Latar Belakang
Pada awalnya bidang pertanian didefinisikan sebagai segala aktivitas manusia yang memanfaatkan dan mengusahakan sumberdaya alam sebagai tempatnya untuk berproduksi, sehingga pertanian secara luas biasanya meliputi sektor pengusahaan tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, tanaman perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Di negara manapun di dunia ini, perkembangan ekonominya selalu diawali dengan tumbuhnya kegiatan pertanian, karena sektor ini adalah pendukung utama kebutuhan hidup manusia.
Pada saat aktivitas kegiatan pertanian ini diusahakan dengan jumlah produksi yang melebihi dari kebutuhan penduduk suatu daerah atau negara, maka perhatian tidak saja harus ditujukan kepada bagaimana memproduksinya, tapi juga sudah harus diperhitungkan keterkaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain yang menunjang seperti penyediaan kebutuhan input, pemanenan, penyimpanan, pengolahan, serta pemasaran hasilnya. Jadi tidak lagi hanya memperhatikan sisi produksinya saja, tapi juga pemikiran bagaimana mengusahakannya sebagai suatu bisnis yang bisa memberikan kemakmuran pada petani dan masyarakat secara umum.
Inilah yang sekarang ini sering disebut-sebut dengan istilah akademik sebagai sektor agribisnis. John Davis and Ray Goldberg (1957) dalam Saragih (1998) yang merupakan salah satu pencetus dari konsep agribisnis mendefinisikannya sebagai berikut:
“Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distributions of farm supplies; production operations on the farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them”
Berdasarkan konsep tersebut agribisnis tidak bisa dipandang hanya sebagai bisnis pertanian atau kegiatan on farm saja, melainkan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyeluruh dari mulai pengadaan sarana produksi (agro input) sampai pada industri pengolahan hasil dan kegiatan pemasarannya.
Daya saing produk pertanian diperlukan bukan hanya untuk dapat melakukan penetrasi pasar tetapi juga untuk dapat bersaing di pasar dalam negeri dan internasional. Indonesia telah mengambil kebijakan untuk membuka ekonominya dalam bisnis internasional, hal ini tercermin dalam liberalisasi sepihak (unilateral liberalization) yang dilakukan dengan menurunkan tarif impor dan menghilangkan berbagai hambatan non-tarif. Kebijakan ini akan berpengaruh besar pada pentingnya peningkatan daya saing produk pertanian sebagai salah satu komoditas perdagangan internasional.
Pasar produk pertanian adalah pasar yang sangat terbuka dan prospeknya akan terus meningkat pada masa yang akan datang. Akan tetapi di sisi lain terdapat masalah pada kekuatan daya saing produk pertanian sebagai basis dari kemampuan negara dalam menambah kekayaan nasional. Sebagaimana definisi daya saing nasional menurut Institute of Management Development (IMD) bahwa daya saing sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globality dan proximity serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial.
Sistem agribisnis umumnya dibagi menjadi lima subsistem, yaitu subsistem penyedia sarana produksi, usahatani atau kegiatan on-farm (produksi primer), pengolahan (produksi sekunder), jasa dan pengolahan (produksi tersier), dan sisi permintaan pasar atau konsumen, baik luar maupun dalam negeri (Gambar 1). Kelima subsitem agribisnis ini adalah yang dinamakan sistem pelaku agribisnis, karena merupakan pembagian subsistem berdasarkan peranan pelakunya dalam membentuk keseluruhan sistem.
Setiap subsistem agribisnis didukung oleh berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Subsistem penyedia sarana produksi diperankan oleh para penangkar dan penghasil benih/bibit, serta para produsen pupuk, obat-obatan pertanian. Subsistem produksi primer diperankan seluruhnya oleh para petani. Subsistem pengolahan terdiri dari para pelaku agroindustri baik industri kecil, sedang, sampai dengan yang tingkat perusahaan multinasional. Subsistem jasa dan pemasaran diperankan oleh para pedagang dan bandar, kemudian distributor sampai dengan para pengecer dan kios. Sedangkan, subsistem terakhir (hilir) terdiri dari para konsumen produk pertanian, baik berupa hasil segar maupun olahan di dalam dan luar negeri.
