Memahami Pertanian Kota
2.1.1. Pertanian Kota dalam Pemikiran
Pertanian Kota sudah mulai diteliti pada era tahun 90-an. Pada tahun 1993 sebuah projek yang di lakukan oleh the Ministry of Agriculture and Co-operatives (MAC) dan the German Development Co-operation (GTZ) yaitu The Urban Vegetable Promotion Project (UVPP) dilakukan untuk mengetahui kegiatan produksi sayuran perkotaan.
Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya urbanisasi merupakan tantangan pada masa mendatang. Pada tahun 1994 diperkirakan 45 % penduduk dunia tinggal di kota dan diperkirakan pada tahun 2025 meningkat menjadi 65 % (Nugent, 2000). Keadaan ini akan menimbulkan permasalahan tentang infrastrur publik, tempat tinggal, tenaga kerja, kerawanan pangan serta permasalahan lingkungan dan sanitasi. Oleh karena itu pertanian kota perlu dikembangkan yang ditujukan untuk (a) peningkatan ketahanan pangan, (b) pengentasan kemiskinan, peningkatan kesehatan masyarakat, pengendalian lingkungan (Baumgartner dan Belevi ,2007).
Studi tentang pertanian kota saat ini terus berkembang dalam kaitannya dengan permasalahan kesehatan masyarakat, serta untuk mengantisipasi permasalahan ketahanan pangan, banjir, penurunan panas kota, efisiensi energi, kualitas udara, perubahan iklim, hilangnya habitat, dan pencegahan kejahatan (Mazeereuw, 2005). Akibat dari keadaan tersebut definisi pertanian kota terus berkembang dan bervariasi serta banyak dijumpai dalam literatur, namun yang sering diacu adalah yang dikembangkan oleh Aldington, 1997; FAO, 1999; Mougeot, 1999; Nugent, 1997; Quon, 1999; Smit, 1996; Bailkey and Nasr. 2000; Baumgartner dan Belevi, 2007. Secara sederhana dari berbagai definisi tersebut, pertanian kota (Urban agriculture) didefinisikan sebagai usahatani, pengolahan, dan ditribusi dari berbagai komoditas pangan, termasuk sayuran dan peternakan di dalam atau pinggir kota di daerah perkotaan
Berdasarkan Urban Agriculture Network, diperkirakan 800 juta orang terlibat dalam pertanian kota di dunia, 200 juta memproduksi untuk dijual ke pasar, 150 juta orang yang bekerja secara penuh Pada tahun 1993 sampai 2005 pertanian kota dapat meningkatkan pangsa produksi pangan di dunia dari 15% ke 33%, pangsa untuk buah-buahan, daging, ikan, dan susu dari 33% menjadi 50%, dan jumlah petani kota dari 200 menjadi 400 million (Baumgartner dan Belevi ,2007).
Fungsi pertanian kota telah diidentifikasi secara baik oleh Mazeereuw (2005), sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.
2.1.2. Pertanian Kota dan Ketahanan Pangan
International Food Policy Research Institute (IFPRI) menunjukkan bahwa kemiskinan dan kekurangan gizi yang dulunya terjadi di pedesaan bergeser ke perkotaan. Kerawanan pangan di perkotaan umumnya disebabkan karena permasalahan ketersediaan pangan, ketidak mampuan rumah tangga miskin di perkotaan untuk mengakses pangan yang aman, berkualitas dalam jumlah yang cukup Tren ini membawa implikasi bagaimana peneliti dan pembuat keputusan mencari pendekatan dan model baru untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan kurang gizi di perkotaan (Rocha , 2000).
Bakker, et al. (2000) menunjukkan bahwa pertanian kota adalah salah satu pilihan untuk mengatasi ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini sejalan pendapat Haletky dan Taylor (2006) bahwa pertanian kota adalah salah satu komponen kunci pembangunan sistem pangan masyarakat yang berkelanjutan dan jika dirancang secara tepat akan dapat mengentaskan permasalahan kerawanan pangan.
Studi yang dilakukan oleh Alice dan Foeken (1996) di kota di Kota Nairobi, Kenya menunjukkan bahwa pertanian kota mampu meningkatkan ketahanan pangan, baik ditinjau dari kecukupan energi, konsumsi protein dan penurunan balita gizi kurang dan buruk.
