Lingkungan

MODEL PENGELOLAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN atau A Model of Sustainability Development

MODEL PENGELOLAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Delta Mahakam-Kalimantan Timur)

Latar Belakang

Delta Mahakam merupakan suatu kawasan delta yang terdiri dari beberapa pulau yang terbentuk akibat adanya endapan di muara Sungai Mahakam dengan Selat Makassar, Kalimantan Timur. Jika dilihat dari angkasa, kawasan delta ini berbentuk menyerupai bentuk kipas. Kawasan Delta Mahakam memiliki luas sekitar 150.000 ha (termasuk wilayah perairan). Namun jika dihitung luas wilayah daratan saja, luas kawasan ini mencapai kurang lebih 100.000 ha. Kawasan Delta Mahakam merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak bumi dan gas alam (migas). Cadangan terbesar terdapat di lapangan Peciko dan Tunu yang kini dieksploitasi perusahaan migas multinasional asal Prancis, Total E&P; Indonesia.[1]

Sebaran hutan mangrove di dataran Delta Mahakam, yang terletak di Propinsi Kalimantan Timur, mengalami degradasi akut. Kawasan yang memiliki arti penting bagi lingkungannya tersebut telah digantikan oleh ribuan hektar tambak udang semenjak krisis moneter di tahun 1997, yang didorong oleh harga udang ekspor yang melejit. Setelah periode kemakmuran yang sangat singkat tersebut, hanya sekitar 5 tahun dan dimana sebagian besar keuntungan lari kepada investor luar, penduduk setempat kini menghadapi lingkungan yang rusak. Kualitas air minum menurun, ternak udang terkena penyakit, erosi pantai dan sungai meningkat, konflik horisontal penggunaan lahan meruncing, dan potensi perikanan di kawasan hutan mangrove merosot drastis.[2]

II. KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Luas hutan mangrove di Delta Mahakam semula diperkirakan mencapai 1000 km2, namun saat ini yang tersisa hanya 20 %.[3] Sekitar 80 % lainnya telah musnah dibabat dan berganti menjadi ribuan hektar tambak udang dengan produksi sekitar 5600 ton per tahun[4].

Selama ini, pengaruh pembabatan hutan mangrove terhadap penurunan daya dukung fisik pesisir dapat dikategorikan menjadi 3 hal, yaitu peningkatan laju abrasi, intrusi air laut, dan penurunan potensi perikanan.[5]

Dewasa ini, penduduk di bagian hilir daerah aliran sungai (DAS) Mahakam semakin sering mengalami intrusi air laut terhadap sumur-sumur mereka dan menyebabkan air sumur menjadi berasa payau. Hampir setiap musim kemarau intrusi airlaut masuk puluhan kilometer dari garis pantai dan juga diduga menyebabkan semakin menghilangnya berbagai jenis ikan air tawar.

Kegiatan pertambakan di Delta Mahakam telah melebihi daya dukung lingkungan. Ketika luas areal mangrove yang dialihfungsikan melebihi 20%, masalah degradasi lingkungan mulai muncul yang berdampak pada kematian udang hingga kegagalan panen.[6] Diperkirakan kematian udang tersebut antara lain disebabkan oleh pencemaran pakan udang, penggunaan benih udang yang tidak bebas penyakit dan sistem sanitasi tambak yang buruk. Kegagalan panen tambak tersebut kemudian berakibat pada terpicunya konflik horisontal antara dua pelaku utama ekonomi utama daerah tersebut, yaitu petani tambak dan perusahaan industri minyak dan gas bumi. Petambak mengklaim bahwa polusi dan limbah buangan dari perusahaan yang menjadi penyebabnya. Sedangkan perusahaan mengatakan telah menggunakan teknik eksploitasi dan pengelolaan limbah yang aman terhadap lingkungan.[7]

