Definisi Narkoba
Secara etimologi narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narkoum artinya membuat lumpuh atau membuat mati rasa. Secara therminologi narkotika yang bahasa inggrisnya disebut “narcotik” adalah semua bahan obat yang mempunyai efek kerja pada umumnya bersifat:
• Membius (menurunkan kesadaran);
• Merangsang (meningkatkan semangat kegiatan/aktifitas);
• Ketagihan (ketergantungan, mengikat, dependence);
• Menimbulkan daya khayal (halusinasi);
Narkotika menurut Undang-Undang narkotika No. 9 tahun 1976 adalah; Ganja, Opioida, Kokain. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.
Narkoba adalah singkatan Narkotika dan Obat/Bahan berbahaya. Istilah ini sangat populer di masyarakat termasuk media massa dan aparat penegak hukum yang sebetulnya mempunyai makna yang sama dengan NAPZA. Ada juga menggunakan istilah Madat untuk NAPZA. Tetapi istilah Madat tidak disarankan karena hanya berkaitan dengan satu jenis Narkotika saja, yaitu turunan Opium.
2.2 Penyalahgunaan Narkoba
1. Kondisi Penyalahgunaan Narkoba.
a. Besar Penyalahgunaan Narkoba
Dari 13.710 responden di 26 ibukota propinsi dalam setahun terakhir yang menggunakan narkoba adalah 3,9% atau dengan kata lain 4 dari 100 responden adalah penyalahguna narkoba. Jika mengacu pada kategori pernah menyalahgunakan narkoba terdapat 5,8% responden pernah menyalahgunakan narkoba, atau dengan kata lain 6 dari 100 responden pernah menyalahgunakan narkoba.
b. Sebaran Penyalahgunaan Narkoba per Ibukota Propinsi
Secara Nasional
1) Wilayah-wilayah ibukota Propinsi yang memiliki besaran persentase responden penyalahgunaan narkoba dalam satu tahun terakhir yang paling tinggi secara berturut-turut adalah Jakarta (23%), Medan (15%), dan Bandung (14%)
2) Menurut ibukota propinsi yang memiliki persentase penyalahguna narkoba yang relatif besar dalam satu tahun terakhir adalah; Medan (6,4%), Surabaya (6,3%), Maluku Utara (5,9%), Padang (5,5%), Bandung (5,1%), Kendari (5%), Banjarmasin (4,3%), Palu (8,4%), Yogyakarta (4,1%), dan Pontianak (4,1%).
c. Jenis Narkoba dan Kecenderungan Penyalahgunaan
1) Ganja merupakan jenis narkoba yang paling disalahgunakan (74,9%), obat penenang (32,5%), ekstasi (25,7%) dan amfetamin (21,5%).
2) Dalam kelompok responden yang menggunakan ganja 1-2 kali dalam setahun terakhir mencapai 27,2%, sedangkan yang menggunakan hingga lebih dari 40 kali mencapai 5,2%.
2. Faktor-faktor yang terkait dengan Penyalahgunaan Narkoba
a. Kelompok Usia
Pola penyalahgunaan narkoba dalam variasi kelompok usia adalah; di atas 25 tahun (20%), kelompok usia 21-25 tahun (12,3%), dan kelompok usia di bawah 21 tahun proporsinya lebih kecil yakni 7,7%. Ada kecenderungan bahwa usia pertamakali penyalahguna narkoba semakin dini, dalam penelitian usia pertama kali penyalahgunaan narkoba dimulai saat usia 7 tahun.
b. Kelompok Jenis Kelamin.
Kelompok responden laki-laki yang menyalahgunakan narkoba sebanyak 7,2% sedangkan responden perempuan 1,1%.
c. Tingkat Pendidikan
Kelompok responden dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi memiliki proporsi penyalahgunaan narkoba (9,9%), tingkat SMU/SLTA (4,8%), dan SLTP (1,4%)
d. Karakteristik Ekonomi Keluarga
Masalah penyalahgunaan narkoba tidak ada kaitannya dengan latar belakang kondisi ekonomi keluarga responden. Kondisi tersebut terkait dengan harga komoditi yang cukup bervariasi.
e. Kondisi Keluarga dan Sosialisasi
Penyalahguna narkoba cenderung terjadi pada :
1) Kelompok responden yang orang tuanya berpisah, tetapi belum cerai (12,9%)
2) Kelompok responden yang tidak pernah berbincang-bincang dengan orang tua mereka.
