Pengelolaan Lingkungan atau Management of The Environment

Menurut Darsono (1995), kelangsungan hidup manusia bergantung pada keutuhan lingkungannya, kualitas hidup manusia terbentuk oleh lingkungannya dan sebaliknya manusia membentuk lingkungan untuk mendukung keberlangsungan hidupnya. Oleh karena itu lingkungan hidup tidak semata-mata hanya dipandang sebagai sumberdaya yang harus dieksploitasi, melainkan terutama sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian antara manusia dengan lingkungan hidupnya.

Lingkungan manusia didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang berpengaruh pada kehidupan manusia itu sendiri. Definisi lingkungan menurut UU no 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Lingkungan hidup terbagi tiga yaitu lingkungan alam, lingkungan social dan lingkungan buatan.

Gambar 1. Lingkungan hidup (manusia) merupakan suatu kesatuan dari lingkungan hidup alam, lingkungan hidup binaan dan lingkungan hidup sosial (Soerjani, 1997)

Soerjani (1997:3) mengatakan ekologi terapan atau yang dikenal dengan ilmu lingkungan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia harus menempatkan dirinya dalam ekosistem atau dalam lingkungan hidupnya dengan kata lain bagaimana menerapkan prinsip dan ketentuan ekologi itu dalam kehidupan manusia.

Manusia perlu menempatkan dirinya dalam ekosistem sebab setiap aktifitas manusia untuk memenuhi kebutuhan dirinya pasti mempengaruhi lingkungan. Semakin banyak manusia dan semakin beragam keinginan manusia, maka lingkungan juga semakin cepat terdegradasi. Aktifitas manusia terbagi dua yaitu fisik dan non fisik. Aktifitas manusia dalam bidang fisik paling sedikit dapat menimbulkan 6 dampak lingkungan berarti, yaitu: dampak manusia atas vegetasi, binatang, tanah, air, perubahan geomorfologi (bentangan alam) dan cuaca serta atmosfer. Selain itu dampak manusia yang bersifat non fisik adalah gangguan terhadap kesatuan manusia dan lingkungannya (Soemarwoto, 2005:34)

Sebenarnya tidak semua masalah lingkungan disebabkan oleh manusia, malah sebagian besar terjadi di luar campur tangan manusia. Gempa bumi, gunung meletus, tsunami, meteor yang jatuh dan sebagainya. Perlu diingat lingkungan memiliki daya lenting yaitu kemampuan untuk kembali ke keadaan seimbang setelah terjadinya gangguan. Keseimbangan lingkungan adalah konsep homeostatis yaitu proses kembalinya suatu system ke keseimbangan atau adanya proses dalam ekosistem untuk mengatur kembali berbagai perubahan dalam system secara keseluruhan.

Atau dapat juga dikatakan homeostatis adalah kemampuan ekosistem untuk menahan berbagai perubahan dalam system secara keseluruhan. Keseimbangan ini diatur oleh berbagai factor yang sangat rumit, dalam mekanisme keseimbangan ini termasuk mekanisme yang mengatur penyimpangan bahan-bahan, pelepasan hara makanan, pertumbuhan organism dan produksi, dekomposisi bahan organic. Proses homestatis membutuhkan jangka waktu yang lama. Karena itu masalah lingkungan yang disebabkan oleh alam, maka alam sendiri yang akan mengembalikan lingkungan ke ke keadaan seimbang atau homeostatis.

Intervensi yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan walaupun kelihatan kecil namun berulang kali terjadi sehingga total akumulatifnya dapat lebih besar dari bencana alam, misalnya menurut data WWF laju deforestasi rata-rata pertahun 2-2,5 juta ha dengan perincian menjadi karet dan kelapa sawit 160.000 ha/tahun, transmigrasi dan infrastruktur 300.000 ha/tahun, perladangan berpindah 300.000 ha/tahun, dan kebakaran hutan karena faktor alam 100.000 ha/tahun. Dari data tersebut terlihat bagaimana intervensi manusia terhadap hutan lebih besar dibandingkan dengan kerusakan hutan akibat bencana alam.

