Lahan gambut dalam prespektif islam

(Lahan Bagi Manusia Tanpa Sia-sia)
Lahan sebagai bagian dari bumi ini dimandatkan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai penguasa untuk mengelolanya agar menjadi sumber kemaslahatan mereka. Pemberian mandat tersebut ditegaskan di dalam QS. Al-Baqarah: 30 dan An-Nuur: 55:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (Al-Baqarah: 30)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi”. (QS. An-Nuur: 55)
Allah SWT menciptakan langit dan bumi seisinya untuk manusia. Sebelum menciptakan manusia, lebih dahulu langit dan bumi diciptakan oleh-Nya sebagai persiapan kehadiran manusia di dunia. Seandainya tidak ada maksud menciptakan manusia, tentu langit dan bumi tidak akan diciptakan oleh-Nya. Sungguh penciptaan langit dan bumi dengan seluruh isinya bagi manusia, tidaklah sia-sia sebagaimana dalam QS. Ali ‘Imran: 191:
Artinya; “Orang-orang yang mengingat dalam keadaan berdiri, duduk dan dalam keadaan berbaring, berfikir tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali ‘Imraan: 191)
Demikian pula tidaklah sia-sia bagi manusia, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi yang selama ini belum seluruhnya berdayaguna, termasuk sejumlah lahan gambut di seluruh dunia yang mencapai luas sekitar 394 juta Ha, dan di Indonesia mencapai lebih dari 25 Ha.
(Lahan Media Kemakmuran)
Langit dan bumi seisinya ditundukkan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai bukti kesempurnaan nikmat-Nya yang tidak terhitung jumlahnya, meskipun di antara mereka tidak mengakuinya sebagaimana dalam QS. Luqman: 20:
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan”. (QS. Luqman: 20).
Kesempurnaan nikmat Allah SWT yang disajikan kepada manusia merupakan bukti, bahwa bumi dan langit dengan seluruh isinya merupakan media serta objek kemakmuran. Baik segala sesuatu yang selama ini telah dikelola maupun belum banyak tersentuh fikiran dan tangan anak manusia, seperti lahan gambut di seluruh negeri tercinta.
Di bumi ini, manusia hidup serta menetap. Di bumi ini pula, manusia harus mampu memenuhi berbagai kebutuhannya. Terbentang luas lahan termasuk lahan gambut musti membawa kemaslahatan dalam hidup mereka.
Firman Allah SWT:
Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Lahan termasuk lahan gambut harus dikelola secara baik untuk dapat bermanfaat bagi manusia. Lahan subur dan produktif perlu dioptimalkan produktifitasnya agar membawa hasil berganda. Adapun lahan gersang dan tidak produktif, seperti lahan gambut harus pula dikelola menjadi lahan produktif, sehingga membawa kemaslahatan dalam kehidupan manusia.
(Larangan Keras Merusak)
Lahan yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai sarana kemakmuran ummat manusia, siapa pun dilarang keras merusaknya. Demikian pula dilarang merusak lahan gambut dengan cara apa pun, seperti melakukan pembakaran yang dapat menimbulkan bahaya dan kerugian sangat besar menimpa manusia dalam seluruh aktifitasnya.
Hal ini sering terjadi karena lahan gambut yang terbakar akan cepat membesar dan menyebar, sulit dipadamkan serta menimbulkan asap pekat merata di tengah area pemukiman, perdagangan, pendidikan dan lainnya.

Perusakan lahan menimbulkan kerugian secara umum bagi manusia, walau dapat membawa keuntungan materi dalam kedzaliman bagi pelakunya. Namun demikian, perusakan tersebut di kemudian hari tentu menimbulkan kerugian secara umum bagi manusia, termasuk bagi pelakunya.
Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu mengadakan kerusakan di muka bumi, setelah bumi itu menjadi baik. Dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa khawatir (do’a tidak diterima) dan dengan harapan (do’a dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. Al-A’raf: 56).
Merusak lahan dengan cara apa pun tidak boleh dibiarkan karena hakikatnya sama dengan merusak kehidupan manusia. Allah SWT memerintahkan untuk mencari rizki, tetapi melarang keras pencarian rizki dengan cara melakukan kerusakan yang tentu akan menimbulkan kerugian seca umum bagi manusia. Dalam hal ini, Allah SWT menegaskannya terutama dalam dua ayat sebagai berikut:
“Makan dan minumlah dari rizki (yang diberikan) Allah dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S. al-Baqarah: 60).
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan jangalah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S. al-Syu’araa’: 183).
Mengenai perbuatan merusak sebagaimana di atas, Rasulullah SAW dalam suatu hadits menegaskan larangan secara umum mengenai perbuatan perusakan lahan sebagai berikut:
Dari Sa’îd bin Zaid, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja berbuat kedzaliman sedikit pun dari bagian bumi, maka akan dikalungkan padanya tujuh kali lipat bumi (yang dirusak)”. (H.R. Bukhari).
“Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “tidak boleh terjadi kemudaratan, dan tidak boleh berbuat mudarat”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Thabrani dan Baihaqi).

*Diambil dari buku Khutbah Jumat Pelestarian Dan Restorasi Lahan Gambut. Edisi Pertama: April 2018, Diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Exit mobile version