Sertifikasi Halal
Penentuan halal tidaknya suatu produk makanan dan minuman pada era global ini tidaklah sederhana, bahkan dapat dikatakan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Hal ini dapat terjadi karena begitu banyaknya bahan utama dan bahan tambahan yang digunakan untuk memproduksi suatu makanan dan minuman dengan asal bahan yang kebanyakan diperoleh dari negara-negara Barat atau negara nonmuslim lainnya yang banyak memproduksi babi dan produk turunannya, serta hewan yang tidak disembelih menurut syariat Islam dan produk turunannya, di samping memproduksi minuman beralkohol. Oleh karena itu, masyarakat muslim di Indonesia yang mayoritas (88%), harus dilindungi haknya, yaitu hak untuk mendapatkan makanan dan minuman yang halal karena hal ini sangat penting bagi muslim. Menurut keimanan Islam, semua bagian tubuh yang berasal dari barang yang haram tempatnya adalah neraka.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjamin hak mendapatkan makanan dan minuman yang halal, pertama adanya jaminan undang-undang yang melindungi hal tersebut. Alhamdulilah, Undang-Undang Pangan telah diberlakukan dimana salah satu pasal, yaitu tentang label dinyatakan bahwa pencantuman label halal merupakan jaminan bahwa makanan dan minuman yang diberi label tersebut adalah halal menurut syariat Islam dan merupakan tanggung jawab produsen yang memproduksi makanan atau minuman tersebut. Dengan pasal ini, ada yang menginterpretasikan bahwa pencantuman label halal merupakan hak produsen sepenuhnya untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dinyatakan dengan label tersebut, sehingga pencantuman label halal dapat dilakukan oleh produsen sendiri tanpa melalui pemeriksaan pihak yang berwenang.
Jika pencantuman label halal menjadi tanggungjawab produsen sepenuhnya tanpa melalui pemeriksaan oleh pihak yang berwenang berlaku, maka akan sangat membahayakan konsumen karena konsumen berada pada pihak yang sangat lemah dan yang kritis, sangat bertentangan dengan aturan pelabelan yang berlaku di seluruh dunia. Pertama, adalah hal yang sangat wajar dan berlaku dimana pun, bahwa apapun yang dinyatakan dalam label oleh produsen telah melalui suatu pemeriksaan oleh pihak yang berwenang. Sebagai contoh, merek dagang, komposisi, khasiat, dll, semuanya tidak dapat dicantumkan begitu saja oleh produsen tanpa melalui pemeriksaan dan persetujuan oleh pihak yang berwenang (di Indonesia, dalam hal ini dilakukan oleh Ditjen POM, Depkes). Jika label halal boleh dicantumkan oleh produsen tanpa melalui pemeriksaan dan sertifikasi oleh pihak yang berwenang, maka hal ini sangat tidak logis dan bertentangan dengan aturan umum yang sudah berlaku, apalagi masalah halal merupakan masalah yang sangat sensitif bagi umat Islam. Masalah kedua, jika hanya produsen yang mengetahui komposisi dan asal usul serta cara memproduksi makanan dan minuman yang diproduksinya, bagaimana pihak yang berwenang dan konsumen mengetahui komposisi dan asal usul bahan yang digunakan serta cara memproduksi suatu produk, dengan kata lain, bagaimana kita mengetahui kehalalan produk tersebut?. Dengan demikian, kehalalan suatu produk sangat bergantung pada tingkat pengetahuan, baik ilmu pengetahuan mengenai bahan dan asal usul bahan juga hukum Islam, dan kejujuran pihak produsen. Jelas hal ini sangat merugikan konsumen dan menempatkan produsen pada posisi yang sangat menentukan hajat orang banyak, padahal kita mengetahui (seperti telah dijelaskan pada tulisan seri kedua) bahwa penentuan kehalalan sangatlah rumit dan memerlukan tingkat pengetahuan yang tinggi baik ilmu pengetahuan maupun hukum Islam serta keimanan (Islam) yang tinggi. Apakah syarat tersebut dapat terpenuhi oleh sebagian besar produsen makanan dan minuman di Indonesia? Jelas tidak, walaupun banyak produsen makanan dan minuman skala kecil adalah pengusaha muslim, akan tetapi tingkat pengetahuan bahan dan asal usul bahan mereka dapat dikatakan rendah, sehingga akan sulit sekali mengetahui mana bahan yang halal dan mana yang tidak dengan tingkat kompleksitas asal usul bahan seperti yang ada sekarang ini. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa produsen dapat ditindak apabila apa yang dinyatakannya (halalnya suatu produk) ternyata diketahui salah di kemudian hari, adalah sangat lemah, karena bagaimana konsumen atau pihak yang berwenang mengetahui kehalalan suatu produk apabila mereka tidak mengetahui komposisi dan asal usul bahannya bahkan cara memproduksinya, dengan kata lain bagaimana mengetahui kehalalannya jika tidak dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu?
