2008 2005 – 2008 2007 -2008
1. Padi 54.151 54.455 57.157 60.251 3,65 5,41
2. Jagung 12.524 11.609 13.288 16.324 10,00 22,85
3. Ubikayu 19.321 19.987 19.988 21.593 3,83 8,03
4. Kedelai 808 748 593 776 0,90 30,86
5. Gula 2.242 2.307 2.450 2.597 5,03 6,00
6. CPO 11.862 13.391 14.152 17.110 13,16 20,90
7. Daging 397 440 381 396 0,45 3,94

Tabel Produksi Daging di Indonesia
No Daging Produksi
1. Sapi 399,50 ribu ton
2. Kambing 76,87 ribu ton
3. Domba 98,10 ribu ton
4. Babi 226,51 ribu ton
5. Ayam Buras 320,00 ribu ton
6. Ayam Ras 1.338,00 ribu ton
7. Itik 28,00 ribu ton

Daging Sapi juga merupakan lima komoditas strategis yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai komoditas yang harus dapat dipenuhi oleh produksi lokal. Lima komoditas strategis tersebut yaitu padi, gula, kedelai, jagung, dan daging sapi. Diantara kelima komoditas tersebut yang telah mencapai swasembada adalah padi, gula industri dan jagung.

Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bakalan (cow-calf operation) sebagian besar (sekitar 99 %) dilakukan oleh peternakan rakyat dengan skala usaha yang relatif kecil. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan lainnya, sehingga fungsi sapi sangat komplek dalam menunjang kehidupan petani. Di Nusa Tenggara dan Sulawesi, sebagai wilayah sumber ternak, sapi dikembangkan secara ekstensif, yang pada musim kemarau sapi terlihat kurus dan banyak kematian, karena kekurangan pakan atau terserang penyakit.

Kecenderungan peningkatan impor daging (termasuk offal) dan sapi bakalan maupun sapi potong bukan semata-mata disebabkan karena senjang permintaan dan penawaran, tetapi juga disebabkan karena adanya kemudahan dalam pengadaan produk impor (volume, kredit, transportasi) serta harga produk yang memang relatif murah. Kondisi ini mengakibatkan peternak lokal tidak mampu bersaing dan kurang bergairah dalam mengelola usaha ternaknya, karena harga
daging (sapi potong) di pasar domestik menjadi tertekan (relative rendah/murah).

Beberapa tahun terakhir, kondisi pasar domestic semakin diperkeruh oleh masuknya daging impor ilegal, yang sebagian besar adalah ”jerohan” (offal) seperti jantung, ginjal, hati, paru, kikil, dan lain-lain, serta tidak/kurang terjamin dalam hal ASUH (aman, sehat, utuh dan halal). Namun keberhasilan dalam penanggulangan daging ilegal, yang dibarengi dengan naiknya harga sapi impor (sekitar Rp. 17.000-18.000/kg) akhir-akhir ini, telah merubah pola perdagangan sapi dan daging di Indonesia. Para pengusaha/ peternak penggemukan saat ini mulai bergairah kembali menjaring sapi lokal, bahkan kerbau, untuk digemukkan. Akibatnya harga sapi di tingkat peternak meningkat cukup signifikan, yang berkisar antara Rp. 14.000-16.000/kg.

Saat ini rata-rata konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih relatif rendah, yaitu sekitar 1,75 kg/kapita/tahun. Dengan jumlah penduduk tahun 2005 mencapai sekitar 220 juta jiwa, total kebutuhan daging sapi domestik berarti mencapai 384,81 ribu ton. Sementara itu, total produksi daging sapi dalam negeri hanya mencapai 271,84 ribu ton, sehingga masih ada kekurangan sekitar 112,97 ribu ton atau 29,36 persen dari total kebutuhan dalam negeri. Jika dalam 10 tahun mendatang rata-rata konsumsi daging sapi dapat mencapai 3 kg/kapita/tahun, sebagai akibat dari peningkatan pendapatan masyarakat, maka kebutuhan ternak sapi potong akan lebih tinggi lagi.

