1. Isu Lingkungan : Perluasan RTH dan Jakarta Green City
a. Saat ini 9,8 %, target 20% publik dan 10% private
Menurut BPLHD Jakarta, RTH di Jakarta baru 9,8%. Masih jauh dari amanat UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang yaitu sedikitnya 30%. RTH Publik (20%) dan RTH privat sebanyak (10%). ‘RTH publik seperti hutan kota dan taman kota, sedangkan RTH privat seperti taman di pekarangan rumah.
Menurut KOMUNITAS Peta Hijau Jakarta (PHJ), Dari pantauan citra satelit (2009) diketahui Jakarta masih menyimpan potensi ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 23,58 persen yang terdiri dari RTH publik 4,84 persen dan RTH privat 18,74 persen.
Kondisi Obyektif Ruang Terbuka Hijau Di Jakarta
• Penambahan RTH Di Jakarta setiap tahun masih jauh dari harapan.
Tahun 2008 penambahan seluas 6,5 hektar;
Tahun 2009 seluas 24 hektar;
Tahun 2010 seluas 18,5 hektar;
Tahun 2011 seluas 25 hektar atau 0,04 persen.
Total RTH Jakarta mencapai 9,84 persen
• Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70 persen.
Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) melalui World Development Report (1984) menyatakan bahwa prosentase ruang terbuka hijau yang harus ada di kota adalah 50% dari luas kota atau kalau kondisi sudah sangat kritis minimal 15% dari luas kota. Sedangkan RTH di Jakarta baru mencapai 9,8% dari total luas Jakarta.
• Konversi besar-besaran ruang terbuka hijau dan kawasan resapan air di jabodetabekunjur.
Penghijauan Kota Jakarta adalah isu usang yang berulang diusung pemerintah DKI. Tak kurang dari delapan program penghijauan diluncurkan sejak 1970 hingga yang terkini Program Jakarta Hijau (2003). Anehnya, target luasan ruang terbuka hijau (RTH) yang ingin dicapai justru terus menurun tajam. Jika dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985 ditargetkan luas RTH sebesar 37,2 persen, maka dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005 target luas RTH dipangkas menjadi 25,85 persen. (Nirwono Jogo, Kompas, 19 Juni 2003). Selanjutnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010 dengan target hanya sebesar 13,94 persen (tidak ideal). Sementara itu, luas RTH di lapangan hanya berkisar 9,8% dari total luas Kota Jakarta
• Menurunnya kualitas lahan hijau di pekarangan bangunan.
Sebenarnya pemerintah telah memiliki peraturan yang jelas tentang Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang mengatur perbandingan antara luas dasar bangunan dan tanah yang ditempatinya. KDB untuk masing masing wilayah, diatur bervariasi tergantung kepada peruntukkannya. Sebagai contoh, menurut RUTR DKI, di Jakarta Selatan wilayah pengembangan Selatan untuk pelestarian lingkungan dan resapan air KDB nya 20% saja – ini berarti jika luas tanah 100 meter persegi, maka bangunan diatasnya maksimun seluas 20 meter persegi.
• Banyaknya bangunan di Jakarta yang belum memiliki IMB.
IMB merupakan instrumen hukum untuk mengatur lingkungan, khususnya resapan air tanah, yang bernama koefisien luas bangunan (KLB). Pada prinsip KLB, semua pihak yang ingin mendirikan bangunan di Jakarta harus menyisakan 30 persen luas tanah untuk RTH. Jadi, kalau luas tanahnya 100 meter persegi, bangunan yang boleh didirikan hanya 70 meter persegi. Dengan media 30 meter persegi, cukup efektif untuk resapan air tanah dan menanggulangi banjir. Dinas Pengawas dan
Penataan Bangunan pemerintah DKI Jakarta menyatakan bahwa rumah di Jakarta yang mempunyai IMB hanya 25 persen (325 ribu unit) dari total 1,3 juta unit. Dengan kata lain, 75 persen (925 ribu unit) rumah di Jakarta adalah “rumah liar”.