Berbagai kerusakan akibat ulah manusia tersebut disebabkan oleh berbagai faktor utama yaitu:

a. Penekanan pertumbuhan kuantitatif lebih besar dari kualitatif

b. Masalah untuk membuat produk baru sebanyak-banyaknya walaupun diketahui merusak lingkungan.

c. Kecepatan memproduksi lebih besar dari upaya memperbaiki lingkungan. Atau kecepatan pengetahuan memproduksi lebih besar dari kecepatan mengelola lingkungan

d. Kegagalan ekonomi memasukkan biaya sosial dan lingkungan kedalam pengambilan keputusan

e. Kegagalan memasukkan faktor lingkungan ke dalam perencanaan

f. Ketidakmampuan lembaga menyelesaikan masalah koordinasi

g. Tergantung pada upaya mudah dan murah tanpa mempertimbangkan dampak

h. Kegagalan menganggap lingkungan sebagai faktor integrated system

Faktor-faktor utama tersebut menimbulkan berbagai potensi bencana lingkungan. Bencana lingkungan akibat ulah manusia antara lain pengurasan sumber daya alam hutan, penambangan permukaan sembarangan, penggunaan peptisida, pemakaian bahan baar, perluasan pemukiman menimbulkan banyak kerusakan kepada sumber daya alam, pemborosan dan pencemaran lingkungan. Akibat kumulatif dari kerusakan menimbulkan bencana banjir dan kekeringan, pemanasan suhu bumi, penghancuran fungsi sungai dan alam sekitarnya, penyebaran penyakit, pemusnahan kemampuan menyediakan sumber daya alam atau daya dukung dan kehancuran kehidupan itu sendiri. Sedangkan bencana lingkungan menimbulkan bencana kesehatan, antara lain

a. Penyakit saluran pernapasan yang akut akibat pencemaran udara di sekitar kawasan industri, kota, dan pusat kegiatan seperti lapangan terbang komersial

b. Penyakit pencernaan akibat sumber penyakit berasal dari air yang diminum atau yang digunakan akibat pencemaran air dan meningkatnya vektor penyakit yang berkembang di perairan

c. Keracunan bahan kimia beracun yang dihasilkan dalam produksi bahan konsumsi-asbestos dalam AC

d. Penyakit kejiwaan dan stress akibat kebisingan dan kepadatan yang berlebihan

e. Penyakit akibat dosis tinggi gelombang pendek dan panas yang berlebihan

f. Penyakit kanker yang diketahui banyak disebabkan oleh kualitas lingkungan yang buruk-asap rokok, air minum carcinogen, dsb

g. Mutasi genetika akibat terkena bahan kimia secara terus-menerus

Membiarkan kerusakan lingkungan hingga menimbulkan berbagai dampak, dapat merugikan manusia dan ekosistem disekitarnya. Kalau dikatakan saat ini bumi sedang sekarat oleh ulah manusia, pernyataan tersebut tidak tepat karena saat ini manusia yang terancam kepunahannya akibat perbuatannya sedangkan bumi keberadaannya tetap dengan ada atau tidaknya manusia. Oleh karena itu lingkungan perlu dikelola agar dapat memberikan manfaat optimal tidak hanya saat ini namun juga untuk masa depan. Dalam gambar 2 terdapat hubungan antara ekosistem dengan aktifitas manusia (Haeruman, 2006:1)

Gambar 2. Hubungan Antara Ekosistem dengan Aktifitas Manusia (Haeruman, 2006:1)

Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya selalu mengolah sumber daya alam. Sumber daya alam didefinisikan menurut Grima & Berkes (1989) dan Fauzi (2004) adalah asset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia. Tietenberg (2000) menggolongkan sumber daya alam sebagai berikut:

a. SDA yang bisa diperbaharui (renewable resources):

– Storable seperti hutan – Reproducible private property resources seperti pangan – Renewable common-poverty resources seperti ikan

b. SDA yang tidak dapat diperbaharui (non renerwable resources):

– Non-recyclable seperti minyak bumi – Recyclable seperti mineral

Dalam mencari sumber daya alam, manusia selalu menghasilkan limbah. Limbah dibuang ke lingkungan Sumber alam yang terus menerus diambil akan menyusut sehingga aktifitas pengambilan sumber alam suatu saat akan terhenti. Pemanfaatan SDA secara berkelanjutan harus dapat dinikmati antar generasi, dimana menurut Salim (1999) satu generasi adalah untuk masa 20 tahun.

