Lingkungan

PERTEMUAN COP KE-13, 14 DAN 15 MENGENAI PENGURANGAN EMISI KARBON

I. Setelah COP ke-13 Di Bali
Forum Conference of Parties (COP) ke 13 yang berlangsung selama dua minggu dari 03 -15 Desember 2007 di Bali adalah bagian dari episode besar upaya pencegahan pemanasan global. Hajatan besar yang dihadiri 10 ribuan manusia menghasilkan negosiasi kerjasama jangka panjang yang disebut “Peta Jalan Bali” atau Bali Road Map. Walaupun target pengurangan emisi hanya menjadi catatan kaki namun ini adalah hasil kompromi agar pemerintah Amerika Serikat mau terlibat dalam memerangi pemanasan global. Sebelumnya pemerintah AS menolak terlibat dalam kesepakatan apapun untuk mencegah pemanasan global termasuk dalam Protokol Kyoto.

Peta Jalan Bali menghasilkan agenda antara lain: mendorong pelaksanaan Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD), arahan financial bagi Global Environment Facility untuk program-program mitigasi dan transfer-transfer teknologi. Proses transfer teknologi akan diatur dalam mekanisme kerja Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) yang berfungsi menilai informasi sains serta teknologi dari berbagai lembaga internasional untuk dipadukan dengan kebutuhan perumusan kebijakan pemerintahan negara anggota COP. Setelah itu, perumusan informasi tersebut akan dilanjutkan oleh Subsidiary Body of Implementation (SBI) untuk merekomendasikan tentang implementasi konvensi untuk COP.

Hampir setahun genap pelaksanaan Conference of The Parties (COP) ke-13 di Bali. Isu-isu pemanasan global yang dirintis dalam protocol Kyoto dan dituangkan dalam peta jalan Bali masih jalan ditempat. Isu-isu seperti komitmen pengurangan emisi (25-40% di bawah level tahun 1990 pada tahun 2020; serta lebih dari 50% dari level tahun 2000 pada tahun 2050); Kesepakatan komprehensif sampai dengan 2012; Tujuan jangka panjang tindakan kerjasama global; Memasukkan AS dalam komitmen pengurangan emisi dan transfer teknologi, baru sebatas wacana.

Belum adanya kepemimpinan dan kesepakatan global mengenai cara-cara memerangi pemanasan global dan perubahan iklim menyebabkan masing-masing Negara dan organisasi berjalan dengan agendanya sendiri-sendiri.

Negara-negara maju pada umumnya menilai bahwa perdagangan emisi merupakan jalan yang paling efisien dalam mengurangi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir dibandingkan dengan cara lainnya. Pendekatan perdagangan emisi dalam mereduksi GRK ini sebenarnya mengadopsi program pengurangan polutan SOx (Sulfur Oksida), NOx (Nitrogen Oksida) dan penghapusan bensin bertimbal yang pernah dijalankan di Amerika Serikat (AS) sekitar tahun 1970 dan 1980.

Pendekatan perdagangan emisi dalam mereduksi polutan udara di AS belum mencapai hasil yang optimal. Pendekatan perdagangan emisi dalam mereduksi SOx di AS misalnya, justru menghasilkan kenaikan kadar polutan tersebut di udara. Menurut laporan dari Environment Reporter (24 September 2004) menyebutkan bahwa setelah mendapatkan dukungan pendanaan dari perbankan bagi pendekatan perdagangan emisi tersebut, kadar SOx di udara AS justru meningkat 4 persen pada tahun 2003.

Perdagangan emisi dalam mereduksi polutan di AS juga terbukti tidak efisien dari segi waktu. Pada program penghapusan bensin bertimbal di AS misalnya, baru berhasil setelah memakan waktu 23 tahun. Sementara program yang sama di China dan Jepang hanya memakan waktu 10 tahun tanpa menggunakan pendekatan perdagangan emisi (Carbon Trading, Development Dialouge No. 48 September 2006).

