Masalah Ekosistem Laut atau Problems Marine Ecosystems

Beberapa kerusakan ekosistem lingkungan antara lain
A. Over Fishing
Over fishing atau Penangkapan secara berlebihan didefinisikan sebagai laju pengambilan (penangkapan ikan) yang melebihi laju kecepatan kemampuan sumberdaya ikan untuk melakukan pemulihan.

Di seluruh dunia, sektor perikanan memenuhi kebutuhan tiga miliar orang, atau sekitar 20 persen dari asupan rata-rata protein hewan. Kondisi terkini laut membuat 400 juta orang yang bergantung pada ikan sebagai makanan menjadi kritis. Akan tetapi permintaan ikan cenderung meningkat karena jumlah penduduk global meningkat dan kondisi ekonominya menjadi lebih makmur.

Di sisi lain dalam tiga dasawarsa terakhir stok berbagai jenis ikan di kebanyakan wilayah laut dunia terus menurun, bahkan beberapa jenis ikan telah punah. Pada awal 2000-an, sekitar 75% dari seluruh stok ikan laut dunia telah mencapai status pemanfaatan jenuh (fully exploited), tangkap lebih (overfishing) atau terkuras. Kemudian pada 2008 persentase stok ikan laut dunia yang status pemanfaatannya telah jenuh, tangkap lebih dan terkuras meningkat menjadi 84%. Dengan perincian, status sudah jenuh 53%, tangkap lebih 28%, terkuras 3% dan yang baru pulih dari kondisi terkuras 1% (FAO, 2010).

Dilema perikanan global di atas, dalam banyak hal juga sedang terjadi di Indonesia. Pada 2011 total ikan hasil tangkapan dari seluruh wilayah laut Indonesia mencapai 5,06 juta ton, sekitar 78% dari total potensi lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) sekitar 6,5 juta ton per tahun. Padahal untuk menjamin kelestarian sumber daya ikan laut dan usaha perikanan tangkap itu sendiri, laju penangkapan ikan maksimum yang diperbolehkan adalah 80% MSY (FAO, 1995). Artinya, ruang untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap di Indonesia hanya tinggal 20%. Lebih dari itu, banyak jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan yang padat nelayan nasional, seperti selat Malaka, laut Jawa, pantai selatan Sulawesi dan selat Bali telah mengalami tangkap jenuh (overfishing).

Masalah over fishing tersebut disebabkan, antara lain :
1) Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang memang belum begitu kondusif untuk suatu kemajuan.
2) Struktur armada perikanan yang masih didominasi oleh skala kecil/tradisional dengan kemampuan IPTEK yang rendah.
3) Masih timpangnya tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut lainnya.
4) Masih banyaknya praktek Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) fishing, dan over fishing yang terjadi karena penegakan hukum (law enforcement) di laut masih lemah.
5) Masih rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan, terutama oleh usaha tradisional sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional (seperti Hazard Analysis Critical Control Point/HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya).
6) Lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen tentang jenis dan mutu komoditas perikanan.
7) Belum memadainya prasarana ekonomi dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu, terutama di luar Jawa dan Bali (Barani, 2004)

B. Illegal Fishing
Menurut Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti, ada perspektif global tentang tiga kejahatan besar dunia yaitu terorisme, kejahatan kemanusiaan dan perusakan lingkungan hidup. Luas peraian yang besar ditambah adanya pengamanan yang lemah dari pemerintah menjadi jalan masuk terjadinya illegal fishing. Pengamanan yang lemah ini dikarenakan armada yang dimiliki Indonesia dalam menjaga keamanan perairan sangat minim. Dari 7.000 kapal ikan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar 70 persen di antaranya merupakan milik asing. Selain itu, armada perikanan tangkap Indonesia sebagian besar memiliki produktivitas yang amat rendah yaitu hanya 8 ton/kapal/tahun.

