
I.Kebijakan Setengah Hati
Tanggal 4 Mei 2008 lalu, Presiden SBY menyatakan, pemerintah masih akan mencari solusi dan tidak berpikir terlalu cepat menaikkan BBM. Pemerintah akan menjalankan program diversifikasi minyak tanah ke elpiji, membatasi volume BBM, serta mencegah terjadinya pemborosan energi.
Sebelumnya pemerintah mengajukan usulan kenaikan harga BBM bersubsidi rata-rata 28,7%. Harga premium dinaikkan dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000.Kemudian solar dari Rp 4.300 per liter menjadi Rp 5.500 per liter, dan minyak tanah dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.500 per liter.
Tiga kebijakan pemerintah diatas belum sungguh-sungguh dijalankan, terbukti konversi penggunaan minyak tanah ke tabung elpiji menuai banyak protes dari masyarakat, baik menyangkut kompor gas yang tidak berkualitas, masih ada ketakutan dari masyarakat untuk menggunakannya karena belum ada sosialisasi penggunaan dan keamanannya atau kelangkaan tabung elpiji entah karena ada broker atau kurang antisipasi penyediaannya. Yang pasti masyarakat rela antri di agent-agent minyak tanah setiap hari sekadar untuk mendapatkan minyak tanah 3-5 liter.
Pembatasan volume BBM juga tidak berjalan efektif. Membatasi volume BBM harus diantisipasi dengan menyediakan energi alternatif yang cukup, mudah didapatkan, dan murah. Berbagai macam energi alternatif telah dikemukakan oleh akademisi dari sumber daya alam yang tidak habis seperti matahari, angin, ombak, halilintar, dan sumber daya alam yang dapat diperbaharui seperti biomassa, dan biofuel. Namun kesungguhan pemerintah dalam hal ini departemen energi dan sumber daya mineral (ESDM) untuk melakukan diversifikasi energi kurang terlihat. Bantuan modal, teknologi tepat guna, distribusi, pemasaran dan sosialisasi kepada penggerak energi alternatif perlu diprioritaskan agar ketergantungan terhadap BBM dapat dikurangi.
Mencegah terjadinya pemborosan energi juga tidak memperlihatkan hasil yang maksimal. Sebesar 35-40% konsumsi energi dalam bidang transport. Alih-alih mengurangi konsumsi, pemerintah melalui departemen perdagangan mendukung program peningkatan penjualan kendaraan bermotor karena dapat meningkatkan pendapatan negara. Boleh-boleh saja penjualan meningkat karena semakin membuktikan masyarakat makin makmur, namun penggunaan kendaraan bermotor harus sesuai dengan daya dukung jalan dan jangan sampai mengganggu keseimbangan lingkungan.
Banyaknya penggunaan kendaraan bermotor juga karena belum tersedianya sarana transportasi yang aman dan nyaman, masih ada anggapan di masyarakat mengenai status sosial orang yang menggunakan mobil, ataupun belum tersedianya sarana dan prasarana bagi pejalan kaki atau bagi yang bersepeda, seperti trotoar yang nyaman dan jalur khusus sepeda.
II.Konsumsi Energi Indonesia
Efisiensi penggunaan BBM Indonesia masih sangat rendah. Salah satu indikatornya adalah penggunaan energi per dolar GNP. Menurut statistik World Resources Institute (WRI) tahun 1996, konsumsi energi per dolar GNP (pada nilai tetap dolar AS tahun 1987) Indonesia adalah 24 MJ (megajoule), AS 16 MJ, Inggris 13 MJ, Belanda 13 MJ, Jerman 9 MJ, Perancis 9 MJ. Jadi untuk menopang per dolar GNP Indonesia menggunakan energi jauh lebih besar daripada negara maju.