1. Pembangunan taman interaktif di setiap kelurahan dan pembangunan taman kota dibawah jalan layang, dan setiap perempatan besar di Jakarta
2. Penambahan RTH di jalur hijau jalan dan tepian air
3. Penambahan RTH untuk privat dengan program Green Roof di gedung, perumahan, dan busway
4. Penghijauan di taman kota, hutan kota, median jalan, tepi sungai, dan jalur hijau.
5. Evaluasi dan Pengawasan IMB dengan mempermudah pengurusan IMB untuk mencapai target RTH 10% bagi Private.
b. Green City
Green City : konsep perkotaan dimana masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial harus dijaga keseimbangannya demi generasi mendatang yang lebih baik.
• Mercer’s Quality Living Index Survei (2009) : Jakarta = 64 (peringkat 140)… Kalah oleh Bankok, Manila, Kuala Lumpur, apalagi Singapura
Jakarta selayaknya bisa memberikan :
• kesegaran bagi warganya dengan udara bersih dan sungainya jernih,
• air tanah yang cukup dan tidak tercemar,
• permukimannya teduh,
• sampah dapat terkelola dengan baik,
• terdapat ruang publik untuk tempat bersosialisasi bagi warganya,
• taman kota yang asri dan
• ruang terbuka hijau yang cukup sebagai daerah resapan air
Kondisi Obyektif Jakarta
-
Jakarta menduduki peringkat ketiga kota paling polutif sedunia setelah Mexico City dan Bangkok.
-
Indeks kualitas lingkungan hidup Jakarta 2011 menunjukkan DKI Jakarta sebagai provinsi dengan kualitas lingkungan terburuk. Indeks yang diraih Jakarta sebesar 41,81, tak jauh lebih besar dari perolehan indeks Jakarta sebelumnya di angka 41,73 tahun 2010
-
Jakarta Tidak Hanya Menjadi Pusat Pemerintahan, namun juga pusat bisnis dan jasa, industri, pariwisata dan sebagainya
-
Produksi sampah 6500 ton sehari
-
Jumlah penduduk Jakarta 2011 mencapai sekitar 10,2 juta orang dengan pertumbuhan 1.27% per tahun. Ditambah komuter ke Jakarta sebanyak 2,5 juta di siang hari. Dengan kepadatan penduduk 15 000 jiwa/km2 dan pada beberapa kawasan padat mencapai 30.000 jiwa/km2.
-
Jumlah penduduk miskin 363 ribu jiwa dengan presentasi penduduk miskin 3,75%, Indeks Pembangunan Manusia 77,4 dan Angka Harapan Hidup 76,2 tahun)
-
Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman kumuh yang hampir semuanya ilegal.
-
Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang baru mencapai 9,8% luas Jakarta
-
Ekploitasi air tanah yang berlebihan dan beban bangunan bertingkat menyebabkan terjadinya penurunan tanah (land subsidence) dan Infiltrasi air laut telah mencapai kawasan pusat kota dan pusat bisnis.
-
40% (Jakarta Utara) merupakan dataran rendah (1 s/d 1,2 m di bawah muka laut pasang).
-
Tiga belas sungai utama bermuara di Jakarta.
-
Banjir dari hulu dan dari laut (rob) yang membutuhkan penanganan. Dibutuhkan areal seluas 50 km2 untuk menampung limpahan air untuk dapat mengendalikan banjir di Jakarta
-
Ada 564 pusat perbelanjaan, terdiri dari 132 mal dan 432 pasar swalayan, hypermart, pusat grosir, pertokoan, dan pasar tradisional.
-
6,7 juta kendaraan lalu lalang dengan pertumbuhan 11% per tahun dengan produksi polusi gas buang puluhan ton per tahun dan Kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp. 27,76 Triliun
Ciri Kota Hijau adalah
-
kota ramah lingkungan,
-
hemat energi dan
-
berpihak pada prinsip-prinsip berkelanjutan baik secara lingkungan, sosial dan ekonomi dan tata kelola
Program Penambahan RTH
Kementerian Pekerjaan Umum merumuskan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH):
– Ruang Terbuka Hijau (RTH,
– Eco-desain,
– Transportasi berkelanjutan,
– Pengolahan limbah
– Penyediaan air bersih
– Energi berkelanjutan, dan
– Eco-bulding
• Saat ini belum ada kota di Indonesia yang mendapat predikat kota hijau. P2KH
• Menyiapkan rencana dan desain yang sensitif terhadap lingkungan hidup
• Peran aktif masyarakat dalam pengembangan kota (green community)
• Perwujudan Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30 persen dari luas wilayah Provinsi/kota/kabupaten. Rincian jumlah tersebut terdiri dari RTH Publik 20 persen, dan RTH Privat 10 persen.
