Manusia sebagai Khalifah Fil Ardhi

Alam semesta termasuk bumi dan seisinya adalah ciptaan Allah SWT. Penciptaannya dalam keseimbangan, proporsional dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (QS:Ar-Ra’d: 8; Al-Qomar: 49 dan Al-Hijr:19). Alam merupakan sebuah entitas atau realitas (empirik) yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan manusia dan dengan realitas yang lain Yang Ghaib dan supraempirik. Alam sekaligus merupakan representasi atau manifestasi dari Yang Maha Menciptakan alam dan Yang Maha Kuasa, yang melampauinya dan melingkupinya yang sekaligus merupakan sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidak-sengajaan (kebetulan atau main-main atau bathil) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat, akan tetapi dengan nilai dan tujuan tertentu dan dengan haq atau benar (Q.S: Al-An’am: 73; Shaad:27; Al Dukhaan: 38-39, Ali Imran:191-192).

Dalam konteks hubungan antara manusia dan alam, Islam menolak asas paham antroposentrisme, yang menganggap bahwa manusia merupakan pusat sekaligus “penguasa” alam. Manusia adalah bagian dari alam, bukan diatas atau terpisah dari alam. Manusia bukan tuan atau penguasa alam akan tetapi mempunyai status yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam berinteraksi dengan alam, manusia harus mempertimbangkan hak dan peran makhluk yang lain dan tidak terbatas pada makhluk hidup semata, akan tetapi seluruh komponen alam. Keberlanjutan kehidupan manusia, juga dipengaruhi dan tergantung pada alam atau ekosistimnya. Demikian pula kehidupan makhluk yang lain dipengaruhi oleh manusia dan juga ekosistemnya.

Asas keseimbangan, kesatuan ekosistem serta keterbatasan alam (daya dukung dan faktor pembatas) masih digunakan oleh para ilmuan dan praktisi lingkungan untuk menyusun kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Asas tersebut juga telah digunakan sebagai landasan moral (etika) perlindungan alam dan lingkungan bagi aktifitas manusia dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Berikut ini akan dikemukakan secara singkat beberapa asas etika lingkungan yang dimaksud.

Asas pertama. Lingkungan alam merupakan lingkungan yang bersifat holistik dan saling mempengaruhi. Artinya segala sesuatu yang berada dibumi ini saling mempengaruhi secara langsung maupun tidak. Secara moral, asas ini menuntun setiap individu khususnya manusia untuk mempertimbangkan setiap keputusan dan tindakan yang akan dilakukannya terhadap lingkungan alam. Asas ini sejalan dengan paham biosentrisme dan ekosentrisme tentang hubungan antara manusia dan alam yang tidak bersifat terpisah, akan tetapi manusia merupakan bagian dari alam, antara keduanya saling terkait.

Asas kedua. Segala sumber kehidupan dibumi termasuk keanekaragaman hayati merupakan kekayaan alam yang merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya. Keanekaragaman hayati ini harus dipelihara karena merupakan sumber kehidupan dan keberlanjutan eksistensi semua makhluk hidup termasuk manusia. Menjaga keberlanjutan kehidupan dan keaneka ragaman hayati pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan di muka bumi termasuk kehidupan manusia, sekaligus merupakan tugas atau kewajiban manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling unggul dalam ciptaan maupun kemampuan nalarnya. Merusak sumber kehidupan atau memanfaatkan sumber kehidupan dengan melampaui batas merupakan tindakan yang tidak dibenarkan karena akan berakibat pada terganggunya keseimbangan ekosistem dan rusaknya alam.

Asas ketiga. Terjadi siklus dan penyebaran sumberdaya alam secara terus menerus melalui suatu mata rantai ekosistem atau rantai makanan, sehingga saling terpengaruh antara satu komponen dengan komponen lainnya. Limbah suatu komponen ekosistim (spesies) bisa menjadi masukan atau sumber makanan bagi komponen ekosistem (spesies) lainnya. Misalnya mikroba tanah. Mikroorganisme atau mikroba adalah makhluk yang berukuran sangat kecil. Mikroba dapat mengurai limbah organik seperti daun, buah, dan sayuran busuk. Mikroba memperoleh energy dengan cara menguraikan sisa-sisa makhluk hidup yang telah mati.

