
Perusahaan dituding sebagai biang kerusakan lingkungan. Walaupun berbagai macam cara dilakukan perusahaan, tetap saja masyarakat, pers dan LSM tidak percaya itikad baik perusahaan menangani lingkungan. Apabila ada perusahaan yang peduli terhadap lingkungan maka ramai-ramai menuding sebagai bentuk penghapusan dosa karena telah mencemari lingkungan, atau apabila perusahaan ikut berpartisipasi dalam upaya pemberdayaan, dituduh mendongkrak penjualannya. Lalu bagaimanakah perusahaan menghindari image demikian, karena saat ini image menjadi demikian penting. Dengan image nama perusahaan dapat terangkat dan dengan image pula nama perusahaan akan jatuh.
Era informasi menuntut perusahaan memiliki merek yang kuat. Kuat dalam arti masyarakat memandang perusahaan sebagai perusahaan berkualitas, dengan produk yang mudah di dapat, harga terjangkau, sesuai dengan selera masyarakat, dan tidak mencemari linkungan. Merek yang kuat dapat menciptakan keuntungan berkesinambungan, merek yang kuat memancing perusahaan untuk terus berinovasi dan merek yang kuat pula yang menjaga perusahaan tetap pada posisinya di pasar bahkan cenderung naik. Untuk mewujudkan merek yang kuat, perusahaan ingin imagenya di mata masyarakat tetap bahkan terus naik karena kualitas produk, inovasi dan kepedulian social mereka.
Kepedulian social atau yang dikenal dengan nama CSR (corporate social responsibility) menjadi perhatian saat ini. Perhatian masyarakat, pers, pemerintah dan LSM pada CSR mungkin disebabkan demam pemanasan global, atau kasus-kasus pencemaran atau juga karena memang pengetahuan lingkungan yang mereka miliki. Namun yang pasti moment tersebut hendaknya dimanfaatkan dengan baik oleh stakeholder lingkungan untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik.
Konsep CSR berasal dari pemasaran social. Menurut Kotler dalam bukunya Marketing produk Management: Analysis, planning, implementation, and control mengemukakan pemasaran social adalah konsep yang menekankan tidak hanya sekedar dapat memuaskan pelanggan dan profit (laba), tetapi bagaimana perusahaan dapat memberikan jaminan sosial kepada karyawan dan masyarakat atas pencemaran lingkungan.
Konsep tersebut baru mengacu pada usaha kuratif (the end of pipe), sedangkan konsep penanganan lingkungan adalah preventif (minimasi). Seperti konsep kedokteran saat ini tidak lagi bagaimana mengobati orang sakit tetapi bagaimana membuat orang sehat. Usaha-usaha kuratif tidak akan banyak berperan mencegah kerusakan lingkungan. Usaha kuratif seperti usaha menyusun kepingan kaca setelah dipecahkan, tidak akan kembali seperti sedia kala paling maksimal hanya mendekati. Usaha kuratif seperti yang dilakukan perusahaan rokok dengan memberikan beasiswa, pemberdayaan masyarakat dan sekitarnya tidak akan mengurangi jumlah orang yang berpenyakit kanker atau jantung karena asap rokok. Usaha kuratif yang dilakukan perusahaan air mineral melalui program pembelian kembali kemasan agar dapat di daur ulang tidak akan menghentikan ancaman kekurangan air bersih apabila tidak diimbangi dengan upaya penelitian mengenai daya dukung dan daya tampung sumber air di lokasi produksinya. Atau juga usaha pemberdayaan masyarakat dan pemberian santunan kepada orang miskin atau yang terkena bencana alam oleh perusahaan sabun cuci tidak mengurangi jumlah polutan akibat pemakaian sabun cuci tersebut. Karena itu kepedulian perusahaan perlu dirancang mulai dari tahap pencegahan yaitu mulai dari tahap berdirinya pabrik hingga produk sudah digunakan oleh konsumen.
Proses pencegahan pencemaran mulai dari tahap awal hingga akhir menuntut semua elemen perusahaan berkoordinasi dan merancang ulang sistemnya. Elemen-elemen seperti departemen SDM (sumber daya manusia), pemasaran, keuangan, informasi, produksi dan lingkungan harus mengacu pada prinsip-prinsip lingkungan. Sedangkan prinsip-prinsip lingkungan seperti holistic, daya tampung, daya dukung, daya lenting, interaksi, interdependensi, harmoni, diversity, sustainability, ekosentris, dsbnya harus dapat mewarnai semua subsistem dalam perusahaan.