3) Responden yang tidak tinggal bersama keluarga sedikit lebih banyak dari pada yang tinggal dengan keluarga.
4) Kelompok responden yang sebagian anggota keluarganya mempunyai kebiasaan merokok.
5) Kelompok responden yang semua anggota keluarganya mempunyai kebiasaan minum-minuman keras.
6) Kelompok responden yang anggota keluarganya mempunyai kebiayaan pergi ke tempat hiburan.
7) Dikalangan responden yang semua anggota keluarganya memiliki kebiasaan menyalahgunakan narkoba, banyaknya responden yang pernah menyalahgunakan narkoba mencapai 57,1%
3. Pola Sosialisasi Lingkungan Pertemanan.
Data hasil survei memperlihatkan suatu kaitan yang lebih signifikan antara faktor sosialisasi dalam lingkungan teman sepergaulan yang menyalahgunakan narkoba dengan penyalahgunaan narkoba dibandingkan faktor-faktor kondisi dan sosialisasi keluarga.
a. Pada kelompok responden yang semua teman bergaulnya mempunyai kebiasaan merokok, 24,9% di antara responden pernah menyalahgunakan narkoba.
b. Pada kelompok responden yang seluruh teman bergaulnya mempunyai kebiasaan minum minuman keras, persentase penyalahguna narkoba sebanyak 38,1%
c. Semakin sedikit jumlah teman bergaul responden yang mempunyai kebiasaan pergi ke tempat hiburan, semakin kecil pula persentase responden yang pernah menyalahgunakan narkoba
d. Semakin kecil jumlah teman responden yang menyalahgunakan narkoba, semakin sedikit pula persentase responden yang menyalahgunakan narkoba.
e. Kecenderungan penyalahguna narkoba untuk membolos relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok responden yang tidak menggunakan narkoba.
f. Terdapat hubungan signifikan antara penyalahgunaan narkoba dengan kebiasaan merokok dan meminum-minuman keras. Kondisi ini menunjukkan bahwa resiko penyalahgunaan narkoba lebih cenderung terjadi di kalangan pelajar/mahasiswa yang memiliki kebiasaan merokok atau meminum-minuman beralkohol.
g. Peningkatan kecenderungan pernah menggunakan narkoba semakin tinggi, manakala frekuensi pernah meminum-minuman keras mencapai di atas 40 kali, persentase menjadi 73,1%.
4. Upaya Menghentikan Penyalahgunaan Narkoba.
a. Pada dasarnya upaya untuk menghentikan penyalahgunaan narkoba sejak pertama kali mencoba di kalangan responden relatif lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tetap melanjutkan (48,6% berbanding 51,4%). Kondisi ini cenderung dipengaruhi oleh jenis narkoba yang pertama digunakan dan alasan pertama menggunakan narkoba.
b. Berbagai jenis narkoba pertama kali yang dikonsumsikan oleh responden yang cenderung terus melanjutkan penyalahgunaan dimulai dari urutan persentase terbesar, yaitu : codein 100%, heroin 72,7%, ekstasi 58,6%, ganja 56,3%, amphetamine 52,4% dan pil penenang 51,8%.
5. Pola Peredaran Gelap Narkoba
a. Pola peredaran gelap narkoba umumnya bermula melalui jaringan teman-teman sepergaulan, dalam hal ini, teman-teman sepergaulan yang berperan pula sebagai pengedar, terlebih-lebih bila lingkungan pergaulan tersebut telah terlibat penyalahgunaan narkoba.
b. Pola peredaran gelap narkoba di kota-kota besar tertentu (Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang) cenderung dilakukan melalui sistim jaringan peredaran gelap yang lebih kompleks dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia.
c. Ganja senantiasa dapat diperoleh dengan mudah melalui jaringan peredaran gelap narkoba di seluruh ibukota propinsi Indonesia.
