I. MASYARAKAT TRADISIONAL PAPUA
Hampir semua kelompok etnik di pedalaman Papua meyakini bahwa daerah pedalaman atau dataran tinggi dan gunung-gunung adalah gudang keramat berbagai makanan, harta benda, kekayaan yang melimpah untuk dinikmati masyarakat seumur hidup.
Pada masyarakat Mone menurut Cutts (1991:132) menyebutkan bahwa gunung-gunung di sekeliling suku Moni memuat harta karun. Suku-suku asli Papua di pedalaman masih meyakini bahwa hanya pendatang yang tahu bagaimana mencapai harta karun tersebut dan tidak akan mau memberitahukannya kepada penduduk asli sebab ingin memiliki sendirinya. Dalam pandangan manusia Papua mengenai alam, Tuhan dan roh sebagai satu kesatuan yang melingkupi kehidupan manusia merupakan manifestasi ajaran monism yang mempunyai makna positif dalam upaya pelestarian alam. Manusia adalah bagian dari alam, sehingga kalau ia merusak alam berarti merusak dirinya sendiri (Ngadisah, 2003:50). Ditambah lagi, manusia Papua mengidentikkan alam dengan orang tua, sehingga tanah dianggap sebagai ibu (mama).
Masyarakat Papua mempunyai hubungan spiritual yang istimewa dengan tanah (Erari, 2000:3;5). Bagi sebagian besar suku etnik asli Papua, tanah adalah tempat dimana berlangsungnya kehidupan dari generasi ke generasi. Erari menambahkan bahwa dalam Eko-Budaya Melanesia, tidak ada kawasan lingkungan di Papua yang masuk dalam kategori “no man’s land” atau tanah tidak bertuan. Setiap jengkal tanah mempunyai relasi budaya dengan masyarakat adat sekitar, kendati jarak jangkauannya bisa seminggu berjalan kaki (Erari, 2000:3;).
Makna konsep tanah meliputi seluruh wilayah yang digunakan masyarakat Papua termasuk laut, sungai, gunung dan sumberdaya yang ada di dalamnya.
1. Teori Kelompok Etnik dan Wilayah Budaya di Papua
Masyarkat adat Papua mengambil dan mengelola hasil alam secara langsung. Penyebabnya adalah kondisi medan geografi yang sangat berat (banyak gunung yang tinggi mencapai 5000-an meter di atas muka laut termasuk banyak hutan dan kekayaan sumber daya alam yang masih asli), aksesibilitas terbatas. Karena kondisi lingkungan alam seperti itu, sehingga masyarakat adat Papua menggantung hidupnya secara berlebihan atau secara penuh pada sumber kekayaan alam menurut kekerabatan dan pengetahuan kearifan lingkungan yang sangat kuat dan mendasar (Purba, 2002:44-56)
Secara umum masyarakat adat Papua mempunyai mata pencaharian sebagai peramu, peladang berpindah, peladang menetap, nelayan serta nelayan-peladang (Boellars, 1986: Purba, 2002: 44-56). Sebagai contoh masyarakat tipe peramu pemburu dan peladang adalah suku Asmat di bagian selatan papua. Masyarakat tipe peladang berpindah adalah suku dani di pedalaman papua. Masyarakat tipe peladang menetap adalah suku biak dan suku sentani di utara papua, sedangkan masyarakat tipe nelayan dan nelayan-peladang adalah suku-suku di pulau Yapen (Serui) di pesisir Utara Papua.
2. Batasan wawasan kosmologi Papua
Nilai budaya tanah sebagai ibu yang berlaku umum di Papua (Erari, 1999) menunjukkan bahwa wawasan kosmologi Papua adalah inward looking philosophy yang berintikan atau mengandung konsep, prinsip dan pandangan yang mempertahankan , menjaga, dan menjamin kelestarian lingkungan hidup yang berkesinambungan. Hal ini berarti, bahwa hubungan antara manusia Papua dengan alam adalah hubungan yang bersifat religio-magi (Soekanto, 1958:60 yang bukan semata-mata agama (karena banyak orang tidak beragama), tetapi suatu pandangan hidup yang bermartabat tinggi terhadap material di alam, yang terdiri dari dua macam pandangan:
a. Kepercayaan, beberapa benda-benda, tumbuhan mempunyai jiwa
b. Suatu kepercayaan, benda-benda atau tumbuhan mempunyai gaya gaib (dinamismus). Budaya “religio-magi” berlaku dalam berbagai hokum adat (termasuk adat pantang larang) yang mengatur tentang pelestarian lingkungan hidup dalam bidang kehutanan dan pertanian, ekonomi, sejara serta hak ulayat di Papua.
