Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dahuri (1998) menyatakan bahwa ditinjau dari perspektif ekologi, terdapat empat pedoman pembangunan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, yaitu :
(1) keharmonisan ruang;
(2) pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal;
(3) pengendalian polusi dan (4) minimasi dampak lingkungan.
(1). Keharmonisan ruang.
Keharmonisan ruang mengandung makna bahwa ruang pesisir (lahan dan laut) tidak hanya untuk pembangunan intensif tetapi juga untuk zona konservasi dan preservasi. Oleh karena itu, wilayah pesisir dibagi menjadi tiga zona, yaitu : preservasi; konservasi; dan pembangunan intensif.
Zona preservasi meliputi daerah yang memiliki nilai alami tinggi, biasanya dikaitkan dengan sifat unik dan luar biasa dari kondisi alam tersebut. Zona preservasi ini hanya diperuntukkan bagi kegiatan riset, pendidikan, dan rekreasi terbatas (ekowisata). Sebagai contoh sabuk hijau mangrove merupakan salah satu zona preservasi.
Sedangkan zona konservasi merupakan zona pemanfaatan sumberdaya pesisir secara bijaksana. Hal tersebut mengandung makna bahwa kegiatan pembangunan harus berdasarkan teori menjaga dan memanfaatkan sumberdaya pesisir yang dapat pulih. Kegiatan yang diperbolehkan adalah rekreasi, permukiman, perburuan, perikanan terbatas (artisanal), konstruksi infrastruktur terbatas.
Zona berikutnya adalah zona pembangunan intensif. Zona ini diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan yang merusak lingkungan, seperti: industri, pelabuhan, permukiman padat, budidaya tambak intensif, pertanian intensif.
(2). Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal hanya dapat dilakukan apabila pemanfaatannya tidak melebihi daya dukungnya. Hal tersebut senada dengan pernyataan Clark (1985), yaitu apabila wilayah pesisir dipertimbangkan sebagai penyedia (supplier), kriteria optimalitas (keberlanjutan) untuk pemanfaatan tidak boleh melebihi jumlah renewable resources yang diambil dari pada yang dihasilkan maupun yang diperbaharui selama periode waktu tertentu. Sedangkan untuk nonrenewable resources, eksploitasinya harus dilakukan secara bijaksana sehingga dampak yang terkait tidak membahayakan lingkungan pesisirnya.
Goodland and Ledec (1987) dalamDahuri (1998) menyatakan bahwa laju pengambilan nonrenewable resources harus selambat mungkin sehingga memberikan kesempatan transisi masyarakat secara berurut ke sumberdaya yang dapat diperbaharui sebagai penggantinya.
(3). Pengendalian polusi.
Pengendalian polusi bertujuan untuk memastikan bahwa semua limbah dari kegiatan pembangunan baik yang di wilayah pesisir maupun di luarnya tidak melampaui kapasitas asimilasi. Kapasitas asimilasi merupakan kemampuan wilayah pesisir menyerap sejumlah limbah tertentu sebelum terjadi kerusakan lingkungan atau kesehatan. Dalam hal ini, kapasitas asimilasi dapat dinyatakan sebagai daya dukung wilayah pesisir dalam menerima limbah.
(4). Minimisasi dampak lingkungan.
Minimisasi dampak lingkungan merupakan suatu keharusan dalam pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan. Semua kegiatan pembangunan mempunyai dampak pada ekosistem alami. Sebagai contoh adalah budidaya tambak intensif, konversi mangrove ke pemanfaatan tertentu, ekowisata massal, dan pembangunan industri.
Menurut Bengen (2000), secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu pembangunan hendaknya memperhitungkan komposisi zona secara proporsional. Perlu diperhitungkan berapa bagian zona pemanfaatan dan berapa bagian untuk zona preservasi dan konservasi. Keberadaan zona-zona ini sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah dan sumber keanekaragaman hayati.
Zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan sebaiknya seluas 30 – 50% dari luas total
Daya Dukung Wilayah Pesisir
Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.
Daya dukung merupakan istilah yang lebih umum untuk karakter lingkungan dan kemampuannya dalam mengakomodasi suatu kegiatan tertentu atau laju suatu kegiatan tanpa dampak yang tidak dapat diterima (Gesamp, 1986).
Daya dukung adalah jumlah organisme, atau jumlah kegiatan usaha atau total produksi, yang dapat didukung oleh suatu area, ekosistem atau garis pantai yang didefinisikan (Nautilus Consultants, 2000). Untuk suatu wilayah yang didefinisikan, dikenal dengan istilah daya dukung wilayah, yaitu kemampuan wilayah tersebut dalam mempertahankan berbagai pemanfaatan sumberdaya (kegiatan pembangunan). (Clark, 1992). Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi dapat menurun akibat kegiatan manusia yang menghasilkan limbah atau kerusakan alam, seperti bencana alam, atau bahkan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (Clark,1996).
Scones (1993) membagi daya dukung menjadi dua, yaitu : daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomis. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi.
Menurut Bengen (2002a), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Daya dukung dibedakan menjadi 4 macam, yaitu : daya dukung ekologis, fisik, sosial dan ekonomi.
1. Daya Dukung Ekologis : tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis.
2. Daya Dukung Fisik : jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan penurunan kualitas fisik.
3. Daya Dukung Sosial : tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan.
4. Daya Dukung Ekonomis : tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan.
Dari keempat daya dukung tersebut yang sering digunakan adalah daya dukung ekologis, yang juga disebut sebagai daya dukung lingkungan.