Asas keempat. Adanya faktor pembatas (kendala) dalam kehidupan di alam. Artinya, faktor lingkungan tertentu bisa menjadi pembatas atau kendala bagi berkembangnya atau berfungsinya kehidupan komponen lingkungan lainnya. Demikian pula daya dukung lingkungan mempunyai keterbatasan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Ekosistem dan komponennya mempunyai keterbatasan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan baru. Apabila faktor pembatas dilewati misalnya dengan melakukan eksploitasi atau pemanfaatan alam yang melampaui kapasitas dan daya dukung lingkungan, maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan ekosistem di alam dan berdampak terjadinya degradasi.

Asas kelima. Setiap individu atau spesies mempunyai kemampuan sekaligus faktor pembatas untuk bisa mempertahankan dan melestarikan spesiesnya. Misalnya perlindungan terhadap salah satu komponen atau spesies misalnya ular di sawah semakin lama semakin sedikit jumlahnya sehingga menyebabkan populasi tikus semakin banyak. Akibatnya mengganggu pertumbuhan padi di sawah.


Asas keenam. Ekosistem mempunyai kemampuan tertentu untuk mempertahankan kehidupannya. Kemampuan ini sering disebut sebagai daya dukung atau carrying capacity, yang mirip dengan sistem rekayasa dan perilaku organisasional walaupun dalam ekologi aspeknya lebih komplek. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

Asas ketujuh. Didalam alam ini selalu terjadi pengembangan dan penyetimbangan ekosistem. Ekosistem telah berkembang dari sistem yang semula sangat sederhana menjadi sistem yang lebih beraneka ragam dan komplek dalam jangka waktu yang lama. Ketika sebuah keanekaragaman dan keseimbangan ekosistem direduksi atau dirusak, maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan atau goncangan terhadap keseimbangan ekosistem. Intervensi manusia terhadap ekosistem alam akan menyebabkan perubahan keseimbangan pada ekosistem alam, semakin banyak perubahan yang dilakukan manusia, berarti semakin kompleks perubahan pada ekosistem tersebut.

Pengertian Khalifah di muka bumi
Dalam Al-Al-Qur’an kata khalifah disebutkan sebanyak sembilan kali, dua kali dalam bentuk mufrad dan tujuh kali dalam bentuk jamak. Kata ini digunakan dalam al-Al-Qur’an sebagai penjelasan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Secara kebahasaan kata khalifah berarti wakil Nabi Muhammad, kepala negara Islam, dan juga penguasa maupun pengelola. Menurut Ibn Faris, setiap kata yang tersusun dari kha, lam, dan fa, memiliki tiga makna asal yaitu: 1) sesuatu yang datang setelah sesuatu yang lain kemudian ia menempati tempat pendahulunya itu, 2) lawan dari di depan, atau 3) perubahan.

Khalifah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari khalafa, berarti: menggantikan atau menempati tempatnya. Makna khilafah menurut Ibrahim Anis adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya.

Dengan pengertian diatas ada yang memahami khalifah adalah menggantikan. Sehingga kalau dikatakan manusia adalah sebagai khalifah di bumi. Maka manusia adalah sebagai pengganti di muka bumi ini. Ada 2 perbedaan pendapat mengenai menggantikan, yakni:
Pertama menggantikan Allah SWT dalam menegakkan kehendaknya dan menerapkan ketetapannya. Bukan berarti Allah tidak mampu, tetapi Allah SWT ingin menguji manusia dan memberikan penghormatan.
Kedua, Ada juga yang memahami sebagai pengganti dari makhluk lain yang bisa jadi ada sebelum manusia. Hal ini didasarkan pendapat bahwa ada makhluk lain yang menghuni bumi sebelum manusia.
Dari kedua pendapat tersebut pendapat pertama lebih banyak dianut, dimana manusia adalah khalifah Allah atau wakil Allah. Konsekwensi dari makna tersebut maka manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah sesuai dengan petunjuk Allah SWT yaitu yang telah memberi wewenang dan tugas kekhalifahan. Dan perbuatan yang tidak sesuai dengan petunjuk Allah adalah pelanggaran terhadap fungsi dan tugas kekhalifahan.