III. PENGARUH PROSES ALAMIAH

Secara alamiah Delta Mahakam menghadapi naiknya muka air laut yang menyebabkan pengaruh energi laut semakin kuat dan laju abrasi pantai semakin meningkat. Secara umum, proses naiknya air laut tersebut disebabkan oleh dua faktor, yaitu pemanasan global dan penurunan geologis. Semenjak abad ke 20, diperkirakan akan terjadi kenaikan muka airlaut sebesar 3 mm/tahun akibat pemanasan global.[8] Sebelumnya, kenaikan muka air laut akibat penambahan volume air laut di kawasan tersebut diperkirakan hanya sebesar 0.8 mm/tahun.[9] Secara geologis, Delta Mahakam juga terus-menerus mengalami penurunan permukaan daratan (land subsidence) dengan kecepatan sekitar 0.5 mm/tahun.[10]

Sungai Mahakam sebetulnya adalah jenis sungai pasang-surut dimana pengaruh proses pasang surut dari laut mencapai jarak 140 km dari garis pantai ke arah hulu. Bahkan pada musim kemarau yang sangat ekstrim, seperti yang terjadi pada penghujung tahun 1982, pengaruh pasang surut tersebut mampu mencapai 360 km dari garis pantai.[11] Debit rerata air laut yang terbawa masuk ketika pasang dapat mencapai 2,5 kali lebih besar daripada debit rerata air tawar Sungai Mahakam, dan analisa dinamika arus menunjukkan bahwa transportasi sedimen pada bagian muara delta adalah bergerak ke arah daratan.[12] Data-data tersebut menunjukkan bahwa secara alamiah pengaruh laut terhadap delta dan DAS Mahakam bagian hilir adalah besar dan signifikan.

Meskipun demikian, berkurangnya hutan mangrove di kawasan delta membuat pengaruh proses pasang-surut tersebut semakin dominan dan menyebabkan air laut semakin mudah masuk ke arah daratan dan membawa kembali limbah dari DAS Mahakam.

IV. Model Pengelolaan Pembangunan Berkelanjutan

Perlu penanganan secara kontinyu dan konsisten terhadap pengurangan luas hutan Mangrove yang ada di Delta Mahakam dan pesisir. Karena setiap tahun luasan hutan mangrove dikawasan itu semakin berkurang akibat berbagai kegiatan seperti pembukaan usaha pertambakan yang tak terkendali diiringi dengan semakin luasnya pemukiman penduduk serta meningkatnya usaha pertambangan migas. Karena itu perlu dikembangkan suatu model pengelolaan pembangunan berkelanjutan.

Gambar 1. Model Pengelolaan Berkelanjutan

Persepsi masyarakat kerusakan delta mahakam terjadi karena meningkatnya usaha pertambangan migas, pembukaan usaha pertambakan, dan semakin meluasnya pemukiman penduduk.

Kualitas Ekologi menurun, hilangnya zona penyangga pesisir kawasan hutan mangrove akibat industri tambak disertai oleh proses penurunan delta secara alamiah karena faktor geologis. Kombinasi faktor antropogenik dan alamiah tersebut menyebabkan degradasi kualitas lingkungan berlangsung sangat cepat. Limbah-limbah dari DAS Mahakam, yang mestinya mampu dibuang ke laut lepas, akhirnya terperangkap di kawasan delta yang semakin terbuka terhadap energi laut yang semakin menguat.

Terjadi perubahan mutu lingkungan hidup, kualitas air minum menurun, ternak udang terkena penyakit, erosi pantai dan sungai meningkat, konflik horisontal penggunaan lahan meruncing, dan potensi perikanan di kawasan hutan mangrove merosot drastis.

Kawasan Delta Mahakam merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak bumi dan gas alam (migas). Cadangan terbesar terdapat di lapangan Peciko dan Tunu yang kini dieksploitasi perusahaan migas multinasional asal Prancis, Total E&P; Indonesia.[13] Industri juga ikut menyumbang terhadap degradasi lingkungan, namun di sisi lain industri juga memberikan pendapatan tambahan pada negara.