Perbandingan konsep jaminan mutu yang dikeluarkan oleh ISO (International Standard Organisation) yang dikenal dengan nama ISO 9000, 9002, yang intinya bahwa mutu suatu produk dapat dijaga sepanjang sistem manajemen jaminan mutu yang telah ditetapkan ISO telah dilaksanakan. Untuk dapat menentukan bahwa suatu produsen telah melaksanakan suatu sistem manajemen jaminan mutu yang telah ditetapkan oleh ISO telah dilaksanakan maka produsen tersebut diperiksa dulu segala sesuatunya yang berkaitan dengan sistem manajemen tersebut oleh suatu badan yang berwenang. Apabila memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, maka produsen ybs dapat diberi sertifikat yang menjamin bahwa produsen ybs telah menjalankan sistem manajemen jaminan mutu yang telah ditetapkan, yang berarti produsen telah dapat menjamin bahwa produk yang dihasilkannya telah memenuhi persyaratan mutu yang berlaku yang relatif terjamin dan terjaga sepanjang waktu yang telah ditetapkan dalam sertifikat. Jika untuk menjamin mutu saja harus melalui pemeriksaan yang ketat seperti itu, bagaimana mungkin penentuan kehalalan suatu produk hanya diserahkan kepada produsen, jika hal itu berlaku jelas sangat tidak logis, apalagi masalah halal sangat berkaitan erat dengan masalah keimanan.
Sebetulnya interpretasi lebih lanjut tentang pasal label halal yang terdapat dalam Undang-Undang Pangan, dapat berarti bahwa produsen, dalam rangka pencamtuman label halal yang menjamin kebenaran apa yang dinyatakannya memerlukan pihak kedua untuk memeriksanya. Hal ini bisa dijelaskan dalam peraturan pemerintah dimana untuk menyatakan dan mencantumkan label halal suatu produsen harus mendapatkan sertifikat halal dari pihak yang berwenang (melalui suatu pemeriksaan yang seksama) bagi produk yang akan diberi label tersebut, dan peraturan ini menurut hemat penulis sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pangan, bahkan sangat sejalan dengan peraturan pelabelan yang selama ini berlaku.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas mengenai peraturan pelabelan halal, maka hal kedua yang dapat dilakukan untuk menjamin hak muslim untuk mendapatkan makanan dan minuman halal ialah adanya pihak yang berwenang yang mampu memeriksa kehalalan suatu produk dengan benar dan jujur yang dapat menjamin kehalalan suatu produk berdasarkan hasil pemeriksaannya tersebut. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh ISO dalam hal jaminan mutu suatu produk yaitu ada suatu lembaga yang berwenang yang memeriksa suatu produsen apakah telah menerapkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan untuk menjamin mutu produk yang dihasilkan. Melalui pemeriksaan ini maka jenis dan asal usul bahan untuk membuat suatu produk serta cara memproduksinya diketahui sejak awal sehingga dapat ditentukan kehalalannya oleh para ahli yang bekerja pada lembaga yang ditunjuk.