Potensi untuk usaha peternakan sapi potong di Indonesia sangat besar bila dilihat kemampuannya dalam penyediaan pakan. Saat ini masih tersedia kawasan perkebunan yang relatif kosong ternak, seluas lebih dari 15 juta hektar. Lahan sawah dan tegalan yang belum optimal dimanfaatkan untuk pengembangan ternak lebih dari 10 juta hektar (luas panen per tahun), serta lahan lain yang belum dimanfaatkan secara optimal lebih dari puluhan juta hektar
yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Setiap hektar kawasan perkebunan atau pertanian, sedikitnya mampu menyediakan bahan pakan untuk 1-2 ekor sapi, sepanjang tahun. Pengembangan usaha peternakan sapi potong untuk menghasilkan daging sapi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi domestik. Dengan mempertimbangkan asumsi peningkatan populasi ternak sapi potong (5,82 %/tahun), jumlah penduduk (1,49 %/tahun) dan konsumsi daging sapi per kapita (5,0 %/tahun), selama kurun waktu 5 tahun ke depan ketergantungan impor daging sapi diperkirakan dapat dikurangi. Hal ini memerlukan terobosan kebijakan untuk mendorong investasi, sehingga tidak menutup kemungkinan produksi daging sapi dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan domestic

Untuk mendukung strategi optimalisasi dalam rangka swasembada daging diperlukan investasi stakeholder baik itu pemerintah, swasta dan masyarakat pada usaha peternakan. Investasi tersebut antara lain:
1. Investasi pemerintah dalam agribisnis sapi mencakup beberapa aspek yaitu: (i) pelayanan kesehatan hewan, (ii) dukungan penyediaan bibit unggul, (iii) kegiatan penelitian, pengkajian dan pengembangan yang terkait dengan aspek pakan dan manajemen pemeliharaan, serta (iv) pengembangan kelembagaan untuk mempercepat arus informasi, promosi, pemasaran, permodalan, dll.
Kegiatan di sektor hulu yang tidak kalah pentingnya yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain: (i) penyediaan infrastruktur untuk memudahkan arus barang input-output serta pemasaran produk, (ii) ketersediaan laboratorium keswan, pakan dan reproduksi, (iii) penyiapan sarana air minum untuk musim kemarau di KTI serta (iv) penyiapan lahan usaha peternakan dan (v) penetapan tata ruang agar pengembangan ternak tidak terganggu oleh masalah keswan, sosial, hukum dan lingkungan.
Untuk mencapai swasembada daging 2014, pemerintah mengeluarkan kebijakan KUPS. KUPS merupakan skim kredit bersubsidi. Dalam program ini, peternak atau pelaku usaha yang mendapatkan kredit hanya membayar bunga sebesar 5% dari bunga komersial yang berlaku. Sisa bunga kredit komersial itu (8%-10%) akan dibayar pemerintah. Dengan sokongan KUPS, hitung-hitungan Deptan dapat menambah populasi sapi sebanyak 1 juta ekor hingga 2013, sehingga pada 2014 target swasembada daging bisa tercapai. Jumlah itu terdiri dari 80% atau 800.000 ekor adalah sapi potong dan 20%-nya atau 200.000 ekor sapi perah.
Saat ini usaha pembibitan sapi di tingkat peternakan rakyat berjalan sangat lambat. Perusahaan swasta juga belum banyak yang terjun ke usaha tersebut. Ini karena untuk mendapatkan kredit usaha dikenakan suku bunga komersial sebesar 13%-14%. Padahal, bunga sebesar itu sangat tidak layak bagi usaha pembibitan sapi Dengan keluarnya KUPS ini, pemerintah berharap target pemerintah untuk mencapai swasembada daging pada 2014 bisa tercapai. Selama lima tahun (2009-2013), diharapkan ada penumbuhan minimal 50 industri perbibitan swasta dan pusat pembibitan di masyarakat sebanyak 11.310 kelompok. Selain itu adanya peningkatan populasi sapi betina sebanyak 1,6 juta ekor dan memberikan lapangan kerja sekitar 514.000 orang.
Pada tahap awal nantinya pemerintah akan memfasilitasi kredit investasi bersubsidi (subsidi bunga) kepada pengusaha untuk pengadaan bibit sapi, baik yang siap atau sudah bunting. Kemudian sapi turunan hasil usaha pembibitan tersebut, terutama yang betina akan didistribusikan ke kelompok peternak binaan atau kemitraan. Sedangkan sapi jantan digunakan pengusaha untuk tujuan penggemukkan Deptan menargetkan 20-30 perusahaan dan 1.800 kelompok peternak yang akan mengikuti program ini dengan sejumlah kriteria. Pertama, memiliki potensi mengembangkan pembibitan ternak sapi. Kedua, bersedia melakukan program good breeding practice. Ketiga, bersedia mengembangkan program kredit bersubsidi. Keempat, mau melakukan kemitraan.
Kredit yang diberikan dipakai untuk membeli sapi betina produktif eks impor. Nantinya, hasil turunan sapi betina akan dibeli pemerintah untuk dibagikan secara bergulir kepada 1.100-1.1800 kelompok peternak pembibit untuk dikembangkan dengan pengembalian menggunakan pola tertentu.
Setiap kelompok akan memelihara 50 ekor sapi betina yang dilengkapi sebuah digester biogas (bernilai Rp30 juta) dan satu unit alat pengolah pupuk organik yang disediakan pemerintah untuk empat kelompok. Hal yang sama juga berlaku untuk perusahaan pembibitan.
Untuk skim kredit ini, perusahaan butuh dana sekitar Rp120 miliar (10.000 ekor x Rp12 juta/ekor) yang disediakan bank dengan bunga yang ditanggung pemerintah sekitar Rp9,6-12 miliar. Untuk melayani 20-30 perusahaan pembibitan, berarti bank akan menyediakan dana sekitar Rp2,4-3,6 triliun. Sementara subsidi bunga yang disediakan pemerintah berkisar antara Rp192 miliar sampai Rp360 miliar.
Sementara 1.100-1.800 kelompok peternak nantinya akan memanfaatkan sapi bibit komersial yang dihasilkan perusahaan dengan jumlah 55.000-83.400 ekor sapi betina umur 6 bulan. Dengan asumsi harga Rp6 juta/ekor, berarti pemerintah harus memasok dana Rp330 miliar sampai Rp500 miliar. Sedangkan untuk digester biogas, dengan asumsi Rp30 juta/unit, dana yang dibutuhkan pemerintah Rp33 miliar sampai Rp54 miliar, dan alat pengolah pupuk organik antara Rp8,25 miliar sampai Rp13,5 miliar (275-450 unit).