Karena itu harus ada analisa manfaat dan biaya terhadap perubahan dan tambahan limbah dengan pendapatan yang diberikan industri

Analisa kelakuan stake holder ialah

1.Peluang untuk membenahi kawasan delta mahakam masih terbuka asal para stakeholder yang memanfaatkan delta mahakam dapat saling berkoordinasi dan memiliki komitmen yang sama. Pemkab Kutai Kartanegara bersama pihak terkait segera membuat tata ruang kawasan yang lebih detil dan up to date, kemudian melakukan reboisasi massal terhadap hutan mangrove dan pencegahan abrasi pantai-pantai di delta mahakam.

2.Badan pengelola terpadu perlu diaktifkan kembali untuk mencegah kerusakan Delta Mahakam lebih lanjut. Selama ini ijin pembukaan tambak hanya diberikan oleh kepala desa tanpa wewenang dari pihak diatasnya. Secara organisasi, pelestarian kawasan delta semestinya dikendalikan oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan potensi perikanan dan budidayanya ditangani oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.

3.Adanya kesadaran dan tanggung-jawab yang tinggi bagi mereka yang memanfaatkan hutan mangrove Delta Mahakam dan yang ada di pesisir untuk menghijaukan kembali areal sekitar tambak dengan menanam tanaman bakau, selain diadakannya penghijauan kembali hutan mangrove, masyarakat yang hidupnya berasal dari tambak, agar dapat membuat tambak dengan sistem Empang Parit yaitu dengan penanaman mangrove didalam tambak, tambak terbuka yaitu penanaman mangrove diluar tambak atau menggunakan sistem Kurung Tancap yaitu pemasangan bambu yang dipasang jaring mengelilingi mangrove tanpa harus menebang. Ketiga sistem ini menurutnya merupakan sistem yang dianggap mampu mengurangi kerusakan hutan mangrove atau ramah lingkungan.

Menyangkut masalah sanksi hukum apabila dengan sengaja merusak hutan mangrove maka sesuai dengan pasal 21 U. U. No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan memberikan tindakan tegas dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sedikitnya sebesar 100.000 juta.[14]


[1] www.wikipedia.com, Delta Mahakam

[2] www.inovasi.com, Salahuddin Husein, Memahami Proses Alamiah Degradasi Lingkungan Delta Mahakam

[3] Creocean, 2000. Mahakam Delta 1999 envi-ronmental baseline survey. Total Indonésie report, pp 98

[4] Kompas, Mangrove Ditebang Nelayan Sulit Dapat Ikan, 13 November 2003

[5] Levang, P., 2002. Mangroves, shrimps and punggawa. A historical analysis of the development of the Mahakam Delta (East-Kalimantan). PT Win and TotalFinaElf report, p. 36

[6] Kompas,. Dihutankan Kembali, 60.000 Hektar Tambak di Delta Mahakam, 5 April 2001

[7] www.kutaikartanegara.com, TotalFinaElf Presentasikan Hasil Penelitian Delta Mahakam, 20/05/03

[8] IPCC, 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Houghton, J.T.,Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer, P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, 881pp.

[9] Tjia, H.D., 1996. Sea-level changes in the tectonically stable Malay-Thai Peninsula. Quaternary International 31, pp. 95-101.

[10] Roberts, H. and Sydow, J., 2003. Late Quaternary stratigraphy and sedimentology of the offshore Mahakam Delta, East Kalimantan (Indonesia). In: F.H. Sidi, D. Nummedal, P. Imbert, H. Darman and H.W. Posamentier (eds.). Tropical deltas of Southeast Asia: sedimentology, stratigraphy and petroleum geology. SEPM Special Publication 76, pp. 125-145.

[11] Schuettrumpf, R., 1986. Hydrological monography of the Mahakam River. Technical Cooperation for Area Development, Kutai District, East Kalimatan.

[12] Husein, S., in prep. Op.cit

[13] www.wikipedia.com, Delta Mahakam

[14] www.kutaikartanegara.com, Pengelolaan Delta Mahakam Terus Disosialisasikan, 28/03/03

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button