Hal ketiga yang dapat dilakukan agar hak muslim mendapatkan makanan dan minuman halal yaitu pihak yang berwenang bekerja keras menyusun daftar bahan baku dan bahan tambahan yang sudah diperiksa kehalalannya, jadi bukan daftar produk halal saja, akan tetapi daftar bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan untuk membuat produk pangan. Ada satu contoh yang bisa dijadikan acuan, di Amerika Serikat ada suatu perusahaan produsen bahan-bahan kimia yang bernama Aldrich. Aldrich mengeluarkan daftar bahan kimia untuk flavor dengan tanda yang jelas mana yang kosher (halal bagi umat Yahudi) dan mana yang bukan. Dengan adanya daftar bahan baku dan bahan tambahan yang jelas kehalalannya, maka akan sangat memudahkan bukan saja produsen dalam memproduksi produk yang halal, tetapi juga pihak yang berwenang dalam menentukan kehalalan suatu produk. Tentu saja untuk membuat daftar ini memerlukan usaha yang sangat keras dan memerlukan waktu yang panjang, akan tetapi jika hal ini dilakukan akan memudahkan pekerjaan semua pihak dimasa yang akan datang.
Hal terakhir yang harus dilakukan untuk terjaminnya kehalalan suatu produk yaitu adanya suatu standar dan sistem jaminan produk halal, yaitu suatu acuan bagaimana memproduksi suatu produk halal dan bagaimana dapat mempertahankan dan menjamin produk halal tersebut dalam jangka waktu tertentu. Sebetulnya sistem jaminan produk halal ini sangat mirip dengan sistem jaminan mutu yang dikeluarkan oleh ISO (tinggal menambahkan unsur jaminan halal di samping jaminan mutu produk), bahkan kita bisa mengajukan hal ini kepada ISO supaya menjadi acuan yang dapat dipakai di seluruh dunia untuk acuan produksi makanan dan minuman halal. Masalah besar yang dihadapi apabila saran-saran di atas dijalankan ialah siapa pihak yang berwenang yang ditunjuk sebagai lembaga yang dapat melakukan penyusunan standar dan sistem jaminan produk halal dan melakukan sertifikasi berdasarkan pemeriksaan. Tentu saja banyak pihak yang akan berkepentingan dalam masalah ini, apakah itu mewakili produsen, konsumen atau pemerintah. Telah banyak pula usulan-usulan yang diajukan oleh berbagai pihak dengan berbagai argumentasinya. Beberapa argumentasi tersebut dapat dikatakan lemah karena ketidaktahuan dan kekurangpengalaman si pengusul. Sebagai contoh, ada yang berpendapat bahwa penentuan kehalalan dapat ditentukan melalui pemeriksaan laboratorium, jelas hal ini tidak benar seperti telah penulis kemukakan pada seri kedua tulisan ini. Ada yang berpendapat bahwa penentuan kehalalan dapat dilakukan oleh produsen saja, tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu, hal ini pun tidak dapat diterima sesuai dengan alasan-alasan yang penulis kemukakan di atas. Belum lama, ada pula yang berpendapat bahwa MUI yang mengeluarkan fatwa tentang halal yang dituangkan dalam bentuk guideline, akan tetapi lembaga pemeriksanya tidak hanya LP-POM MUI akan tetapi lembaga pemeriksa lain juga berhak memeriksa setelah diakreditasi terlebih dahulu (sayang tidak dijelaskan siapa yang berhak mengakreditasi). Pendapat terakhir ini kelihatannya cukup masuk akal, akan tetapi mengingat penentuan kehalalan bukanlah hal yang mudah, mmerlukan kriteria-kriteria yang ketat, maka masih perlu dikaji apakah memang secara teknis dapat dilakukan secara demikian. Sebagai bahan pertimbangan, akan dikemukakan kriteria-kriteria yang diperlukan untuk dapat menentukan siapa yang dapat menjadi lembaga pemeriksa kehalalan suatu produk dan bagaimana cara kerja seharusnya.
