
Listrik merupakan sarana pendukung kegiatan masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan untuk mendorong pembangunan ekonomi. Kebutuhan masyarakat akan energi listrik semakin meningkat, seiring dengan semakin pesatnya pembangunan di bidang teknologi, industri dan informasi. Namun, hingga saat ini listrik masih menjadi beban berat pemerintah yang harus selalu di carikan solusi atau jalan keluar yang tepat.
Selain masalah minimnya pasokan listrik untuk konsumsi rumah tangga di beberapa wilayah, masalah Listrik juga berkaitan erat dengan dunia industri. Minim serta mahalnya energi listrik berimbas langsung pada dunia industri. Listrik yang minim di suatu daerah menyebabkan pengusaha akan berpikir dua kali untuk mendirikan usaha di wilayah tertentu, hal tersebut berimbas pada tidak meratanya persebaran perekonomian. Sedangkan mahalnya harga listrik akan menyebabkan meningkatnya biaya produksi dan biasanya akan dibebankan pada harga yang harus ditanggung oleh konsumen.
Selama periode 2012-2035 pemanfaatan tenaga listrik total di semua sektor diperkirakan akan terus meningkat secara signifikan hingga lebih dari 5 kali, yaitu akan mencapai 903 TWh pada tahun 2035 atau tumbuh sebesar 7,4% per tahun. Tingginya pertumbuhan pemanfaatan tenaga listrik tersebut sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pertumbuhan perekonomian yang signifikan, perkembangan industri, kemajuan teknologi serta meningkatnya standar kenyamanan hidup bagi masyarakat luas. Selama periode 2013 – 2035, sektor industri mengalami laju pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu sebesar 8,7% per tahun (skenario dasar) dan 10,3% per tahun (skenario tinggi). Pada tahun 2035, sektor industri mendominasi pemanfaatan listrik, dimana untuk skenario dasar rasio pemanfaatan lsitrik mencapai 45%, sedangkan konsumen listrik terkecil adalah sector transportasi, sekitar 0,1% s.d. 0,4% karena hanya digunakan pada angkutan kereta api, khususnya di wilayah Jabodetabek.
Akar masalah kelistrikan di tanah air adalah kecepatan pembangunan pembangkit listrik yang hanya tumbuh 6,5 persen sementara pertumbuhan permintaan listrik mencapai 8,5 persen dalam lima tahun terakhir. Cadangan listrik yang terbatas mencerminkan ketidakmampuan pasokan dalam mengimbangi pertumbuhan kebutuhan. Faktor utama di balik pemadaman listrik yang dialami hampir setiap daerah saat ini disebabkan kurangnya pasokan listrik.
Menurut laporan PLN tahun 2014, hingga saat ini rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 81%, artinya masih ada 19% penduduk Indonesia yang belum menikmati listrik. Masih ada 12.659 desa yang belum sepenuhnya menikmati listrik (Jumlah KK 2,527,469 dengan jumlah penduduk sekitar 9,926,515 jiwa), bahkan 2.519 desa terdepan masih gelap gulita.
Akses Desa Terhadap Listrik Masih Minim
Tabel Data Elektrifikasi Desa/Kelurahan
Presiden Indonesia periode 2014-2019, Joko Widodo dalam nawa cita mentargetkan terwujudnya pemenuhan kebutuhan energi listrik sebesar 100% untuk seluruh wilayah Indonesia. Kebutuhan energi listrik 100% berarti listrik yang diperlukan 35.000 MW.
Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mensukseskan program 99% elektrifikasi adalah
- Melakukan pemetaan wilayah mana yang masih minim pasokan listrik
- Mengembangkan berbagai potensi sumber energi listrik, baik konvensional seperti pembangunan berbagai pembangkit tenaga listrik seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) maupun memanfaatkan energi terbarukan yang lebih memungkinkan untuk di kembangkan sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah atau daerah di
- Pemerintah juga telah memprogramkan pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik, yang tentunya membutuhkan sumber daya yang cukup besar baik itu dalam bentuk pendanaan dan usaha-usaha pendukung lainnya, seperti
Setelah berjalan hampir dua tahun dari 35.000 MW, pembangkit yang sudah beroperasi baru sekitar 100 MW atau tak sampai 1%. Pembangunan jaringan transmisi dan gardu-gardu induk untuk listrik 35.000 MW belum signifikan. Wakil Ketua Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN), Agung Wicaksono, mengungkapkan bahwa hambatan proyek 35.000 MW justru bersumber dari PLN sebagai pelaksana proyek.
Beberapa hambatan internal PLN adalah:
- PLN belum menyerahkan revisi Rencana Umum Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) kepada Kementerian ESDM. Akibatnya, total ada 16.000 MW pembangkit yang lelangnya terhambat. Padahal harus segera dilelang agar proyek 35.000 MW cepat terealisasi. Saat ini pembangkit sudah teken (perjanjian jual beli listrik) 18.000 MW, masih ada 16.000 MW yang belum dilelang karena menunggu RUPTL disahkan.
- PLN tanpa alasan jelas membatalkan lelang pembangunan PLTU Jawa 5 berkapasitas 2×1.000 MW di Serang, Jawa Barat. Pembangkit tersebut merupakan salah satu pembangkit terbesar dalam proyek 35.000 MW. Pembatalan lelang dipastikan membuat jadwal operasi PLTU Jawa 5 molor.