Agar terjadi keseimbangan pada aktifitas mengolah sumber daya alam agar tidak terjadi kelangkaan dan aktifitas membuang limbah ke lingkungan agar tidak merusak lingkungan maka perlu ada sistem yang mengaturnya. Sistem tersebut ada tiga yaitu legal (peraturan), market dan sosial value system. Sistem tersebut disebut pengelolaan lingkungan.

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup. Pengelolaan sendiri dalam aspek manajemen dibagi 4 yaitu Planning, Organization, Actuating, and Controlling (POAC)

. Planning atau perencanaan adalah hal-hal yang diputuskan untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Mengapa definisi tersebut menjadi penting karena selama ini terjadi masalah efektifitas perencanaan. Semua masalah ingin diatur dan diselesaikan tanpa memperhitungkan posisi strategis atau dampaknya, misalnya perencanaan pemerintah Indonesia untuk masuk terlalu jauh pada pasar memberikan proteksi pada satu industri atau subsidi pada industri yang tidak strategis sehingga tidak terjadi mekanisme pasar yang semestinya akibatnya pemerintah menjadi “pasar besar”. Perusahaan yang seharusnya berorientasi pada pencapaian kepuasan konsumen menjadi bagaimana melayani pemerintah. Perusahaan yang menjadi anak emas pemerintah pada akhirnya di sapu bersih gelombang krisis moneter dan mekanisme pasar bebas karena tidak terbiasa dengan iklim kompetisi.

Pengelolaan harus dilembagakan agar terstruktur, professional dan perencanaannya terukur. Pelembagaan atau pengorganisasian juga berguna untuk mendesain pelaku perencanaan. Actuating adalah bagaimana mengimplementasikan perencanaan yang telah dibuat dan indicator kesuksesannya. Controlling adalah bagaimana mengevaluasi perencanaan yang telah ditetapkan.

Pengelolaan lingkungan hidup tidak berarti lingkungan tidak boleh diapa-apakan atau lingkungan boleh dimanfaatkan sebesar-besarnya (maksimal). Pengelolaan berarti menjaga keseimbangan lingkungan atau melestarikan fungsi lingkungan. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

Pengelolaan lingkungan yang terdiri dari tiga yaitu legal, market dan sosial value system sangat efektif untuk mencegah degradasi lingkungan. Peraturan yang berisi sanksi berguna untuk mengendalikan aktifitas manusia agar mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Peraturan bersifat memaksa dan mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi apabila dilanggar. Dinegara-negara maju sistem market untuk membendung aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan terbukti lebih efektif. Karena kesadaran lingkungan yang tinggi, mereka akan memilih produk yang mudah di daur ulang, memboikot perusahaan yang diduga mencemari lingkungan dan mendukung upaya perusahaan tertentu yang menggunakan bahan-bahan natural seperti perusahaan kosmetik Body Shop. Sosial value system juga terbukti efektif mengingatkan pelaku pencemaran lingkungan. Bahwa pelaku kebaikan akan ditempatkan di surga dan pelaku kejahatan akan ditempatkan di neraka merupakan upaya untuk selalu mengingatkan manusia agar segala tindakannya tidak merugikan orang lain.

Pengelolaan ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Mencapai kelestarian hubungan manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia seutuhnya.

2. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.

3. Mewujudkan manusia sebagai pembina lingkungan hidup.

4. Melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah

1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup;

2. Terwujudnya manusia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;

3. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;

4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;

5. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;

6. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup, manusia sebagai pelaku utama perubahan lingkungan harus mau berubah baik itu cara berpikir atau paradigma maupun tingkah laku.