Sebelum membahas kriteria lembaga pemeriksa kehalalan, perlu dibahas dulu mengenai fatwa atau guideline. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, masih ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai halal tidaknya suatu barang, selain itu dalam era global ini permasalahan halal telah menjadi kompleks akibat perkembangan teknologi yang begitu pesat. Oleh karena itu, dalam penentuan guideline ini para ahli fiqih harus bekerjasama baik antar ahli fiqih dari berbagai mahzab maupun dengan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, apabila tidak, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa apa yang difatwakan sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sebagai contoh, selama ini banyak ulama yang mengharamkan alkohol (etanol), padahal setelah dibahas pada bagian pertama tulisan ini seharusnya bukan etanol yang diharamkan tetapi minuman beralkohol dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan. Hal ini dapat terjadi karena ulama tidak mendapatkan masukan yang tepat dan proporsional dari ilmuwan, padahal disisi lain ulama pun tidak mengetahui detil sifat-sifat fisik, kimia dan biologis dari bahan-bahan yang ada dalam minuman beralkohol, bahkan mungkin juga tidak terbayang bahwa senyawa kimia yang terdapat dalam minuman beralkohol berjumlah ratusan dan yang menyebabkan mabuk pun tidak hanya etanol. Contoh yang paling baik bagaimana kerjasama ulama dan ilmuwan dalam menetapkan suatu hukum ialah yang terjadi pada Muzakarah Minuman Beralkohol yang diselenggarakan oleh MUI sekitar 3 – 4 tahun yang lalu di Masjid Istiqlal. Melalui perdebatan yang sengit dan panjang antara ulama fiqih dan ilmuwan, maka diputuskan dalam muzakarah tersebut bahwa yang diharamkan bukan etanol, akan tetapi minuman beralkohol dimana minuman beralkohol didefinisikan sebagai minuman yang terbuat dari hasil fermentasi sumber karbohidrat atau yang sengaja ditambahkan etanol ke dalamnya, dan minuman beralkohol hanyalah salah satu jenis dari khamar (artinya masih ada jenis-jenis khamar lainnya yang kriterianya jelas yaitu bersifat memabukkan).
Kriteria lembaga yang berhak menjadi lembaga pemeriksa kehalalan. Ada beberapa kriteria, diantaranya yaitu:
• Harus mewakili aspirasi umat Islam dan anggotanya hanya terdiri dari orang Islam saja, tidak ada yang beragama lain, untuk menghindari adanya bias dan conflict of interest. Perlu diingat bahwa masalah kehalalan berkaitan dengan keimanan sehingga sebenarnya bukan hanya anggotanya orang Islam saja, akan tetapi juga harus terdiri dari orang-orang yang beriman dengan benar. Sayangnya masalah keimanan seseorang tidak mudah dinilai, hanya Allah saja yang bisa menilainya, walaupun ada ciri-cirinya seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, sepanjang anggota-anggotanya orang Islam dan reputasi loyalitas, kejujuran dan kebaikan ahlaknya telah diketahui dengan baik, maka lembaga itulah yang memenuhi kriteria pertama ini.
• Anggota-anggotanya selain memenuhi kriteria nomor satu juga harus ada yang ahli fiqih dan ahli berbagai keahlian yang berkaitan dengan teknologi pangan seperti ahli teknologi pangan, kimia, biokimia, dan lain-lain. Di samping itu diperlukan pula ahli akutansi dan manajemen mengingat pemeriksaan kehalalan bukan hanya berkaitan dengan bahan-bahan yang digunakan dan cara produksi saja, akan tetapi masalah pembukuan dan manajemennya juga harus diperiksa.
• Harus bersifat nonprofit oriented (tidak mencari keuntungan). Walaupun diperlukan biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen untuk menghidupi kegiatan lembaga ini dan melengkapi sarananya, akan tetapi biaya tersebut tidak boleh berlebihan sehingga akhirnya justru akan memberatkan konsumen.
• Mempunyai jaringan yang luas yang melingkupi seluruh wilayah Indonesia agar dapat melayani semua produsen yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
• Harus bersifat independen, tidak mewakili atau dipengaruhi oleh produsen maupun pemerintah. Pemerintah jelas diperlukan perannya yaitu membuat peraturan yang mempunyai kekuatan hukum (seperti peraturan pemerintah) dan pengawasan, akan tetapi pemerintah tidak perlu terlibat langsung dalam proses sertifikasi karena di samping akan memperpanjang birokrasi, juga dapat saja terjadi conflict of interest apabila unsur pemerintah masuk kedalam lembaga pemeriksa tersebut mengingat pemerintah juga mempunyai kepentingan terhadap produsen, misalnya dalam hal pemasukan uang negara.
