LingkunganUncategorized

Perketat Regulasi Sampah Plastik atau Plastik Menjadi Hidangan di Meja Makan (Plastic Waste Regulations)

Kesadaran akan sampah plastik di Indonesia meningkat seiring dengan peningkatan kesadaran akan sampah. Puncaknya pada April 2010, ketika itu Peselancar ombak satu Asia asal Cimaja, Sukabumi, Jawa Barat Dede Suryana bersama beberapa temannya menyusuri sebuah pantai di Pulau Jawa. Kang Dede, mengayuh papan surfing, bertekad mengambil ombak pertama, sementara peselancar lain memilih menunggu ombak-ombak berikutnya. Begitu berhasil menemui keseimbangan di ombak pertama, kang Dede langsung memasuki “terowongan ombak” yang lebih mirip terowongan plastik.

Zak Noyle, rekannya yang merupakan fotografer olahraga selancar ombak asal Hawaii, Amerika Serikat (AS), mengabadikan momen tersebut. Foto itu membuka mata masyarakat internasional tentang pencemaran laut oleh sampah, khususnya plastik. Foto ini mendunia setelah menjadi cover beberapa media massa di Eropa dan Australia.

Dede mengakui bahwa sampah plastik di laut cukup mengganggu ketika dia mulai menekuni olahraga surfing, awal 2000-an. Biasanya sampah-sampah meningkat ketika peralihan musim. Tiap tahun sampah semakin banyak, padahal Indonesia surganya surfing. Tak hanya di Jawa, Kang Dede juga banyak menemukan sampah plastik di laut beberapa daerah lain, termasuk Bali.

Pemerintah melalui Kementerian Kemaritiman menyatakan, sampah plastik yang bertebaran di perairan Indonesia, diyakini bisa menimbulkan dampak buruk yang tidak pernah diduga sebelumnya, yakni kemiskinan. Sampah plastik di laut menimbulkan kerugian USD1,2 miliar.

Penelitian yang dilakukan Marine Megafauna Foundation, Universitas Murdoch Australia, dan Universitas Udayana Bali; Elitza Germanov, Andrea Marshall, I Gede Hedrawan, dan Neil Loneragan menemukan mikroplastik ditemukan pada setiap pelaksanaan survei selama musim hujan (wet northwest monsoon season). Kategori mikroplastik adalah serpihan plastik di bawah 5 milimeter. Wilayah penelitian adalah tempat mencari makan bagi pari manta. Satwa yang memakan plankton ini juga kemungkinan memakan banyak potongan plastik.

Rata-rata serpihan plastik yang ditemukan di perairan Nusa Penida yaitu 0,48 potong per meter kubik dan di Taman Nasional Komodo 1,11 per meter kubik. Sehingga diperkirakan potensi pari manta menelan mikroplastik berkisar 40-90 potong plastik per jam. Sampah plastik yang terdapat di laut diukur dari dua lokasi tempat mencari makan pari manta adalah Barat Laut dari Pulau Nusa Penida (Januari-Maret) dan Makassar Reef di Taman Nasional Komodo (April-Mei). Sampel air yang di peroleh berada di dekat lokasi makan Manta alfredi menggunakan plankton net ditarik dengan ukuran 200μm (diameter 15 cm selama 10 menit).

Dampak jangka panjang yang diperkirakan adalah reproduksi terganggu dan populasi hewan yang dilindungi ini menurun terus. Selanjutnya membahayakan ekosistem dan berpengaruh pada dua kawasan pesisir yang terkenal karena obyek wisata bawah lautnya itu. Misalnya di Nusa Penida, berenang atau menyelam bersama pari manta, merupakan salah satu wisata yang paling dicari. Tahun pertama penelitian yang direncanakan selama 3 tahun adalah menjawab asumsi-asumsi tersebut. Pada tahap pertama yang terverifikasi adalah potensi polusi sampah plastik dan serpihannya di lautan.

Jenis plastik yang banyak ditemukan adalah plastik tipis dan pecahan plastik. Rata-rata perhitungan secara visual pada sampah antropogenik di Nusa Penida yaitu 9.215 potong per km persegi dan di Taman Nasional Komodo lebih sedikit yaitu 2.894 potong berdasarkan pengamatan visual.