Pertama perubahan paradigma. Perubahan cara berpikir yang utama adalah perubahan dari berpikir linear menjadi holistic dan perubahan dari filsafat modern menjadi filsafat ilmu lingkungan. Pendekatan klasik sangat dipengaruhi oleh pendekatan linear yaitu pendekatan yang berdasarkan sudut pandang model rasional dalam menyelesaikan suatu masalah. Menurut pendekatan linear suatu masalah disebabkan oleh suatu sebab yang mempengaruhinya, karena itu penyelesaian masalah sangat tergantung pada kemampuan kita mempengaruhi factor penyebab masalah, misalnya kasus Lumpur lapindo karena adanya Lumpur menggenangi pemukiman penduduk maka penyelesaiannya dengan menghilangkan Lumpur yang menggenangi pemukiman penduduk.

Sedangkan pendekatan baru dipengaruhi oleh systems thinking yaitu pendekatan yang melihat suatu masalah secara menyeluruh (holistic). Menurut pendekatan ini masalah dianggap bersikap terbuka yaitu berinteraksi dengan lingkungannya baik internal maupun eksternal. Karena itu pendekatan ini dapat menjelaskan hubungan timbal balik antara berbagai variable permasalahan sehingga dapat diketahui pola perubahan yang terjadi (Azhar Kasim, 2001:39). Misalnya masalah dampak sosial Lumpur lapindo tidak hanya terkait dengan Lumpur saja tetapi juga berkenaan dengan masalah hilangnya mata pencaharian penduduk (ekonomi), pengangguran (sosial), perhatian pemerintah (politik), hilangnya lingkungan sosial masyarakat (budaya), dsbnya karena itu pendekatan penyelesaiannya ditinjau dari berbagai aspek.

Menurut Keraf (2002, 268), cara pandang filsafat modern menyebabkan degradasi lingkungan karena cara pandang filsafat modern menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan alam terpisah dari manusia yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran manusia atau antropesentris. Oleh karena itu tidak ada cara lain, filsafat tersebut harus diganti dengan filsafat ilmu lingkungan. Filsafat ilmu lingkungan menempatkan manusia bagian dari lingkungan, karena itu apabila lingkungan terganggu, maka terganggu pula kehidupan manusia atau ekosentrisme. Dibawah ini terdapat tabel 1 yang membedakan antara cara pandang filsafat modern dan cara pandang ilmu lingkungan

Tabel 1. Perbedaan Cara Pandang Filsafat Modern dan Ilmu Lingkungan Sony Keraf (2002, 268).

Kedua, perubahan perilaku. Setelah melakukan perubahan paradigma, maka perubahan selanjutnya yang diharapkan adalah perubahan perilaku. Menurut Afifi (2006;3) perubahan perilaku mensyaratkan perubahan pengetahuan. Lihat gambar dibawah 3 dibawah ini:

Gambar 3. Tingkatan Perubahan Perilaku (Wazri Afifi, 2006;3)

Menurut Sarwono (1992) perilaku pada hakikatnya merupakan tanggapan atau repons terhadap ransangan (stimulus), karena itu rangsangan mempengaruhi tingkah laku. Intervensi organisme terhadap stimulus respon dapat berupa kognisi sosial, persepsi, nilai atau konsep. Pengetahuan untuk mengubah perilaku adalah bagian dari ransangan atau stimulus positif yang diberikan kepada individu atau kelompok. Oleh karena itu agar suatu organisasi atau kelompok masyarakat perilakunya berwawasan lingkungan, maka mereka harus punya wawasan lingkungan terlebih dahulu.

Beberapa konsep wawasan lingkungan terbaru sebagai acuan berperilaku ramah lingkungan, misalnya pada konteks perusahaan, menurut Soemantojo (2000) konsep pengelolaan limbah telah bergeser dari tindakan pengelolaan limbah yang bersifat penanggulangan, terhadap limbah yang terlanjur keluar dari proses produksi atau dikenal sebagai end of pipe treatment, menjadi tindakan minimisasi limbah yang bersifat pencegahan yang dikenal sebagai konsep 3R yaitu reduksi pada sumber (Reduction), pemakaian kembali (reuse), dan daur ulang (recycle). Sebenarnya ada lebih dari 3R upaya pencegahan lingkungan, seperti yang dikemukakan oleh Soerjani (2006) ada 13R yaitu: Reduce (dikurangi), Refuse (ditolak), Replace (diganti), Reuse (digunakan kembali), Repair (diperbaiki), Recondition (dikembalikan semula), Reconstruct (dibangun kembali), Recharge (diberdayakan), Rechange (ditukar), Redurability (diperlama masa pemakaiannya), Restrengted (diperkuat), Remediation (diatur kembali), dan Rehabilition (direhabilitasi kembali).