d. Khusus jaringan peredaran gelap narkoba di Propinsi Papua, kenyataannya di kota Jayapura berkaitan serta merupakan bagian dari sistim jaringan peredaran gelap narkoba di wilayah negara Papua Nugini
2.3 Sebab-Sebab Terjadinya Penyalahgunaan Narkotika
Kenyataan menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika tidak saja terbatas pada kaum remaja tetapi juga orang-orang dewasa dan lanjut usia. Seorang psykhiater terkenal Dr. Graham Blaine, menyebutkan bahwa terdapat banyak alasan / latar belakang pengguna narkotik yang dapat menjadi kebiasaan yang menonjol ialah :
a. Dikalangan remaja
• Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya seperti : ngebut, berkelahi, bergaul dengan wanita dsb;
• Untuk menentang atau melawan suatu otoritas (orang tua / guru);
• Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan sex menyimpang;
• Untuk melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;
• Untuk berusaha agar menemukan arti dari hidup di dunia ini;
• Untuk mengisi kekosongan dan perasaan bosan karena tidak mempunyai aktifitas yang cukup dan positif;
• Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebababkan adanya problematika kehidupan yang tidak kunjung dapat teratasi;
• Untuk mengikuti kemauan teman dan memupuk rasa solidaritas sesama kawan;
• Karena didorong rasa ingin tahu lalu melakukannya secara iseng
b. Di kalangan orang dewasa
1) Penyakit Kronis
Pengidap penyakit atau gangguan jasmaniah yang kronis sehingga membutuhkan obat-obatan yang dapat untuk sementara menghilangkan rasa sakit atau nyeri yang dideritanya.
2) Kebiasaan
Selain hal di atas, tidak sedikit orang dewasa yang mengkonsumsi obat bius karena suatu kebiasaan (habitual). Mula-mula mungkin karena sakit. Tetapi setelah penyakitnya sembuh ia tetap mengkonsumsi obat dengan alasan agar penyakitnya tidak kambuh lagi atau ia merasa tidak enak badan jika pemakaian obat itu di hentikan.
3) Frustasi
Orang yang merasa tidak sangup mengatasi problem berat yang sedang dialami dapat terjerumus pada pilihan membius diri dengan bahan narkotik sebagai pelarian.
4) Doping dikalangan olah ragawan
Terdapat usaha untuk meningkatkan prestasi di kalangan olahragawan dengan cara merangsang perkembangan otot dengan mempergunakan obat-obatan stimulants.
2.4 Tahapan Penyalahgunaan Napza
1. Eksperimental : Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari remaja. Sesuai kebutuhan pada masa tumbuh kembangnya, ia biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering pula dikatakan taraf coba-coba.
2. Rekreasional : Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan dengan teman sebaya. misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-temannya.
3. Situasional : Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang konflik stress dan frustasi.
4. Penyalahgunaan : Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial : pendidikan dan pekerjaan.
5. Ketergantungan : Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis.
6. Toleransi dan Syndroma putus zat ; Suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin, pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan.
7. Sedangkan Toleransi; suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya.
Ada tiga mekanisme pertahanan mental yang biasanya muncul pada diri pecandu:
• Denial, atau penyangkalan. Biasanya dalam diri manusia sering timbul penyangkalan-penyangkalan terhadap suatu keadaan atau fakta yang menimbulkan ketidaknyamanan. Pada pecandu ‘denial’ timbul karena dia tidak mau melepaskan zat ‘kesayangannya’ atau penyangkalan terhadap perilaku adiksinya.
• Rasionalisasi, kalimat yang biasa keluar dari mulut pecandu ialah “Nggak separah itu kok” atau “Saya akan segera berhenti, kan saya sudah ke dokter ahli itu.” Kalimat-kalimat tersebut merupakan tanda dari aktifnya mekanisme rasionalisasi tersebut.
• Proyeksi, mekanisme yang paling sulit untuk dikenali, terutama bagi para pendamping atau konselor yang belum berpengalaman dalam mengenal perilaku adiksi. Biasanya kalimat yang muncul adalah “Ini gara-gara hal itu sih maka gue pake narkoba” atau “Daripada gue dicurigain terus, sekalian aja gue pake.” Jadi proyeksi adalah suatu mekanisme yang biasa digunakan para pecandu untuk ‘menggeser’ persoalan atau ‘memindahkan’ kesalahan ke arah lain atau ke orang lain.