Menumbuhkan kesadaran mengenai lingkungan seyogyanya diberikan pada semua jenjang karir pada sebuah perusahaan. Adopsi pengetahuan lingkungan juga mengacu pada manajemen sumber daya manusia modern. Menurut Dessler manajemen sumber daya manusia (MSDM) modern meliputi perencanaan SDM, rekruitmen, seleksi, orientasi, penempatan, pelatihan, pengembangan, penilaian kinerja, dan kompensasi.
Selama ini kriteria MSDM hanya berdasarkan tingkat profesionalisme kerja. Sedangkan profesionalisme kerja diukur berdasarkan pencapaian target kerja, penggunaan anggaran yang efisiensi, kepuasan pelanggan, produktifitas, loyalitas dan disiplin. Ukuran MSDM yang demikian menjadikan karyawan bekerja profesional untuk diri dan perusahaannya tanpa memandang apakah pekerjaannya berdampak pada kerusakan lingkungan atau tidak. MSDM modern masih menganut prinsip antroposentris. Prinsip antroposentris memandang manusia sebagai pusat semesta alam sehingga segala yang ada di alam diciptakan untuk manusia dan manusia dapat mengeksplorasi alam sekehendaknya.
Departemen SDM belum menggunakan prinsip ekosentris dalam proses MSDM sehingga kerusakan lingkungan tetap saja terjadi dalam perusahaan. Ekosentris adalah pandangan yang meletakkan manusia sebagai bagian dari alam baik biotik maupun abiotik sehingga manusia wajib memelihara lingkungan sebagai bagian dari dirinya. Apabila prinsip ekosentris sudah terpatri dalam setiap karyawan maka karyawan tentu akan berhati-hati dalam bertindak dan berinovasi, jangan sampai produk maupun kemasan yang mereka produksi mencemari lingkungan.
Rekruitmen karyawan selama ini hanya berdasarkan kriteria pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang dibutuhkan perusahaaan seyogyanya juga ditambahkan menguasai pengetahuan dasar mengenai lingkungan. Pengetahuan dasar mengenai lingkungan berguna selain mendapatkan karyawan yang peduli lingkungan juga dapat mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai lingkungan pada berbagai jenjang pendidikan. Proses seleksi karyawan untuk dipromosikan ada baiknya di tambahkan kriteria karyawan yang paling memahami lingkungan akan mendapatkan tambahan nilai. Pelatihan dan pengembangan karyawan juga dimasukkan unsur lingkungan agar karyawan semakin mengerti dan memahami lingkungan. Kompensasi sebaiknya tidak hanya berdasarkan produktifitas, usia kerja dan kedudukan tetapi juga di tambah kriteria karyawan yang mampu menjaga, mempertahankan atau memperbaiki lingkungan baik berupa ide maupun aksi diberikan tambahan kompensasi. Upaya memasukkan unsur lingkungan pada proses MSDM memerlukan biaya tambahan, namun biaya tersebut tidak sebanding dengan biaya menanggulangi pencemaran lingkungan dan kerugian akibat pencemaran lingkungan yang diakibatkan kecerobohan atau ketidaktahuan karyawan mengenai lingkungan.
Departemen keuangan yang berwawasan lingkungan tidak akan sungkan mengeluarkan biaya untuk pencegahan lingkungan, karena upaya pencegahan jauh lebih murah dibanding upaya penanggulangan dampak lingkungan. Biaya pencegahan lingkungan tidak dimasukkan sebagai beban sehingga menimbulkan kenaikan harga produk tetapi bagian dari investasi perusahaan pada jangka panjang. Seperti halnya pemasaran walaupun membutuhkan biaya besar bahkan lebih besar dari biaya produksi namun perusahaan tidak peduli karena dapat menimbulkan keuntungan. Investasi pada lingkungan juga akan menimbulkan keuntungan terutama dalam jangka panjang. Apabila perusahaan ingin eksis berpuluh-puluh tahun kedepan bahkan beratus tahun, perusahaan seharusnya tiak pelit mengeluarkan biaya untuk pencegahan pencemaran lingkungan. Pencegahan pencemaran akan menaikkan image perusahaan di mata konsumen sehingga brand juga akan naik dan penjualan juga cenderung menaik. Misalnya kasus keracunan merek Tylenol di AS tahun 1982. Pada saat itu Johnson & Johnson (J&) menarik 31 juta botol produk tersebut dari pasaran nilainya mencapai $100 juta. Namun sampai saat ini J&J; memiliki reputasi baik di masyarakat dan dengan cepat konsumen melupakan peristiwa tersebut. Seandainya produk tersebut tidak di tarik maka mungkin saja saat ini perusahaan J&J; hanya menjadi legenda dunia, sebuah perusahaan yang pernah meracuni masyarakat.