Dari kriteria yang telah disebutkan di atas, LP-POM MUI kelihatannya memang memenuhi kriteria tersebut asalkan jaringannya diperluas. Hal ini sebenarnya dapat dilakukan mengingat MUI sendiri mempunyai perwakilan-perwakilan di daerah, sehingga LP-POM MUI dapat didirikan di daerah-daerah (sekarang pun di beberapa daerah sudah ada) dimana anggotanya selain para ulama fiqih juga para ahli dengan keahlain yang telah disebutkan di atas yang berasal dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian pemerintah. Adanya kerjasama antara ulama dan ilmuwan merupakan satu kekuatan tersendiri bagi LP-POM MUI di samping kerjasamanya dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian akan juga menambah sarana laboratorium yang diperlukan sebagai penunjang dalam penentuan kehalalan suatu produk, sehingga akan semakin menguatkan posisinya.
Bagaimana dengan lembaga lain seperti milik NU, Muhamadiyah, dll? Pada dasarnya sepanjang memenuhi kriteria di atas dapat saja menjadi lembaga pemeriksa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pemeriksaan kehalalan tidaklah sederhana, di samping itu, perlu ada kesatuan langkah, jangan sampai satu lembaga lebih longgar dari yang lain dalam memberikan sertifikat. Hal ini pernah terjadi dimana LP-POM MUI pusat tidak memberi sertifikat kepada suatu produsen lalu produsen tersebut meminta sertifikat ke LP-POM MUI daerah dan mendapatkannya, jelas hal ini merugikan dan menurunkan kredibilitas lembaga pemeriksa. Kesatuan langkah ini sangat diperlukan, apalagi pada tahap-tahap awal pelaksanaan sertifikasi nasional ini. Oleh karena itu, sebaiknya LP-POM MUI menjadi kordinator dan lembaga yang melakukan akreditasi lembaga pemeriksa kehalalan, sedangkan lembaga-lembaga lain harus berafiliasi ke LP-POM MUI dan bekerja berdasarkan bimbingan LP-POM MUI. Saran ini didasarkan pada kredibilitas dan pengalaman LP-POM MUI dalam menangani sertifikasi halal, di samping memenuhi kriteria-kriteria di atas.
Keuntungan adanya lembaga pemeriksa yang dikordinir oleh satu lembaga pusat adalah adanya kesatuan dan keseragaman keputusan yang memang dibutuhkan untuk menghindari kebingungan umat, karena jika tidak akan menimbulkan polemik dan bahkan kontroversi. Akan tetapi, kerugiannya yaitu akan memunculkan image adanya monopoli. Oleh karena itu, untuk mengurangi kerugian tersebut maka peranan pemerintah sangat besar yaitu bertindak sebagai lembaga pengawas yang dapat melakukan pengontrolan, terutama melalui kerjasama Depag, Depkes serta MUI seperti yang telah dituangkan dalam memorandum kerjasama mereka. Sayang sekali, dalam rincian teknis kerjasama tersebut, auditor yang berasal dari Depkes akan turun bersama-sama dengan auditor dari LP-POM MUI, padahal seharusnya auditor Depkes seharusnya tidak melakukan pemeriksaan kehalalan karena alasan-alasan yang telah dijelaskan di atas yaitu tidak dapat memenuhi kriteria lembaga pemeriksa (Depkes), dikhawatirkan adanya bias dan conflict of interest dan akan memperpanjang birokrasi. Di samping itu, secara teknis tidak mudah melakukan auditing dimana auditornya berasal dari dua lembaga yang berbeda karena memerlukan koordinasi yang sangat baik sekali.
Hal sangat penting dan paling urgen dilakukan adalah membuat guideline, dimana dalam penyusunannya dikoordinasi oleh MUI melibatkan ahli-ahli fiqih dari berbagai mahzab dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan pangan. Di samping pedoman-pedoman bagaimana memproduksi makanan dan minuman halal, juga daftar kelompok makanan dan minuman yang haram, daftar bahan utama dan bahan tambahan makanan yang halal dan haram, juga pedoman pemeriksaan kehalalan.
