Sejarah Pengelolaan Tambang atau Mines Management History

Menurut catatan Sejarah, penambangan di Nusantara dimulai oleh orang Hindu dan Cina perantauan ratusan tahun yang lalu. Penduduk asli Nusantara atau pribumi memilih bertani daripada bekerja ditambang karena dianggap berisiko dan bersifat untung-untungan. Beberapa pengamat pertambangan di Indonesia mencatat pertambangan emas telah mulai diusahakan di lndonesia sejak tahun 700 SM (Sigit, 2004).

A. Zaman VOC 1619 – 1799
Di zaman Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Belanda melakukan aktifitas tambang karena terdesak oleh kebutuhan pembuatan mata uangnya yang terbuat dari perak. Penambangan pertama yang dilakukan yaitu penambangan perak di Salida, Sumatera Barat. Namun karena penjajah Belanda ketika itu belum memiliki kemampuan menambang, maka pada tahun 1669, VOC mendatangkan ahli tambang dari daerah Harz, Jerman dan budak belian dari Madagaskar untuk membuka dan menjalankan aktifitas tambangnya (Sigit, 1995)

Selain di Sumatera Barat, VOC juga melakukan perdagangan tambang di Sumatera Selatan. Sekitar tahun 1710 VOC melakukan transaksi pembelian timah dari Sultan Palembang. Timah berasal dari perdagangan tambang yang dilakukan oleh orang-orang Cina di pulau Bangka. VOC memperoleh hak monopoli atas perdagangan timah karena peranan mereka sebagai tengkulak dan tidak berminat melakukan kegiatan penambangan sendiri.

B. Perkembangan Selama Periode 1942 – 1949
Dibandingkan dengan eksplorasi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sebelumnya, eksplorasi oleh pasukan Jepang yang hanya berselang tiga tahun terbilang cepat. Kegiatan eksplorasi menghasilkan beberapa temuan barang tambang baru dan sejumlah tambang batubara baru telah dibuka. Diusahakan pula untuk mencari dan membuka tambang tembaga, bijih besi, sinabar, bijih mangaan dan bauksit. Semangat untuk memenangkan perang di Asia Pasific yang mendorong Jepang melakukannya. Sehingga seluruh bahan tambang diarahkan untuk aktifitas perang. Pada Agustus 1945 ketika Bom Hiroshima dan Nagasaki dijatuhkan, Jepang menyerah pada sekutu dan Perang Asia-Pasifik berakhir. Setelah penjajahan Jepang berakhir, Belanda bersama sekutu kembali ke Indonesia.

C. Perkembangan Selama Periode 1950-1966
Perkembangan aktifitas pertambangan di lndonesia periode 1950-1966 tidak banyak mengalami perubahan. Era kepemimpinan Soekarno yang anti penjajahan berpengaruh terhadap aktifitas pertambangan. Bung Karno menyatakan tidak akan memberikan kekayaan Indonesia kecuali kepada sumber daya manusia Indonesia. Apabila manusia Indonesia sudah mampu mengolah sumber daya alamnya sendiri, ketika itu pertambangan akan digalakkan. Tentunya pada era kemerdekaan, sumberdaya manusia Indonesia belum siap mengelola pertambangan dan disisi lain teknologi pertambangan belum berkembang dan masih dikuasai oleh Negara-negara penjajah.

Di saat lndonesia berupaya menjaga kedaulutan kekayaan alamnya tahun 1950-an sampai pertengahan 1960-an , diberbagai bagian dunia lainnya berlangsung, mineral exploration boom yang menghasilkan temuan cadangan-cadangan bauksit, bijih besi, mangaan, tembaga, dan bahan tambang lainnya yang berukuran besar. Perang dingin antara AS dan Uni Sovyet meningkatkan permintaan dunia akan berbagai bahan tambang untuk kebutuhan persediaan senjata. Perang yang dikobarkan kedua Negara adidaya tersebut diberbagai belahan dunia memicu peningkatan mineral tambang.