Pendapat manusia sebagai khalifah di muka bumi tidak sepenuhnya disetujui, sebagian ulama menolak menafsirkan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi karena:
• Allah adalah Maha segalanya. Dia tidak membutuhkan khalifah, wakil, atau pengganti,
• Jika keberadaan Adam AS atau jenis manusia layak untuk menggantikan Allah, karena manusia harus memiliki sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat Allah Ta’ala, dan Mahasuci Allah dari sifat-sifat yang dapat diserupai manusia. Maha Suci Allah dari adanya pihak yang menandingi dan menyerupai. ”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syuura: 11)
• Yang terjadi adalah sebaliknya, Allah menjadi khalifah atau wakil, beberapa firman berikut ini. ”Cukuplah Allah menjadi Wakil (Penolong) kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (Ali Imran: 173). ”Dan Allah Maha Mewakili segala sesuatu.”(Hud: 12). ”Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.”(At-Thalaq: 3). ”Dan cukuplah Allah sebagai Wakil” (An-Nisa’ : 81)
• Tidak ada satu dalil pun, baik yang eksplisit, implisit, maupun hasil inferensi, baik di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang menyatakan bahwa manusia merupakan khalifah Allah di bumi, karena Dia berfirman, ”Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi”. Ayat ini jangan dipahami bahwa Adam adalah khalifah Allah di bumi, sebab Dia berfirman, ”Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di bumi.” Allah mengatakannya demikian, dan tidak mengatakan, ”Sesungguhnya Aku akan menjadikan, untuk-Ku, seorang khalifah di bumi”, atau Dia mengatakan, ”Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah bagi-Ku di bumi”, atau ”menjadikan khalifah-Ku”.

Terlepas dari perpedaan pendapat di atas, namun mayoritas mufasirin mengatakan khalifah adalah dalam pengertian pertama yaitu sebagai pengganti Allah SWT. Dengan demikian manusia sebagai khalifah maka manusia adalah pengganti Allah di muka bumi untuk menjalankan hukum-hukum Allah SWT.

Kata “khalifah” bisa mencakup perseorangan, kolektif ataupun sistem. Dalam kaitan ini, pembangunan seharusnya memperhatikan apakah sarana dan prasarana yang digunakan sebagai penopang bersifat destruktif atau tidak, baik kepada individual, masyarakat maupun lingkungan. Pembangunan juga harus memusatkan tujuan kepada kesejahteraan manusia (istislah) dengan tidak mengabaikan keterpeliharaan lingkungan. Kalau ini diabaikan, maka akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia keseluruhan.

Salah satu tugas kekhalifan manusia adalah sikap hormat terhadap alam semesta. Dalam Al-Qur’an surah Al-Anbiya 107, Allah SWT berfirman:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Terjemahan
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.


Pengertian Bumi dalam Islam
Bumi dan isinya diciptakan Tuhan untuk manusia, tetapi bukan berarti harus dieksploitasi secara berlebihan dan dirusak tanpa memperhatikan keseimbangan sehingga keberlanjutan kehidupan generasi dan makhluk hidup lainya terancam dan punah. Manusia dalam fungsinya sebagai khalifah di muka bumi berkewajiban menjaga keseimbangan dan kelestarian alam yang diamanatkan-Nya. Dalam rangka membentuk manusia yang beradab dan berkesadaran lingkungan, pendidikan dipandang dan diyakini sebgai instrumen strategis-ideologis. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan berwawasan lingkungan hidup.