Harap diingat bahwa setiap orang mempunyai mekanisme pertahanan mental masing-masing, tetapi pada orang-orang yang tidak mempunyai perilaku adiksi, penggunaan mekanisme pertahanan mental itu masih dalam batas normal, sementara penggunaannya pada pecandu menyulitkan proses pulih dari adiksinya. Para penolong juga akan berhadapan dengan keluarga pecandu, yang biasanya sudah berperilaku sama dengan pecandu, biasa disebut sebagai co-dependency. Perbedaannya keluarga tidak menggunakan atau melakukan hal-hal yang dilakukan si pecandu.
2.5 Faktor Pendukung Terjadinya Gangguan Penggunaan Napza
1. Faktor Biologis/Genetik/Tendensi keturunan
Metabolik : Etil alkohol bila dimetabolisme lebih lama lebih efisien untuk mengurangi individu menjadi ketergantungan. Infeksi pada organ otak : intelegensi menjadi rendah (retardasi mental, misalnya ensefhalitis, meningitis). Penyakit khronis : kanker, Asthma bronchiale, penyakit menahun lainnya
2. Faktor psikologis. Tipe kepribadian (dependen, ansietas, depresi, anti social). Harga diri yang rendah : depresi terutama karena kondisi sosial ekonomi, pada penyalahgunaan alkohol, sedatif hipnotik yang mencapai ingkat ketergantungan diikuti rasa bersalah. Disfungsi keluarga : kondisi keluarga yang tidak stabil, role model (ketauladanan) yang negatif, tidak terbina saling percaya antar anggota keluarga, keluarga yang tidak mampu memberikan pendidikan yang sehat pada anggota, orang tua dengan gangguan penggunaan zat adiktif, perceraian. Individu yang mempunyai perasaan tidak aman. Cara pemecahan masalah individu yang menyimpang. Individu yang mengalami krisis identitas dan kecederungan untuk mempraktekkan homoseksual, krisis identitas. Rasa bermusuhan dengan keluarga atau dengan orang tua.
3. Faktor Sosial Kultural. Masyarakat yang ambivalensi tentang penggunaan zat seperti : tembakau, nikotine, ganja dan alcohol norma kebudayaan ; pada suku bangsa tertentu ; menggunakan halusinogen, alcohol untuk upacara adat dan keagamaan. Lingkungan tempat tinggal, sekolah, teman sebaya banyak mengedarkan dan menggunakan zat adiktif. Penerimaan masyarakat terhadap penggunaan zat adiktif, Remaja yang lari dari rumah, Penyimpangan seksual pada usia dini, Perilaku tindak kriminal pada usia dini, misalnya mencuri, merampok dalam komunitas, Kehidupan beragama yang kurang
2.5.1 Stressor Pencetus Gangguan Penggunaan Zat
Stressor dalam kehidupan merupakan kondisi pencetus terjadinya gangguan penggunaan zat adiktif bagi seseorang atau remaja, menggunakan zat merupakan cara untuk mengatasi stress yang dialami dalam kehidupannya . Beberapa stressor pencetus adalah :
– Pernyataan dan tuntutan untuk mandiri dan membutuhkan teman sebaya sebagai pengakuan
– Reaksi sebagai cara untuk mencari kesenangan, Individu berupaya untuk menghindari rasa sakit dan mencari kesenangan, relaks agar lebih menimati hubungan interpersonal.
– Kehilangan orang atau sesuatu yang berarti ; pacar, orang tua, sauadara, drop out dari sekolah, pekerjaan.