Beberapa bukti empiris lainnya bahwa pengurangan kerawanan pangan di kota melalui program pertanian kota terjadi di kota Belo Horizonte (BH) di Brazil (Rocha, 2000). Di Amerika utara Food Security Coalition (CFSC) mempunyai komisi yang tujuan utamanya memanfaatkan pertanian kota sebagai instrumen untuk meningkatkan akses pangan yang segar terjangkau dan bergizi dalam rangka mengurangi kerawanan pangan (Brown dan Carter 2003). Pinderhughes (2004), menunjukkan bahwa di Amerika pertanian kota mempunyai peranan dalam pengurangan kemiskinan, kerawanan pangan dan mengatasi permasalahan sampah. Pertanian kota dapat menjamin ketersediaan pangan yang segar dan bergizi, sehingga meningkan asupan sayuran dan buah dan dapat menghemat pengeluaran 15-30 persen anggaran pada pangan (USDA Economic Research Service 2003). Pengeluaran untuk pangan dapat dihemat dan dapat digunakan untuk penanaman komoditi pangan. Studi pertanian kota di pekarangan Philadelphia menemukan bahwa masyarakat dengan pendapatan rendah yang meiliki pekarangan dapat menghemat pengeluran pangan rata- rata $150 setiap musim penanaman (Rhoden and Steele 2002, Pinderhughes 2003).
2.1.3. Pertanian Kota dalam Tata Kota
Hasil penelitian Dewi, Myrna Augusta Aditya (2007) yang berjudul Perumusan Prinsip-Prinsip Zoning Regulation Untuk Kegiatan Pertanian Kota Di Surabaya mengatakan bahwa Pertanian kota merupakan kegiatan pertanian yang dilakukan di lingkungan kota sebagai salah satu bentuk ruang terbuka hijau (RTH) produktif yang bernilai ekonomi dan, ekologis. Dalam prakteknya kegiatan pertanian kota selain menguntungkan juga berpotensi menimbulkan permasalahan dengan kegiatan guna lahan perkotaan lainnya, selain itu ide pengembangan pertanian kota di Indonesia tidak pernah di akomodasi dalam perencanaan tata ruang yang jelas secara spasial dan tidak adanya kebijakan pengembangan kota yang mendukung pertanian kota, sehingga kegiatan ini banyak yang tidak berkembang dan gagal.
Di Kota Surabaya pertanian kota sudah dilakukan oleh masyakarat secara marginal, karena tidak memiliki kekuatan legal, tidak terencana dan tidak terkendali dengan baik. Berdasarkan hal ini maka diperlukan adanya pengaturan dalam bentuk prinsip-prinsip zoning regulation agar pertanian kota tidak lagi saling memunculkan permasalahan dengan guna lahan perkotaan lainnya. Untuk mencapai perumusan prinsip-prinsip zoning regulation tersebut diperlukan adanya identifikasi terhadap karakteristik serta tipologi permasalahan yang melingkupi kegiatan pertanian kota sebagai input dasar untuk merumuskan pengaturan yang diperlukan.
Metode analisis yang digunakan oleh Dewi, Myrna Augusta Aditya (2007) untuk mengidentifikasi karakteristik pertanian kota adalah analisis deskriptif-kualitatif dengan membuat crosstabulasi antar variabel untuk menghasilkan tabulasi perbandingan karakteristik antara pertanian dalam kota dan pertanian pinggiran kota yang juga dibedakan berdasarkan pertanian tanaman pangan dan tanaman non pangan. Penentuan tipologi permasalahan juga dilakukan dengan analisis deskriptif-kualitatif namun dilengkapi dengan analisis triangulasi sehingga permasalahan yang ada dapat v digali lebih luas. Sedangkan perumusan prinsip-prinsip zoning regulation dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif komparatif dan triangulasi dengan mensintesakan pengamatan empiris peneliti, literatur empirik zoning regulation yang pernah diterapkan untuk pertanian kota di luar wilayah, serta kebijakan yang terkait dengan pertanian yang berlaku di Kota Surabaya.
Prinsip pengaturan yang dapat dilakukan secara garis besar terbagi menjadi 3 yaitu pengaturan fungsi, pengaturan intensitas dan proporsi lahan pertanian serta ketentuan teknis. Pengaturan fungsi adalah pengaturan untuk jenis pertanian yang direkomendasikan berada di suatu lokasi. Pengaturan intensitas dan proporsi lahan pertanian yaitu pengaturan intensitas dan proporsi lahan pertanian untuk memimimalisir gangguan dengan landuse kota di sekitarnya. Sedangkan pengaturan ketentuan terbagi menjadi ketentuan teknis untuk meminimalisir gangguan yang terjadi, ketentuan teknis untuk melengkapi infrastruktur dan fasilitas dan ketentuan teknis untuk konflik status lahan. Pengaturan ini ditujukan agar pertanian kota dapat menjadi usaha bersama pemerintah, masyarakat dan swasta untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan untuk lingkungan kota di masa yang akan datang.