World Bank meluncurkan suatu instrumen pendanaan baru bernama Climate Investment Fund (CIF) pada 1 Juli 2008. CIF akan digunakan sebagai instrumen pembiayaan baru bagi negara berkembang yang tertarik untuk membuat transisi ke jalur pembangunan dengan karbon rendah (low carbon development path) dan ekonomi yang tahan terhadap perubahan iklim. Mekanisme pembiayaan dalam bentuk “credit enhancement” dan instrumen pengeloaan resiko yang dimobilisasi melalui kontribusi donor terhadap trust fund dan diimplementasikan bersama dengan bank-bank pembangunan regional seperti ADB, AFDB, dan IADB.

Namun langkah skema CIF yang ditawarkan Bank Dunia di tolak oleh Negara-negara berkembang yang tergabung dalam G77. Penolakan tersebut dikarenakan langkah yang ditempuh oleh Bank Dunia telah meminggirkan peran mereka dalam menentukan pengelolaan dana perubahan iklim. Kontrol terhadap milyaran dolar dana perubahan iklim berada ditangan lembaga yang berada diluar kontrol dan kerangka kerja perubahan iklim (UNFCCC), yang hingga kini masih dianggap memiliki problem dengan transparansi dan demokratisasi. Selain itu, Bank Dunia sebagai koordinator utama Climate Investmen Fund akan mengambil management fee sebesar 10% dari dana yang dikelola, hal ini akan menyebabkan conflict of interest, sehingga dikhawatirkan akan menurunkan standar persyaratan dari proyek-proyek terkait perubahan iklim di negara berkembang. Kerangka CIF yang dikembangkan oleh Bank Dunia juga dianggap mengabaikan prinsip polluter pays, dimana beban tertinggi untuk mengatasi krisis perubahan iklim disandarkan kepada negara maju karena kemampuan pembiayaan dan pencapaian teknologi mereka lebih maju, selain karena jejak polusi mereka yang lebih tinggi dibandingkan negara miskin dan berkembang. CIF diberikan kepada negara miskin dan berkembang berupa utang, dan seringkali mensyaratkan skema pembangunan berbasis low carbon pathways, hal ini tentu saja memberikan beban tambahan utang yang harus dibayarkan oleh negara miskin dan berkembang yang telah menderita karena eksploitasi dari negara maju.

Lain lagi halnya dengan China, China sebagai pemimpin Negara-negara berkembang dan penyumbang 19% emisi CO2 dunia (beda 8% dengan emisi CO2 AS) memiliki berbagai program untuk mengurangi emisi CO2. Program-program tersebut antara lain merumuskan suatu kebijakan yang seimbang antara pembangunan ekonomi, populasi, sumber daya alam dan lingkungan, pola pertanian yang efisien, revitalisasi industry tua, dan membuat usaha berkelanjutan untuk membangun suatu masyarakat harmonis. Namun seperti halnya dengan Negara berkembang lainnya untuk menjalankan programnya China terbentur pada masalah pembiayaan atau investasi dan teknologi baru yang ramah lingkungan.

China dan Negara-negara berkembang lain menuntut adanya peningkatan investasi oleh negara-negara maju dalam program pengurangan emisi di negara-negara berkembang sebesar 86 miliar dolar AS per tahun. Investasi yang terjadi baru sebesar 26 miliar dolar AS per tahun dan nilai tersebut masih belum dapat menutupi biaya program pengurangan emisi di negara-negara berkembang

Sedangkan Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang dan terdiri dari puluhan ribu pulau sangat berkepentingan terhadap agenda pemanasan global. Kenaikan suhu yang dapat mencairkan es di antartika akan menyebabkan kenaikan air laut. Akibat lebih jauhnya pulau-pulau kecil di Indonesia terancam tenggelam, permukiman maupun usaha yang berada di pinggir pantai akan terancam dan nelayan Indonesia yang berjumlah 37 juta jiwa akan menjadi korban yang paling mengenaskan.

Berbagai kebijakan telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk mendukung upaya pengurangan pemanasan global. Ada beberapa kebijakan yang mendukung upaya pengurangan pemanasan global seperti gerakan penanaman 100 juta pohon pada hari kebangkitan nasional ke-100, restorasi kembali hutan, pemberantasan illegal logging dsbnya. Namun beberapa kebijakan lain tidak mendukung pengurangan pemanasan global malah menambah jumlah CO2 di atmosfer, seperti penerbitan PP no 2/2008, perluasan perkebunan kelapa sawit. Dan ada juga kebijakan yang dipertanyakan efektifitasnya seperti pembentukan DNPI dan perdagangan karbon di daerah.

