Pertanian

Permasalahan Perbenihan di Indonesia atau Seeding problems in Indonesia

Tanaman transgenik adalah tumbuhan yang telah disisipi atau memiliki gen asing dari jenis tanaman yang berbeda atau makhluk lainnya. Penggabungan gen asing ini bertujuan untuk mendapatkan tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan, misalnya pembuatan tanaman yang tahan suhu tinggi, suhu rendah, musim kemarau, tahan terhadap serangga pengganggu tanaman, serta kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi dari tanaman alami. Sebagian besar rekayasa atau modifikasi sifat tanaman dilakukan untuk mengatasi kebutuhan makanan penduduk dunia yang semakin meningkat dan juga permasalahan kekurangan protein dan gizi manusia  sehingga pembuatan tanaman transgenik juga menjadi bagian dari pemuliaan tanaman . Hadirnya tanaman transgenik menimbulkan kontroversi masyarakat dunia karena sebagian masyarakat khawatir apabila tanaman tersebut akan mengganggu keseimbangan lingkungan, membahayakan kesehatan manusia, dan mempengaruhi perekonomian global.

Sejarah penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNAatau genyang dimilikinya ke dalam tanaman. Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari yang disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh manusia. Sejak saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial dan peningkatan tanaman terus dilakukan manusia. Tanaman transgenik pertama yang berhasil diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai. Keduanya diluncurkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1996. Pada tahun 2004, lebih dari 80 juta hektar tanah pertanian di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai di dunia merupakan kedelai transgenic.

Untuk membuat suatu tanaman transgenik, pertama dilakukan identifikasi atau pencarian gen yang akan menghasilkan sifat tertentu (sifat yang diinginkan). Gen yang diinginkan dapat diambil dari tanamanlain, hewan, cendawan, atau bakteri. Setelah gen yang diinginkan didapat maka dilakukan perbanyakan gen yang disebut dengan istilah kloninggen. Pada tahapan kloninggen, DNA asing akan dimasukkan ke dalam vektor kloning (agen pembawa DNA), contohnya plasmid(DNA yang digunakan untuk transfer gen). Kemudian, vektor kloning akan dimasukkan ke dalam bakteri sehingga DNA dapat diperbanyak seiring dengan perkembangbiakan bakteritersebut.  Apabila gen yang diinginkan telah diperbanyak dalam jumlah yang cukup maka akan dilakukan transfer gen asing tersebut ke dalam sel tumbuhan yang berasal dari bagian tertentu, salah satunya adalah bagian daun. 
Beberapa contoh tanaman transgenik yang dikembangkan di dunia :
Jenis Tanaman
Sifat yang Telah Dimodifikasi
Modifikasi
Padi
Mengandung provitamin A (betakarotena) dalam jumlah tinggi. Mengandung provitamin A (betakarotena) dalam jumlah tinggi.
Gen dari tumbuhan jagung, dan bakteri Erwinia disisipkan pada kromosom padi.
Jagung, kentang
Tahan (resisten) terhadap hama
Gen toksin Bt dari bakteri Bacillus thuringiensis di transfer ke dalam tanaman.
Tembakau
Tahan terhadap cuaca dingin.
Gen untuk mengatur pertahanan pada cuaca dingin dari tanaman Arabidopsis thaliana atau dari sianobakteri (Anacyctis nidulans) dimasukkan ke tembakau.
Tomat
Proses pelunakan tomat diperlambat sehingga tomat dapat disimpan lebih lama dan tidak cepat busuk.
Gen khusus yang disebut antisenescens ditransfer ke dalam tomat untuk menghambat enzim poligalakturonase (enzim yang mempercepat kerusakan dinding sel tomat).
Kedelai
Mengandung asam oleat tinggi dan tahan terhadap herbisida glifosat. Dengan demikian, ketika disemprot dengan herbisida tersebut, hanya gulma di sekitar kedelai yang akan mati.
Gen resisten herbisida dari bakteri Agrobacterium galur CP4 dimasukkan ke kedelai dan juga digunakan teknologi molekular untuk meningkatkan pembentukan asam oleat

Ketergantungan petani terhadap benih hibrida makin diperparah dengan tidak berpihaknya hukum terhadap petani. Dalam hal perbenihan, petani seringkali dikriminalisasi. Selain itu, UU No 29/2000 tentang perlindungan varietas tanaman (UU PVT) justru menegasikan petani dan hanya mengakomodir kepentingan pemulia tanaman. Undang-undang tersebut mendikotomikan petani dengan pemulia tanaman, dimana petani dan pemulia tanaman berada dalam dua entitas berbeda.