2. Investasi Swasta. Mengacu kepada karakteristik usaha ternak sapi dan kondisi riil yang dihadapi, maka strategi yang dinilai tepat adalah mendorong peran swasta, tetapi tetap memberi peran dan keterlibatan masyarakat peternak. Kombinasi pendekatan ini dinilai ideal, mengingat keterbatasan kemampuan peternakan rakyat dan juga kemungkinan resiko yang dihadapi oleh pihak swasta. Fakta riil di lapangan menunjukkan bahwa pihak swasta belum menunjukkan minat yang tinggi dalam pengembangan usaha cow-calf operation. Berkenaan dengan itu fasilitasi pemerintah masih sangat dibutuhkan, dan bahkan pemerintah secara aktif harus mengambil peran khusus dalam bidang investasi untuk mengembangkan usaha ini. Contoh kasus di Bengkulu yang mungkin dapat diacu yaitu, pekebun (plasma) dibantu perusahaan (inti) sebagai penjamin, memperoleh kredit pemilikan sapi dari penyandang dana (bank/investor), yang difasilitasi oleh kebijakan pemerintah.
Disamping dalam usaha produksi (budidaya), swasta dapat secara mandiri bergerak di sub sistem hulu (usaha penyediaan calon induk, pabrik pakan mini, dll) serta di hilir (industri pengolahan daging, susu, kulit, kompos dll.). Swasta juga diharapkan berperan dalam usaha ternak budidaya pola komersial secara kemitraan, dimana peternak menghasilkan sapi bakalan dan inti membeli untuk digemukkan atau langsung di pasarkan. Pola seperti ini mulai dikembangkan di Bengkulu dan Lampung, dimana peternak memperoleh kredit komersial namun cicilan bunga dapat dibayar dengan menyetorkan kompos (kotoran). Variasi dari pola kemitraan dan investasi dalam pengembangan sapi sistem integrasi mungkin cukup beragam, dan harus disesuaikan dengan kondisi setempat.
Untuk mencapai sasaran pengembangan ternak menuju kecukupan kebutuhan daging di dalam negeri pada lima tahun mendatang, diperlukan penambahan populasi induk sedikitnya 2,7 juta ekor, untuk menghasilkan anak 1,7 juta ekor/tahun, yang akan berdampak pada penambahan populasi sekitar 6 juta ekor. Bila rata-rata harga sapi sekitar Rp. 3,5 juta/ekor, maka total investasi yang diperlukan sedikitnya sekitar Rp. 20 triliun. Bila diasumsikan pemerintah akan berinvestasi sebesar 5-10%, masyarakat sebesar 60-70%, maka investasi swasta yang dibutuhkan sedikitnya sekitar Rp. 5-6 triliun. Peningkatan populasi sapi perah diperkirakan memerlukan investasi sebesar Rp. 4 triliun, sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Swasta akan tertarik pada usaha penyediaan bibit (eks-impor), penggemukan, pabrik pakan dan industri hilir yang membutuhkan padat modal dan perputaran uang yang cepat. Sebagai contoh di Serang, Banten, swasta telah memulai usaha penyediaan sapi calon induk dengan kapasitas 200 ekor/tahun. Investasi untuk menghasilkan 1.000 ekor betina bunting diperkirakan membutuhkan dana Rp. 10 miliar. Untuk usaha penggemukan, bila setiap hari akan menghasilkan sapi potong sebanyak 10 ekor dan lama penggemukan sekitar 80-120 hari, maka diperlukan fasilitas kandang dengan kapasitas 1.000 ekor. Usaha ini memerlukan investasi sedikitnya Rp. 7-8miliar.