- PLN membuat aturan sendiri yang bertentangan dengan aturan pemerintah soal tarif listrik mikro hidro. Langkah PLN ini membuat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dalam proyek 35.000 MW terhambat.
- Berdasarkan distribusi pelaksana, kesuksesan program 35.000 MW akan ditentukan oleh pihak swasta. Hal itu karena 25.268 MW dari program 35.000 MW akan dilaksanakan oleh IPP. Sedangkan PLN akan melaksanakan 10.273 MW.
- Sebagian dari Program 35.000 MW belum masuk dalam rencana induk RTRW suatu wilayah. Berdasarkan informasi yang dihimpun baru sekitar 51 % proyek 35.000 MW yang telah masuk dalam Perda dan RTRW dalam wilayah yang bersangkutan. Masuknya program 35.000 MW dalam RTRW berarti membuka ruang untuk mempermudah pengurusan lahan.
- Secara keseluruhan sejak awal program 35.000 MW memang merupakan program yang tidak dapat diselesaikan dengan cara yang biasa-biasa. Karena itu diperlukan kesungguhan dari seluruh pemangku kepentingan, terutama dari PLN yang ditunjuk sebagai pelaksana program. Dalam hal ini PLN tidak dapat bertindak hanya dalam perspektif korporasi, tetapi juga perlu bertindak sebagai kepanjangan tangan pemerintah (negara).
Beberapa hambatan eksternal PLN adalah:
- PLN mengungkap ada 201 kasus yang menghambat pembangunan pembangkit listrik, jaringan transmisi, dan gardu induk (GI) untuk proyek 35.000 MW. Dari 201 kasus itu, 145 atau 72% kasus di antaranya adalah masalah pembebasan lahan, 44 kasus perizinan, 9 kasus tuntutan hukum, dan 3 kasus kerja sama pihak ketiga.
- Komposisi pembangkit listrik dalam proyek ini masih didominasi oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil, seperti batubara, minyak bumi, dan gas. Pemerintah seharusnya mulai mengurangi ketergantungan negeri ini terhadap bahan bakar fosil seperti batubara, bukan hanya karena dampak negatifnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, tetapi juga karena pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti batubara tidak tepat dibangun di wilayah-wilayah pedalaman dan terpencil.
Pembangkit listrik berbahan bakar batubara, minyak bumi dan gas yang dibangun di kawasan terpencil akan membutuhkan biaya operasional yang tinggi, terutama biaya transportasi bahan bakar dari wilayah penghasil bahan bakar tersebut ke lokasi pembangkit listrik. Disamping itu, pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara, minyak bumi, dan gas membutuhkan waktu paling tidak tiga sampai empat tahun, sejak mulai konstruksi sampai beroperasi.
Pemerintah selayaknya memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan yang terdapat di wilayah-wilayah terpencil tersebut, sesuai dengan karakteristik dan potensi lokal masing-masing. Selain bersih dan minim dampak negatifnya terhadap lingkungan, pembangunan pembangkit listrik bersumber energi terbarukan seperti surya, angin, dan mikro hidro membutuhkan waktu yang relatif singkat. Pembangkit listrik jenis ini hanya membutuhkan waktu paling lama 6 bulan sejak mulai konstruksi sampai siap beroperasi.
Walaupun berbagai hambatan melanda, namun bukan berarti program 35.000 MW adalah khalayan belaka. Perlu dilakukan teroboson-teroboson luar biasa untuk dapat melaksanakan program tersebut. Terobosan agar program pembangunan ketenagalistrikan 35.000 MW berjalan lancar antara lain adalah
- Penyederhanaan dan mempermudah perizinan mulai dari hulu, distribusi hingga hilirnya: jumlah jenis izin, waktu pengurusan, dan tata waktu pengurusan;
- Peran pelaku usaha ketenagalistrikan diperkuat: 25 ribu MW (IPP) dan 10 ribu MW (PLN);
- Percepatan penunjukan IPP: tunjuk langsung atau pemilihan langsung untuk IPP ekspansi, IPP mulut tambang dan excess power;
- Percepatan negosiasi harga IPP: Menteri ESDM menetapkan harga patokan, PLN tidak perlu minta izin Menteri sepanjang harga tidak melampaui HPT;
- Pemerintah memberikan jaminan jika diperlukan oleh PLN maupun pengembang;
- Dukungan Pemerintah dalam penyediaan lahan, sesuai UU No. 2 tahun 2012;
- Penguatan manajemen proyek dengan memanfaatkan independent procurement agent dan project management office;
- Penguatan koordinasi antar instansi (Pusat maupun Daerah);
- Harga excess power disamakan dengan harga IPP; memberi insentif kepada pemilik excess power untuk mendukung pemerintah meningkatkan rasio elektrifikasi;
- Swasta dimungkinkan berpartisipasi dalam pembangunan transmisi.
- Pemerintah Daerah dilibatkan secara aktif berpartisipasi pada program 35.000 MW
- Memperluas penggunaan energi terbarukan seperti energy surya, energi angin, nuklir, biomassa, biogas, dan sebagainya