Pemeriksaan kehalalan dilakukan terhadap bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi suatu produk pangan, cara produksi, administrasi dan manajemen. Terhadap bahan-bahan yang digunakan harus diperiksa secara teliti jenis dan asal usul bahan, sedangkan cara produksi diperiksa untuk menguatkan apa yang dilaporkan oleh produsen mengenai bahan-bahan yang digunakan di samping untuk melihat dan memastikan dari dekat cara produksi yang dilakukan telah memenuhi standar halal. Selain itu, diperiksa pula gudang penyimpanan bahan baku dan bahan tambahan serta produk, kembali maksudnya untuk memeriksa bahan-bahan yang digunakan. Kemudian untuk memperkuat kebenaran jenis bahan-bahan yang digunakan dilakukan pemeriksaan administrasi, misalnya dokumen pembelian bahan. Sistem manajemen perusahaan juga harus diperiksa, apakah telah menerapkan sistem manajemen jaminan halal, kemudian apakah telah ditunjuk siapa auditor internalnya.
Pelacakan jenis bahan dan asal usul bahan memerlukan dokumen pernyataan yang menyebutkan jenis dan asal bahan dari produsen pembuat bahan baku atau bahan tambahan, di samping akan lebih baik jika telah disertifikasi halal oleh lembaga yang berwenang yang telah diakui oleh semua organisasi Islam yang menjadi lembaga pemeriksa di seluruh dunia. Pernyataan produsen bahan baku dan bahan tambahan tidak begitu saja diterima akan tetapi dikonfirmasi dengan pengetahuan mengenai bahan tersebut dari literatur mengenai kebenarannya, di samping informasi yang dapat diperoleh dari berbagai pihak. Sebagai contoh, jika produsen menyatakan bahwa gelatin yang digunakan berasal dari tulang ikan, maka akan ditelusuri siapa pembuatnya, dimana alamatnya, kemudian ditanyakan secara langsung apakah benar memproduksi gelatin dari tulang ikan. Selain itu, melalui jaringan organisasi Islam, kebenaran informasi tersebut dicek.
Permasalahan timbul apabila menurut pengamatan auditor, produk (bahan tambahan makanan, misalnya) yang telah diberi sertifikat halal oleh suatu organisasi Islam di luar negeri ternyata belum tentu halal (syubhat) baik menurut pengalaman maupun pengetahuan yang berlaku mengenai bahan tersebut. Hal ini pernah terjadi dan menimpa penulis sendiri. Untuk kasus seperti ini harus dicari informasi mengenai kredibilitas organisasi yang memberi sertifikat halal tersebut, dan ternyata, untuk kasus yang penulis alami, dari informasi yang diperoleh (dari berbagai organisasi Islam lainnya di negara yang sama) organisasi tersebut tidak dapat dipercaya sehingga sertifikatnya tidak berlaku. Dengan demikian, ternyata kesangsian penulis dalam hal ini benar. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang luas dan erat antar organisasi Islam yang bergerak dalam bidang sertifikasi halal yang tersebar di berbagai negara.
Hasil auditing kemudian dibicarakan di tingkat lembaga pemeriksa lokal sebelum diajukan ke lembaga pemeriksa pusat sebagai penentu akhir. Mekanisme kerja LP-POM MUI sekarang ini setelah dibicarakan di tingkat LP-POM MUI kemudian dibicarakan di tingkat komisi fatwa. Apabila komisi fatwa telah bekerja membuat pedoman-pedoman maka pekerjaan memeriksa hasil auditing seharusnya tidak diperlukan lagi, jika tidak tentu saja tidak akan tertangani karena jumlahnya seluruh Indonesia akan banyak sekali. Yang seharusnya dilakukan ialah pada tingkat LP-POM MUI pusat, hasil pemeriksaan akhir dikonsultasikan ke lembaga pengawas yaitu unsur pemerintah (dalam hal ini perwakilan Departemen Agama dan Departemen Kesehatan RI atau kementerian lain yang mengkoordinasi pangan). Apabila ada ketidaksepakatan maka proses sertifikasi harus diulang kembali.