Perkiraan kebutuhan investasi agribisnis ternak sapi

3. Investasi Masyarakat. Bila kebutuhan investasi masyarakat diharapkan sekitar 60-70% untuk mencapai sasaran pengembangan ternak sapi, maka sedikitnya diperlukan investasi sekitar Rp.12-14 triliun dari masyarakat atau peternak kecil. Namun sebagian besar investasi tersebut tidak sepenuhnya berupa uang tunai, tetapi berupa apa saja yang dikaitkan dengan usaha cow-calf operation. Sumber pembiayaan investasi masyarakat dapat berasal dari aset yang telah mereka miliki (lahan, SDM dll.), pinjaman dari lembaga keuangan formal, lembaga keuangan pedesaan, bantuan keluarga, atau sumber-sumber lainnya.
Untuk mengusahakan cow-calf operation dengan pola kelompok skala 1.000 ekor induk, diperlukan dana sekitar Rp. 5-6 miliar, tergantung ketersediaan fasilitas pendukung yang telah dimilki. Jumlah ini sudah meliputi pengadaan sapi muda, kandang dan perlengkapan lainnya. Dalam hal ini diperlukan sekitar 2 ribu kelompok peternak yang masing-masing dengan skala usaha 1.000 ekor induk. Bila setiap anggota dalam kelompok memiliki rata-rata 10 ekor induk, maka investasi ini akan menciptakan lapangan kerja sedikitnya sebanyak 200.000 peternak (belum termasuk tenaga kerja yang terlibat dalam investasi swasta dan pemerintah). Untuk usaha sapi perah dengan skala 100 ekor betina produktif diperlukan investasi sekitar Rp. 1-1,5 miliar, yang akan menyerap tenaga kerja sedikitnya 10 orang. Bila akan ada penambahan sapi perah sampai 100.000 ekor maka sedikitnya akan menciptakan lapangan kerja baru dalam kegiatan budidaya sekitar 10.000 orang. Lapangan kerja yang tercipta untuk kegiatan hulu dan hilir diperkirakan sekitar satu juta orang.

