Lingkungan

Pindah Ibukota Negara; Tinjauan Lingkungan atau Moving the Capital of the State; Environmental review

Banjir kembali melanda Jakarta, hujan terus menerus di awal tahun 2013 menyebabkan banjir besar di wilayah ibukota. BNPB merilis bahwa pengungsi banjir mencapai 15.423 jiwa yang tersebar di 68 titik. Daerah Jakarta yang terendam banjir meliputi 720 RT, 309 RW, 73 kelurahan, dan 31 kecamatan. Tidak hanya itu jumlah korban jiwa akibat banjir di Jakarta pada 2013 hingga hari minggu tanggal 20/01/2013 tercatat sebanyak 19 orang. Walaupun jumlah tersebut lebih kecil dari jumlah korban banjir tahun 2007 tercatat 80 orang namun seyogyanya di kemudian hari musibah banjir diharapkan tidak merenggut nyawa manusia lagi. Karena nyawa manusia sangatlah berharga melebihi materi apapun yang ada di dunia ini.

Banjir yang terus menerus melanda ibukota, memunculkan kembali wacana pemindahan ibukota Negara. Jakarta dianggap tidak layak lagi menjadi ibukota, mengingat kompleksnya persoalan di Jakarta, tidak hanya menyangkut banjir namun juga kemacetan dan polusi udara.

Lalu bagaimana tinjauan lingkungan terhadap kondisi ideal sebuah ibukota Negara? Berikut tinjauan lingkungan mengenai kelayakan Jakarta menjadi ibukota terkait aspek kepadatan penduduk, ruang terbuka hijau, sampah, sanitasi, pencemaran sungai, permukiman kumuh, eksploitasi air tanah, pencemaran udara dan pemanasan global

Ibu kota (a capital; capital city) adalah kota utama yang dikaitkan dengan pemerintahan suatu negara. Ibukota secara fisik difungsikan sebagai kantor pusat dan tempat pertemuan dari pimpinan pemerintahan dan ditentukan berdasarkan hukum. Asal katanya dari bahasa Latin caput yang berarti kepala (head) dan terkait dengan kata capitol yang terkait dengan bangunan dimana pusat pemerintahan utama dilakukan.

Menurut sejarahnya, ibu kota sebagai pusat ekonomi utama dari suatu wilayah sering menjadi titik pusat dari kekuatan politik, kemudian menjadi ibu kota melalui suatu peperangan atau penggabungan. Ibu kota secara alamiah mempunyai daya tarik politik dan kepegawaian yang diperlukan untuk efisiensi dan efektifitas administrasi pemerintahan, seperti: ahli hukum, jurnalis, dan peneliti kebijakan publik. Ibu kota adalah pusat ekonomi, budaya, dan atau pusat intelektual. Ibu kota menjadi simbol bagi negara dan pemerintahannya, serta sebagai tempat berkembangnya dinamika politik. Kota-kota di abad pertengahan menunjukkan bahwa pemilihan, relokasi, dan pendirian dari suatu ibu kota modern dilandasi pertimbangan emosional.

Menurut sejarah, kota Jakarta berawal dari sebuah pelabuhan kecil yang dikenal dengan nama Sunda Kelapa, yang kemudian menjadi Batavia. Seorang pelaut Inggris, Kapten James Cook mengatakan bahwa pelabuhan di situ adalah kawasan labuhan kapal besar dan kecil terbaik di dunia saat itu. Kota yang telah berumur hampir 500 tahun tersebut telah mengalami perkembangan yang cepat.