Selain itu rendahnya jangkauan nelayan diperairan lepas menjadikan sumberdaya yang dimiliki Indonesia tidak bisa termanfaatkan maksimal. Pada tahun 2010, dari 590.352 kapal ikan Indonesia, hanya 6.370 unit kapal (kurang dari 2%) yang tergolong modern (kapal motor berukuran di atas 30 GT). Sedangkan kapal motor yang beroperasi sebanyak 155.992 unit (26%). Selebihnya, 238.430 unit (40%) berupa perahu motor tempel (outboard motor) dan 189.630 unit (32%) berupa perahu tanpa motor yang hanya menggunakan layar dan dayung (KKP, 2010). Berdasarkan data tersebut maka sumberdaya yang dimiliki Indonesia tak dapat dimanfaatkan dan dilkelola dengan maksimal oleh para nelayan. Dan yang sangat fatal, malah Negara lain yang memanfaatkannya.

Kerugian negara karena illegal fishing ini diperkirakan mencapai 2-3 milyar USD pertahun atau sekitar 1,6 juta ton produk perikanan per tahun, namun sejauh ini hanya beberapa kapal penangkap ikan asing dan ABK yang ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Jumlah kapal penangkap ikan asing yang melakukan illegal fishing di perairan Indonesia mencapai 1.000 kapal per tahun. Bahkan sebelumnya, kapal-kapal asing yang beroperasi secara illegal di perairan Indonesia, diperkirakan mencapai 7.000 kapal pertahun. Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat, bahwa armada penangkapan ikan asing telah mencuri 1 juta ton ikan pertahun dari perairan Indonesia dengan nilai sekitar 2,5 juta USD hingga 4 milyar USD.

Ilegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan:
1. Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional
3. Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Kegiatan illegal fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah:
a. penangkapan ikan tanpa izin
b. penangkapan ikan dengan izin palsu
c. penangkapan ikan dengan alat tangkap terlarang
d. penangkapan ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin
e. penangkapan yang tidak dilaporkan di pelabuhan pendaratan,
f. penangkapan di area yang tidak sesuai izin, dan

Negara yang sering melakukan illegal fishing di perairan Indonesia adalah Thailand, Filipina dan Cina.

Susi Pudjiastuti mengamati banyak program kerja dan aturan yang belum diterapkan dengan optimal dan benar. Susi menyatakan Indonesia belum pernah melakukan tata kelola (sektor perikanan dan kelautan) yang sesuai dengan konvensi aturan dunia. Indonesia ada aturan, tapi tidak diterapkan. Rencana ke depan, Indonesia akan menerapkan semua peraturan dan mengubah pola perikanan menjadi sustainable fisheries. Salah satu konvensi kelautan dunia yang belum diterapkan yaitu bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masih membolehkan kapal penangkap ikan berbendera asing yang beroperasi di wilayahnya. Misalnya Spanyol yang menerapkan kebijakan pengurangan kapal-kapal besar penangkap ikan, sehingga kapal-kapal besar yang sudah tidak layak operasi tersebut datang dan beroperasi di Indonesia.

Oleh karena itu, mulai 03 November 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan memberlakukan penghentian pemberian izin baru atau moratorium terhadap kapal-kapal penangkap ikan berukuran diatas 30 gross tonnage (GT) untuk mengevaluasi, dan menata ulang izin-izin kapal yang beroperasi di Indonesia.

Susi menjelaskan sejak diberlakukannya moratorium, jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi di Indonesia jauh berkurang. Hal itu menandakan banyak kapal asing dan ilegal yang selama ini melakukan penangkapan ikan.

Susi menyebutkan data dari satelit dan data monitoring kapal (vessel monitoring system / VMS), ada sekitar 933 kapal ikan yang beroperasi pada tanggal 25 Oktober 2014 atau sebelum moratorium. Dan setelah moratorium diberlakukan pada awal November 2014, kapal yang beroperasi hanya 164 unit. “Ada 933 kapal yang tidak punya VMS, yang berarti tidak benar perizinannya, sehingga mereka pada pulang,” jelasnya.

Sesuai UU No.45/2009 tentang Perikanan menyebutkan pemerintah berhak melakukan penegakan hukum berupa penenggelaman kapal yang terbukti kapal asing ilegal. Susi menjelaskan sejak moratorium diberlakukan, KKP telah ditangkap enam kapal asing yaitu 5 kapal dari Thailand dan satu kapal dari Vietnam. Dan TNI Angkatan Laut telah menangkap empat kapal asing.