Pemerintah melalui Departemen Kehutanan melakukan restorasi (dikembalikan seperti semula) di Jambi dan Sumatera Selatan seluas 101.000 hektar (Jambi 49.000 ha dan Sumsel 52.000 ha). Restorasi merupakan sebuah kebijakan untuk penyelamatan hutan. Program restorasi itu akan difokuskan untuk hutan produktif, taman nasional, dan hutan lindung. Kawasan Harapan Rainforest di Jambi dan Sumsel memiliki kekayaan flora dan fauna, dan teridentifikasi menjadi tempat hidup 287 jenis burung yang di antaranya 70 jenis terancam punah. Selain itu, hidup pula 58 jenis mamalia, 43 jenis amfibi, dan 159 jenis pohon yang salah satunya kayu khas Jambi yang mulai langka yaitu kayu bulian (Eusideroxylon zwageri), serta harimau Sumatera.

Tidak hanya restorasi, Departemen Kehutanan memiliki target mitigasi lain yaitu rehabilitasi hutan meliputi 11 juta hektare di tahun 2009, ditambah 4.8 juta hektare lagi pada tahun 2012, 16 juta hektare pada tahun 2025 dan keseluruhan area yang tersisa pada tahun 2050. Departemen Kehutanan juga mempunyai target menurunkan deforestasi dan mengurangi kebakaran hutan sebesar 50% di tahun 2009.

Kepolisian RI juga tidak kalah sigap berpartisipasi memerangi pemanasan global. Ketegasan pimpinan polri memberantas illegal logging yang marak terjadi patut di acungi jempol. Beberapa cukong kayu kelas kakap berhasil di tangkap polisi. Operasi hutan lestari yang dilancarkan polisi di Kalimantan Barat berhasil menangkap setidaknya 14 aparat kepolisian (dari Polres dan Polda) serta 26 orang lainnya mulai dari pejabat pemerintah Dinas Kehutanan Ketapang hingga pengusaha dan pedagang perantara. Dua belas ribu meter kubik kayu gelondongan senilai kurang-lebih Rp208 milyar (US$22.6 juta), yang siap dikirim dengan 19 kapal ke Kuching di Malaysia, telah berhasil disita. Selama penyelidikan, Kapolda Kalimantan Barat ditarik ke markas besar di Jakarta. Ia dianggap lalai membina anak buahnya, walaupun belum tentu akan dituntut. Sementara itu, pemilik kapal yang menjadi buronan telah ditangkap. Salah satu pejabat tingkat tinggi lainnya yang terlibat, yaitu Adi Murdani, wakil bupati Kayong Utara, di Kalimantan Barat.

Komitmen pemerintah dalam mitigasi pemanasan global dipertanyakan setelah dikeluarkannya PP no 2/2008. PP tersebut disinyalir oleh beberapa LSM sebagai upaya “legalisasi” alih fungsi hutan khususnya untuk pertambangan. Rendahnya harga yang ditawarkan dalam PP tersebut juga telah memunculkan keprihatinan karena tidak menghargai jasa dari fungsi penyediaan, pengaturan dan cultural yang disediakan oleh hutan.

Kebijakan lain yang layak dipertanyakan juga adalah keputusan Menteri Kehutanan mengeluarkan kembali ijin penebangan hutan yang meliputi sebagian Taman Nasional pulau Siberut, Sumatra Barat, kepada perusahaan PT Salaki Summa Sejahtera. Empat ribu hektare dari lahan HPH seluas 49.000 hektare terletak di dalam hutan lindung. Padahal IPCC telah menyatakan bahwa pelepasan karbon hutan akibat deforestasi menyumbang 18% gas rumah kaca di atmosfir. Sehingga mencegah deforestasi terutama di daerah tropis termasuk Indonesia, dapat berperan penting dalam mengurangi peningkatan karbon di atmosfir.