Dalam Al-Qur’an kata bumi (Ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam. Di bagian lain komponen di bumi dan lingkungan hidup juga banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Sebagai contoh manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam Al-Qur’an surat ke 2 ayat 30. Segala yang di langit dan di bumi ditunjukkan oleh Allah kepada manusia Al-Qur’an surat 45 ayat 13. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi

Manusia mempunyai peran dan fungsi khusus diantara komponen alam dan makhluq ciptaan Tuhan yang lain yakni sebagai khalifah, wakil Tuhan dan pemimpin di bumi (QS: Al-An’am: 165).
وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلٰۤىِٕفَ الْاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْۗ اِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ الْعِقَابِۖ وَاِنَّهٗ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Terjemahan
Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan hidupnya ini ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an yang lain dan Hadist Nabi, yang intinya adalah sebagai berikut :
• Hubungan keimanan dan peribadatan. Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal kebesaran dan kekuasaan Tuhan (beriman kepada Tuhan) melalui alam semesta. Alam semesta adalah bagian dari tanda atau ayat-ayat Allah. Konsekuensinya manusia dilarang menempatkan alam pada posisi dibawahnya dan dilarang menempatkan alam pada posisi diatasnya atau dalam kalimat lain menyembah alam. Penyembahan hanya kepada Allah yang Menciptakan alam.
• Hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam dengan segala sumberdayanya diciptakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pemanfaatan sumberdaya alam agar dapat menunjang kehidupan harus dilakukan secara wajar (tidak boleh berlebihan atau boros). Demikian pula tidak diperkenankan memanfaatkan sumberdaya alam yang hanya untuk memenuhi kebutuhan bagi generasi saat ini sementara hak-hak pemanfaatan bagi generasi mendatang terabaikan. Manusia dilarang pula melakukan perubahan alam dan menghabiskan sumberdaya alam untuk kepentingan tertentu sehingga hak pemanfaatannya bagi semua kehidupan menjadi berkurang atau hilang.
• Hubungan pemeliharaan untuk semua makhluk. Manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara alam untuk keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi manusia saja akan tetapi bagi semua makhluk hidup yang lainnya. Dalam memanfaatkan sumberdaya alam harus memperhatikan asas pemeliharaan dan konservasi. Dan pemanfaatan sumberdaya alam yang mengakibatkan terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan, merupakan perbuatan yang dilarang (haram) dan akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya manusia yang mampu menjalankan peran pemeliharaan dan konservasi alam dengan baik, maka baginya tersedia balasan ganjaran dari Allah swt.

Manusia memiliki hubungan yang sangat erat dengan Tuhan. Dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia memerlukan alam sebagai sarana untuk lebih mengenal dan memahami Tuhan. Alam menjadi ayat-ayat kauniah Tuhan untuk lebih mengenal Tuhan dan membenarkan ayat-ayat Nya. Manusia juga memerlukan alam, misalnya: pangan, sandang, dan papan sebagai sarana untuk bersyukur kepada Tuhannya. Hubungan manusia–alam ini adalah bentuk hubungan peran dan fungsi, bukan hubungan sub-ordinat dimana manusia sebagai penguasa alam. Sebagaimana paham kaum materialisme dan hedonisme serta penganut antroposentrisme.

Selain itu, alam erat berkaitan dengan Tuhan yang menciptakannya dan mengaturnya. Jadi alampun tunduk terhadap ketentuan atau hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Mengatur alam. Agar manusia bisa memahami alam dengan segala hukum-hukumnya, manusia harus mempunyai pengetahuan dan ilmu tentang alam. Dengan demikian, upaya manusia untuk bisa memahami alam dengan pengetahuan dan ilmu ini pada hakekatnya merupakan upaya manusia untuk mengenal dan mamahami yang Menciptakan dan Mengatur alam, agar bisa berhubungan denganNya.

Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan sebagai khalifah (penanggung jawab) di muka bumi atau wakil Allah dalam memimpin umat dan seisi alam. Sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Baqarah: 30
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Terjemahan
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia mempunyai tanggung jawab baik terhadap alam semesta seluruhnya dan integritasnya, maupun terhadap keberadaan dan kelestariannya Setiap bagian dan benda di alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan dengan tujuannya masing-masing, terlepas dari apakah tujuan itu untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh karena itu, manusia sebagai bagian dari alam semesta, bertanggung jawab pula untuk menjaganya.