Adanya komunikasi dan koordinasi yang baik antar subsistem agribisnis sangatlah penting dalam menunjang keberhasilan pengembangan agribisnis. Tidak berjalannya koordinasi antar subsistem bisa menjadi titik rawan dan simpul-simpul lemah bagi keseluruhan sistem. Dalam hal ini, ketersediaan informasi sangat besar peranannya dalam mendukung komunikasi dan koordinasi antar subsistem yang lancar. Di negara maju, untuk menjamin lancarnya informasi dan terjadinya koordinasi yang baik antar subsistem seringkali dilakukan integrasi vertikal dimana beberapa subsistem yang dirasakan memiliki potensi penyebab terjadinya biaya transaksi tinggi akhirnya seringkali diakuisisi ke dalam sebuah perusahan korporasi agribisnis yang besar. Di Indonesia, idealnya jembatan komunikasi antar subsistem ini dikembangkan dalam bentuk kemitraan yang setara antar pelaku agribisnis yang memiliki kompetensi berbeda sehingga akhirnya bisa terbentuk suatu sistem koordinasi vertikal yang efektif dan efisien. Perbedaan antara integrasi vertikal dengan koordinasi vertikal adalah dalam hal kepemilikan. Terjadinya integrasi vertikal akan mendukung tumbuhnya pelaku agribisnis yang besar. Sedangkan koordinasi vertikal akan memberikan lebih banyak kesempatan pada pelaku-pelaku agribisnis yang kecil termasuk para petani untuk tetap berperan dalam keseluruhan sistem agribisnis.
Gambar 1. Konsep Sistem Agribisnis
Pada setiap subsistem agribisnis dibutuhkan adanya penelitian dan pengembangan teknologi untuk meningkatkan kemampuan produksi serta pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia pada subsistem tersebut. Pada sisi pasar yang penting adalah adanya perlindungan dan informasi yang baik kepada para konsumen sehingga konsumen memiliki banyak pilihan produk dengan jaminan kualitas yang sesuai. Penelitian dan pengembangan serta pelatihan dan pendidikan adalah merupakan tanggung jawab moral dari sistem koordinator yang terdiri dari lembaga kedinasan pemerintah, perguruan tinggi, LSM, Kadin, lembaga keuangan dan perbankan. Sistem koordinator yang menjadi pembina dan pemadu sistem agribisnis seharusnya juga melakukan komunikasi dengan para pelaku agribisnis yaitu untuk menyebarkan informasi tentang hasil-hasil penelitian dan pengembangan teknologi yang siap diaplikasikan serta memberikan pelayanan, pembinaan dan pendampingan.
Keberhasilan dari pengembangan sistem agribisnis sangatlah ditentukan oleh adanya koordinasi dan komunikasi yang lancar antar subsistem dan berfungsinya pembinaan dan pemaduan dari sistem koordinator. Koordinasi dan komunikasi antar subsistem haruslah ditunjang oleh lancarnya arus informasi yang mendukung kerjasama antar pelaku agribisnis. Informasi yang dibutuhkan oleh para pelaku agribisnis untuk berkomunikasi dan melakukan koordinasi adalah berupa data harga, informasi produk, lokasi, waktu, kuantitas dan kualitas produksi, sedangkan jenis informasi yang perlu disamnpaikan dalam komunikasi antara sistem koordinator dengan pelaku agribisnis adalah berupa penyampaian pengetahuan baru yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian dan pengembangan, teknologi baru, penyuluhan dan pendidikan untuk meningkatkan keterampilan, kesempatan berusaha, kesempatan permodalan, dan lain-lain.
