Beberapa waktu yang lain, PSIL (Pusat Studi Ilmu Lingkungan) UI kedatangan tamu dari Jepang, Dr Tetsuro Fujitsuka Direktur Biro Lingkungan Internasional Kementrian Kebijakan Manajemen Lingkungan Jepang. Beliau memberikan ceramah mengenai kebijakan hijau pemerintah Jepang dan realisasinya dari tahun 1995-2000, rencana aksi tahun mendatang, hukum, kebijakan promosi mengenai eco-produk dan jasa, dan mengurangi polusi dari emisi kendaraan.
Ceramah ini menjadi menarik karena mengupas sisi fundamental sebelum, ketika dan sesudah kebijakan dibuat. Sisi fundamental menjadi diskusi yang hangat karena merupakan point penting dari perbedaan kebijakan antara Jepang dan Indonesia. Beberapa sisi fundamental yang dimaksud antara lain yaitu: pertama sebelum menyetujui suatu kesepakatan, perjanjian, atau peraturan, pemerintah mempersiapkan sarana dan prasarana terlebih dahulu. Pemerintah Jepang tidak mau terburu-buru mengikuti trend lingkungan yang berlaku dan tidak begitu saja menyetujui kesepakatan internasional sebelum mengetahui kesiapan industri dan masyarakat Jepang. Namun bukan berarti pemerintah Jepang menentang kesepakatan internasional, tetapi lebih pada upaya mengkaji sisi positif dan negative yang ada agar dapat diambil keuntungan dari isu internasional tersebut., misalnya saja isu pemanasan global. Pemerintah Jepang tidak langsung menerima kesepakatan pengurangan emisi CO2 karena ingin mengetahui factor apa yang paling besar mempengaruhi pembuangan CO2. Dari factor tersebut, pemerintah Jepang membuat alternative pengurangan CO2. Di Jepang industri (44,6%), rumah tangga (36,7%) dan transportasi (18,1%) adalah penghasil CO2 terbesar. Industri ditekan agar lebih efisien agar mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, promosi penggunaan barang daur ulang di rumah tangga gencar dilakukan, dan pemerintah mendukung penuh proyek pembuatan mobil hybrid untuk mengurangi pengeluaran CO2.
Kedua, masyarakat Jepang terkenal dengan komitmen dan konsistensinya karena itu apabila palu telah diketuk, maka tidak ada proses tawar-menawar hukum. Apabila pemerintah Jepang telah menyepakati suatu perjanjian dan dituangkan dalam bentuk peraturan, maka seluruh pihak dengan sendirinya akan mematuhi peraturan tersebut. Hal tersebut sempat juga disinggung oleh Mr. Tetsuro Fujitsuka, kebijakan lingkungan di Jepang jauh lebih lunak dari di Indonesia namun di Jepang tidak ada tawar menawar dalam implementasinya. Di Indonesia walaupun peraturannya lebih ketat daripada di Jepang namun beberapa contoh kasus menunjukkan implementasinya jauh dari harapan, misalnya kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, AMDAL nya tidak untuk perusahaan pengeboran gas tetapi izin tetap saja keluar, atau pembangunan pantai indah kapuk, AMDALnya sangat bermasalah namun pembangunan terus saja berjalan tanpa ada hambatan.
Ketiga, untuk mewujudkan suatu kebijakan lingkungan, pemerintah dalam hal ini kementrian lingkungan tidak hanya menjadi motor penggerak tetapi juga contoh tauladan. Misalnya dalam hal penggunaan kertas daur ulang, kertas tisu, dan mobil hybrid, kementrian lingkungan menjadi perintisnya. Begitu juga dengan kampanye penggunaan kertas bolak-balik, kementrian lingkungan yang pertama sekali melakukannya. Dalam penggunaan seragam kerja, karpet, selimut, sarung tangan karyawan PNS, pemerintah mengusahakan bahan dari bahan daur ulang.