Posisi Khalifah pada konteks Islam secara keseluruhan dapat dipahami pada penjelasan berikut ini. Islam adalah  sebuah jalan hidup yang merupakan konsekuensi dari persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah adalah sebuah sistem pusat-nilai untuk mewujudkan nilai yang melekat pada ajaran Islam yakni tauhid, khilafah, amanah, halal dan haram. Berdasarkan atas pengertian ini maka pandangan Islam tentang lingkunganpun pada dasarnya dibangun atas dasar  5 (lima) pilar syariah tersebut yakni : tauhid, khilafah, amanah, keseimbangan (i’tidal) dan istishlah. Untuk menjaga agar manusia bisa berjalan menuju tujuan penciptaannya maka (pada tataran praktis) kelima pilar syariah ini dilengkapi dengan 2 (dua) rambu utama yakni: halal dan haram. Kelima pilar dan dua rambu tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah “bangunan“ untuk menempatkan paradigma lingkungan secara utuh dalam perspektif Islam. Berikut ini akan di urai makna keempat pilar dan dua rambu tersebut serta saling keterkaitannya satu dengan lainnya dalam konteks lingkungan (environment).
1.        Tauhid
Tuhan adalah “Dzat” atau “dimensi” yang non-empirik dan yang menciptakan sehingga memungkinkan adanya dimensi lain termasuk alam semesta yang visual dan empirik ini. Dia memberikan arti dan kehidupan pada setiap sesuatu. Dia serba meliputi (al Muhith) dan tak terhingga. Sedangkan segala sesuatu selain Dia (makhluq ciptaanNya) adalah serba diliputi dan terhingga.

Nilai tauhid ini adalah keimanan dalam hati manusia. Nilai tauhid bagi umat muslim harus menjadi pemicu bagi setiap tindakan atau perilakunya, baik yang berhubungan dengan orang lain, makhluk lain atau lingkungan hidupnya. Hal ini mengandung makna bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan sekaligus sebagai hamba Tuhan (‘abdul Allah) harus senantiasa tunduk dan patuh kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah. Manusia bertanggungjawab kepada-Nya atas semua tindakan yang dilakukannya. Hal ini juga menyiratkan bahwa tauhid merupakan satu-satunya sumber nilai dalam etika. Pelanggaran atau penyangkalan terhadap nilai ketauhidan ini berarti syirik yang merupakan perbuatan dosa terbesar dalam Islam. Oleh karena itu tauhid merupakan landasan dan acuan bagi setiap perbuatan manusia, baik perbuatan lahir maupun perbuatan batin.  Bagi seorang muslim mukmin, tauhid harus masuk menembus kedalam seluruh aspek kehidupannya dan menjadi pandangan hidupnya.

2.        Khilafah (perwalian)
Basis konsep khilafah berawal dari pilihan Allah untuk menciptakan manusia sebagai khalifah (wakil atau wali) Allah dan kesediaan manusia untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi (QS:Al-Baqarah: 30,  Al-Isra : 70, Al-An’am: 165 dan Yunus: 14).

۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا
Terjemahan
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (Al-Isra: 70)

ثُمَّ جَعَلْنٰكُمْ خَلٰۤىِٕفَ فِى الْاَرْضِ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ
Terjemahan
Kemudian Kami jadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (mereka) di bumi setelah mereka, untuk Kami lihat bagaimana kamu berbuat. (Yunus: 14)

Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah adalah Maha Memelihara atau Al-Muhaimin, maka sebagai khalifah manusia wajib memiliki sifat memelihara alam. Memelihara alam berarti menjaga keberlangsungan fungsi alam sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia, sekaligus memelihara keberlanjutan kehidupannya.

Khilafah bisa juga bermakna kepemimpinan. Manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi ini yang telah ditunjuk menjadi pemimpin bagi semua makhluk Tuhan yang lain (alam semesta termasuk bumi dan seisinya). Makna ini mengandung konsekuensi bahwa manusia harus bisa mewakili Tuhan untuk memimpin dan mengatur keberlangsungan aktifitas semua makhluk. Untuk menjalankan misi khilafah ini manusia telah dianugerahi oleh Tuhan kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain, yakni kesempurnaan ciptaan dan akal budi yang tidak diberikan oleh Tuhan kepada makhluk lainnya.