Menurut mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk. Namun ternyata di saat Ali menjabat Gubernur jumlahnya membengkak jadi 3,5 juta. Sekarang Jakarta adalah metropolitan terbesar di Asia Tenggara dengan tingkat yang luar biasa pertumbuhan penduduk dan berbagai masalah perkotaan. Keseluruhan populasi dari Jakarta meningkat 100 kali pada abad ke-20, dari sekitar 100.000 pada 1900 menjadi 9,6 juta jiwa pada tahun 2010. Jumlah penduduk di Jakarta Metropolitan Area yang terdiri dari Jakarta dan sekitarnya Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi-disingkat Bodetabek-pada mencapai lebih dari 23 juta. Populasi ini terdiri dari sekitar 80 persen penduduk perkotaan dan 20 persen penduduk pedesaan dan dihuni area dengan luas sekitar 6.400 kilometer persegi. Penduduk ini sekitar 10 persen dari total penduduk Indonesia dan hanya sekitar 0,3 persen dari total wilayah Indonesia.

Pada hari kerja dan jam kerja, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa karena kedatangan pekerja dari wilayah bodetabek. Jumlah penduduk Jakarta yang meningkat pada jam-jam kantor memberikan tekanan yang tinggi pada infrastruktur kota yang terbilang tidak luas bila dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Dari dua puluh lima (25) kota di dunia yang tertinggi jumlah penduduknya, Jakarta menduduki urutan kesepuluh (10) terpadat di dunia. Data statistik menunjukkan bahwa rata-rata kepadatan penduduk Jakarta pada tahun 2011 adalah 13.000 orang/km2, sementara kepadatan di daerah Jakarta Pusat jauh lebih tinggi dan mencapai 19.600 orang/km2

Jumlah penduduk yang sangat besar tersebut memberikan berbagai dampak pada daya dukung dan daya tampung Jakarta. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dan daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk menampung/menyerap zat energi dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukan di dalamnya.

Gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau dan memperkecil ruang terbuka hijau. Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70 persen. Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.

Bianpoen (1989) menyatakan dari sudut kesehatan seorang penduduk kota maksimal memerlukan ruang terbuka seluas 15 m2, kebutuhan normal 7 m2, dan minimal harus tersedia 3 m2. Pendapat lain dari Simond (1961) bahwa ruang terbuka yang dibutuhkan oleh 4.320 orang atau 1.200 keluarga adalah 3 are (30.000 m2). Menurut penelitian Greakls, 1 ha RTH dapat menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk konsumsi 1500 orang perhari. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mewajibkan pengelola perkotaan untuk menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dengan luas minimal 20% dari luas kota.

Tahun 2012 tercatat proporsi luas RTH publik di DKI Jakarta adalah 9,97% atau masih kurang 10,03% dari ketentuan UU. Dengan luas wilayah kurang lebih 65.000 (enampuluh lima ribu) hektar, Pemerintah DKI Jakarta masih harus mengadakan lahan seluas 6.520 hektar atau 650.200.000 meter persegi. Bila diasumsikan rata-rata harga lahan di wilayah DKI Jakarta adalah Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) per meter persegi, diperlukan anggaran sekitar 3250 trilyun rupiah untuk mengakuisisi lahan masyarakat. Nilai tersebut 77 kali lipat APBD DKI Jakarta tahun 2012 (Rp 42 Triliun). Kalau pemerintah provinsi DKI Jakarta menganggarkan setiap tahun Rp 1 Triliun untuk RTH, maka dibutuhkan 3250 tahun untuk menambah 10% RTH DKI Jakarta, dengan asumsi harga tanah di DKI Jakarta masih Rp 5 juta/m2

Setiap harinya manusia bisa menghasilkan sampah hingga mencapai 1 kg. Menurut Data Kementrian Lingkungan Hidup, rata-rata orang diperkotaan di Indonesia pada tahun 1995 menghasilkan sampah 0,8 kg/hari dan terus meningkat hingga 1 kg per orang per hari pada tahun 2000. Diperkirakan timbunan sampah pada tahun 2020 untuk tiap orang per hari adalah sebesar 2,1 kg.