Ada lagi kebijakan yang mengkhawatirkan stakeholder lingkungan, yaitu kebijakan agrofuel dari kelapa sawit. Permintaan agrofuel yang tinggi dari Negara-negara maju untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan perluasan perkebunan kelapa sawit khususnya di Indonesia meningkat pesat. Apalagi peraturan biofuel yang dikeluarkan oleh uni eropa mewajibkan semua bahan bakar yang dipasok ke Eropa harus mengandung minimal 2,5% agrofuel dan naik menjadi 5% pada tahun 2010. Perluasan kebun kelapa sawit menyebabkan hutan dialihfungsikan, bahkan ada yang membakar hutan untuk mempercepat proses penyediaan lahan. Jadi jangan heran apabila baru-baru ini LSM Internasional sekelas “green peace” “mensabotase” salah satu kapal pengekspor kelapa sawit karena diduga kelapa sawit yang dihasilkan berasal dari pembakaran hutan.

Perluasan perkebunan sawit paralel dengan timbulnya konflik sosial, tumpang tindih kebijakan nasional dan lokal. Hal ini dapat dilihat di Sumatra Selatan, kawasan yang menyumbang 1,6 juta ton minyak sawit, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit memicu konflik yang melibatkan kekerasan terhadap masyarakat. Di Riau, kawasan dengan laju kerusakan hutan tertinggi di dunia, ekspansi perkebunan sawit mengakibatkan konflik sosial, konflik dengan manusia dengan satwa, karena semakin kecilnya kawasan hutan yang tersisa.

Ekspansi perkebunan sawit bukanlah solusi bagi perubahan iklim, sebaliknya dapat memperburuk keadaan dengan membabat hutan dan mengkonversi kawasan gambut. Pengelolaan Hutan berbasiskan kerakyatan yang menjaga keseimbangan siklus karbon disepakati menjadi pilihan terbaik, baik bagi masyarakat maupun lingkungan.

Untuk menindaklanjuti agenda pemanasan global dalam bentuk taktis dan teknis, pemerintah membentuk dewan nasional perubahan iklim (DNPI). DNPI resmi terbentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008. Tugas DNPI yaitu merumuskan kebjiakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim, mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliput kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan perdanaan, merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdaganagan karbon, melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim, dan memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.

Beberapa pengamat lingkungan menyatakan pembentukan komisi khusus Perubahan Iklim justru tidak akan menyelesaikan masalah perubahan iklim dan dampaknya secara tepat dan konkret. Pemerintah sampai saat ini telah membentuk 51 komisi yang cenderung tidak menyelesaikan masalah karena kinerjanya yang tidak membaik. Hasilnya malah pengeluaran budget anggaran untuk hal yang tidak perlu. Seyogyanya pengendalian perubahan iklim adalah tanggungjawab KLH yang berkoordinasi dengan Bappenas.

Perdagangan karbon dunia semakin meningkat sejak ditandatangani Protokol Kyoto. Di bawah kesepakatan Protokol Kyoto, negara industri maju penghasil emisi karbon dioksida diwajibkan membayar kompensasi kepada negara miskin dan atau berkembang atas oksigen yang dihasilkannya. Di Indonesia beberapa provinsi sudah mulai melakukan perdagangan karbon, seperti Sumatera Barat (Sumbar) dan Papua.

Pemerintah Provinsi Sumbar melakukan penjualan oksigen yang diproduksi hutan lindung seluas 865.560 hektar. Penawaran pembelian oksigen dari hutan lindung datang dari Carbon Strategic Global (CSG) Australia senilai Rp900 miliar per tahun. Pembagian penjualan oksigen tersebut dibagi 60 persen untuk kabupaten/kota, 20 persen bagi pemerintah provinsi, dan 20 persen lainnya untuk pemerintah pusat.

Tidak kalah sigap, Gubernur Papua Barnabas Suebu menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan PT Emerald Planet serta mitranya dari Australia, New Forests Asset Management, untuk menjajaki potensi perdagangan karbon di Papua. NFAM menyatakan akan menanam investasi US$10 juta untuk mengadakan penelitian di Mimika, Mamberamo dan Merauke, dan jumlah cadangan karbon di tiga kabupaten.