KH Sahal Mahfudz (1994) menyatakan bahwa kita sebagai kholifah di bumi harus menempatkan lingkungan hidup ini tidak jauh-jauh dari agama, karena disana ada nilai-nilai yang sangat erat kaitannya dengan tauhid, syariah, dan tasawuf. Dengan menempatkan lingkungan hidup bagian dari agama, sehingga muncul sebuah konsep lingkungan hidup yang holistic-integral (Jamal Ma’ruf Asmani, 2007:148)

3.        Amanah
Bumi sebagai bagian dari alam semesta merupakan amanah dari Maha Pencipta. Untuk menjaga keberlangsungan dan memenuhi hajat hidupnya, manusia mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Akan tetapi manusia baik secara individu maupun kelompok tidak mempunyai hak mutlak untuk menguasai sumberdaya alam. Hak penguasaannya tetap ada pada Tuhan Pencipta. Manusia wajib menjaga kepercayaan atau amanah yang telah diberikan oleh Allah tersebut. Dalam konteks ini maka alam terutama bumi tempat tinggal manusia merupakan arena ujian bagi manusia. Agar manusia bisa berhasil baik dalam ujiannya, maka ia harus bisa membaca “tanda-tanda” atau “ayat-ayat” alam yang ditunjukkan oleh sang Maha Pengatur Alam.

Salah satu syarat agar manusia mampu membaca ayat-ayat Tuhan, manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, maka pada abad awal perkembangan Islam, ilmu yang berlandaskan atas tauhid (fisika, kimia, biologi, pengobatan dan kedokteran) berkembang dengan pesat. Ilmu dikembangkan bukan semata-mata untuk memuaskan keingintahuan manusia atau science for science. Tapi ilmu dikembangkan untuk memahami Allah (ma’rifatullah) melalui “ayat-ayat” nya.

Konsep tauhid, khilafah, amanah dan al-‘ilm merupakan konsep yang saling berkaitan dan satu kesatuan. Dengan demikian Pandangan ekologis Islam bersifat holistik (menyeluruh) dan menolak epistimologi reduksionis (mengurangi dan memutus mata rantai pemahaman), bahwa alam merupakan sebuah realitas yang berdiri sendiri.

4.        Keseimbangan (i’tidal )
Alam diciptakan Allah dengan berbagai keragaman baik kualitatif seperti warna,dan rasa, maupun kuantitatif seperti ukuran, jumlah, umur, dan sebagainya. Walaupun beraneka ragam, uniknya alam ciptaan Tuhan yang sangat beragam ini berada dalam keseimbangan. Keseimbangan ini merupakan hukum Tuhan yang juga berlaku atas alam termasuk manusia.

Menurut KH. Sahal Mahfudh (1994), pengelolan lingkungan hidup yang baik menjadi suatu hal yang sangat urgent bagi kelangsungan hidup manusia di bumi ini baik dalam hal hamlum minallah ataupun hablumninanas. Beberapa aspek yang ada di lingkungan berupa air, hewan, tumbuhan, tanah, udara dan lain sebagainya harus mendapatkan perlakuan yang intensif. Keserasian dan kesimbangan yang ada di alam ini dan semua unsur-unsurnya sangat dipengaruhi oleh sikap manusia yang rasional serta berwawasan luas dengan penuh pengertian dan serta memiliki oreintasi pada kemaslahan makhluk yang ada di dunia ini, tidak hanya untuk kepentingan sesaat.

Alam memiliki sifat yang disebut homeostatis, yaitu kondisi dimana jika alam terganggu, maka alam akan kembali pada keseimbangan semula. Proses ini disebut daya lenting lingkungan, artinya kemampuan lingkungan untuk dapat pulih setelah terjadi gangguan terhadap lingkungan. Namun daya lenting memiliki beberapa syarat, misalnya gangguan yang terjadi memiliki masa jeda, sehingga lingkungan punya waktu untuk kembali menuju keseimbangan. Syarat lain yaitu gangguan tersebut sifatnya sementara tidak terus menerus sehingga lingkungan tidak sempat melakukan recovery diri. Karena itu, perilaku dan perbuatan manusia terhadap alam perlu diatur agar keseimbangan atau harmoni alam tidak mengalami gangguan terus menerus. Pengaturan itu berguna tidak hanya untuk alam saja, tetapi juga untuk manusia dan generasi yang akan datang.