Konsep ideal sistem agribisnis dalam penerapannya di lapangan banyak sekali memperoleh permasalahan dan hambatan. Permasalahan yang dihadapi petani dan para pelaku agribisnis lainnya masih tetap kurang lebih sama dengan sebelumnya. Hal ini memperlihatkan betapa tidak sederhananya membangun pertanian, berbeda dengan membangun industri, karena sangat banyaknya pelaku yang terlibat dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi.
Masalah pertama adalah kurang berkembangnya agroindustri sehingga terlalu banyaknya produk yang dipasarkan dalam bentuk komoditas pertanian segar, menyebabkan terlalu dominannya peranan pasar tradisional. Dengan demikian yang memiliki peranan dominan saat ini adalah terpusat pada subsistem jasa dan pemasaran (produksi tersier), utamanya untuk pemasaran masih dalam bentuk produk segar melalui jaringan pasar induk dan pasar-pasar tradisional. Dominasi ini menyebabkan permasalahan pada lumpuhnya arus informasi, karena untuk melanggengkan dominasinya pihak yang diuntungkan merasa harus juga melakukan kontrol terhadap arus informasi. Sehingga gambaran ideal sistem pelaku pada konsep agribisnis dapat digambarkan lagi dalam realitasnya adalah seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Sistem Pelaku Agribisnis Dalam Realita
Akibatnya komunikasi dan informasi hanya beredar diantara subsistem jasa dan pemasaran, pengolahan dengan pasar konsumen. Sementara dua subsistem lainnya yaitu subsistem produksi (on-farm) dan penyediaan sarana produksi menjadi terkucil dan terisolasi dari pasar (Natawidjaja, 2001a). Informasi pasar pada petani menjadi tidak ada artinya karena mereka terpisah dari pasar kompetitif. Demikian pula bagi penangkar dan penyedia benih/bibit informasi tentang produk mana yang banyak diminta pasar menjadi tidak jelas sehingga menyulitkan pengembangan perbenihan komoditas unggulan. Masalah ini merupakan titik paling rawan penyebab macetnya pengembangan agribisnis nasional, di samping juga masalah-masalah lain yang juga semakin memperberat pengembangan daya saing pertanian berbasis agribisnis di Indonesia.
Masalah kedua, sebagian besar pelaku agribisnis saat ini bertumpuk pada susbsistem primer (on-farm) yang diperankan oleh para petani dengan jumlah yang banyak dengan kepemilikan lahan yang sempit, permodalan yang lemah teknologi rendah dan informasi yang sedikit. Sehingga walaupun jumlah pelakunya paling banyak tapi peranannya dalam menentukan jalannya keseluruhan sistem sebetulnya sangat kecil. Karena lemahnya informasi dari pasar, akibatnya petani menjadi tidak terdorong untuk mengadopsi teknologi karena tingkat insentif yang rendah dan resiko yang sangat besar. Karena petani jumlahnya banyak dan tidak terkoordinasi dengan baik pola penanamannya, hal ini telah mendorong sangat berfluktuasinya harga di pasar yang disebabkan sering terjadinya kelebihan produksi.
Masalah ketiga, belum jelasnya peranan sistem koordinator dalam hal ini pemerintah, perguruan tinggi, lembaga litbang dan lembaga keuangan pada keseluruhan sistem agribisnis, sehingga fungsi pembina dan pemadu dari sistem koordinator belum bisa dijalankan dengan baik. Salah satu sebabnya adalah karena pada masa Orde Baru, peranan pemerintah sangat dominan. Pada era tersebut pemerintah telah menjadi komunikator berbagai pihak yang terlibat pada sistem agribisnis dan menjadi komando dari keseluruhan sistem agribisnis, terutama tanaman pangan. Ada dua subsistem agribisnis yang didominasi oleh pemerintah pada masa itu, yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan jasa pemasaran (BULOG). Pemerintah pada saat itu banyak melakukan modifikasi dan peran antara dengan berbagai pihak, termasuk dengan perguruan tinggi dan lembaga keuangan. Sehingga, pada saat pemerintah menarik diri dari peran tersebut maka seluruh sistem seakan-akan kehilangan arah dan dalam kebingungan.