Konsumsi komersial per kapita Indonesia memang rendah baru menyentuh angka 14 GJ (gigajoule), sedangkan AS 317 GJ, Inggris 164 GJ, Belanda 216 GJ, Jerman 170 GJ, dan Perancis 159 GJ. Jadi peningkatan konsumsi energi untuk mendukung ekonomi masih berpeluang besar, hanya saja konsumsi energi harus disertai kenaikan efisiensi. Namun data dari tahun 1973-1993 pertumbuhan konsumsi energi per dolar GNP Indonesia malah naik sebesar 43%, sedangkan negara maju turun. Jadi kesimpulannya kita semakin boros energi dan negara maju makin hemat energi. Kesempatan kita masih besar untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi
Borosnya konsumsi energi di kita mungkin disebabkan anggapan di masyarakat bahwa negara kita adalah negara yang kaya, diatas ada kayu dan dibawah terdapat bahan tambang. Anggapan tersebut tidak lagi benar, kita tidak sekaya dulu. Kekayaan kita relatif kecil dibandingkan dengan kekayaan dunia, apalagi jumlah penduduk kita nomor empat di dunia. Sumber daya potensial minyak bumi Indonesia sekitar 321 miliar barrel (1,2% potensi dunia), gas bumi sekitar 507 TSCF (3,3% potensi dunia), batu bara sekitar 50 miliar ton (3% potensi dunia), panas bumi sekitar 27.000 MW (40% potensi dunia), dan tenaga air sekitar 75.000 MW (0,02% potensi dunia). Cadangan minyak bumi kita yang terbukti mendekati 10 miliar barrel, angka yang amat kecil jika dibandingkan dengan Irak (112 miliar).
Sebentar lagi bangsa ini akan menjadi negara pengimpor neto minyak bumi karena cadangan minyak bumi akan habis dalam waktu belasan tahun, gas bumi dalam 30 tahun, dan batu bara dalam 50 tahun. Kondisi ini harus kita beri perhatian penuh karena masalah energi adalah salah satu masalah utama bagi suatu bangsa. Krisis energi akan menghambat pertumbuhan ekonomi, menghambat upaya pengurangan kemiskinan, mempengaruhi pemberantasan buta huruf dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
III.Berbagai Pilihan Energi Alternatif Yang Dapat Dimanfaatkan
Pengaruh krisis energi harga minyak sudah beberapa kali terjadi sejak tahun 1970-an. Pengaruh tersebut diakibatkan keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan juga dipengaruhi faktor geopolitik. Pertumbuhan industri dua raksasa Asia India dan Cina membutuhkan energi yang besar sehingga mempengaruhi pasokan. Namun krisis harga minyak tidak berpengaruh pada negara-negara yang sudah menerapkankebijakan harga energi sesuai dengan mekanisme pasar berdasarkan tingkat ekonominya, diversifikasi energi, efisiensi dan konservasi pemakaian energi.
Sebenarnya Indonesia sudah mempunyai perangkat untuk mengantisipasi krisis energi yaitu kebijakan strategis pengelolaan energi nasional tahun 2005-2025 yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Diversifikasi energi adalah pemanfaatan energi alternatif, yaitu antara lain BBN (bahan bakar nabati), biomassa, surya, angin, panas bumi, pasang-surut air laut, biodiesel dan biogas. Banyak jenis sumber nabati yang bisa diolah menjadi BBN, mulai dari buah atau biji (misalnya jarak pagar dan kelapa sawit), batang (tebu), bahkan sampai ke akar tumbuhan (jenis umbi-umbian, seperti ubi kayu atau singkong). Menurut catatan kantor Menristek, Indonesia setidaknya memiliki 60-an jenis tumbuhan penghasil minyak. Pengembangan BBN ditetapkan sasaran tahun 2010 yang diantaranya adalah terciptanya lapangan kerja untuk 3,5 juta orang dengan pendapatan minimal sama dengan upah minimum regional (UMR), pengembangan tanaman BBN seluas 5,25 juta ha, terciptanya 1.000 desa mandiri energi dan 12 kawasan khusus pengembangan BBN, pengurangan pemakaian BBM nasional minimal 10%, penghematan devisa sekitar US$ 10 miliar dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, serta tersedianya ekspor BBN.
