Dua sembilan Mei 2009 ini genap sudah usia Lumpur lapindo yang mencapai 2 tahun. Berbagai persoalan negara seperti kenaikan BBM, krisis pangan, konflik pilkada seakan melupakan derita korban lumpur Lapindo. Masyarakat korban lumpur Lapindo juga tidak tinggal diam, berbagai aksi telah dilakukan untuk menyuarakan aspirasinya mulai dari datang ke Jakarta untuk bertemu Presiden walaupun akhirnya digagalkan aparat, membawa isu Lumpur Lapindo ke internasional dengan menghadiri Konferensi Perubahan Iklim Global di Bali namun juga tidak berhasil karena saat itu Ketua Pengarahnya adalah Menko Kesra yang juga pemilik Lapindo.
Masyarakat di luar korban lumpur Lapindo tidak dapat lagi mengikuti berita lumpur Lapindo, karena informasi tersebut telah dieliminir oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang pimpinannya diambil dari staf Menko Kesra. Ditambah lagi upaya pihak Lapindo yang getol mengkampanyekan perbaikan citra dengan cara mensosialisasikan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Lapindo terhadap korban lumpur. Sehingga Lapindo dianggap telah lepas tanggung jawab.
Disamping itu, fenomena lumpur yang tadinya disebut Lumpur Lapindo untuk mengingat perusahaan penyebab lumpur berubah menjadi Lumpur Sidoarjo (LuSi) oleh beberapa media yang kepemilikannya sama dengan Lapindo atau oleh akademisi yang disewa oleh Lapindo. Terlepas dari itu semua, Lumpur Lapindo menurut Dr Andang Bachtiar MSc mantan ketua IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) adalah kejadian alam (proses Geologi) yang salah satu pemicunya adalah kegiatan manusia (proses pemboran, perijinan dan tata ruang, tanggap darurat) yang akibatnya menjadi bencana bagi lingkungan dan manusia.
Paparan artikel ini akan membahas langkah efektif mengatasi Lumpur Lapindo ditinjau dari aspek spritual, teori kebijakan publik, pemberdayaan dan teori manajemen. Dalam surah Ali Imran ayat 190-191 disebutkan segala penciptaan di langit dan di bumi tidak sia-sia dan orang berakal disuruh untuk memikirkan segala penciptaanNya. Bencana alam termasuk ciptaan Allah, dan Allah berjanji bahwa ciptaannya pasti bermanfaat dan orang berakal diminta memikirkan manfaat dari ciptaan Allah tersebut. Dan dalam surah Al-Insyirah ayat 5 dan 6 disebutkan bersama kesulitan ada kemudahan. Kita harus yakin dan percaya bahwa dibalik kesulitan yang ada pasti dibarengi dengan kebaikan. Bencana alam dianggap kesulitan oleh manusia namun dibalik kesulitan tersebut pasti ada kemudahan Allah. Keyakinan dan kepercayaan pada Allah tersebut tentunya akan dibarengi dengan hidayah yang dapat berupa kemudahan untuk memecahkan masalah yang ada.
Kalau kita merujuk pada teori kebijakan public, maka dalam masalah lumpur Lapindo pemerintah masih menggunakan pendekatan klasik. Pendekatan klasik dalam ilmu administrasi public sangat dipengaruhi oleh pendekatan linear yaitu pendekatan yang berdasarkan sudut pandang model rasional dalam menyelesaikan suatu masalah. Menurut pendekatan linear suatu masalah disebabkan oleh suatu sebab yang mempengaruhinya, karena itu penyelesaian masalah sangat tergantung pada kemampuan kita mempengaruhi factor penyebab masalah. Hal tersebut terbukti dengan pendekatan penyelesaian yang dilakukan pemerintah hanya berfokus pada upaya penghentian semburan lumpur.
Kasus Lumpur Lapindo karena adanya Lumpur menggenangi pemukiman penduduk maka penyelesaiannya dengan menghilangkan Lumpur yang menggenangi pemukiman penduduk. Pendekatan klasik ternyata tidak efektif lagi dalam menyelesaikan masalah modern, maka dikembangkan pendekatan baru yaitu systems thinking.
Systems thinking yaitu pendekatan yang melihat suatu masalah secara menyeluruh (holistic). Menurut pendekatan ini suatu masalah dianggap bersikap terbuka yaitu berinteraksi dengan lingkungannya baik internal maupun eksternal. Karena itu pendekatan ini dapat menjelaskan hubungan timbal balik antara berbagai variable permasalahan sehingga dapat diketahui pola perubahan yang terjadi, Pendekatan ini berfokus kepada partisipasi pihak-pihak yang terlibat (stake holder) dan ditunjang oleh informasi dari berbagai bidang baik ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi. Misalnya masalah lumpur Lapindo tidak hanya berkenaan dengan bagaimana menutup lubang-lubang semburan namun juga dampaknya dari segi ekonomi, sosial, dan stabilitas keamanan.