Definisi minimisasi adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi dengan jalan reduksi pada sumbernya dan atau pemanfaatan limbah. Pengertian reduksi limbah pada sumbernya adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang menyebar ke lingkungan secara preventif pada sumber pencemar.

Minimisasi menjadi konsep yang baik kerena memiliki beberapa keuntungan antara lain, yaitu:

a. Minimasi limbah menghemat berbagai sumberdaya yang sangat berharga seperti mineral, energy, hutan alami dan laha

n

b. Minimasi limbah dapat menghemat uang dengan berbagai cara yang dilakukan seperti: lebih sedikit uang digunakan untuk membeli material, biaya pembuangan limbah dapat dikurangi, bisnis menjadi lebih efisien

c. Minimasi limbah dapat mengurangi dampak terhadap lingkungan seperti mengurangi areal yang rusak akibat sumberdaya alam, permanenan dan pembuangan limbah, membutuhkan lebih sedikit bahan bakar fosil dalam menghasilkan energy panas, mengurangi efek rumah kaca dan polusi

Pada konteks kemasyarakatan, ada beberapa perilaku berwawasan lingkungan yang baik untuk diterapkan. Perilaku tersebut berorientasi pada pencegahan pencemaran lingkungan yang terangkum dalam 3R (Recycle, Reuses dan Reduce) yaitu:

a. Recycle

1. Memilah antara sampah organik dan non organik

2. Mendaur ulang segala yang dapat didaur ulang: plastik, kupasan buah segar dan sayur mayur, kertas dan kardus, gelas dan kaleng.

b. Reuse

• Memilih alat rumah tangga atau elektronik yang hemat energi

• Mencari merk yang memperhatikan lingkungan

• Menggunakan tas belanja yang mudah didaur ulang

• Menggunakan kendaraan umum untuk bepergian

• Mulai menggunakan energi bahan bakar alternatif yang tidak hanya dari bahan energi fosil, misalnya biogas, biodisel, surya sel dsbnya

• Mengurangi emisi CFC dan emisi pengganti CFC dengan tidak menggunakan aerosol dan menggunakan energi efisien.

• Memilih peralatan yang mempunyai usia pakai lebih lama

c. Reduce

• Memakai listrik seperlunya,

• Menanam pohon untuk menyerap gas karbon dioksida yang ada di udara.

• Hemat dalam menggunakan air

• Menggunakan sepeda atau berjalan kaki untuk jarak yang tidak begitu jauh <5 km

• Mengurangi penggunaan barang-barang yang tidak dapat didaur ulang.

• Mengurangi penggunaan produk yang tingkat kebutuhannya rendah

Selain dengan cara-cara diatas, ada beberapa cara lain yang biasa juga diklaim oleh perusahaan tentang produk yang mereka produksi, yakni

a. Compostable. Dimaksudkan bagi produk-produk yang jika material-materialnya dipilah bisa dijadikan kompos, pada kurun waktu tertentu akan aman tanpa memberikan dampak buruk bagi lingkungan sekitarnya dan setiap komponen dari produk tersebut dapat terurai secara alami

b. Recycled Content. Ditujukan untuk material-material yang telah dipastikan bisa di daur ulang selama proses manufacturing (pre consumer) atau setelah produk ini jatuh ke tangan konsumen dan digunakan (post-consumer)

c. Source Reduction. Praktisnya dengan menyediakan kemasan produk dengan system refill

d. Ozone Safe/Ozone Friendly. Suatu produk tidak seharusnya diiklankan sebagai ozone friendly atau sebagai produk yang tidak mengandung CFC jika ternyata masih mengandung berbagai bahan kimia yang dapat meningkatkan penipisan lapisan ozon. Umumnya CFC dipakai pada kaleng atau botol dengan system sprai atau aerosol dan lemari es