Apabila suatu produk telah mendapatkan sertifikat halal, maka produsen dapat mengajukan permohonan pencantuman label halal (termasuk nomor sertifikat) sendiri ke Depkes karena selama ini yang mempunyai wewenang mengenai pengaturan label adalah Depkes, kecuali jika peraturannya diubah. Akan tetapi, jika Departemen Kesehatan telah berperan dalam keputusan akhir mengenai kehalalan suatu produk maka otomatis Departemen Kesehatan telah menyetujui label tersebut dan produsen hanya perlu melaporkan bahwa akan mencantumkan label halal ke Departemen Kesehatan dengan menyertakan sertifikat halal untuk produk yang bersangkutan. Jadi, pemberian stiker halal seperti yang diusulkan selama ini sebetulnya tidak perlu, bahkan akan merugikan banyak pihak, baik produsen maupun konsumen seperti telah banyak dibahas oleh banyak kalangan.
2.1.4 Manajemen Teknologi Agribisnis
Teknologi merupakan alat yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai produktivitas yang tinggi, meningkatkan daya saing produk dan untuk memperbaiki standar hidup manusia (Hermawati dan Harjanto, 2002). Di lain pihak manajemen dalam bidang agribisnis adalah aktivitas yang memanfaatkan prinsip dan pengetahuan manajemen dengan berkreasi menggunakan keahlian yang unik dalam mengelola agribisnis (Gumbira-Sa’id, Rachmayanti dan Muttaqin, 2001). Manajemen teknologi tidak mencakup pengetahuan teknis budidaya di lahan usaha saja, tetapi juga meliputi penggunaan mesin-mesin pra panen dan pasca panen, pengetahuan mengenai pengelolaan aspek-aspek teknologi dalam rangka melakukan konversi atau mengubah input (misalnya bahan baku atau sumberdaya alam) menjadi output yang berupa produk akhir yang mempunyai nilai tambah, sehingga dapat menurunkan biaya produksi tetapi mampu memberikan keuntungan maksimum dan memenuhi kebutuhan konsumen
Upaya penerapan manajemen teknologi pada bisnis akan mampu meningkatkan produktivitas yang berupa upaya pencapaian efektivitas pencapaian mutu dan selera konsumen (sasaran Pasar) selain efesiensi biaya produksi yang dikeluarkan dalam membuat suatu produk. Dengan demikian kegiatan tersebut diharapan akan memberikan daya saing pada produk yang dihasilkan.
2.1.5 Manajemen Strategi
Manajemen strategi menurut David (2009) didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai sasaran. Proses manajemen strategi terdiri dari tiga tahap yaitu perumusan strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. Perumusan strategi termasuk mengembangkan misi bisnis, mengenali peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan objektif jangka panjang, menghasilkan strategi alternatif dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan. Manajemen strategi berfokus pada mengintegrasikan manajemen, pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi untuk mencapai kebehasilan organisasi. Tujuan manajemen strategi adalah untuk mengeksploitasi dan menciptakan peluang baru yang berbeda untuk masa mendatang.
Strategi adalah rencana, tuntunan yang jelas untuk tindakan di masa depan dengan memperhatikan konsistensi perilaku masa lampau. Strategi memberikan pilihan tentang apa yang tidak perlu dilakukan dan apa yang harus dikerjakan. Mengingat pentingnya penyesuaian antara kebijakan-kebijakan fungsional dalam suatu organisasi, maka strategi dapat diartikan menciptakan penyesuaian diantara aktivitas-aktivitas yag dilakukan oleh sebuah perusahaan (Porter, 2003).
Sherman et al, (2007) mendefinisikan konsep strategi berdasarkan dua perspektif yang berbeda, yakni :
1. Dari perspektif apa yang ingin dilakukan oleh organisasi. Strategi didefinisikan sebagai suatu program untuk menentukan dan mencapai tujuan organisasi dan mengimplementasikan misinya. Strategi dalam hal ini mengandung makna bahwa manajer memainkan peran yang aktif dan secara sadar dan rasional dalam merumuskan organisasi. Pandangan ini banyak diterapkan dalam lingkungan yang selalu berubah.
2. Dari perspektif apa yang akhirnya dilakukan oleh organisasi. Strategi dalam pandangan ini didefinisikan sebagai pola respon organisasi terhadap lingkungannya sepanjang waktu. Dengan definisi ini, organisasi memiliki strategi namun tidak dirumuskan secara eksplisit.