Menurut Andang, perdebatan soal penanggulangan semburan di kalangan ahli memang tajam. Sebagian menyatakan kasus ini sudah game over. Artinya semburan sulit dihentikan. Karena itu focus utama memindahkan warga. Tetapi orang yang tidak percaya diberi kesempatan untuk melakukan upaya menutup semburan dengan berbagai macam cara. Hasilnya selama penutupan berlangsung secara psikologis masyarakat dan pengambil kebijakan terus berharap dan berpikir kejadian dapat diatasi, masyarakat secara psikologis berat untuk pindah. Karena kemungkinan berhasil kecil sehingga disarankan dananya dialihkan untuk warga. Selama tidak ada kata sepakat apakah semburan bisa dihentikan atau tidak biaya akan keluar terus dan tidak efisien.
Biaya yang dihabiskan Lapindo untuk menutup semburan lebih dari 900 miliar rupiah. Seandainya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan holistic maka dana yang demikian besar dapat dialihkan untuk memberdayakan masyarakat.
Selama ini masyarakat korban lumpur Lapindo hanya diajak berdiskusi mengenai soal ganti untung atau relokasi, masyarakat tidak pernah diberdayakan agar mereka mandiri, kreatif dan berpikir kritis. Begitu pula dengan Lapindo, fokus penyelesaian masalah Lapindo hanya soal bagaimana lumpur dihentikan tidak pernah diarahkan pada upaya pemanfaatan lumpur untuk kepentingan masyarakat.
Bentuk pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan Lapindo adalah membantu masyarakat memanfaatkan lumpur Lapindo. Ujicoba telah dilakukan untuk memanfaatkan lumpur lapindo untuk dijadikan batu bata di Desa Mojotamping, kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto. Dari uji coba pertama ini dihasilkan batu bata yang lebih halus, mengkilap dan kuat, berbeda dengan batu bata lainnya. Lumpur tersebut bagus untuk bahan batu bata, karena sesuai hasil laboratorium, tak ada kandungan berbahaya di dalamnya. Lumpur yang dipakai bahan untuk bata bata adalah jenis mud vulkano yang berasal dari perut bumi. Tak hanya untuk batu bata, lumpur Lapindo tersebut juga cukup kuat untuk dibuat genting.
Dalam uji coba, dibawa satu tangki lumpur ke warga pembuat batu bata di Desa Mojotamping, kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto. Satu tangki Lumpur tersebut dapat digunakan untuk mencetak 1.500 batu bata. Jumlah ini cukup untuk membuat satu rumah dengan ukuran sedang.
Pendekatan holistic dapat juga digunakan untuk melakukan perencanaan pembagian kerja antar stakeholder yaitu pemerintah, Lapindo dan masyarakat. Pemerintah melalui LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dapat meneliti bukan hanya kandungan lumpur, namun bahan apa yang diperlukan untuk merekatkan lumpur menjadi beton sehingga tahan lama, dan menciptakan teknologi sederhana untuk mengolahnya. Pemerintah melalui departemen UKM dapat membina masyarakat korban lumpur Lapindo menjadi kelompok usaha.
Lapindo bertanggungjawab untuk memberikan modal awal penyediaan teknologi pengolahan lumpur menjadi beton, mensosialisasikan dan membina masyarakat sekitar agar mengerti teknik pengolahannya serta dengan jaringan corporate yang dimilikinya maka Lapindo bertugas mencarikan pasar produk beton dari lumpur tersebut.
Seandainya pendekatan holistic tersebut digunakan dan stake holder dapat berperan dengan semestinya, niscaya semua pihak akan diuntungkan, pemerintah pusat citranya akan naik karena memperhatikan rakyat kecil, pemerintah daerah juga untungkan karena pendapatan daerah bertambah, Lapindo citranya juga tidak hancur dan dapat menghemat banyak uang. Dan masyarakat tidak menyesalkan fenomena lumpur namun justru berdo’a agar lumpur terus ada dan tidak pernah berhenti.
Keberhasilan program tersebut membutuhkan komitmen dan kesungguhan dari masing-masing stakeholder. Salah satu pihak tidak berperan semestinya maka program tidak akan berhasil, biaya yang dikeluarkan lebih besar dan lumpur tetap akan dianggap sebagai musibah yang menghantui sekitar kawasan Sidoarjo. Ingat lumpur dapat terus aktif hingga 31 tahun kedepan.
Pendekatan pemanfaatan limbah bukanlah barang baru, PT Freeport juga memanfaatkan tailing (sisa galian tambang) untuk membuat jalan dan jembatan, bahkan menurut Rasdian Lubis, mantan Direktur Lingkungan PT Freeport, tailing tersebut pernah ditawar oleh pengusaha Singapura untuk dibawa ke Singapura guna melakukan reklamasi pantai.