D. Kebangkitan lndustri Pertambangan di lndonesia 1966 – 1998
Setelah Soekarno jatuh, dan digantikan oleh rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Tidak lama berselang, terbit Undang-Undang 1967 tentang Penanaman Modal Asing. UU no 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing menjadi tonggak awal bagi masuknya modal asing dalam pertambangan. Kemudian Undang-undang nomor 6 tahun 1968 mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri pasal 3 ayat 1 sudah mengizinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Perusahaan pertambangan luar negeri yang telah membuat sejarah sebagai perusahaan yang mendapatkan KK pertambangan dan juga sebagai pemodal asing pertama yang masuk ke lndonesia adalah PT. Freeport lndonesia Inc dari Amerika. Menyusul kemudian dalam kurun waktu 1968-1972, 16 perusahaan pertambangan luar negeri seperti ALCOA, Billton Mij, INCO, Kennecott, US Steel, dsb. Dapat dikatakan sejak saat itu konsep kontrak karya sebagai suatu produk hukum pertambangan yang di tawarkan lndonesia kepada investor asing dapat diterima kalangan pertambangan internasional.

Terbukanya peluang investasi asing dibidang tambang merupakan sebuah gejala awal kerusakan lingkungan di Indonesia. Pembukaan tambang Freeport di Papua menyebabkan kerusakan lingkungan disekitar Papua, hutan di konversi menjadi tempat eksploitasi tambang dan permukiman penambang. Sungai tercemar karena kurang lebih 300 ribu ton/hari limbah tailing dibuang dari proses pertambangan. Belum lagi konflik social dengan masyarakat sekitar tambang seperti suku Amungme, Kamoro dan berbagai suku lainnya. Masyarakat Papua yang pekerjaannya mencari hasil hutan di sekitar Freeport dapat dihukum dan ditembak apabila mendekati pertambangan.

Jumlah produksi tambang pada periode 1967-1995 jauh lebih besar, sehingga periode ini merupakan awal kebangkitan pertambangan Indonesia. Jika dahulu Indonesia hanya dikenal sebagai penghasil timah nomor 3 dan nomor 2 di dunia, kini peringkat lndonesia dalam pertambangan dunia jauh meningkat. Selain sebagai penghasil timah terkemuka, lndonesia sekarang tercatat sebagai pengekspor batubara nomor 3, penghasil nikel nomor 5 dan penghasil emas nomor 9 di dunia. Di samping itu, mulai tahun 1997 PT. Freeport Indonesia menjadi penghasil tembaga nomor 2 di dunia.

E. Era Otonomi Daerah di lndonesia 1998 – 2013
Menurut catatan Indonesia Minning Association, Indonesia memiliki kekayaan tambang yang besar, antara lain:
• Timah terbesar kedua di dunia
• Tembaga terbesar keempat di dunia
• Nikel terbesar kelima di dunia
• Emas terbesar ketujuh di dunia.
• Kandungan minyak bumi dengan kualitas terbaik di dunia, begitu juga dengan Batubara (IMA,2009)

Otonomi daerah merupakan landasan baru bagi penyusunan kebijakan pertambangan nasional. Sebelum UU No.25/1999, sudah ada iuran pertambangan berupa iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) dan iuran tetap (land-rent) bumi yang dibagihasilkan ke daerah. Sesuai dengan PP No.32/1969, bagian pemerintah pusat 30% dan daerah 70% dari total iuran pertambangan. Bahkan berdasarkan PP No.79/1992, bagian porsi daerah menjadi 80%. Perinciannya, propinsi 16% dan daerah tingkat II 64%.

Selain permasalahan otonomi daerah, masalah konflik social juga kerap terjadi di era reformasi. Masyarakat lokal tentu berharap investasi di wilayahnya akan memberikan keuntungan langsung dan dirasakan manfaatnya. Selama orde baru, masyarakat local ditekan dan diintimidasi oleh penguasa dan militer, sehingga ketika era keterbukaan masyarakat menumpahkan kekesalan selama ini kepada perusahaan tambang. Kebanyakan masyarakat hanya dapat melihat aktivitas penambangan, dan menerima dampak lingkungan dari operasi pertambangan padahal tanah yang digunakan untuk pertambangan merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang mereka.

Harapan akan peningkatan kesejahteraan pada otonomi daerah semakin sirna. Sebagian besar pemerintah daerah justru melahirkan raja-raja kecil, dinasti politik baru, eksploitasi yang semakin besar terhadap sumber daya alam, dan kerusakan lingkungan yang makin parah. Perlu ada upaya antisipasi agar kerusakan lingkungan tidak semakin besar di era otonomi daerah. Masyarakat perlu diberdayakan agar sadar terhadap hak dan kewajibannya, melakukan aktifitas yang mencegah kerusakan lingkungan, mengawasi pelaksanaan pembangunan agar selaras dengan lingkungan dan ikut terlibat pada akifitas pengelolaan lingkungan.

Exit mobile version