Keempat, kebijakan yang akan dibuat tidak hanya milik elit pemerintahan, intelektual, atau usahawan tetapi juga mengikutsertakan seluruh stakeholder terkait. Misalnya dalam kampanye eco-produk, seluruh perusahaan manufaktur harus menyediakan informasi lingkungan dalam produk mereka, pemerintah memberikan ekolabel pada produk-produk yang telah memenuhi standar internasional, dan masyarakat diminta untuk membeli eko produk ketika berbelanja.
Pemerintah mendukung penuh penggunaan kertas daur ulang. Industri kertas daur ulang didukung penuh oleh permodalan, teknologi dan pemasaran. Seluruh Bank diharuskan memberikan kemudahan permodalan bagi industri kertas daur ulang, pemerintah memberikan keringanan pajak, lembaga penelitian pemerintah mendukung dengan teknologi terbaru, dan pemerintah menyediakan diri menjadi pasar pertama industri kertas daur ulang. Kesemua usaha tersebut untuk menjadikan industri kertas daur ulang menjadi industri besar bahkan dapat mengekspor hasilnya ke luar negeri.
Kelima, Realisasi pelaksanaan kebijakan melebihi target yang dicanangkan. Target yang ditetapkan bukanlah target minimalis, namun setiap diri orang Jepang selalu melihat sebuah target sebagai perolehan minimalis yang harus dicapai sedangkan kelebihan dari targetlah yang disebut prestasi. Karena itu orang Jepang yang selalu diberikan motivasi untuk berprestasi selalu bekerja untuk meraih prestasi bukan target. Misalnya saja pencapaian target pengurangan penggunaan kertas (109,4%), pengurangan konsumsi energi bahan bakar fosil (151,9%), pengurangan sampah atau limbah di kantor pemerintah (143,2%) melebihi dari yang target dicanangkan.
Keenam, Pemerintah giat mensosialisasikan program lingkungan ke masyarakat. Masyarakat dihimbau agar membeli produk yang mudah didaur ulang, hemat menggunakan sumber daya alam yang tidak terbaharukan seperti bahan bakar fosil maupun terbaharukan seperti kertas. Pemakaian kertas bolak-bolik juga dilakukan disekolah, kantor-kantor swasta, dsbnya. Penggunaan listrik, air dan energi lainnya berkurang hingga 90% selama 5 tahun dari tahun 1995 hingga 2000. Masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan umum dibanding naik kendaraan pribadi, dengan catatan kendaraan umum nyaman, aman dan cepat sampai ke tujuan.
Ketujuh, Masyarakat mengikuti program lingkungan dimulai dari yang sederhana. Slogan “Think Globally Act Locally” terpatri pada sebagian besar masyarakat Jepang. Menurut penjelasan Dr. Tetsuro Fujitsuka, masyarakat Jepang sudah sadar lingkungan sehingga dalam pemilihan produk lebih senang membeli produk yang sudah mencantumkan ekolabel atau informasi lingkungan pada kemasannya. Dan tambahan lagi angka pengurangan limbah di masyarakat Jepang menurun hingga 70% selama 5 tahun, hal tersebut berarti berkurang 14%/tahun.
Kedelapan, pemerintah memberi anggaran yang memadai pada kementrian lingkungan, walaupun tidak disebutkan berapa spesifiknya namun sebagai gambaran anggaran kementrian lingkungan no 2 tertinggi diantara departemen lainnya. Dr. Tetsuro mengatakan anggaran untuk kementrian lingkungan bukan cost tapi investasi jangka panjang, karena yang namanya anggaran, pertumbuhan ekonomi, dan berbagai angka lainnya bukan tujuan tetapi sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Apabila lingkungan tercemar otomatis masyarakat tidak sejahtera sehingga tujuan dari aktifitas ekonomi, social dan politik menjadi sia-sia belaka.
Tentunya membandingkan keberhasilan Jepang dengan Indonesia tidak relevan, namun yang paling penting adalah bagaimana mempersiapkan fondasi keberhasilan tersebut. Fondasi keberhasilan yang ingin dibangun bukanlah pekerjaan sederhana, perlu dukungan dari berbagai pihak, dan pemerintah berfungsi sebagai penggerak awalnya.