Produksi sampah Jakarta mencapai 6000 ton (setara 29.966 m3) per hari dengan kondisi sampah yang belum terpilah. Jumlah itu cukup unuk untuk membangun setengah Candi Borobudur (artinya, dua hari sampah Jakarta bisa dipakai untuk membuat bangunan sebesar Candi Borobudur). Sampah di DKI Jakarta diangkut oleh 757 truk sampah untuk dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Sisa sampah ± 2041 M³ yang tak terangkut menjadi masalah yang masih menunggu untuk segera diatasi. Penanganan sampah masih mengandalkan pola Sanitary Land Fill di Bantargebang yang rawan menimbulkan masalah dan biaya tapping fee yang cukup mahal. Hanya ada satu Pusat Daur Ulang Kompos (PDUK) milik swasta sebagai pendukung. Bisa dibayangkan 10 tahun kedepan dimana peningkatan konsumsi masyarakat semakin tinggi, dan jumlah penduduk semakin banyak. Apakah Jakarta masih sanggup menangani masalah sampah yang semakin menggunung

Penelitian Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) mengungkapkan fakta yang menyedihkan. Mutu aliran sungai di 45 titik pantau di 13 DAS Ciliwung pada 2010: kondisi baik 0%, tercemar ringan 9%, tercemar sedang 9% dan tercemar berat 82 persen. Hal ini dikarenakan 2,5% timbulan sampah Jakarta (600 m3/hari) mengalir di Sungai Ciliwung. Hingga saat ini, Jakarta hanya memiliki 3% sistem gorong-gorong air kotor terpusat yang melayani 2% populasinya (PDPALJaya, 2010). Selain sistem ini, ada beberapa sistem setempat (komunal dan individual) yang kurang lebih melayani 15% populasinya (BPLHD report 2010 in PDPALJaya, 2010).

Hasil penelitian Bappenas, menyatakan 80% penyebab pencemaran air sungai itu bukan dari industri, seperti limbah pabrik, melainkan karena pembuangan limbah domestik yang salah satunya adalah tinja. Menurut penelitian kapasitas tinja manusia dewasa rata-rata 0.2 kg/hari/jiwa

Dari berbagai daerah di Indonesia daerah yang paling parah sanitasinya adalah Jakarta. Ibu Kota Indonesia itu menjadi terparah bukan karena tidak ada kemauan dari masyarakat melainkan terkait jumlah penduduk yang padat. Hanya 2,5 persen warga Jakarta yang dilayani oleh sistem pengolahan air limbah dari Slipi, Jakarta Barat. Dengan wilayah DKI yang luasnya 650 km persegi dan berpenduduk sekitar 12 juta jiwa, jumlah air limbah yang diproduksi setiap hari sangat besar, kurang lebih 1,7 juta m3 per hari. Hasil survei Dinas Kesehatan DKI Jakarta tahun 2005, ternyata kualitas air tanah dangkal khususnya di wilayah Jakarta Pusat sebagian besar terindikasi telah tercemar oleh zat-zat kimia antara lain zat organik, amonia serta bakteri ecoli yang berasal dari tinja. Ironisnya, penduduk Jakarta Pusat yang mengkonsumsi air tanah untuk kebutuhan rumah tangganya mencapai 57 persen.

Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman kumuh yang hampir semuanya ilegal. Permukiman semacam itu banyak dibangun di bantaran sungai sehingga menimbulkan penyempitan sungai-sungai di Jakarta. Bila hujan deras turun di hulu ataupun di Jakarta sendiri, volume air yang meningkat tinggi tidak dapat tertampung oleh sungai-sungai yang telah mengalami penyempitan dan pengaliran air ke laut terhambat sehingga banjir pun terjadi. Perilaku warga yang sering membuang sampah ke sungai juga memicu pendangkalan sungai yang pada gilirannya dapat mengakibatkan banjir.