Kerapatan radiasi surya pada saat memasuki atmosfir bumi diperkirakan sebesar 1,2 KW/m2. Dari sejumlah itu, 47% atau sekitar 560 W/m2 diserap bumi. Indonesia mempunyai luas wilayah daratan kira-kira sebesar 2 juta km2, dengan asumsi efisiensi penggunaan energi surya hanya 10% daya dari radiasi surya yang secara potensial terdapat di Indonesia sebesar 1,12 x 108 MW.
Energi angin telah dimanfaatkan sejak dahulu, seperti pada pompa air di persawahan dan untuk menggerakkan perahu layar. Potensi angin di Indonesia relatif kecil, karena rata-rata kecepatan angin hanya berkisar 3-5 km/detik. Pada beberapa tempat di bagian Timur Indonesia, kecepatan angin dapat mencapailebih dari 5 km/detik dan diperkirakan mempunyai potensi energi setara dengan 448 ribu MW.
Energi yang terkandung dalam gelombang samudera cukup besar yaitu sekitar 20-70 KW/meter. Dengan asumsi efisiensi 40% saja, daya tersebut dapat menghasilkan listrik kurang lebih 8- 28 KW/meter. Pengembangan energi samudera masih tahap permulaan, dan menjadi tugas generasi mendatang untuk mengetahui pengelolaannya.
Untuk energi panas bumi, potensinya sangat besar, karena Indonesia berada dalam jajaran gugus pegunungan circum pasifik dan mediterania. Sampai saat ini terdapat 217 daerah potensi sumber panas bumi yang telah diinventarisasi dan diperkirakan mempunyai daya sekitar 16 ribu Megawatt (MW) dengan rincian 5.300 MW terdapat di Jawa dan 9.600 MW terdapat di Sumatera.
IV.Menyiapkan Peta Energi Alternatif
Berbagai macam potensi energi alternative itu hendaknya dikelola dalam jangka panjang agar ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang sudah semakin langka dan mencemari lingkungan dapat berkurang.
Dari sudut pandang prinsip lingkungan, sebenarnya mengganti suatu bahan energi dengan energi lain namun diproduksi secara massal dapat dipastikan akan mempercepat kerusakan lingkungan. misalkan saja pemanasan global akibat peningkatan emisi CO2. Apabila gas karbondioksida tidak maka suhu bumi akan sangat dingin mencapai -160C, namun karena jumlahnya berlebihan dapat mengganggu keseimbangan lingkungan. Produksi massal tentunya membutuhkan sumber daya yang besar, mesin-mesin skala besar, dan output (hasil dan limbah) yang tentunya juga besar. Karena itu cara paling efektif dan aman adalah melakukan keanekaragaman model penggunaan energi di setiap kawasan di Indonesia.
Dengan melakukan keanekaragaman maka kebutuhan input atau pengeluaran limbah yang sama dalam jumlah besar dapat dikurangi. Misalkan saja dengan memecah potensi energi berdasarkan letak geografisnya maka wilayah pesisir Indonesia mempunyai potensi energi alternatif angin, pasang surut air laut dan samudera, atau wilayah pertanian memiliki potensi energi alternatif biomassa, biogas dan biodiesel. Ataupun daerah dekat dengan gunung berapi punya potensi energi alternatif panas bumi.
Keanekaragaman model penggunaan energi selayaknya dituangkan dalam bentuk peta energi alternatif di Indonesia. Peta tersebut berisi energi alternatif apa yang layak dimanfaatkan oleh daerah tersebut di tinjau dari geografis daerah tersebut dan demografis penduduk sekitarnya. Peta tersebut merupakan acuan pengembangan konsep energi Indonesia jangka panjang.
Pemilihan energi alternatif di daerah tersebut harus berdasarkan:
- keberadaannya melimpah di daerah tersebut,
- mudah untuk mengelolanya (mengoperasionalkannya, perawatannya dan pengendaliannya),
- murah harganya dan biaya opersionalnya,
- teknologi yang digunakan sederhana,
- dapat dioperasikan oleh tenaga berskill rendah,
- keberadaannya tidak menimbulkan pencemaran baru,
- keberadaannya tidak membutuhkan lahan yang besar sehingga harus mengkonversi hutan atau mengancam spesies makhluk hidup lain yang hampir punah.