Departemen Kehutanan menyatakan skema REDD resmi pertama Indonesia akan dilaksanakan di area lahan gambut Kalimantan Tengah. Dengan dana US$30 juta dalam bentuk hibah dari Australia, proyek itu dimulai bulan Juni 2008 lalu. Menurut laporan Jakarta Post, masyarakat akan dilarang merambah hutan, dan akan dibangun kanal untuk mencegah kebakaran hutan dan untuk menghidupkan kembali lahan gambut.

Skema REDD sendiri sebenarnya mendapat penolakan kuat dari LSM lingkungan. Penolakan tersebut karena REDD hanya memberikan kompensasi terhadap pelepasan karbon yang tercegah. Tetapi, tidak menghargai fungsi hutan secara menyeluruh, termasuk manusia yang menggantungkan kehidupannya pada sumber daya hutan. Tidak hanya itu, dengan berdagang karbon, sama halnya memberikan legalisasi kepada negara maju untuk menebar polusi. Padahal, semestinya mereka berkonsentrasi menurunkan emisi karbon dengan transfer teknologi bersih.

Langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk memerangi pemanasan global patut diapresiasi namun perlu perbaikan agar agenda pemanasan global berjalan efektif dan mendapat dukungan masyarakat.

II. Pertemuan COP ke-14 di Polandia
Setelah COP ke-13 berakhir, agenda pemanasan global lainnya yaitu penandatangan Deklarasi Tokyo-sebuah komitmen bersama untuk mengatasi perubahan iklim pada tanggal 15 Februari 2008. Pendatanganan deklarasi dilakukan di tengah Climate Savers Summit 2008 yang diselenggarakan oleh WWF dan Sony di Tokyo. Kelompok bisnis seperti Sony, Nokia, Nike dan perusahaan-perusahaan besar lainnya hadir dalam deklarasi tersebut. PBB memberikan mendukung terhadap deklarasi tersebut karena anggaran sebesar $ 50 Miliar untuk menanggulangi perubahan iklim 84%nya berasal dari pihak swasta. Dukungan yang diberikan perusahaan multinasional tersebut memberikan indikasi bahwa isu pemanasan global sudah merupakan bagian dari kebijakan internal perusahaan.

Agenda pemanasan global lainnya yaitu perundingan perubahan iklim global di Accra, Ghana 21-27 Agustus 2008 lalu. pertemuan tersebut dihadiri 1.600 wakil dari 160 negara yang berdiskusi mengenai penyusunan perjanjian perubahan iklim. Perundingan kali ini membahas metode dan aturan pengurangan emisi gas rumah kaca negara industri utama setelah Protokol Kyoto dianggap gagal.

Perbedaan antara Negara industry dan Negara berkembang semakin tajam, terlebih setelah Uni Eropa menginginkan adanya diferensiasi dalam peringkat negara berkembang dan negara berkembang yang besar ikut menurunkan emisi. Di lain pihak kelompok G77 dan China menginginkan agar ada pengaturan institusi di bawah UNFCCC untuk alih teknologi dan keuangan.

Pertemuan perubahan iklim tahun 2008 ditutup dengan COP ke-14 tanggal 1-12 Desember di Poznan, Polandia. Masih seperti sebelumnya, COP 14 ini juga akan memfokuskan diri untuk menindaklajuti hasil pertemuan Bali yang biasa disebut Bali Action Plan dengan empat building block nya, yakni Mitigasi, Adaptasi, Teknologi Transfer, dan Finansial. Selain hal tersebut, Reduction Emission on Deforestation and Degradation in Developing Countries (REDD) masih menjadi pembicaraan hangat.