Sebenarnya dalam konteks lingkungan secara global, sikap yang paling berwawasan lingkungan adalah mengurangi produksi dan konsumsi sumber daya alam. Misalnya dalam kasus pemanasan global yang diakibatkan oleh CO2 khususnya kendaraan bermotor. Beberapa solusi yang telah ditawarkan yaitu reuse, mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar nabati biofuel, misalnya dari jagung atau kedelai. Namun kebijakan tersebut membawa dampak naiknya harga bahan pangan tersebut di sejumlah negara akibatnya rakyat miskin semakin sulit kehidupannya. Atau mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar biofuel seperti jarak atau kelapa sawit. Kebijakan tersebut menyebabkan konversi hutan di beberapa negara. Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berarti mengurangi penyerap CO2 yang berarti berkontribusi juga pada pemanasan global atau menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Solusi yang terbaik adalah mengurangi (reduce) penggunaan bahan yang dapat mengeluarkan CO2 misalnya menggunakan kendaaran umum ketika bepergian atau berkontribusi pada pengurangan CO2 dengan melakukan penghijauan.

Contoh lainnya adalah perbedaan antara makanan yang dikemas pabrik atau tidak. Pihak yang pro makanan dikemas pabrik mengatakan, makanan yang dikemas pabrik akan mengurangi timbulnya berbagai macam limbah, karena produk samping seperti kupasan kulit maupun sisa sayuran masih dapat dimanfaatkan lagi untuk makanan ternak maupun bahan bakar. Ditambah lagi kemasan dari pabrik dapat membuat makanan tetap segar selama beberapa bulan. Sedangkan makanan yang tidak dikemas pabrik, hasil samping akan terbuang sia-sia dan makanan cepat busuk. Sedangkan pihak yang pro makanan tidak dikemas pabrik mengatakan, terlalu banyak energi yang digunakan untuk menghasilkan makanan pabrik. Tambahan lagi bahan pengawet yang digunakan dapat mencemari tubuh dalam jangka panjang.

Dalam kaitannya dengan pola konsumsi berkelanjutan, mengurangi pola konsumsi salah satu caranya dengan mengurangi keinginan kita. Soemarwoto dalam tulisannya di Harian Kompas (22-08-1981) membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan diartikan sebagai sesuatu yang terbatas dan diperlukan untuk mencapai kesehatan, keamanan dan aspek-aspek yang berkaitan secara manusiawi. Keinginan diartikan kebalikannya; tidak ada batasnya, selalu ingin lebih banyak, menanjak tiada batas (the rising demand). Bertolak dari definisi diatas, keinginan yang sesungguhnya mendominasi berbagai ragam persoalan-persoalan dunia, mulai dari individu hingga global universal. Misalnya keinginan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeksploitasi kekayaan-kekayaan sumber-sumber alam tanpa banyak mengindahkan etika lingkungan. Banyak orang kaya makin kaya dan yang miskin kian sengsara. Tidak ada cara lain agar dunia ini harmoni dan berkelanjutan dengan cara mengurangi keinginan kita yang tidak terbatas.

Pengaturan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan telah banyak ditetapkan oleh masyarakat internasional, pemerintah pusat maupun daerah, dan swasta. Pengaturan tersebut terdapat dalam kebijakan dan instrumen manajemen lingkungan seperti yang terlihat pada gambar 4:

Gambar 4. Kebijakan Dan Instrumen Pola Produksi Berkelanjutan (Janicke, Kunig, Stitzel, 1999:290 sebagaimana dikutip oleh Freizer, 2003:2)

Pola produksi berkelanjutan harus dikelola baik pada level internasional, regional, nasional maupun lokal. Pengelolaannya tercantum dalam manajemen lingkungan. Manajemen lingkungan didefinisikan sebagai implementasi yang terencana dan sistematis dari sasaran dan strategi lingkungan yang dibuat oleh perusahaan (Janicke, Kunig, Stitzel, 1999:290 sebagaimana dikutip oleh Freizer, 2003:2). Adapun manajemen lingkungan mengandung 7 elemen yang terdiri dari:

a. Analisis dampak dan impak terhadap lingkungan

b. Menentukan kebijakan lingkungan

c. Membuat target dan sasaran lingkungan

d. Menentukan program lingkungan

e. Membentuk sistem manajemen lingkungan

f. Melaksanakan audit lingkungan

g. Melakukan komunikasi lingkungan (Dyllick, 1999:5), sebagaimana dikutip oleh Freier, 2003:2)