Keberhasilan revitalisasi agribisnis sapi melalui pengembangan program investasi dengan melibatkan peran pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak akan sangat ditentukan oleh dukungan kebijakan strategis pengembangan yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis, yaitu kebijakan pasar input, budidaya, dan pemasaran/perdagangan.
1. Pemasaran/perdagangan (pasar output) akan memegang peranan kunci.
Keberhasilan kebijakan pasar output akan memberi dampak langsung terhadap bagian harga dan pendapatan yang diterima pelaku agribisnis (swasta dan peternak) yang pada akhirnya akan memantapkan proses adopsi teknologi, peningkatan produktivitas, dan pada akhirnya menjamin keberkelanjutan investasi ke depan.
2. Peningkatan penyediaan dan aksesibilitas kredit perbankan (bagi swasta) dan kredit program (bagi peternak plasma) dengan tingkat bunga maksimum 6 %/tahun. Tingkat suku bunga 6 %/tahun ini dinilai cukup memadai, khususnya bagi usaha cow-calf operation (output sapi bakalan) dengan masa investasi yang relatif lama dan tingkat keuntungan yang relative marginal. Skim kredit investasi bagi peternak tetap perlu difasilitasi dengan pendampingan teknologi, manajemen usaha, dan pembinaan kemandirian kelompok peternak
3. Pengendalian impor daging yang legal dan ASUH, sapi bakalan dan pemotongan sapi betina produktif hendaknya mempertimbangkan beberapa aspek seperti pencegahan pengurasan populasi, kemampuan produksi dalam negeri (termasuk keberhasilan program investasi), insentif perdagangan ternak sapi antar pulau, dengan kinerja pengembangan usaha pembibitan dalamnegeri.
4. Pengembangan bahan baku pakan yang tersedia secara lokal di daerah sentra produksi juga sangat diperlukan, sehingga dapat menekan biaya produksi. Kebijakan yang terkait dengan pengadaan pakan ini adalah pengembangan usaha peternakan terintegrasi (crop livestock system), pengembangan peternakan sapi tipe dwiguna (peningkatan produksi susu) di kawasan pertanian intensif, atau kemungkinan substitusi sapi dengan kerbau di kawasan yang memiliki adaptasi/agroekosistem yang sesuai. Oleh karena itu kebijakan ekspor bahan pakan harus benar-benar memperhatikan kebutuhan pakan di dalam negeri, antara lain melalui penetapan tarif ekspor atau insentif tertentu.
5. Penguatan kelembagaan di tingkat peternak (kemandirian kelompok dan pemasaran bersama) disertai dengan pengembangan infrastruktur pemasaran dan kelembagaan informasi pasar sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemasaran dan akhirnya meningkatkanbagian hargayangditerima peternak.
6. Memperjuangkan daging sapi sebagai spesifik produk yang dinilai sangat strategis dalam mendorong pembangunan pertanian dan pedesaan, penyerapan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan, pembangunan rural livelihood, dengan penguatan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri. Perjuangan ini perlu dikomplemen dengan perjuangan untuk mendapatkan perlakuan SSM (special safeguard mechanism) sehingga terdapat fleksibilitas dalampembatasan impor ketikaterjadi banjir impordanharga jatuh.
7. Promosi untuk mengkonsumsi dan mencintai produk dalam negeri yang dijamin ASUH akan sangat membantu pengembangan agribisnis sapi di Indonesia.
8. Dalam hal budidaya, perlu dukungan kebijakan yang terus menerus tentang pentingnya usaha sapi pola integrasi (CLS), agardiperoleh sinergi dengan usaha pertanian lainnya. Langkah ini merupakan awal untuk merebut pasar global, karena saat ini Indonesia merupakan negara yang bebas PMK (bersama Australia, New Zealand, dan Amerika Utara), dan BSE, sehingga produknya dapat dipasarkan ke seluruh dunia.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button