Pada Februari 2016 pemerintah mencoba mengurangi penggunaan plastik melalui program kantong plastik berbayar seharga Rp 200,-, yang bekerja sama dengan peritel modern. Bulan Oktober 2016, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memutuskan menghentikan program dengan alasan ketiadaan payung hukum untuk pelaksanaan di lapangan. Sangat disayangkan seharusnya programnya diperluas dan ditingkatkan harganya malah dihapuskan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengundang produsen makanan dan minuman untuk mendiskusikan cara pengurangan pemakaian plastik sebagai kemasan produk, dan upaya mendaur ulang sampah-sampah tersebut. KLHK juga sudah membuat edaran ke hotel dan restoran untuk mengurangi plastik. Selain itu, ada sejumlah kampanye yang melibatkan masyarakat, baik lokal maupun turis untuk membersihkan sampah di pantai.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa perilaku membuang sampah di laut akan dinyatakan sebagai tindakan aktivitas ilegal (illegal activity) di laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meluncurkan program Blue and Healthy Ocean untuk mewujudkan ekosistem laut yang sehat. Masalah sampah menjadi salah satu hal yang ditangani dalam program tersebut. Untuk itu Susi bakal meminta data kepada beberapa negara terkait titik perairan Indonesia yang banyak mengandung material sampah, meski tidak ada dalam data satelit.

Dia juga akan memberdayakan Satgas Illegal Fishing untuk menelusuri perairannya. Dalam program tersebut, KKP bakal mengkategorikan jenis sampah yang merusak ekosistem dan biota laut, termasuk populasi ikan di laut. Mudah-mudahan Bu Susi serius menangani sampah plastik, seperti keseriusannya menangani illegal fishing di Indonesia.

Tahun 2017, diadakan Konferensi East Asia Summit (EAS) 2017 yang digelar di Bali. Indonesia mengampanyekan perang terhadap sampah plastik di lautan. Dalam konferensi tersebut, Indonesia menyampaikan beberapa langkah yang telah dilakukan Indonesia untuk memerangi sampah plastik di laut. Diantaranya adalah penerbitan Perpres Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia dan National Plan of Action on Marine Plastic Debris 2017-2025 (Mei 2017), Kampanye Combating Marine Plastic Debris serta Reduction Plastic Bag Production and Use.

EAS merupakan forum regional yang menjadi wadah dialog dan kerja sama strategis para pemimpin dari 18 negara dalam menghadapi berbagai tantangan utama yang ada di kawasan. Ke-18 negara peserta EAS adalah 10 negara anggota ASEAN, Amerika Serikat, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, RRT, Rusia, dan Selandia Baru.

Selayaknya pemerintah merumuskan suatu regulasi yang lebih ketat yang dapat membatasi penggunaan plastik, menetapkan standar untuk mengurangi limbah dalam proses pengemasan dan mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab terhadap pembuangan limbah. Regulasi yang lebih ketat juga dapat mengatur kewajiban-kewajiban mengenai penggunaan ulang, daur ulang, dan pembuangan.

Walaupun Undang-Undang no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menyatakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah memegang tanggung jawab bersama atas sampah. Namun undang-undang tersebut tidak menjelaskan siapa melakukan apa. Sehingga diperlukan regulasi yang lebih detail untuk membatasi penggunaan plastik.

Jika sampah plastik di laut tidak dicegah, maka akan mengancam keberadaan ekosistem laut termasuk biota laut dan manusia. Ikan dan biota laut lainnya mati karena mengonsumsi plastik atau tercekik. Namun jika plastik sudah menjadi mikro plastik akan termakan oleh biota laut. Jika biota laut tersebut tertangkap oleh nelayan, kemudian dijual dipasar. Dan dibeli dan dihidangkan di restoran atau rumah kita, maka kita akan memakan ikan atau biota laut yang mengandung plastik. Kalau satu ikan mungkin tidak masalah, namun jika sering kita makan, maka bukan tidak mungkin mikro plastik tadi menjadi karsinogenik menjadi penyebab penyakit kanker.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button