Ketiga masalah diatas memperlihatkan adanya permasalahan yang sangat mendasar pada sistem komunikasi dan arus informasi yang menghubungkan berbagai subsistem pelaku agribisnis dan sistem komunikasi dan arus informasi yang menghubungkan sistem pelaku dengan sistem koordinator. Usaha untuk mengembangkan agribisnis nasional harus terlebih dahulu bisa mengatasi dan turut menyelesaikan tiga permasalahan utama yang cukup berat tersebut.
Dengan berpegang pada konsep daya saing pertanian berbasis agribisnis yang telah diuraikan sekilas dan permasalahan utama yang dihadapi saat ini, sebenarnya kunci utama yang bisa mendorong sistem agribisnis ini ke jalur yang seharusnya adalah dengan mengembalikan dan memperkuat komponen-komponen komunikasi antar susbsistem agribisnis dan memberikan peranan yang jelas bagi berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem koordinator agar bisa menjadi dinamisator dan pemadu yang baik dalam mendorong pengembangan sistem agribisnis nasional.
Ada tiga peranan komunikasi yang bisa memanfaatkan jaringan informasi digital antara lain untuk komunikasi bisnis dan sistem pertukaran (E-commerce), penelitian dan pengembangan, dan penyebaran pengetahuan, teknologi, dan penyuluhan. Untuk semua jenis peranan, aplikasi standar komunikasi melalui Internet tentunya bisa digunakan seperti program komunikasi untuk e-mail, mailing list, chatting, bulletin board, dan pembuatan web page. Selain itu, perlu pula dikembangkan aplikasi khusus agar peranan komunikasi antar subsistem dan lembaga yang terlibat lebih terarah dan efektif seperti dijelaskan pada Gambar 3 berikut ini.
Komunikasi antar subsistem agribisnis guna kebutuhan informasi bisnis serta pertukaran barang dan jasa, sebaiknya juga ditunjang oleh aplikasi khusus yang bisa memberikan informasi tentang data harga, informasi produk, lokasi, waktu, kuantitas dan kualitas produksi sehingga mudah diinterpretasikan dan dianalisa guna menunjang berbagai keputusan penting dalam usahanya. Data penunjang bisnis ini umumnya memiliki ukuran, baik yang nominal, interval, maupun kategori. Data seperti ini umumnya memiliki nilai informasi yang spesifik berkaitan dengan waktu, tempat, dan bentuk. Analisis secara deret waktu dan tempat seringkali dibutuhkan dalam operasional keputusan-keputusan dalam bisnis. Sehingga program aplikasi GDL yang dipakai oleh IDLN tidak sesuai dengan kebutuhan dan jenis informasi seperti ini. Sistem Intelejen Pasar yang dikembangkan oleh Natawidjaja (1999-2001), Weather Data Broker (Laurenson, 2000), dan Asia Pacific Price Information System (Natawidjaja, 2001b) adalah bentuk-bentuk aplikasi yang secara khusus bisa membantu keputusan bisnis para pelaku agribisnis. Informasi seperti ini cepat sekali berubah dan dibutuhkan secara terus menerus dalam operasi bisnis para pelaku agribisnis setiap saat Gambar 3 memperlihatkan bahwa semua pelaku pasar memiliki akses dan bisa berbagi informasi dengan pelaku lain melalui basis Data Bisnis. Informasi yang lancar seperti ini dapat meningkatkan kompetitiveness pasar dan mereinforce berbagai bentuk kemitraan antar pelaku pasar, sehingga bisa mendorong pada bentuk-bentuk kemitraan yang setara.