C. Kerusakan Terumbu Karang
Beberapa kerusakan terumbu karang disebabkan
1. Kebanyakan terumbu karang dunia terancam oleh kegiatan manusia.
Lebih dari 60% terumbu karang dunia menerima ancaman langsung dari sumber penyebab setempat seperti penangkapan berlebih, penangkapan yang merusak, pembangunan pesisir, pencemaran yang berasal dari daerah aliran sungai, atau pencemaran dan kerusakan yang berasal dari laut.

Kira-kira 75% terumbu karang dunia dinilai terancam salah satunya akibat tekanan panas. Hal ini menunjukkan bahwa dampak kenaikan suhu laut berkaitan dengan melemahnya dan matinya karang di perairan disebabkan pemutihan karang secara besar-besaran.

Kerusakan karang akibat penangkapan berlebihan termasuk penangkapan yang merusak merupakan ancaman langsung yang tersebar paling luas, yang memengaruhi lebih dari 55% terumbu karang dunia. Pembangunan pesisir dan pencemaran yang berasal dari DAS masing-masing mengancam sekitar 25% terumbu karang dunia. Pencemaran dan kerusakan yang berasal dari kapal tersebar luas, yang mengancam sekitar 10% terumbu karang di dunia.

Hampir 95% terumbu karang di Indonesia terancam oleh kegiatan manusia setempat, dengan lebih dari 35% mengalami ancaman tingkat tinggi atau sangat tinggi. Penangkapan berlebihan dan merusak adalah ancaman paling besar, yang memengaruhi lebih dari 90% terumbu karang. Tekanan penangkapan paling tinggi terdapat pada terumbu tepi di perairan pantai dan di daerah berkepadatan penduduk yang tinggi. Walaupun demikian, tekanan akibat kegiatan penangkapan ditemui pada hampir semua terumbu karang, termasuk yang ada di daerah terpencil. Penangkapan yang merusak (dengan bahan peledak atau racun) terjadi di mana-mana dan mengancam hampir 80% terumbu karang di Indonesia (sekitar 31.000 km2). Cara tersebut dilakukan di banyak tempat di kepulauan ini dengan kadar yang cenderung berbeda tergantung tata nilai budaya dan kebiasaan setempat

Terumbu karang yang rusak membutuhkan waktu yang sangat lama (minimal 20tahun) untuk kembali normal secara alami (natural recovery), itupun jika sumber kerusakannya telah dihentikan. Oleh karena itu, upaya-upaya perbaikan ekosistem dengan bantuan manusia seperti rehabilitasi ekosistem terumbu karang perlu mendapat perhatian.

D. Kerusakan Hutan Mangrove
Sebuah hasil penelitian diliris oleh The Nature Conservancy, Wetlands International dan Universitas Cambridge menyatakan bahwa ekosistem mangrove merupakan sumber penting untuk mendukung penghidupan ratusan juta masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan dataran rendah dan menghasilkan sumber protein hewani.

Data FAO menjelaskan pada tahun 2011 mengungkap bahwa hasil tangkapan dan konsumsi perikanan, crustacea, moluska dari seluruh lautan duniat adalah 78,9 juta ton atau 16,6 persen dari seluruh proten yang dihasilkan dari protei hewani. Permintaan dunia akan hasil laut telah meningkat secara dramatis dalam beberapa dekade belakangan ini, meningkat dua kali lipat dari 9,9 kg per kapita pada tahun 1960-an menjadi 18,8 kg perkapita pada tahun 2011.

Mangrove memberikan kontribusi pada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Grevo S. Gerung dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado mengatakan 55 persen karbon di atmosper ditangkap oleh hidupan laut dan ekosistem pesisir secara terus menerus untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, pembukaan hutan mangrove bisa meningkatkan emisi karbon secara signifikan, yaitu 150 ton karbon per hektar per tahun, bahkan mencapai 750 ton karbon per hektar per tahun bila sedimen hutan bakau dibuka. Sebagai perbandingan, proyek restorasi mangrove di negara Senegal, Afrika dengan estimasi emisi yang bisa direduksi sebesar 2.700 ton setara karbon per tahun menjadi salah satu contoh proyek yang masuk pasar karbon melalui Clean Development Mechanism (CDM).Sementara itu untuk di Indonesia, telah terdapat proyek restorasi mangrove dan perlindungan pesisir di pantai timur Aceh dan Sumatera Utara dengan estimasi 56.662 ton setara serapan karbon per tahun yang telah teregistrasi masuk CDM.

