LingkunganUncategorized

PERAN STRATEGIS INTEGRASI TERNAK-SAWIT DALAM MENSUKSESKAN SWASEMBADA DAGING SAPI

Sapi merupakan ternak penghasil daging utama di Indonesia. Konsumsi daging sapi mencapai 19% dari jumlah konsumsi daging nasional (Dirjen Peternakan, 2009). Konsumsi daging sapi cenderung meningkat dari 4,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2006 menjadi 5,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2007. Namun laju konsumsi ini tidak diimbangi dengan laju peningkatan populasi ternak (ketidakseimbangan antara supply – demand), sehingga diseimbangkan dengan impor daging sapi setiap tahun yang terus meningkat sekitar 360 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 650 ribu ton pada tahun 2008 (Luthan, 2009).

Jumlah ternak ruminansia lokal Indonesia menurut laporan Direktorat Jenderal Peternakan cukup besar yaitu 11,86 juta ekor yang dikelola sekitar 4,6 juta Rumah Tangga Peternak (RTP). Namun sampai saat ini hampir 42% konsumsi daging dalam negeri masih diimpor. Diperkirakan pada tahun 2015, bila tidak dilakukan upaya-upaya yang serius maka hampir 55% konsumsi daging sapi masyarakat akan dibanjiri oleh produk bakalan impor dan daging impor (Luthan, 2009). Menurut Chaniago (2009), Indonesia menghabiskan devisa sekitar 5,5 trilyun rupiah pada tahun 2008 untuk mengimpor sapi bakalan 550.000 ekor, daging sapi beku dan jeroan sapi ribuan ton.

Untuk mengurangi ketergantungan pada impor sapi potong, Departemen Pertanian mengeksekusi program “Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS)” dengan target pemenuhan kebutuhan daging pada 2010 secara domestik sebesar 90 – 95%. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain dengan mendistribusikan bibit sapi potong ke berbagai propinsi potensial untuk dikembangkan secara intensif. Idealnya peningkatan populasi sapi setidaknya mencapai 7% per tahun atau 15 juta ekor pada tahun 2008, namun kenyataannya populasi sapi pada tahun 2008 hanya dapat mencapai 11,9 juta ekor (Dirjen Peternakan, 2009).

Handaka (2009) menyatakan kebijakan pengembangan sistem usahatani di Indonesia, hanya terfokus pada peningkatan produktivitas tanaman, sedangkan komponen ternak terabaikan. Konsekuensi yang terjadi adalah hasil padi dan tanaman perkebunan meningkat secara tajam, sedangkan peningkatan produktivitas ternak stagnan atau relatif konstan. Hal ini ditambah dengan mahalnya penelitian on-farm bidang peternakan, kendala pemasaran pada peningkatan produksi dan adanya kepercayaan bahwa hanya usaha ternak komersial yang menguntungkan”.

Untuk itu diperlukan langkah-langkah pengembangan produksi peternakan diantaranya dengan usahatani sistem integrasi sapi – tanaman, khususnya dengan tanaman perkebunan. Hal ini didukung oleh data dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2009) bahwa potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 100,7 juta ha yang limbahnya dapat mencukupi biomassa pakan sapi sepanjang tahun (1-3 ekor sapi/ha). Bila tidak dimanfaatkan, limbah pertanian akan menjadi masalah dan kendala dalam agribisnis, karena pada saat panen terbuang dan menjadi pencemar.

Integrasi sapi dengan kelapa sawit merupakan suatu sistem usahatani tanaman – ternak yang potensial dikembangkan di Indonesia karena didukung oleh luas pertanaman kelapa sawit sekitar 7 juta hektar dan kesesuaian adaptasi ternak sapi yang baik. Kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini belum swasembada dan sebagian masih diimpor dapat ditingkatkan populasi dan produktivitasnya melalui integrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Integrasi ini juga dapat meningkatkan efisiensi usaha pada perkebunan kelapa sawit.

Sinergi positif yang dapat dicapai dari integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah dapat menjamin suplai pakan bagi ternak sapi, penghematan penggunaan pupuk anorganik bagi tanaman kelapa sawit dan penghematan tenaga kerja dalam pengangkutan TBS kelapa sawit dan tenaga pencari rumput untuk pakan sapi. Dengan adanya integrasi, permasalahan limbah ternak sapi dan limbah kegiatan agribisnis kelapa sawit bukan saja dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali, namun juga memberikan nilai tambah bagi seluruh pelaku usaha. Usahatani integrasi ternak sapi dengan kelapa sawit ke depan juga dapat menyehatkan lahan-lahan pertanian melalui pengembangan penggunaan pupuk organik dan dapat meningkatkan nilai tambah produk CPO sebagai produk organik yang ramah lingkungan.

Perpaduan sistem integrasi tanaman dengan ternak, dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak (resource driven) dengan tujuan daur ulang optimal dari sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia (Low External Input Agriculture Sistem atau LEIAS). Sistem yang kurang terpadu dicirikan dengan kegiatan tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama lain (demand driven) karena didukung oleh input eksternal (High External Input Agriculture Sistem atau HEIAS) (Dirjen Peternakan, 2009).

Pemerintah dalam hal ini kementerian pertanian pada tahun 2010 lalu mengalokasikan Rp27 miliar untuk program integrasi sawit dan ternak sebagai upaya memperkuat industri sapi potong nasional. Upaya ini merupakan salah satu bentuk kontribusi perkebunan untuk program swasembada daging sapi pada 2014.

Lokasi pengembangan integrasi sawit dan ternak ini dilakukan di sejumlah daerah yakni Sumatra Selatan, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Riau. Satu hektare lahan sawit dapat diintegrasikan dengan dua ekor hingga tiga ekor sapi potong.

Namun sangat disayangkan, belum banyak perkebunan sawit swasta yang ingin mengembangkan program integrasi ini. Cerita sukses baru dicapai oleh perusahaan sawit PT. Agricinal di Bengkulu. Banyak hambatan untuk menerapkan integrasi ternak-sawit, salah satunya perusahaan akan menjadi penjamin di bank untuk petani plasma yang akan membudidayakan ternak di lahan sawit.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button