Catatan Tambahan:
Alternatif memberikan ganti untung kepada masyarakat korban lumpur akan memberikan tambahan masalah baru. Masalah yang akan timbul antara lain:
Hilangnya lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan sosial mencakup adanya pengelompokan sosial, media sosial, pranata sosial, pengendalian sosial, penataan sosial dan kebutuhan sosial. Apabila masyarakat mendapatkan uang ganti untung namun tidak ada kesepakatan untuk kembali membentuk lingkungan yang menyerupai lingkungan sebelum terjadi bencana lumpur maka unsur-unsur lingkungan sosial diatas akan hilang. Masyarakat akan pindah ke lingkungan baru yang memerlukan adaptasi yang tidak sebentar. Dalam proses adaptasi tersebut besar kemungkinan timbulnya gesekan dengan lingkungan baru.
Uang ganti untung dapat bermanfaat dan dapat pula menyebabkan kesengsaraan lebih besar kepada masyarakat korban lumpur Lapindo.
Masyarakat petani yang menetap mempunyai ciri-ciri kultural yang dominan, yaitu:
a. Kurang punya kegairahan untuk capital cummulative, karena adanya anggapan segala sesuatu yang ada di atas dunia ini sudah pasti dan terbatas jumlahnya. Segala sesuatu sudah didistribusikan merata. Apabila seseorang mengambil terlalu banyak, berarti dia telah mengambil bagian orang lain.
b. Kurang punya kemampuan kerjasama dalam sebuah organisasi besar, dengan pembagian kerja yang kompleks. Akibatnya didesa jarang dijumpai organisasi kerjasama yang mapan dan kuat.
c. Kurang bersahabat, kurang tunduk, dan kurang menghargai pejabat pemerintah, karena dalam pengalaman hidup mereka selalu diperlakukan tidak adil dan dijadikan objek pemerasan. Meskipun orang desa nampak seolah-olah tunduk dan takut kepada pemerintah, tapi dalam hati mereka lain. Mereka selalu curiga kepada sesuatu yang berasal dari luar desa termasuk para pejabat.
d. Kurang inovatif dan kurang kreatif. Mereka cenderung hidup rutin sebagaimana warisan dari nenek moyang mereka. Menyimpang dari pola yang sudah lazim dianggap perbuatan beresiko tinggi. Di desa tidak banyak masalah dan tidak banyak keperluan, karena itu tidak perlu berpikir keras. Semuanya berjalan sebagaimana adanya mengalir seperti sungai.
e. Kurang mampu mengantisipasi dan merencanakan masa depan. Nasib dan takdir berada di tangan Tuhan. Pasrah pada nasib yang sudah digariskan Tuhan
f. Kurang aspirasi, kurang punya cita-cita tinggi. Karena itu mereka kurang bergairah menyekolahkan anak ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Mereka tidak menganggap pendidikan sebagai faktor kunci bagi kemajuan hidup.
g. Kurang dapat menahan diri dalam memenuhi nafsu, khususnya nafsu konsumtif, sehingga ketika mereka mempunyai penghasilan yang besar misalnya setelah panen atau kalau kebetulan dapat kredit dari bank, uangnya segera dibelikan keperluan konsumtif yang selama ini diidamkan seperti membeli sepeda motor, memperbaiki rumah, membeli baju rumah, dsbnya. Menabung tidak menjadi bagian dari pola perilaku mereka kecuali menyimpan dalam bentuk perhiasan, yang lebih berfungsi sebagai lambang prestise daripada usaha untuk menabung.
Uang ganti untung tersebut dapat menjadi positif bila uang tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup, menabung, berwirausaha ataupun berinvestasi. Menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi merupakan investasi yang baik, berwirausaha merupakan cara memutar uang yang terbaik, menabung dalam bentuk deposito dapat menahan diri untuk membeli barang-barang kebutuhan tertier.
Uang ganti untung dapat juga tidak bernilai apa-apa bahkan negatif bila masyarakat tergiur membeli barang-barang yang tidak bermanfaat atau liabilitas. Liabilitas adalah barang yang biaya pemeliharaannya atau operasionalnya lebih tinggi daripada keuntungan yang didapatkan dari barang tersebut. Misalnya membeli rumah yang besar, pajak PBBnya tinggi, biaya pemeliharaannya tinggi padahal dengan tinggal di rumah sederhana saja sudah mencukupi, membeli kendaraan yang bagus padahal pemanfaatan kendaraan tidak sesuai dengan biaya pemeliharaan dan operasional kendaraan. Pemberian uang ganti untung tanpa ada pola pembinaan kepada masyarakat petani justru dapat menyengsarakan mereka. Sifat-sifat seperti yang dikemukakan diatas dapat mendorong mereka menghabiskan sebagian besar uang mereka untuk barang-barang yang tidak berefek panjang. Hal tersebut akan membahayakan keadaan mereka dalam jangka panjang.