Hak petani adalah hak untuk menggunakan benih (ketersediaan, keterjangkauan, memilih benih dan mengembangkan benih sendiri), sementara itu hak pemulia adalah hak untuk memperdagangkan benih. Hal ini sangat bertentangan dengan filosofis bertani bagi petani. Meskipun saat ini sebagian besar petani mengkonsumsi benih hibrida dari perusahaan agribisnis.

Pada hakikatnya, benih yang dihasilkan tersebut adalah mahakarya dari petani itu sendiri. Petani adalah penghasil, pemulia dan sekaligus pengguna benih. Dengan kata lain, benih adalah karya yang dihasilkan dari oleh dan untuk petani.

Pemerintah sadar atau tidak menciptakan produk-produk hukum yang justru menghambat kreativitas petani dalam berproduksi. Walau telah meratifikasi International Treaty on Plant Genetic Resource for Food and Agriculture, melalui UU No 4/2006, kenyataannya, pelaksanaan teknisnya, pemerintah lebih mengacu pada konvensi internasional lainnya yang tidak memihak pada petani. Misalnya UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU No 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. UU tersebut disesuaikan dengan keinginan World Trade Organization (WTO) yang memproduksi aturan internasional tentang perdagangan dan hak paten atas benih (Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights/Trips). Dalam aturan tersebut, kreativitas petani untuk mengembangkan dan memuliakan tanaman sulit diakomodasi. Bahkan kreativitas petani dapat berbuah hukuman pidana maksimal lima tahun dan denda Rp 250 juta. Hal ini kontras dengan International Treaty on Plant Genetic Resource for Food and Agriculture yang menyebutkan hak-hak petani dan perlindungannya. Kemampuan memuliakan tanaman merupakan ilmu turun-temurun yang dimiliki oleh petani.

Salah satu kasus yang mencuat adalah tuduhan pencurian benih dan sertifikasi liar terhadap petani yang melanggar UU No 12/1992 tentang sistem budi daya tanaman. Pada tahun 2009, tiga orang petani di tangkap dan ditahan oleh PolresKediri, dengan tuduhan melanggar UU Sistem Budidaya Tanaman. PT BISI menyeret para petani ke meja hijau dengan dalih metode penangkaran itu telah dipatenkan PT BISI. Pengadilan Negeri Kediri menjatuhkan vonis 3 bulan kepada para petani tersebut. Pengadilan memutuskan Tukirin dan Suprapto didakwa melakukan pembenihan illegal menggunakan teknik dari penangkaran benih milik PT BISI Kediri. Pengadilan menyatakan mereka berdua melanggar Undang Undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. PT BISI Internasional merupakan perusahaan yang berafiliasi dengan grup Charoen Pokhpand, PT DuPont Indonesia (Pioneer), PT. Syngenta Indonesia dan PT Bayer Indonesia, PT Branita Sandhini (kelompok usaha Monsanto Indonesia), dan lainnya. Kabupaten Kediri dikenal sebagai tempat beroperasinya perusahaan-perusahaan industri benih tanaman pangan. Tidak sekedar menguasai peredaran benih, perusahaan-perusahaan produsen benih tersebut juga mengancam petani yang berupaya membangun kedaulatan benih dengan cara memproduksi benih secara mandiri.

Berdasarkan kasus ini, inovasi yang dilakukan petani menjadi ancaman menakutkan karena dianggap mencuri inovasi perusahaan. Dalam kasus Tukirin, dia dijerat karena mengembangkan inovasi.
Masalah lain yang membuat petani Indonesia amat tergantung pada benih dari negara lain adalah soal hak paten. Sampai saat ini, hanya segelintir peneliti Indonesia yang berhasil menciptakan bibit unggul agar bisa mendongkrak hasil pertanian dan mendapatkan hak patennya.

Padahal, mestinya petani lokal-lah yang paling mengetahui benih seperti apa yang dibutuhkan di lahan miliknya. Lagi-lagi, terkadang masalahnya bukan karena petani kita tidak punya kemampuan. Tetapi sistem hukum, termasuk kesepakatan internasional soal perbenihan juga cenderung merugikan. Paten benih menutup ruang petani untuk mengaktualisasi diri, berpikir dan berbuat kreatif dalam meningkatkan produktivitas hasil pertanian dengan pengetahuan yang dimiliki. Dengan model sekarang ini, hanya perusahaan dan perguruan tinggi yang mempunyai akses untuk memperoleh paten. Petani terkondisikan mengalami ketergantungan sehingga terus menerus membeli benih yang sudah dipatenkan. Dalam jangka panjang, kreativitas petani untuk menghasilkan benih semakin dibatasi. Dampak lanjutan dari keadaan ini adalah monokulturisasi yaitu tumbuhan yang dihasilkan akan semakin homogen dan terbatas. Hal ini jelas menimbulkan erosi dalam keanekaragaman hayati.

