MENATA PENDIDIKAN atau Education Organize

PRO EDUCATION, KUNCI KEBERHASILAN KOTA BOGOR

I. PERMASALAHAN PENDIDIKAN

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).

Permasalahan pendidikan tidak henti-hentinya di kupas oleh berbagai pengamat, namun sampai saat ini belum ada perbaikan yang berarti. Hanya saja ada kabar baik yang dihembuskan pemerintah, bahwa anggaran pendidikan akan naik menjadi 20% sesuai amanat UUD 1945. Permasalahan selanjutnya bagaimana mengelola dana yang besar tersebut. Apakah akan kita habiskan untuk suatu kebijakan berorientasi proyek atau kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa.

Pengelolaan pendidikan di daerah masih mengalami masalah rendahnya efisiensi pendidikan dan efektifitas dalam pencapaian program pendidikan. Rendahnya efisiensi pendanaan pendidikan disebabkan oleh beberapa factor yaitu:

1. Penyusunan rencana program pendidikan pada umumnya belum didasarkan pada data yang akurat sehingga rencana yang disusun tidak mencerminkan kebutuhan local

2. Dana yang tersedia cenderung lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi daripada dialokasikan langsung kepada kegiatan belajar di sekolah

3. Pengambil kebijakan dibidang pendidikan kurang mempunyai perhatian dan pengetahuan yang memadai mengenai subtansi pendidikan

Rendahnya efektifitas dalam pencapaian program pendidikan dikarenakan oleh factor-faktor sebagai berikut:

1. Aturan permainan yang belum jelas mengenai peran dari unit kerja di tingkat kabupaten/kota. Ibarat dalam suatu permainan sepak bola, aturan permainan ditentukan ketika para pemain masuk dalam lapangan permainan

2. Berkaitan dengan factor yang pertama, yaitu pengelola sector public termasuk pengelola pendidikan belum siap untuk memainkan peranannya secara otonom. Kritik yang sering dikemukkan adalah bahwa sumber daya manusia di tingkat kabupaten/kota belum memadai untuk mengimplementasikan desentralisasi pengelolaan pendidikan

Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu: (1) Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan); (2) Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?; (3) Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru apakah terjangkau oleh seluruh siswa? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran, laboratorium, computer, internet dsbnya); (4) Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?; (5) Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?; (6) Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi); (7) Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?

II. KUALITAS PENDIDIKAN

Temuan peneliti Harvard pada awal dasawarsa 80-an perlu menjadi perhatian. Penelitian longitudinal Howard Gardner cs menemukan bahwa keberhasilan seseorang di dalam hidup bukan ditentukan oleh IQ tetapi terlebih oleh EQ, kecerdasan emosional dengan kompetisi inter- dan intrapersonal. Di samping EQ ada lagi kecerdasan lain yang berperan seperti SQ.

Kalau dunia pendidikan ingin membantu murid menata kehidupan dan penghidupan lebih baik, maka mata ajaran atau pelatihan, proses pembelajaran dan interaksi di sekolah harus melowongkan waktu yang lebih banyak bagi pengembangan potensi-potensi lain di luar IQ. Sekarang ini semua diarahkan kepada pengembangan kemampuan intelektual atau akademis.

Kurikulum yang begitu padat masih menghantui para guru di sekolah-sekolah kita. Sejak beberapa waktu lalu sudah mulai diadakan perampingan kurikulum, dan belakangan ini orang berbicara tentang kompetisi dasar. Kita harus mengubah paradigma penumpukan materi dengan paradigma pemberdayaan potensi peserta didik. Sejalan dengan itu metode “sekolah dengar” harus diganti dengan metode sekolah aktif yang mengutamakan swakarsa dan swakarya murid.

Kompetisi yang paling dasar adalah kemampuan belajar sendiri. Oleh sebab itu sebelum diajarkan berbagai ilmu, diajarkan lebih dulu cara belajar sendiri. Untuk itu, perlu dikembangkan metode pembelajaran yang disebut pola proses. Pola proses mengutamakan peserta didik sendiri memanfaatkan potensi dan pengetahuan yang dimilikinya untuk menghadapi sesuatu.

III. MENATA PENDIDIKAN DI KOTA BOGOR

1. Empat Pilar Pendidikan

Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO dan perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Dalam rangka merealisasikan ‘learning to know’, Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.

Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.


Pendidikan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.

Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal.


Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan global. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.

2. Meningkatkan Kuantitas Pendidikan

Kuantitas Pendidikan berarti meningkatkan jumlah orang yang bersekolah. Meningkatkan jumlah orang yang bersekolah membutuhkan berbagai sarana dan prasarana seperti gedung sekolah, guru berkualitas, buku pelajaran yang mudah dan murah didapat, laboratorium baik bahasa, computer, pengetahuan alam maupun social, dsbnya.

Pemenuhan sarana prasarana tersebut berarti ada tambahan biaya investasi pendidikan. Ada berbagai macam cara untuk meningkatkan alokasi dana pendidikan:

Pertama, mengacu pada konsep pendidikan untuk semua (Education for All) yang dicetuskan di Jomtien, Bangkok, Thailand, tahun 1990, pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan orangtua. Pengertian masyarakat di sini perlu diperluas, yaitu melibatkan kalangan bisnis. Mereka yang kaya dan masyarakat bisnis yang potensial perlu dilibatkan untuk mengatasi sulitnya mendapatkan dana untuk membangun pendidikan. Salah satu gagasan yang pernah muncul, dulu, adalah adanya pajak pendidikan. Pemerintah pusat maupun daerah perlu mendorong para pengusaha dan orang-orang kaya untuk ikut mengembangkan masyarakat. Sekian persen keuntungan digunakan untuk membantu pemerintah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, yaitu pendidikan dan kesehatan. Bila pemerintah dapat “mengajak” peran swasta ikut membiayai pendidikan bisa dibayangkan bahwa sejumlah sekolah yang bagus akan tampak di sekeliling pabrik atau tempat produksi. Tentu saja ini semua harus ada timbal baliknya. Bagi perusahaan yang sudah memberikan sebagian keuntungannya untuk pendidikan dibebaskan dari pajak-pajak yang lain.