Akibat ekploitasi air tanah dalam yang berlebihan dan beban bangunan bertingkat menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah (land subsidence), yang menambah daerah rawan banjir. Sekitar 80 persen penduduk Jakarta memenuhi kebutuhannya dari air tanah, hidran umum, serta membeli dari pedagang air (UNDP, 2004). Tak heran permukaan air tanah di Jakarta cenderung menurun dari tahun ke tahun sehingga terjadi rembesan air laut ke beberapa wilayah Jakarta. Penyedotan air tanah di Jakarta telah mencapai 3-4 kali lipat batas toleransi (Bank Dunia, 2003). Rata-rata penurunan permukaan tanah di Jakarta 10 sentimeter atau sepersepuluh meter tiap tahun. Di Jakarta Barat, misalnya, selama 11 tahun terakhir, permukaan tanah turun 1,2 meter. Di wilayah Kemayoran dan Thamrin, Jakpus, penurunannya 80 sentimeter dalam delapan tahun terakhir. Jika hal ini dibiarkan, maka Jakarta akan tenggelam.

Sekadar mengingatkan, banjir yang melanda Bangkok ibukota Negara Thailand bulan November tahun 2011 lalu disebabkan eksploitasi air tanah berlebihan. Padahal Bangkok telah puluhan tahun tidak terkena banjir karena memiliki infrastruktur penanganan banjir yang kompleks dan terintegrasi.

Menurut data Ditlantas Polda Metro Jaya, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta hingga pada 2011 mencapai 13.347.802 unit. Jumlah tersebut terdiri dari mobil penumpang sebanyak 2,54 juta unit, mobil muatan atau truk sebanyak 581 ribu unit, bus 363 ribu unit, dan sepeda motor sebanyak 9.861.451 unit. Ditlantas melaporkan prediksi pertumbuhan kendaraan pada 2012 sekitar 10-12 persen. Rata-rata setiap mobil di dunia membakar 7,5 liter bensin/hari. Setiap liter bensin yang terpakai melepaskan 2,4 kg gas CO2 ke udara. Berarti mobil di Jakarta dalam satu hari mengeluarkan sekitar 63 juta kg CO2. Berdasarkan penelitian para ahli, Satu pohon yang berfotosintesis sama dengan menyerap 1 kg CO2 dan mengeluarkan 0,73 kg O2. Berarti dibutuhkan 63 juta pohon di Jakarta untuk mengurai pencemaran udara.

Pengaruh perubahan iklim global pada Jakarta adalah kenaikan paras muka air laut. Pemuaian air laut dan pelelehan gletser dan lapisan es di kutub menyebabkan permukaan air laut naik antara 9 hingga 100 cm. Kenaikan tinggi muka air laut antara 8 hingga 30 centimeter akan berdampak parah pada Kota Jakarta yang rentan terhadap banjir dan limpasan badai. Suatu penelitian memperkirakan bahwa kenaikan paras muka air laut setinggi 0,5 meter dan penurunan tanah yang terus berlanjut dapat menyebabkan enam lokasi di Jakarta dengan total populasi sekitar 270.000 jiwa terendam secara permanen, yakni di kawasan Kosambi, Penjaringan dan Cilicing dan tiga lagi di Bekasi yaitu di Muaragembong, Babelan dan Tarumajaya.

Berdasarkan paparan diatas, maka secara tinjauan lingkungan, Jakarta tidak layak dijadikan ibukota Negara. Gagasan pemindahan ibukota layak dikaji secara mendalam, komprehensif, melibatkan banyak pakar.

Atau alternatif kedua, ibu kota negara tetap di Jakarta dengan pemindahan beberapa departemen dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan pembangunan ke luar Jakarta, dengan tujuan menyeimbangkan daya dukung dan daya tampung Jakarta.

contoh negara yang memindahkan ibukota

Brasil pindah dari Rio de Janeiro ke Brasilla

Dari Rio de Janeiro

Ke Brasilla

Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya

Dari Kuala Lumpur

Ke Putra Jaya

Australia dari Sydney ke Canberra

dari Sydney

ke Canberra

Amerika Serikat ibu kota dari New York ke Washington DC

Dari New York

ke Washington DC

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button