6. Akibat ekploitasi air tanah dalam yang berlebihan dan beban bangunan bertingkat menyebabkan terjadinya penurunan tanah (land subsidence), yang menambah daerah rawan banjir.
80 persen penduduk Jakarta memenuhi kebutuhannya dari air tanah, hidran umum, serta membeli dari pedagang air (UNDP, 2004). Tak heran permukaan air tanah di Jakarta cenderung menurun dari tahun ke tahun sehingga terjadi rembesan air laut ke beberapa wilayah Jakarta. Penyedotan air tanah di Jakarta telah mencapai 3-4 kali lipat batas toleransi (Bank Dunia, 2003).
Dr. Ali Firdaus salah satu peneliti masalah Jakarta menyatakan rata-rata penurunan permukaan tanah di Jakarta 10 sentimeter atau sepersepuluh meter tiap tahun. Di Jakarta Barat, misalnya, selama 11 tahun terakhir, permukaan tanah turun 1,2 meter. Di wilayah Kemayoran dan Thamrin, Jakpus, penurunannya 80 sentimeter dalam delapan tahun terakhir. Jika hal ini dibiarkan, maka Jakarta akan tenggelam. Tahun 2012, yang tinggal 3 tahun lagi dari sekarang, adalah masa-masa amat kritis, di mana permukaan tanah di Jakarta sebagian besar sudah berada di bawah permukaan laut. Jika ini terjadi, kedatangan hujan dan rob (air pasang) laut yang biasanya muncul antara bulan Januari sampai Februari, bisa menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta
7. Kondisi Rawa
Di tahun 1960-an, di Jakarta masih ada ratusan rawa yang berfungi untuk menampung air hujan dan limpahan air dari Bopunjur. Rawa-rawa ini telah menyelamatkan Jakarta dari banjir besar, sekaligus penyuplai air tanah di sekitarnya. Rawa umumnya berada di dataran rendah, karena itu pembangunan kembali rawa harus di lokasi yang rendah. Bukan sebaliknya. Saat ini, ada keanehan. Hampir semua daerah resapan hijau berada di permukaan tanah yang tinggi.
Mestinya, hal itu dibalik. Wilayah yang rendah untuk lahan terbuka hijau, sedangkan yang tinggi untuk pemukiman. Bila perlu di lahan terbuka hijau itu dibangun rawa-rawa baru, sehingga bisa menjadi penampung limpahan air, baik dari hujan maupun dari limpahan Bopunjur.
8. Kondisi Sungai
Ada 13 sungai di Jakarta yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat dan Kali Cakung. Tiga belas sungai utama mengalami penyempitan sehingga kemampuannya mengalirkan air minim. Kali Ciliwung, mulai Kalibata hingga Bukit Duri, kemampuan mengalirkan air hanya 17 persen. Kali Krukut 37 persen, dan Kali Pesanggrahan 21 persen. Padahal aliran permukaan dari bagian tengah dan hulu sungai yang masuk ke Jakarta meningkat sekitar 50 persen dalam 30 tahun terakhir.
Berdasarkan hasil analisis di DAS Cisadane yang penutupan lahannya masih 30% lebih berupa hutan dan kebun teh, sawit dan karet pola aliran debit di S. Cisadane masih baik. Data sebaliknya pada S. Kali Angke, Pesangrahan, Krukut & Grogol, Sunter, Cakung dan Kali Bekasi yang juga mengalami perubahan penutupan lahan dari perkebunan karet, ladang, tegalan ke pemukiman menyebabkan naiknya debit aliran permukaan (run off). Bahkan pada bantaran kali dijadikan tempat hunian (bangunan liar) sehingga terjadi penyempitan penampungan;
9. Kondisi Situ
Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Situ atau waduk retensi adalah suatu wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya berasal dari tanah atau air permukaan sebagai siklus hidrologis yang merupakan salah satu bentuk kawasan lindung.
Pada umumnya situ-situ dan beberapa waduk di wilayah DKI Jakarta difungsikan sebagai situ dan waduk retensi untuk merecharge daerah sekitarnya .Fungsi tersebut terkait dengan fungsi kawasan konservasi didaerah hulu sungai yang berfungsi sebagai daerah resapan air.
Disamping fungsi diatas maka fungsi situ dapat dikelompokkan sebagai berikut : tempat parkir air / banjir, recharge, penyediaan air baku, budi daya perikanan, wisata atau fungsi sosial lainnya, pelestarian lingkungan.
Keberadaan situ yang dibangun pada abad ke-18 mengalami berbagai masalah, antara lain :
• berkurangnya lahan pertanian yang diairi dari situ,
• penggantian pengelola atau penyerahan pengelolaan kepada instansi lain,
• kerusakan daerah tangkapan air yang disebabkan peningkatan pemukiman di daerah genangan atau disekitar situ yang mengakibatkan berkurangnya luas genangan situ,
• pembangunan pemukiman yang tidak mempertimbangkan lingkungan,
• sedimentasi yang terjadi karena kerusakan hutan di daerah hulu yang mengakibatkan erosi,
• gulma di daerah genangan ,
• adanya kerusakan pada bangunan pelengkap situ.
Dalam Rencana Aksi Penanganan Masalah Banjir 2007 Jabodetabekjur yang dibuat pada tanggal 10 Februari 2007 , maka tugas Pemda DKI Jakarta terkait situ-situ, adalah merehabilitasi, mengelola dan membangun situ-situ didalam wilayah DKI Jakarta, sedang tugas Departemen Pekerjaan Umum adalah merehabilitasi, mengelola dan membangun situ-situ di Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane. Demikian pula dengan Pengembang Pemukiman mempunyai kewajiban untuk membangun situ-situ baru didalam wilayah pemukiman yang dikembangkan sesuai Tata Ruang. Pengelolaan situ-situ baru yang berada dibawah Pengembang Pemukiman diatur dengan Perda yang ada di masing-masing daerah atau diserah terimakan kepada Pemda setempat.