Pengelolaan mangrove di Indonesia dapat dikatakan masih jauh dari ideal. Dari sekitar 3,2 juta hektar total mangrove di Indonesia, atau 22 persen luas mangrove dunia, maka hanya sekitar 46 persen yang masih baik. Hutan mangrove di berbagai daerah mengalami kerusakan disebabkan alih fungsi menjadi perkebunan sawit, tambak, desakan pemukiman dan industri, polusi dan penangkapan biota yang berlebihan (over-fishing).

Kondisi hutan mangrove di Indonesia yang ada saat ini sangat memprihatinkan. Luas hutan mangrove Indonesia turun dari 5,21 juta ha antara 1982-1987 menjadi 3,24 juta ha dan makin menyusut menjadi 2,5 juta ha tahun 1993 (Widigdo, 2000; dalam Rochana, 2010). Sedangkan Arabaya dan Wanna, 2006; dalam Santoso, 2008; luas hutan mangrove di Indonesia 4,25 juta ha. Walau terjadi perbedaan angka luasan mangrove, namun terlihat jelas bahwa hutan mangrove telah berubah fungsi dari yang seharusnya. sangat banyak sekali wilayah hujan mangrove dijadikan sebagai lahan tambak, pemukiman pesisir pantai, kawasan wisata, kawasan industri dan lain sebagainya.

Kerusakan hutan mangrove ini berakibat terancamnya biota laut dan sumberdaya ikan dan akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan, karena hutan mangrove yang berfungsi sebagai tempat daerah pemijahan (spawining ground), daerah pembesaran dan asuhan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground) telah rusak dan tinggal sedikit. Untuk itu perlu solusi agar biota laut dapat terselamatkan dan pemulihan sumberdaya ikan.

Kerusakan mangrove sebagai contoh adalah tambak udang skala raksasa di Delta Mahakam Kaltim seluas 60 ribu hektar yang menyisakan endapan asam sulfat yang muncul di permukaan tanah di eks area mangrove. Konversi mangrove menjadi tambak udang skala raksasa telah memunculkan zat kimia dari dalam tanah, yang telah menyebabkan ekonomi berbasis tambak udang di area bekas mangrove kolaps hanya dalam beberapa kali siklus tambak udang saja. Akibatnya, masyarakat yang ada di lokasi tersebut kehilangan mata pencarian dan terpaksa meninggalkan area yang tidak lagi produktif untuk budidaya perikanan.

Contoh lain hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut, menyebutkan 90 persen hutan mangrove di provinsi Sumut rusak parah. Salah satu penyebab, alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit, dan tambak baik ikan, udang dan lain-lain. Alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit, cukup besar, lebih dari 12.000 hektar, tambak ikan, 10.000 hektar lebih. Hidayati, kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut mengatakan, kondisi ini berdampak buruk pada pelepasan gas carbon dioksida dan serapan air bawah tanah, maupun lingkungan rusak.

E. Reklamasi
Seperti kasus-kasus reklamasi diberbagai tempat di Indonesia, kepentingan social dan lingkungan selalu kalah dari kepentingan ekonomi. Penguasa hanya menilai reklamasi dari sisi materil. Mereka tidak memikirkan nasib warga dan pelestarian lingkungan.

PT Mikrgo Metal Perdana (MMP) beraktivitas sejak Februari 2014. MMP melakukan eksplorasi pertambangan, konstruksi, dan operasi produksi. Namun MMP dinyatakan penambangan tanpa izin oleh Mahkamah Agung dan memenuhi unsur pidana Pasal 158 UU No 4/2009. Sejak 12 Mei 2014, bersamaan kegiatan World Coral Reef Confrence (WCRC), reklamasi pantai di Bangka dilakukan oleh MMP. Batu-batu besar ditumpahkan ke laut, menimbun terumbu karang dan merusak mangrove. Aktifitas MMP dilakukan tanpa izin reklamasi, tanpa izin pelabuhan khusus, tanpa izin alih fungsi hutan lindung, serta tanpa izin lingkungan.