Dengan melihat gambar 4 diatas yaitu adanya kepatuhan pada peraturan atau hukum-hukum lingkungan sebagai dasar utama tanggung jawab lingkungan perusahaan, lalu melakukan eco-efficiency melalui produksi bersih (cleaner Production) serta adanya manajemen lingkungan yang baik, maka tanggungjawab lingkungan dunia usaha dapat dilihat dalam 3 tahapan seperti yang dikemukakan di dalam Industry and Environment vol.21 no 1-2 January-June 1998. Jurnal tersebut mendefinisikan “dunia usaha yang bertanggungjawab” ke dalam 3 tahap proses yaitu:

Tahap pertama: kepatuhan kepada hukum-hukum yang berlaku secara nasional. Pada tahap ini dunia usaha secara mendasar harus menjalankan kepatuhan kepada peraturan-peraturan di tingkat nasional dalam hal standar terhadap lingkungan, kesehatan dan keamanan kerja. Dunia usaha juga telah membuka diri terhadap emisi yang diatur, mengadopsi piagam kode perilaku yang dipromosikan oleh asosiasi industri. Akan tetapi pada tahap ini, monitoring dan pelaporan masih dilakukan dengan terbatas sedikit sekali). Persepsi dunia usaha terhadap lingkungan masih merupakan suatu pengeluaran (expense) dari pada sebagai suatu kesempatan (opportunity).

Tahap kedua: kepatuhan pada hukum-hukum yang berlaku dan juga menjalankan eco-efficiency. Pada tahap ini telah dilakukan pendekatan yang lebih proaktif terhadap pembangunan berkelanjutan, khususnya diperlihatkan melalui kegiatan yang secara ekonomi sangat baik (eco-effciency). Pada tahap ini, dunia usaha juga menetapkan sasaran dan target bagi kinerja lingkungannya. Melakukan perbaikan lingkungan yang terus menerus, melakukan pemantauan dan pelaporan dari implementasi terhadap kode-kode perilaku yang dibuat oleh asosiasi industri. Perusahaan juga melaksanakan standar pelaksanaan yang sama di setiap bagiannya di dunia ini. Bekerja dengan suppliers untuk memperbaiki kinerja lingkungan (Supply Chain Management). Mempublikasikan laporan kinerja lingkungannya dengan data-data kuantitatif. Namun dalam tahap ini masih adanya laporan yang terbatas mengenai issue sosial, namun telah terbuka terhadap dialog dengan pemerintah dan juga lembaga swadaya masyarakat (NGO’s).

Tahap ketiga: kepatuhan pada hukum-hukum yang berlaku, melakukan eco-efficiency dan redefinisi usaha yang strategis. Suatu redefinisi dari strategi dan kebijakan untuk memasukkan “tiga hal mendasar” dari pembangunan berkelanjutan, yaitu kemakmuran ekonomi, kualitas lingkungan, dan kesetaraan sosial. Hal ini diimplementasikan di setiap divisi dari perusahaan (baik itu bagian pemasaran, penjualan, promosi maupun pembuatan produk) dan juga di semua pelaksanaannya di dunia. Membuat desain ulang terhadap proses, produk dan pelayanan untuk mengintegrasikan “tiga hal mendasar”. Dalam tahap ini perusahaan aktif menjadi mitra di dalam pembangunan/implementasi dari perjanjian-perjanjian internasional. Perusahaan juga sangat peduli dengan “masyarakat perlu mengetahui” (public right to know) dan prinsip pencegahan. Mengembangkan indikator-indikator keberlanjutan dalam konsultasi dengan stakeholder, perusahaan ini juga digunakan sebagai pembanding bagi kinerja lingkungan, ekonomi dan social di antara maupun antara sector industri. Melakukan audit sosial, tranparansi, keterbukaan dan kontribusi aktif terhadap dialog dengan seluruh stakeholder.

Exit mobile version