– Diasingkan oleh lingkungan, rumah, sekolah, kelompok teman sebaya, sehingga tidak mempunyai teman
– Kompleksitas dan ketegangan dari kehidupan modern
– Tersedianya zat adiktif di lingkungan dimana seseorang berada khususnya pada individu yang mengalami pengalaman kecanduan zat adiktif
– Pengaruh dan tekanan teman sebaya (diajak, dibujuk, diancam)
– Kemudahan mendapatkan zat adiktif dan harganya terjangkau
– Pengaruh film dan iklan tentang zat adiktif seperti : alkohol, nikotine
– Pesan dari masyarakat bahwa penggunaan zart adiktif dapat menyelesaikan masalah
2.5.2 Masalah Kesehatan Yang Timbul Akibat Penggunaan Zat Adiktif
– Depresi sistem pernafasan
– Depresi pusat pengatur kesadaran ; pre coma, coma, amuk, akibat intoksikasi
– Gangguan keseimbanagan cairan dan elektrolit akibat dellirium tremens
– Kecemasan yang berat sampai panik
– Potensial mencedarai diri, merusak diri dan lingkungan
– Perilaku agresif
– Depresi pusat pengatur komunikasi verbal
– Gangguan kognitif ; daya ingat, daya nilai, proses pikiran (waham), gangguan konsentrasi
– Gangguan pencernaan nausea, vomitus
– Gangguan sistem neurologis; kejang,
– Gangguan persefsi , halusinasi
– Gangguan pola tidur dan istirahat
– Gangguan sistem muskuloskeletal; nyeri sendi, otot dan tulang
– Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
– Gangguan konsep diri harga diri rendah akibat pemecahan masalah yng tidak efektif
2.5.3 Gangguan Penggunaan Zat Psikoaktif
a. Fisik :
Data fisik yang mungkin ditemukan pada klien dengan penggunaaan NAPZA pada saat pengkajian adalah sebagai berikut : Nyeri, gangguan pola tidur, menurunnya selera makan, konstipasi, diarhe, perilaku sek melanggar norma, kemunduran dalam kebersihan diri, potensial komplikasi , jantung, hati dsb. infeksi pada paru-paru. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk teratur dalam pola hidupnya.
b. Emosional
Persaan gelisah (takut kalau diketahui), tidak percaya diri, curiga dan tidak berdaya. Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk mengontrol dan mengendalikan diri sendiri.
c. Sosial
Lingkungan sosial yang biasa akrab dengan klien biasanya adalah teman pengguna zat, anggota keluarga lain pengguna zat lingkungan sekolah atau kampus yang digunakan oleh para pengedar,
d. Intelektual
Pikiran yang selalu ingin menggunakan zat adikitif, perasaan ragu untuk berhenti, aktivitas sekolah atau kuliah menurun sampai berhenti, pekerjaan terhenti. Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk konsentrasi dan meningkatkan daya pikir ke hal-hal yang posistif.
e. Spiritual
Kegiatan keagamaan tidak ada, nilai-nilai kebaikan ditinggalkan karena perubahan perilaku (tidak jujur, mencuri, mengancam dan lain-lain). Sasaran yang ingin dicapai adalah mampu meningkatkan ibadah , pelaksanaan nilai-nilai kebaikan.
f. Keluarga
Ketakutan akan perilaku klien, malu pada masyarakat, penghamburan dan pengurasan secara ekonomi oleh klien, komunikasi dan pola asuh tidak efektif, dukungan moril terhadap klien tidak terpenuhi. Sasaran yang hendak dicapai adalah keluarga mampu merawat klien yang pada akhirnya mencapai tujuan utama yaitu mengantisipasi terjadinya kekambuhan (relaps)
Hasil Survei Badan Narkoba Nasional (BNN) tahun 2005 terhadap 13.710 responden di kalangan pelajar dan mahasiswa menunjukkan penyalahgunaan narkoba usia termuda 7 tahun dan rata-rata pada usia 10 tahun. Survei dari BNN ini memperkuat hasil penelitian Prof. Dr. Dadang Hawari pada tahun 1991 yang menyatakan bahwa 97% pemakai narkoba adalah para remaja.
Ada dua alasan mengapa kita perlu memperhatikan masalah penyalahgunaan narkoba khususnya dikalangan remaja. Pertama, karena narkoba dapat merusak kesehatan remaja kita. Remaja yang kecanduan narkoba akan mengalami kemunduran fungsi organ tubuh dan system kekebalannya. Daya pikir sangat berkurang, kehilangan minat / semangat untuk melakukan mengikuti pelajaran sehingga prestasi belajarnya akan terus menurun. Bahkan bila tingkatannya sudah sangat tinggi, bila mereka berumah tangga kelak keturunannya bisa menjadi anak idiot ataupun perkembangan jiwanya terbelakang, mendekati debil dan embisil karena sistem sarafnya terganggu.