Misalnya industry pertambangan. Pertambangan identic dengan kerusakan lingkungan. Gunung diubah menjadi lembah, debu-debu bertaburan, pohon-pohon ditebang dan sisa tambang seperti tailing menjadi limbah yang berceceran dan menimbulkan masalah sosial. Untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan, maka sebelum melakukan pertambangan, maka diperlukan perencanaan matang untuk memperkirakan dampak lingkungan. Reklamasi tambang perlu direncanakan diawal, karena menyangkut tanah humus yang akan digunakan kembali ke areal bekas tambang. Masyarakat sekitar perlu diikut sertakan agar mereka dapat memberikan sumbangsih terhadap pemulihan bekas tambang.

5.        Kemashlahatan (istishlah)
Kemashlahatan merupakan salah satu pilar utama dalam syariah Islam. Tuhan menyuruh manusia melakukan kegiatan yang membawa mashlahat dan melarang manusia untuk melakukan perbuatan yang mudhorat. Memelihara lingkungan termasuk kegiatan yang mashlahat dan merusak lingkungan termasuk kegiatan yang mudharat.

Maslahat secara etimologi adalah kata tunggal dari kata al-masalih, yang arti dengan kata solah, yaitu “mendatangkan kebaikan. Setiap segala sesuatu apa saja, yang mengandung manfaat didalamnya baik untuk memperoleh manfaat, kebaikan, maupun untuk menolak kemudharatan, disebut dengan maslahat

Aktifitas mashlahat atau Istishlah bahkan tidak hanya sepanjang umur dunia akan tetapi sampai ke kehidupan akherat (QS: Al- A’raf: 56).
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Terjemahan
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.

Istishlah juga bisa bermakna pemeliharaan terhadap alam termasuk kepada kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan di bumi. Hewan dan tumbuhan diciptakan Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia untuk menunjang kehidupannya. Dengan kata lain pemanfaatan alam termasuk hewan dan manusia adalah pemanfaatan yang berkelanjutan.

6.        Halal dan haram
Salah satu Instrumen Islam yang menjaga keberlanjutan peran dan fungsi alam serta harmoni kehidupan di alam ini, yakni halal dan haram. Halal bermakna segala sesuatu yang baik, berakibat baik, menguntungkan, dan menenteramkan hati. Segala sesuatu yang menguntungkan atau berakibat baik bagi seseorang, masyarakat dan lingkungan alamnya serta lingkungan sosialnya adalah halal. Sebaliknya segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungan alam dan sosialnya adalah haram. Segala yang membahayakan dan merusak fisik (tubuh) dan jiwa (rohani) manusia, serta alam lingkungannya adalah haram.

Pengertian halal, dalam konteks tafsiran ekologis misalnya, bukan saja harus memenuhi kriteria baik, tidak najis, atau tidak mendatangkan keburukan, tetapi juga harus memenuhi kriteria ramah lingkungan. Label halal, karena itu, harus memasukkan muatan ramah lingkungan yang dalam konsep environmentalism dikenal dengan istilah ecolabelling. Ecolebelling ini bukan saja berlaku dalam produk-produk makanan atau barang komoditas, tetapi juga produk-produk jasa.

Pelanggaran terhadap rambu-rambu halal-haram akan mengakibatkan terjadi ketidak seimbangan atau disharmoni baik dalam kehidupan manusia maupun gangguan keseimbangan ekologis di alam. Misalnya saja perilaku halal adalah mengelola sampah rumah tangga, membuat kompos dari sampah organik, mendaur ulang sampah plastik menjadi pot plastik, ember, tali plastik dsbnya

Tugas memakmurkan bumi yang diemban oleh manusia memiliki berbagai aspek yang perlu diperhatikan, antara lain:
• Al-Intifa’ artinya mengambil manfaat dan mendayagunakan sebaik-baiknya.
• Al-I’tibar artinya mengambil pelajaran, memikirkan, mensyukuri, seraya menggali rahasia-rahasia di balik alam ciptaan Allah.
• Al-Islah artinya memelihara dan menjaga kelestarian alam sesuai dengan maksud sang pencipta, yakni untuk kemaslahatan dan kemakmuran manusia, serta tetap terjaganya harmoni kehidupan alam ciptaan Allah.

Exit mobile version