Jika kedaulatan benih hendak di wujudkan, petani, akademisi, ilmuwan, lembaga penelitian, dan masyarakat sipil yang lain, dan tentu juga pemerintah, meski bekerja sama, berkonsolidasi memberikan perlindungan kepada petani soal pengembangan dan penggunaan benih yang bersumber dari kearifan lokal. Petani juga harus diberi perlindungan dan hak atas benih yang baik dan tidak merugikan lingkungan pertanian untuk masa-masa mendatang.

Konsentrasi perusahaan dalam industri benih tumbuh substansial. Tahun 2004, 10 perusahaan benih terbesar mengontrol 50% perdagangan benih. Sekarang, mereka mengontrol 73%. Sekarang setidaknya 261 aplikasi paten multi-genome yang mengancam monopoli atas standar DNA umum pada spesies umum pertanian. 77% dari klaim ini dilakukan oleh 6 perusahaan. Saat perjanjian mulai berlaku, diperlukan 13 tahun dan biaya 3 milyar dollar untuk memetakan 1 genome. Hari ini hanya butuh 10 hari dan biaya 5000 Dolar. Dalam 2 tahun hanya butuh 15 menit. Sekali dipetakan, maka ia menjadi sequence digital yang bisa dipakai oleh ahli biologi tanpa tergantung plasma nutfah. Teknologi ini secara fundamental akan membuat turunnya minat pada gen bank dan keragaman hayati.

Alberto Gomez, salah satu koordinator komite internasional yang juga merupakan koordinator komite keanekaragaman hayati dan sumberdaya genetik La Via Campesina menekankan pentingnya perjuangan petani melindungi benih. Gomez mengatakan ketika kita menghadapi krisis multidimensi, dan dunia pertanian kita berada di pusat krisis namun pada saat yang sama menjadi bagian penting dalam solusi menghadapi krisis tersebut. Melindungi benih lokal merupakan salah satu bentuk perjuangan kita menghadapi krisis.

Banyak petani di seluruh dunia menghadapi kriminalisasi karena mengembangkan dan mempertukarkan benih lokal, seperti juga yang dialami petani di Indonesia. Sementara itu petani merasakan secara langsung dampak dari menghilangnya kekayaan hayati akibat benih hibrida dan trasngenik. Padahal tanpa benih tidak ada pertanian, tanpa pertanian tidak ada makanan dan tanpa makanan tidak akan ada manusia. Di dunia saat ini petani adalah korban dari sebuah petempuran penguasaan atas benih. Pertanian terancam oleh industri yang ingin menguasai benih dengan segala cara. Hasil akhir pertempuran ini akan menentukan masa depan manusia, karena kehidupan semua manusia bergantung pada benih-benih tersebut yang merupakan bagian dari pangan utama manusia.

Salah satu aktor dalam pertempuran ini adalah industri benih, ahli genetik, teknologi hibrida, dan agrokimia, yang ingin menguasai benih untuk meningkatkan keuntungan dan sebagai cara untuk memaksa petani mengkonsumsi dan tergantung pada benih industri. Di sisi lain pertempuran ini adalah para petani kecil dan keluarga petani yang menjaga dan menghasilkan benih-benih lokal dengan cara-cara tradisional, benih merupakan warisan masyarakat, yang dipelihara dan dihasilkan oleh petani laki-laki dan perempuan. Benih-benih ini merupakan kekayaan yang digunakan sebaik-baiknya sebagai pelayanan bagi kemanusiaan.

Industri telah menemukan berbagai macam cara untuk merampas benih petani dan melakukan manipulasi terhadap benih tersebut, menandai dan mematenkannya, sehingga memaksa, para petani dari seluruh dunia, untuk membeli benih baru dari industri setiap tahun. Petani tidak bisa menyimpan dan menyeleksi benih dari hasil panen untuk ditanam di tahun yang akan datang. Dengan metode hibrida yang tidak bisa diproduksi kembali oleh para petani, dan hak kekayaan industri atas benih berupa paten atau sertifikasi varietas tanaman, yang dipaksakan melalui perjanjian internasional dan hukum nasional. Tindakan ini merupakan bentuk pencurian, karena semua benih industri pada kenyataannya adalah hasil dari seleksi selama ribuan tahun dan telah dimuliakan oleh para petani.