Jakarta Menuju Green City
Regulation Approach melalui Perda
-
Mendorong pencapaian RTH 30% melalui Perda RTRW 2011-2030 secara bertahap (10 % lahan privat, 14 % publik, dan 6 % lahan privat yang bisa dimanfaatkan publik.
-
Penyiapan Raperda Zonasi untuk menjamin dan mengontrol pemanfaatan lahan dan keseimbangan Zona
-
Penyiapan Raperda Lingkungan Hidup
-
Mendorong Raperda Kawasan Dilarang Merokok
Bekerjasama dengan Green Building Council Indonesia (GBCI) untuk merumuskan green building code, sebagai bagian dari peran serta masyarakat. Penerapan aturan bangunan hijau (green building code)
-
Memberikan insentif yakni berupa kemudahan perolehan perizinan bagi pengembang yang menerapkan eco-bulding
-
Mendorong pembangunan taman dan kawasan hijau di atap gedung (top roof green park) dan menjadi bagian dari persyaratan gedung bertingkat. Percontohan Green-Eco Building Concept : – Gedung Kedutaan Besar Austria, Inggris, dan Australia, – Kawasan Sampoerna Staregic Square – Puskesmas Kemayoran, – Gedung Balai Kota DKI.
-
Penanaman Pohon Pelindung pada berbagai kawasan (taman, median jalan, RTH, area publik) termasuk melalui kerjasama dengan pihak swasta dan stakeholder lain
-
Pengembagan kawasan bakau (mangrove) pada kawasan pantai utara Jakarta dan memperluas kawasan ekosistem mangrove sebagai penjaga pantai Jakarta
-
Revitalisasi hutan kota dan kawasan budaya
-
Penataan kawasan padat penduduk menjadi kawasan pemukiman hijau,
-
Meningkatkan taman interaktif (dari saat ini yang telah ada 88 taman interaktif di Ibu Kota) terutama di kawasan padat penduduk dengan rasio 1:3 (300 m2 untuk setiap 1000 m2 kawasan pemukiman padat. Target tambahan 17 taman interaktif pada 2012.
Pengendalian Transportasi untuk pengurangan polusi udara
-
Pengembangan Transportasi Massal untuk mendukung mobilitas penduduk/pekerja dengan polusi rendah (MRT, Busway, elevated buss, KRL loopline)
-
Perluasan dan penambahan jaringan bus transjakarta dan penambahan armada untuk meningkatkan daya angkut.Bus Transjakarta menggunakan gas sebagai bahan bakar low carbon atau solar yang dengan standard Euro-3.
-
Penerapan Trunking feeder concept dengan meremajakan Kopaja/Metromini yang beririsan dengan jalur busway sebagai trunk feeder busway dengan emisi gas buang rendah
-
Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) untuk pengendalian penggunaan kendaraan bermotor
-
Hari Bebas Kendaraan Bermotor yang diperluas wilayahnya dan diperbanyak frekuensinya
Pengelolan Sampah yang Ramah Lingkungan
-
Penerapan sistem dan teknologi pengolahan sampah perkotaan skala kawasan secara terpadu untuk mengurangi volume sampah sesedikit mungkin,
- Pemilahan, pemanfaatan dan daur ulang sampah non organik;
- Pengolahan sampah organik menjadi energi dan kompos
- Pengolahan sampah non organik menjadi energi;
- Pemrosesan akhir residu sampah dengan metode sanitary landfill;
- Mendorong terciptanya industri kecil daur ulang yang dikelola oleh masyarakat atau pemerintah daerah
-
Pengolahan sedekat mungkin dengan sumber sampah dengan maksud untuk mengurangi beban pengangkutan (transport cost)
-
Mendorong indutri (besar, kecil, rumah tangga) untuk menerapkan “Zero Waste Concept” yaitu Mulai dari produksi sampai berakhirnya suatu proses produksi dapat dihindari terjadi “produksi sampah” atau diminimalisir terjadinya “sampah”.