Gambar 3. Konsep Sistem Informasi Penunjang Pengembangan Agribisnis
Aplikasi GDL sangat sesuai untuk digunakan pada komunikasi penelitian dan pengembangan, serta penyebaran pengetahuan, teknologi, dan penyuluhan. Di sini informasi yang disharing adalah berupa pengetahuan dan informasi yang tidak cepat usang sehingga bisa dicari dan dimanfaatkan kapan saja. GDL disini adalah medium untuk berbagi pengetahuan, ilmu dan teknologi antara perguruan tinggi, lembaga litbang, lembaga diklat, lembaga-lembaga lain, serta pengetahuan dan pengembangan teknologi di lapangan dari Balai Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP). Langkah ini sedang dikembangkan di kalangan perguruan tinggi dan Litbang Pertanian yang tergabung dalam Jaringan Penelitian Pertanian Nasional (JPPN). Gambar 3 menunjukan bahwa sebagian besar petani dan penyedia input di daerah pedesaan bisa mengakses informasi melalui agen informasi yang ada di BPTP yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari gambar juga terlihat bahwa BPTP adalah agen informasi dari data bisnis yang secara akurat bisa menggambarkan kondisi pasar setiap saat, sehingga petugas BPTP tidak saja sebagai penyuluh teknologi tapi juga bisa berperan sebagai konsultan bisnis. Peranan ini bisa mendorong partisipasi petani yang lebih aktif dalam aktivitas pasar, sehingga akan mendorong tingkat kompetisi pasar di daerah-daerah produksi. Sedangkan para pelaku pasar lainnya yang juga bisa mengakses informasi dari GDL dapat turut melengkapi kekayaan knowledge dengan memberikan berbagai pengetahuan dan informasi teknologi yang bersangkutan dengan kegiatan usaha dari masing-masing pelaku agribisnis.
Konsep sistem informasi agribisnis seperti ini diharapkan dapat mendorong lancarnya komunikasi bisnis diantara para pelaku agribisnis dan mendorong koordinasi vertikal yang lebih baik. Di sisi lain informasi dan data bisnis juga diharapkan akan meningkatkan kompetisi pasar dan mengikis para pelaku pasar yang memiliki dominasi dan cenderung untuk menggunakan kekuasaannya guna menarik keuntungan pribadi. Di sisi lain, sistem informasi digital seperti ini diharapkan juga mendorong dinamisasi dan perluasan pasar melalui penyebaran informasi teknologi dan tingkat investasi yang lebih tinggi.
Kajian ini akan memberikan gambaran tentang bagaimana peningkatan daya saing pertanian berbasis agribisnis dan komponen informasi apa yang dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan pengembangannya, namun pada kenyataanya masih banyak kendala dan hambatan yang dihadapi dalam mewujudkan dukungan informasi yang ideal bagi tumbuhnya daya saing pertanian berbasis agribisnis nasional yang kuat. Pemikiran dan usaha untuk mencari solusi untuk turut membantu mengembangkan agribisnis nasional adalah tantangan yang besar dalam mewujudkan masyarakat sejahtera berbasis informasi agar juga bisa dinikmati oleh masyarakat pertanian di pelosok pedesaan. Karena agribisnis adalah suatu sistem, maka didalamnya banyak sekali terkait faktor-faktor dan pihak-pihak yang sangat berperan terhadap keberhasilan pengembangannya. Di sinilah peranan sistem informasi terutama jaringan informasi digital menjadi sangat penting, karena merupakan penghubung dan penyelaras berbagai komponen dari sistem tersebut agar terjadi komunikasi dan koordinasi yang efektif dan efisien. Untuk melakukan peningkatan daya saing pertanian maka dibutuhkan sebuah kajian mengenai Peningkatan Daya Saing Pertanian Berbasis Agribisnis melalui Jaringan Informasi Digital.