Pada pembukaan tersebut, pimpinan negara troika (penyelenggara COP ke-13, 14 dan 15), Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (diwakili Rahmat Witoelar), PM Polandia Donald Tusk, dan PM Denmark Anders Fogh Rasmussen mengeluarkan Deklarasi. Deklarasi tersebut antara lain mengimbau agar menjadikan krisis keuangan bahkan sebagai kesempatan untuk melakukan aksi konstruktif dalam mengatasi perubahan iklim, sekaligus menjadi stimulus untuk mencapai tujuan pada isu perubahan iklim secara cost efficient melalui pertumbuhan ekonomi ke arah sustainable low-emission. Pertumbuhan ekonomi yang sustainable low-emission bersama pengalihan sumber energi pada gilirannya akan menjamin ketersediaan energi jangka panjang dengan harga terjangkau yang sekaligus menjadi solusi atas perubahan iklim global. Ketiga pemimpin dunia itu menyerukan agar upaya masyarakat internasional diarahkan kepada pembentukan instrumen-instrumen baru yang dilandaskan pada prinsip dasar yakni pembentukan sinergi antara pertumbuhan ekonomi dan aksi untuk melindungi iklim bersamaan dengan peningkatan kepedulian publik melalui penghentian cara-cara konsumsi yang tidak berkelanjutan.

Indonesia melalui Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar membawa agenda pembuatan visi bersama perubahan iklim secara mendalam pada konferensi COP 14 di Poznan. Namun visi ini ditolak oleh beberapa Negara berkembang lain karena khawatir pembahasan visi bersama akan lebih banyak menyoroti isu mitigasi atau pengurangan emisi yang pada gilirannya akan memberatkan negara-negara berkembang sekiranya dikenakan kewajiban baru untuk pengurangan emisi.

Hasil konferensi mengenai perubahan iklim di Poznan ditutup dengan hasil yang menampakkan melebarnya jurang antara Negara kaya dan Negara miskin terkait dengan komitmen akan dana (adaptasi) dan target pengurangan emisi. Dari kebutuhan dana adaptasi sekitar 1 miliar dollar AS, Negara-negara maju baru memberikan komitmen sebesar 172 juta dollar AS. Karena itu akan diupayakan ada perundingan pendahuluan September 2009 untuk mempermulus kesepakatan baru pasca-Protokol Kyoto yang direncanakan ditandatangani pada COP ke-15 Desember 2009 di Kopenhagen, Denmark.

III. Prospek Pertemuan COP ke-15 di Denmark
Saat ini kita berharap apapun hasil yang dicapai pada konferensi pemanasan global, seyogyanya tetap dalam kerangka secepatnya mengurangi emisi gas rumah kaca di atmosfir. Berbagai laporan keprihatinan dan bencana alam akibat pemanasan global dapat dengan mudah didapatkan. Sekarang ini konsentrasi seharusnya lebih banyak pada langkah-langkah mitigasi dan adaptasi untuk mengurangi dan mengendalikan dampak pemanasan global.

Mudah-mudahan semua kesepakatan pengurangan dan pencegahan pemanasan global dapat berakhir pada COP 15 di Copenhagen, Denmark. Sikap optimis ini rasanya tidak berlebihan, kepemimpinan global untuk mengarahkan kesepakatan global sudah mulai diperlihatkan oleh Presiden AS terpilih-Barrack Husain Obama.

Pada masa pemerintahan Presiden George W Bush, AS keluar dari Protokol Kyoto tahun 2001, karena Bush menilai perjanjian itu seolah dipaksakan ketimbang direncanakan. Perjanjian ini diangap akan membahayakan kelangsungan bisnis di Amerika dan tidak sesuai dengan tuntutan ekonomi saat ini. Protokol Kyoto juga dianggap memiliki kelemahan dalam mengikat peserta protokol.

Namun setelah pergantian kepemimpinan di Januari 2009, AS punya pemimpin baru, yang memberikan harapan baru terhadap prospek perundingan pemanasan global. Obama berjanji ia akan “terlibat dengan semangat” dalam pembicaraan perubahan iklim global dan bahwa penolakan tidak lagi merupakan jawaban yang dapat diterima atas pemanasan global. Amerika akan terlibat dalam negosiasi perubahan iklim dan membantu memimpin dunia bekerja sama secara global menghadapi perubahan iklim melalui UNFCC. Obama berjanji menginvestasikan 15 miliar dolar AS (sekitar Rp165 triliun) setiap tahun untuk mendukung upaya sektor swasta dalam mengembangkan energi bersih. Rencana Obama adalah mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 80 persen tahun 2050.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button