Menurut Keraf (2002:289-292) mengemukakan bahwa terdapat lima ciri khas kearifan lingkungan, yaitu
- Kearifan lingkungan milik komunitas bukan perorangan
- Kearifan lingkungan berarti pengetahuan yang lebih praktis
- Kearifan lingkungan bersifat holistic, karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman mengenai seluruh kehidupan dengan segala relasi di alam semesta, alam adalah jaringan kehidupan
- Kearifan lingkungan berarti aktifitas moral
- Kearifan lingkungan bersifat local, karena terkait dengan tempat yang khusus dan nyata dalam suatu makna ruang (space) yang sacral
Teori-teori dasar revitalisasi nilai-nilai kearifan linkungan
1. Teori adaptasi manusia terhadap lingkungan
Adaptasi manusia terhadap lingkungan adalah bagaimana kebudayaan menyesuaikan manusia terhadap lingkungan hidupnya untuk bisa survive, dan juga berdampak pada organism lainnya dalam cara tak terbilang. Selain itu, adaptasi manusia terhadap lingkungan sering mengubah kenampakan lingkungan alam yang berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem bagian lain di bumi.
Kebudayaan menurut Soemarjan dan Soemardi (1964:113) kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang diperlukan oleh masyarakat untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan dan hasilnya dapat diabdikan pada keperluan masyarakat. Rasa meliputi jiwa manusia yang mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan dalam arti luas. Didalamnya termasuk misalnya agama, ideology, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang menghasilkan ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya, cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang di antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan, baik yang berwujud teori murni, maupun yang disusun untuk diamalkan dalam masyarakat.
Menurut Moran (1979), manusia membina hubungan dengan menggunakan karakter structural maupun fungsional lingkungan hidup, misalnya evolusi genetic adalah adaptasi dengan penyesuaian perlahan-lahan terhadap lingkungan hidup yang menghasilkan perubahan morfologi dan penyesuaian fungsional. Manusia beradaptasi terhadap lingkungan dengan mengacu pada kebudayaan sebagai abstraksi pengalaman.
Selanjutnya manusia yang beradaptasi dengan lingkungan hidup yang berbeda-beda memerlukan kemampuan untuk menciptakan budaya yang berbeda-beda (Sprandley & McCurdy, 1990). Karena itu keanekaragaman adaptasi lingkungan dibutuhkan untuk kelangsungan hidup dari relung-relung ekologi yang ada di bumi, tetapi hal ini dapat dirusak ketika semua orang tiba-tiba menemukan dirinya dalam relung yang sama. Spesies-spesies yang gagal beradaptasi dengan lingkungan hidup akan punah. Hal ini memberikan pemahaman bahwa suatu kebudayaan adalah keberlangsungan hidup yang memberikan kesanggupan pada manusia untuk memenuhi pasang-surut kondisi lingkungan hidup dengan kemampuan penyesuaian diri, akan tetapi dewasa ini manusia dihadapkan dengan perubahan lingkungan hidup yang radikal.
2. Teori kesadaran territorial
Menurut Ardrey (1966), setiap makhluk hidup mempunyai kesadaran wilayah/territorial. Territorial adalah suatu ruang wilayah: apakah air, atau tanah, udara, yang mana seekor binatang atau kelompok binatang mempertahankan keselamatan hidupnya.
3. Teori fungsi kebudayaan
Menurut Malinowski (1945), setiap unsur kebudayaan suatu masyarakat selalu mencoba memanfaatkan nilai-nilai kebudayaan itu sebagai kebudayaan secara keseluruhan. Bendecit (1949) menyatakan setiap suku bangsa mempraktekkan kemanfaatan nilai-nilai budaya berdasarkan the functional theory of culture dari Malinowiski (1945) untuk kepentingan-kepentingan tertentu agar bisa survive
4. Teori strategi kebudayaan
Teori van Peursen (1976) terfokus pada rencana yang terdapat dalam setiap kebudayaan, karena kebudayaan bersifat dinamis atau mengandung benih-benih perkembangan bagi kebudayaan kita.
Secara praktis strategi kebudayaan dibutuhkan untuk mengembangkan dan menyusun struktur-struktur masyarakat baru ekosistemik/sesuai system ekologi masing-masing daerah atas dasar kepentingan masyarakat dan bertujuan untuk mewujudkan cita-cita perbaikan kualitas hidup masyarakat dan wilayah secara berkelanjutan
Teori strategi kebudayaan diolah lebih lanjut oleh van Peursen menjadi suatu model kebudayaan bertahap tiga.