Kedua, melakukan efisiensi anggaran seperti yang dilakukan oleh Bupati Kabupaten Jembrana Prof I Gede Winasa. Beliau terkenal karena mempelopori pendidikan dan kesehatan gratis. Padahal anggaran APBD hanya Rp 250 M. alokasi untuk mengratiskan pendidikan didapatkan dengan cara melakukan efisiensi dan efektifitas pada struktur organisasi pemda. Dinas-dinas yang tidak terlalu signifikan dipangkas dan jabatan fungsional yang tidak perlu dikurangi.

Ketiga, mengalokasikan anggaran dengan efektif, misalnya alokasi anggaran pendidikan tahun 2009 yang cukup besar hendaknya tidak diarahkan pada pembangunan fisik saja tetapi juga lebih berorientasi bagaimana mengurangi pengeluaran siswa dalam proses belajar mengajar.

3. Mengelola Kualitas Pendidikan

Kualitas pendidikan berarti meningkatkan usia sekolah, mutu sekolah, jumlah siswa yang berprestasi pada tingkat nasional maupun internasional. Standar tersebut dapat tercapai apabila semua stakeholder pendidikan paham dimana posisinya, bagaimana harus melangkah dan kemana tujuan akhir. Untuk mencapai itu semua perlu ada diskusi intensif antar stakeholder pendidikan kota bogor.

Selain itu, mentalitas perguruan tinggi juga harus diperbarui. Isi harus lebih dipentingkan daripada kulit. Artinya, fokus perguruan tinggi pertama-tama bukanlah pembangunan gedung, penambahan aset, atau pengadaan fasilitas semegah mungkin. Penyiapan mentalitas, integritas, budaya, dan sumber daya jauh lebih urgen dibanding penampilan fisik kampus. Kondisi pendidikan di India (lihat, Kompas 21 Agustus 2004) adalah sebuah bukti. Perguruan Tinggi di sana, misalnya Indian Institute of Technology (IIT) Delhi, mempunyai reputasi yang sangat baik di tingkat internasional. Padahal, kampusnya sangat sederhana. Dimana letak keunggulannya? Mentalitas dan integritas para pendidiknya. Mereka sangat akrab dan mudah ditemui mahasiswa. Semua dosennya bergelar doktor. Demikian pula dengan budaya akademiknya; etos belajar dan mengajarnya. Semua itu ditunjang lagi dengan biaya kuliah yang murah dan tersedianya kelengkapan fasilitas primer bagi mahasiswa seperti; perpustakaan yang lengkap koleksinya, akses internet gratis, dan sebagainya

IV. SEKILAS PENDIDIKAN INNER BEAUTY DI INDIA

INDIA tidak diragukan lagi reputasinya dalam mengelola pendidikan tinggi. Di bidang kedokteran, manajemen, sains dan teknologi, keberhasilan pendidikan tinggi di India telah diakui secara internasional. Sekolah-sekolah kedokteran di India dikelola dengan standar internasional sehingga lulusannya laku bekerja ke luar negeri. Sekitar 30 persen dokter yang bekerja di Amerika Serikat berasal dari India.

Di bidang teknik dan teknologi informasi, India adalah tempatnya. Tiap tahun perguruan tinggi di India menghasilkan 200.000 ahli peranti lunak. Keahlian mereka juga diakui secara internasional. Di Microsoft, raksasa perusahaan peranti lunak di Amerika Serikat, tidak kurang 30 persen pekerjanya berasal dari India meski Bill Gates hanya menyebut angka sekitar 20 persen.

Pendidikan di India memang lebih mementingkan isi daripada kulitnya. Meski gedung-gedungnya kusam, hampir seluruh dosen yang mengajar di kampusnya bergelar doktor. Mereka benar-benar mengajar, tidak pernah mewakilkan tugas mengajar kepada asistennya. Dosen-dosen itu juga begitu gampang ditemui.

Penampilan fisik kampus-kampus perguruan tinggi di India memang tidak menjanjikan. Perguruan tinggi di India memang tidak sibuk dengan urusan lipstik. Bagi mereka yang penting substansi pendidikannya. Kecantikan dari dalam (inner beatuy) itulah trade mark pendidikan di India.

Kampus Indian Institute of Technology Delhi yang berada di peringkat keempat sebagai universitas terbaik versi Asiaweek pada tahun 2000 juga sangat bersahaja. Dinding-dindingnya kusam, sebagian lapisan semen pada tangga menuju ke lantai atas ambrol, dan tidak ada mesin pendingin sekalipun panas di New Delhi bisa ekstrem.

Penampilan fisik yang sangat sederhana itu jamak dijumpai di kampus-kampus perguruan tinggi di India. Tetapi akses memperoleh ilmu berlimpah. Perpustakaan lengkap dengan koleksi buku dan jurnal terbaru, komputer terkoneksi internet dapat diakses gratis oleh mahasiswa, buku mudah dicari dan murah.

Exit mobile version