Wheelen dan Hunger (2001) mengartikan manajemen strategi merupakan suatu himpunan keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja jangka panjang suatu perusahaan. Komponen utama dan tahap manajemen strategis terdiri dari analisis lingkungan bisnis untuk mendeteksi peluang dan ancaman, analisis profil perusahaan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan, formulasi strategi termasuk mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman, menentukan kekuatan dan kelemahan, menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan alternatif strategi, dan memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan serta evaluasi dan pengawasan kinerja nyata suatu organisasi.
Saragih (1998) menjelaskan bahwa keunikan dari manajemen strategi agribisnis terletak pada karakteristik agribisnis yang berbeda dengan bisnis atau sektor ekonomi yang lain dan bukan pada teori ekonomi dan teori pengambilan keputusan yang digunakan. Oleh karena itu, untuk memahami manajemen strategi agribisnis, perlu terlebih dahulu memahami karakteristik dari agribisnis sedemikian rupa sehingga dapat dilihat implikasinya dalam manajemen strategi.
Adapun karakteristik penting dari agribisnis yang membedakannya atau keunikannnya dengan bisnis yang lain adalah keunikan dalam aspek sosial, budaya dan politik, keunikan karena adanya ketidakpastian (uncertainty) dari produksi pertanian yang berbasis biologis. Keunikan lainnya adalah dalam derajat/intensitas intervensi politik dari pemerintah, keunikan dalam kelembagaan pengembangan teknologi serta perbedaan struktur persaingan karena satu-satunya sektor ekonomi yang paling banyak pelaku ekonomi adalah sektor agribisnis (Harling dalam Saragih, 1998).
Manajemen strategik merupakan suatu proses yang mengarahkan organisasi dalam menggambarkan akan bagaimana organisasi di masa depan (envisioning) dan mengembangkan prosedur serta langkah operasional yang diperlukan untuk mencapai kondisi tersebut. Penggambaran akan bagaimana organisasi di masa depan tersebut bukan hanya merupakan usaha untuk mengantisipasi dan menyiapkan masa depan tetapi juga melibatkan suatu kepercayaan bahwa segala aspek organisasi pada masa yang akan datang dapat dipengaruhi dan diubah oleh apa yang dilakukan organisasi saat ini (Goodstein et al., 1993).
Menurut Gaspersz (2004), manajemen strategik bersifat visioner dan realistik serta berupaya mengantisipasi keadaan masa depan yang diinginkan serta dapat dicapai. Perencanaan strategik memberikan struktur untuk pembuatan keputusan praktek dan langkah yang harus diikuti dan bermanfaat bagi perencanaan untuk perubahan dalam lingkungan yang dinamis. Manajemen strategik menetapkan hal-hal yang dapat dilakukan oleh organisasi untuk memenuhi ekspektasi pelanggan dan stakeholders. Suatu proses manajemen strategik harus memiliki beberapa karakteristik diantaranya adanya dukungan penuh dari manajemen puncak, sesuai dengan kebutuhan organisasi dan mudah dipahami, melibatkan partisipasi semua anggota organisasi, mendefinisikan tanggung jawab dan periode waktu yang jelas, memiliki kesadaran terhadap lingkungan dan mengarah pada keputusan-keputusan pengalokasian sumberdaya.
Komponen yang dibutuhkan dalam manajemen strategik seperti yang dikemukakan oleh David (2009) adalah pengembangan pernyataan misi dan visi organisasi, penilaian lingkungan eksternal, penilaian lingkungan internal, penetapan tujuan dan sasaran jangka panjang, perumusan, evaluasi, dan pemilihan strategi. Komponen-komponen tersebut terkait satu sama lain. Manajemen strategis merupakan suatu proses kompleks yang membutuhkan partisipasi penuh organisasi dan menawarkan kerangka kerja untuk menjawab pertanyaan dan memecahkan masalah. Hal yang perlu diwaspadai dan dihindari adalah perencanaan yang terlalu formal sehingga fleksibilitas dan kreativitas organisasi tidak muncul (David, 2009).