Pertama, tahap mitologis (nilai-nilai kearifan lingkungan Papua), bilamana manusia terbenam di lingkungan sekitarnya dalam perkembangan budaya
Kedua, tahap ontologism-rasional, bilamana manusia mengambil jarak terhadap alam raya dan terhadap dirinya sendiri
Ketiga, tahap fungsionalis, bilamana manusia mulai menyadari relasi-relasi lalu mendekati tema-tema tradisional (alam, Tuhan, sesame, identitas sendiri)
Ketiga tahap ini tidak merupakan urutan anak tangga. Tahap yang berikutnya tidak lebih tinggi dari sebelumnya. Setiap tahap saling mengandung unsur-unsur dari tahap lainnya, artinya tahap mitologis bisa mengandung unsur-unsur dari tahap ontologism atau tahap fungsionalis atau sebaliknya (van PEursen, 1976:6, 18,21) sebagai contoh ukiran patung-patung kayu (tahap ontologism) karya suku Kamoro sekarang di Kabupaten Mimika pun bernyawa (tahap mitologis)
Ketiga tahap model kebudayaan selain mengandung unsur positif juga mengandung unsur negative
a. Tahap mitologis kelihatan dalam praktek magi, yaitu usaha menguasai orang lain atau proses alam dengan sihir
b. Tahap ontologism, substansialisme menunjukkan unsur negative, yaitu usaha menjadikan manusia, barang-barang atau substansi yang terpecah, lepas yagn satu dari yang lain
c. Segi negative tahap fungsionalisme yaitu operasionalisme memperlakukan diri kita sebagai buah catur, nomor dalam seberkas kartu arsip
Teori mengenai interaksi antara manusia dan lingkungan. Ada dua kelompok masyarakat yang berhubungan dengan manusia yaitu
a. Kelompok manusia yang bersikap deterministic pasif terhadap lingkungan
b. Kelompok manusia yang bersikap possibilistik aktif terhadap lingkungan.
Pertemuan antara dua kedua sikap kelompok manuia dapat memungkinkan terjadinya ketidakserasian fungsi nilai-nilai lingkungan hidup sosial.
5. Teori penduduk asli nusantara
6. Teori akulturasi
Akulturasi adalah hasil interaksi dua atau lebih kebudayaan yang menghasilkan suatu budaya baru, misalnya interaksi budaya Jawa dan Hindu menghasilkan budaya Jawa-Hindu. Sedangkan masuknya suatu budaya dalam budaya secara utuh disebut integrasi (Widyosiswoyo, 2000:44)
7. Teori hukum adat
8. Teori ekologi politik
9. Teori kebenaran konsensus
Ada factor yang mempengaruhi nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat adat papua:
1. Proses adaptasi lingkungan yang memungkinkan manusia papua mengenal dan memahami sifat alam sekitarnya. Berdasarkan pengalaman tersebut manusia papua mengembangkan peralatan sebagai penyambung keterbatasan jasmaninya, memilih cara-cara yang tepat untuk menanggapi tantangan yang mereka hadapi. Di samping itu, manusia papua mulai mencoba menempatkan dirinya dalam jaringan kehidupan
2. Pengembangan kebudayaan manusia papua berfikir secara perlambang. Dengan lambang-lambang yang dikembangkan dan diberi makna yang kadang-kadang terlepas dari makna aslinya, manusia Papua mencoba memahami lingkungannya dan mengatasi masalah yang timbul karena sikap dan tingkah lakunya. Sebagai contoh gempa Nabire 2004. Gempa tersebut mendorong masyarakat Papua bersikap dan bertindak secara beragam dalam menghadapi gejala yang sama.
Karena kedua factor diatas manusia papua dapat menampung pengalamannya ke dalam system pengetahuan yang menguasai cara berfikir dan bersikap masyarakat adat papua. Tanggapan dari luar diwujudkan dalam keberhasilan manusia Papua mempertahankan hidup dan mengembangkan generasi dengan mengembangkan peralatan dan cara pengendaliannya. Sedangkan tanggapan ke dalam tercermin dalam system pengetahuan sebagai kerangka acuan yang mewujudkan sikap dan pola tingkah laku masyarakat adat Papua. Kedua proses adaptasi tersebut yang menjadi dasar kearifan lingkungan sebagai kerangka acuan untuk memelihara stabilitas keseimbangan mengenai kosmis.
Nilai-nilai kearifan lingkungan hidup Papua antara lain:
1. Nilai kesatuan moral dengan alam
Kesatuan antara moral dengan alam terungkap dalam pernyataan mereka “…terjadinya sejumlah konflik pemanfaatan lahan di Papua adalah kekuatiran terhadap pemanfaatan wilayah adatnya yang sacral yang dapat membawa berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan, hama, kegagalan panen, tidak adanya hasil tangkapan laut, dan sebagainya karena kesalahan sikap batin dan perilaku mereka terhadap alam”
2. Nilai budaya tanah sebagai ibu
3. Nilai suku Dani sebagai pohon sumber suku besar Papua yang menerapkan tradisional civil society
4. Nilai jati diri suku besar Papua sebagai Pengawal Pusaka NKRI