-
Mengajak partisipasi masyarakat dan semua stakeholder untuk pengelolaan sampah dengan pendekatan 5R : Reduce, Re-use, Recycle, Replace, Replant
Kendala Mencapai Green City
-
Kepatuhan terhadap regulasi yang sudah dibuat
-
Kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam mewujudkan Green City masih kurang. Hal tersebut terlihat dari rasio kendaraan pribadi dan kendaraan umum mencapai 98:2.
-
Pasokan gas dari Perusahaan Gas Negara (PGN) masih kurang dari yang dibutuhkan Jakarta untuk menunjang sarana transportasi massal seperti busway TransJakarta.
-
Lahan terbatas di Jakarta dan proses pembebasan yang lamban menjadi kendala untuk menambah RTH
-
Kesadaran masyarakat dan pelaku bisnis dalam penerapan 5R dalam pengelolaan sampah
Belajar Green City dari Negara Lain
Singapura
-
Belajar mengelola RTH dari Singapura. Singapura memiliki misi sederhana: “Apabila Anda keluar rumah, maka Anda berada di taman”. Misi ini dijabarkan dalam perencanaan dan pelaksanaan Rencana Induk RTH secara konsisten, maka taman pun dibangun di mana-mana.
-
Warga Singapura dalam mencari tempat tinggal mengajukan dua pertanyaan: setelah pertanyaan di mana lokasinya, pertanyaan kedua adalah bagaimana tamannya
-
Singapura mensyaratkan standar 0,4 ha RTH untuk setiap 1.000 orang dalam perumahan/real estat, taman seluas 10 ha di setiap wilayah setingkat kecamatan/distrik, taman seluas 1,5 ha setiap blok apartemen/hotel, dan koefisien dasar hijau (KDH) 60 persen dalam kompleks kondominium/ apartemen/hotel/rusun.
Belajar dari Bogota
-
Program pengadaan jalur sepeda dilakukan oleh Enrique Penalosa, walikota Bogota periode 1998-2001. Saat terpilih menjadi walikota, ia berkata di depan seluruh anggota dewan bahwa membangun kota tidak melulu harus untuk bisnis dan kendaraan, tetapi juga untuk anak-anak, anak muda, dan orang tua. Daripada membangun jalan, lebih baik ia membangun sarana pejalan kaki dan sepeda yang baik, membuat sistem transportasi umum yang handal, dan mengganti tiang-tiang iklan dengan pepohonan
-
Program Transmilenio (Bus Rapid Transit), pajak mobil yang tinggi, penanaman pohon, pembangunan kembali 1.000 lahan parkir, jalur sepeda sepanjang 374 km (Cyclorrutas), dan pedestrian sepanjang 17 km.
Belajar dari Jepang
Yuriko Koike Menteri Lingkungan Hidup Jepang periode 2003-2006 mengaplikasikan melalui gerakan 3R (Reducing, Reusing, dan Recycling) yaitu mengurangi limbah buangan, menggunakan kembali barang-barang bekas, dan mendaur ulang bahan-bahan yang bisa didaur ulang.
Belajar dari Jerman
-
Sejak Tahun 1991 membuat peraturan yang mewajibkan setiap rumah dan kegiatan komersial memisahkan sampah antara yang dapat didaurulang dengan sampah yang tidak dapat didaur ulang
-
Menyediakan sarana untuk pemilahan sampah yang diikuti dengan edukasi kepada publik secara intensif
-
Mendorong penduduknya untuk mengurangi produksi sampah
-
Pengurangan rumah tangga melalui perubahan prilaku (termasuk dengan mengurangi pembelian barang baru kecuali jika benar-benar diperlukan)
-
Pengurangan sampah industri melalui perbaikan komponen dan bentuk produksi serta teknik pengemasan yang tidak menghasilkan banyak sampah
Belajar Dari Inggris
-
Ken Livingstone yang menjadi walikota London periode 2000-2008 mengadakan program-program lingkungan demi menjadikan London bebas polusi. Ia meluncurkan program London Hydrogen Partnership (LHP) dan London Energy Partnership (LEP).
-
LHP adalah penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan bermotor maupun barang-barang elektronik seperti telepon genggam dan laptop yang lebih ramah lingkungan karena mengurangi emisi gas buang dan tingkat kebisingan serta mendukung gerakan London’s Green.