Kedua, penyalahgunaan narkoba telah menyeret remaja pada perbuatan buruk lainnya tanpa memikirkan dampaknya lebih jauh. Karena terdorong oleh kenikmatan yang sebenarnya semu sebagai efek sesaat penggunaan narkoba segera setelah merasuk ke tubuhnya, sang remaja akan terus berupaya mendapatkan barang tersebut bagaimanapun caranya. Tidak peduli harus menipu, mencuri, mengompas, merampok atau bahkan dengan membunuh sekalipun. Bahkan untuk remaja putri akan dengan mudah menyerahkan keperawanan dan tubuhnya untuk “disantap” pria hidung belang atau teman sejawatnya sekedar guna mendapatkan barang haram tersebut.
Dalam penelitian Dadang Hawari dalam bukunya Sudiro, Islam melawan Narkoba mengatakan ada lima factor pemicu penyalagunaan narkoba dikalangan generasi muda:
1. Factor kepribadian seseorang (antisocial atau psikopat)
2. Kondisi kesehatan kejiwaan kecemasan atau depresi
3. Kondisi keluarga yang meliputi keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, serta renggangnya hubungan orang tua dan anak-anak
4. Pengaruh dan tekanan dari kelompok sebaya
5. Adanya peluang dan kemudahan untuk memperoleh narkoba
Oleh karena itu, ada tiga langkah penting untuk membangun remaja masa depan yang bebas narkoba. Pertama, dalam lingkungan keluarga, orang tua berkewajiban memberikan kasih sayang yang cukup terhadap para remajanya. Mereka tidak boleh cepat marah dan main pukul tatkala sang remaja melakukan kesalahan baik dalam tutur kata, sikap maupun perbuatannya, tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Sebaliknya orang tua harus bersikap demokratis terhadap anaknya. Anak harus diposisikan sebagai insan yang juga membutuhkan penghargaan dan perhatian. Tidak cukup hanya diperhatikan kebutuhan fisiknya, tetapi juga kebutuhan psikisnya. Sehingga komunikasi yang hangat antara orang tua dan anak-anaknya menjadi langkah utama yang jitu untuk menjalin hubungan yang harmonis agar sang remaja menjadi tenteram dan nyaman tinggal di rumah. Jadi mereka tidak membutuhkan pelampiasan atau pelarian di luar rumah tatkala menghadapi persoalan yang rumit.
Kedua, dalam lingkungan sekolah, pihak sekolah berkewajiban memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang narkoba sebagai bentuk antisipasi terhadap informasi serba sedikit namun salah tentang narkoba yang selama ini diterima dari pihak lain. Pihak sekolah juga perlu mengembangkan kegiatan yang berhubungan dengan penanggulangan narkoba dalam rangka mencegah dan mengatasi meluasnya penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, seperti melakukan pembinaan dan pengawasan secara rutin terhadap siswa baik dengan melibatkan pihak lain (kepolisian, komite sekolah, orang tua), menggiatkan kegiatan ekstra kurikuler yang bermanfaat, serta mengembangkan suasana yang nyaman dan aman bagi remaja untuk belajar. Di samping itu pihak sekolah perlu berupaya keras “mensterilkan” lingkungan sekolah dari peredaran dan penyalahgunaan narkoba, dengan tidak membolehkan sembarang orang memasuki lingkungan sekolah tanpa kepentingan yang jelas dan mencurigakan.
Ketiga, dalam lingkungan masyarakat, para tokoh agama, tokoh masyarakat, perangkat pemerintahan di semua tingkatan mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati, Camat, Lurah, Dukuh, hingga Pak RT dan Pak RW perlu bersikap tegas dan konsisten terhadap upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba di lingkungannya masing-masing yang didukung penuh oleh pihak keamanan dan kepolisian. Mereka perlu terus-menerus memberi penyadaran pada seluruh warga masyarakat akan bahaya mengkonsumsi narkoba tanpa indikasi medik dan pengawasan ketat dari dokter dalam rangka penyembuhan. Khusus para tokoh masyarakat dan tokoh agama tidak boleh mengenal lelah dan bosan menanamkan norma-norma dan kebiasaan yang baik sebagai warga masyarakat, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan Tuhannya.