Perusahaan mengendalikan, membangun monopoli dan merampas kesejahteraan petani, pemerintah yang melayani mereka, menempatkan pangan untuk manusia dan pertanian dalam kondisi yang berisiko. Segenggam varietas yang memiliki sifat genetik seragam telah menggantikan ribuan varietas lokal, mengikis keanekaragaman genetik yang bertahan dalam sistem pangan petani. Menghadapi perubahan iklim, keanekaragaman adalah kekuatan, sedangkan keseragaman adalah kelemahan. Benih komersial secara drastis mengakibatkan berkurangnya kemampuan manusia untuk menghadapi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Inilah yang menyebabkan petani tetap menjaga pertanian, juga termasuk benih yang telah berkontribusi dalam mendinginkan planet ini.

Sebenarnya, pemerintah memiliki harapan yang sama dengan harapan mayoritas agar Indonesia tidak bergantung kepada negara lain dalam hal benih, terutama padi sebagai produk pertanian utama. Namun kenyataannya upaya ke arah kemandirian mengalami banyak masalah. Dan masalah terbesar adalah, Indonesia telah terjebak dalam skema perusahaan-perusahaan multinasional di bidang pertanian dan pangan yang berlindung di balik kekuatan kapitalisme global. Misalnya, dalam hal perakitan tanaman, beberapa galur transgenik telah dihasilkan, namun pemerintah masih harus memenuhi proses penelitian yang memakan waktu lama untuk memperoleh data sebagaimana diwajibkan dalam pengkajian keamanan hayati, sehingga produk yang dihasilkan pemerintah belum dapat dilepas ke publik.

Keberadaan lembaga perguruan tinggi dirasakan masih kurang dalam menunjang program pertanian. Perguruan tinggi semisal Institut Pertanian Bogor (IPB) masih menghadapi tantangan misalnya keterbatasan dana atau anggaran untuk pendidikan, riset dan pengembangan, serta peningkatan kualitas dosen (studi lanjutan) dan tenaga kependidikan. Apabila menginginkan dana riset, perguruan tinggi harus bekerja sama dengan industri atau bisnis multinasional, karena merekalah yang punya banyak dana.

Benih hibrida dan benih hasil rekayasa genetik membutuhkan banyak sekali pestisida, pupuk kimia dan air, meningkatkan pengeluaran dan merusak lingkungan. Benih tersebut juga sangat tidak tahan kekeringan, penyakit tanaman dan serangan hama, telah menyebabkan ribuan kasus gagal panen dan disadari telah menghancurkan perekonomian rumah tangga petani. Industri telah menghasilkan benih yang tidak bisa dibudidayakan tanpa bahan-bahan kimia yang berbahaya,dipanen dengan mesin besar dan diberi bahan pengawet untuk menjaga agar tetap bertahan dalam perjalanan. Namun industri telah megabaikan aspek yang sangat penting dalam pemuliaan benih yaitu kesehatan manusia. Hasilnya adalah benih industri tumbuh dengan cepat tapi kehilangan nilai gizi dan banyak mengandung bahan kimia. Inilah penyebab alergi dan penyakit kronis, kontaminasi tanah, air dan udara yang dihirup.

Kebalikannya, sistem yang digunakan oleh petani dalam menemukan kembali, menghargai, mengkonservasi, beradaptasi terhadap proses seleksi lokal, memproduksinya kembali di lahan, melakukan pertukarkan benih antar petani, mampu mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman hayati genetik dalam sistem pangan dunia kita, memberikan kemampuan dan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk menghadapi lingkungan yang berbeda-beda, dan iklim yang berubah serta kelaparan di dunia ini.

Benih petani dapat beradaptasi lebih baik dengan kondisi lokal, menghasilkan makanan yang lebih bergizi, dan memiliki produktivitas yang tinggi dalam sistem pertanian agroekologi tanpa pestisida ataupun asupan lain yang mahal harganya. Tetapi benih hibrida telah membuat kontaminasi pada benih petani sehingga membuat benih tradisional terancam punah. Benih hibrida menggantikan benih petani dari lokasi asalnya dan membuatnya hampir punah. Manusia tidak dapat bertahan tanpa benih dari petani, namun perusahaan menempatkan benih petani dalam kondisi yang berisiko.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Check Also
Close
Back to top button