Departemen produksi berwawasan ekosentris akan menciptakan produk yang ramah lingkungan, membuat packing yang mudah di daur ulang, dan bahan baku yang tidak menimbulkan polusi. Departemen produksi hendaknya memasyaratkan penggunaan bahan mentah yang beranekaragam. Ketergantungan pada salah satu bahan baik sebagai sumber energy maupun sumber produksi akan menimbulkan pencemaran massal dan sulit ditanggulangi. Membudayakan keanekaragaman yang berasal dari local akan meningkatkan peranan masyarakat local dalam industry dan meningkatkan pendapat daerah. Ketergantungan pada salah satu bahan apalagi bahan impor akan menguras kekayaan negeri dan semakin memarjinalkan masyarakat local.
Departemen pemasaran yang berwawasan lingkungan akan mempromosikan produknya tanpa unsur paksaan. Pemasaran hendaknya ikut mendidik masyarakat agar penggunaan produk lebih awet dan memiliki usia penggunaan yang tinggi. Usia penggunaan produk yang tinggi dapat menghemat sumber daya alam. Promosi jangan terlalu mahal sehingga membebankan harga produk. Dan promosi juga jangan dijadikan alat untuk melanggengkan budaya konsumtif sehingga sumber daya alam semakin cepat terkuras. Apabila sumber daya alam semakin cepat terkuras melebihi kemampuan alam menetralisir kerusakan tersebut niscaya alam tidak akan kembali normal dan terjadi kerusakan lingkungan.
Departemen lingkungan selain berperan sebagai kepanjangan tangan perusahaan untuk mewujudkan CSR juga berperan sebagai lembag pengawas lingkungan di internal perusahaan atau watch dog. Istilah tersebut sebenarnya berasal dari pers namun juga baik apabila digunakan oleh lingkungan untuk mengawasi pelanggaran lingkungan di internal perusahaan. Pelanggaran lingkungan seperti boros sumber energy, kinerja karyawan yang tidak professional menyebabkan inefisiensi perlu ditindak tegas seperti penggunaan lampu yang berlebihan, kran air yang dibiarkan mengucur terus, penggunaan kertas yang boros dan pemakaian mobil pribadi berpenumpang 1 atau dua orang ke kantor dan sebagainya. Departemen lingkungan perlu diberikan wewenang memberikan penghargaan kepada karyawan atau sub bidang yang berprestasi pada lingkungan dan menjatuhkan sanksi kepada karyawan atau sub bidang yang nilai kepedulian lingkungannya rendah.
Dengan konsep eco-corporate di atas apakah ada perusahaan di dunia yang menerapkannya? Kalau ada perusahaan tersebut seharusnya menjadi contoh bagi perusahaan-perusahaan lain yang ingin menerapkan nilai lingkungan pada perusahaannya, atau menjadi bahan penelitian bagi akademisi mempelajari tingkat keberlangsungan dan keuntungan perusahaan atau juga menjadi pedoman bagi pemerintah setempat membuat peraturan yang mengacu pada pola perusahaan tersebut agar dampak pencemaran lingkungan dapat dikurangi. Kalau tidak ada, sudah saatnya perusahaan-perusahaan mulai berpikir kearah sana Persaingan yang semakin ketat memaksa perusahaan selalu mengadopsi perkembangan terbaru. Trend dunia yang mengarah pada penciptaan lingkungan yang aman, nyaman dan sehat perlu disikapi perusahaan dengan mereformulasikan konsep perusahaan menjadi konsep eco-corporate atau perusahaan berwawasan lingkungan.