MMP telah membuang batu ke laut dan menggusur mangrove di pesisir Desa Ehe. Aktifitas ini diperkirakan menggusur mangrove hingga 50 meter. MMP melakukan pengeboran untuk mengambil sample mineral di Bangka. Aktivitas pertambangan dilakukan seharian penuh. Sejumlah aparat personil Brimob dan TNI, terlihat mengawal pembangunan dermaga yang berpusat di Desa Kahuku.

Ironisnya lagi, selayaknya perusahaan melakukan pendampingan terhadap masyarakat namun justru masyarakat didesak melakukan tindakan melanggar hukum atau berbuat anarkis agar bisa dikriminalisasi lalu pertambangan bisa berjalan terus. Pembiaran terhadap aktiftias MMP membuat masyarakat berangsur-angsur tidak lagi mempercayai hukum. Upaya menenangkan warga terus dilakukan. Sejumlah pendamping masyarakat di lapangan, selalu mengajak warga menghindari gesekan fisik dengan pemerintah dan aparat.

Reklamasi terjadi juga di Palembang Sumatera Selatan. Dulu, di masa penjajahan Belanda, luas Palembang yang mencapai 102,47 kilometer per segi hampir setengahnya rawa dan sungai. Setelah 2005, luas rawa 22.000 hektar, salah satu karena reklamasi rawa di Jakabaring dan Polygon. Juga pembangunan rumah toko, perhotelan, hingga rawa di Palembang tersisa 5.834 hektar. Dari 5.834 hektar, hanya 2.106 hektar rawa konservasi, sisanya budidaya 2.811 hektar, dan reklamasi 917 hektar. Akibat kawasan rawa di hulu anak Sungai Musi, yang melintas di Palembang, menghilang, air masuk ke anak sungai umumnya dari rumah tangga, rumah sakit, dan industri, hingga berwarna hitam, berbau dan penuh limbah.

Reklamasi pantai utara JAkarta lebih parah lagi, katanya bisa mengurangi banjir jakarta karena rob namun justru memberikan beban baru bagi Jakarta. reklamasi dapat menyebabkan titik banjir di jakarta semakin banyak, belum lagi beban air bersih, nelayan kehilangan mata pencaharian, ekosistem laut rusak.

F. Laut Semakin Asam
Lautan penting untuk memenuhi produksi pangan perikanan. Namun kemampuan laut untuk menyediakan makanan dipengaruhi perubahan iklim dan pengasaman laut. Di seluruh dunia, sektor perikanan memenuhi kebutuhan tiga miliar orang, atau sekitar 20 persen dari asupan rata-rata protein hewan. Permintaan ikan cenderung meningkat karena jumlah penduduk global meningkat dan kondisi ekonominya menjadi lebih makmur.

Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Riset dan Pengembangan di Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Agus Supangat menjelaskan perubahan iklim mempengaruhi sifat fisik dan kimia laut, yang mempengaruhi dan mengubah sifat biologis organisme laut. Secara khusus, perubahan suhu dan kadar oksigen laut berdampak pada migrasi, pemijahan dan pola makan, serta migrasi dan pola distribusi dari ikan dan kerang-kerangan. Secara tidak langsung, ikan dan kerang-kerangan dipengaruhi oleh perubahan produksi primer karena efek langsung dari pengaruh iklim pada fitoplankton.

Agus menambahkan perubahan fisik dan kimia laut menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati laut. Semakin asamnya laut juga mempengaruhi pertumbuhan karang dan meningkatkan resiko hidup terumbu karang. Mengikuti hukum rantai makanan, kondisi terumbu karang akan mempengaruhi ikan dan hewan laut lainnya, misalnya kulit atau tempurung moluska pun menipis. Budidaya perikanan juga terpengaruh oleh berkurangnya jumlah pakan ikan (feed-fish) karena upwelling air asam mempengaruhi pertumbuhan kerang, dan peningkatan risiko banjir untuk area pertambakan di daerah tropis. Perubahan iklim juga meningkatkan resiko kepunahan dari sejumlah besar spesies pesisir dalam beberapa dekade mendatang. Kepunahan spesies tersebut terutama modifikasi habitat, eksploitasi berlebihan dan polusi.

Exit mobile version