10. Sumur Resapan
Sumur resapan adalah memberi kesempatan dan jalan pada air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap untuk meresap ke dalam tanah dengan jalan air ditampung pada suatu sistem resapan air. Berbeda dengan cara konvensional dimana air hujan dibuang / dialirkan ke sungai terus ke laut, cara ini mengalirkan air hujan ke dalam sumur-sumur resapan yang di buat di halaman rumah. Sumur resapan ini merupakan sumur kosong dengan maksud kapasitas tampungannya cukup besar sebelum air meresap ke dalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan mempunyai cukup waktu untuk meresap ke dalam tanah, sehingga pengisian tanah menjadi optimal.
11. Banjir Kanal
Banjir Kanal (Floodway) atau istilah yang lebih tepat adalah saluran banjir, dibuat untuk mengalirkan air secara terpisah dari sungai utamanya langsung menuju laut, danau ataupun sungai lainnya. Pembangunan saluran banjir tersebut dilakukan apabila debit banjir terlalu besar dan tidak dimungkinkan kapasitas alur sungai yang ada. Tujuan utama untuk melindungi suatu daerah yang pemukiman padat penduduk ataupun daerah penting lainnya, dari ancaman bahaya banjir yang sering melanda daerah tersebut.
Banjir Kanal Barat (Floodway) di Jakarta yang telah dibangun van Breen pada tahun 1920, dimaksudkan untuk melindungi wilayah kota Batavia yang sedang berkembang pada saat itu. Saluran banjir tersebut dilengkapi dengan pintu air untuk dapat membagi debit, khususnya pada waktu musim kemarau. Pintu air tersebut dikenal dengan pintu air Manggarai.
Seiring dengan perkembangan kota Jakarta, telah disusun Masterplan Pengendalian Banjir dan Drainase DKI Jakarta (Nedeco 1973). Disamping pembangunan Banjir Kanal Barat yang telah dibangun, juga akan dibangun Banjir Kanal Timur (BKT). BKT baru dapat direalisir pembangunannya mulai tahun 2007, dan pada saat ini masih dalam pelaksanaan.
Tujuan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) adalah untuk melindungi bagian timur kawasan Kota Jakarta dari banjir akibat dari meluapnya K.Cipinang, K.Sunter, K.Buaran, K.Jatikramat dan K.Cakung. Salah satu tujuan dari pembangunan BKT adalah untuk keperluan transportasi sungai untuk mengurangi tekanan transportasi jalan raya di daerah tersebut.
Total panjang BKT adalah 23,6 km dan direncanakan akan mampu melindungi kawasan seluas 16.500 ha dari banjir dan genangan. Pembangunan BKT ini masih harus diiukuti dengan penataan sistem drainase daerah disebelah hilir BKT, karena banyak bagian dari daerah tersebut merupakan daerah rendah ataupun cekungan, serta sistem drainase yang ada pada saat ini masih memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan.
12. Polder
Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang membentuk kesatuan hidrologis artifisial yang dikelilingi oleh tanggul. Pada daerah polder, air buangan (air kotor dan air hujan) dikumpulkan di suatu badan air (sungai, situ) lalu dipompakan ke badan air lain pada polder yang lebih tinggi posisinya, hingga pada akhirnya air dipompakan ke sungai atau kanal yang langsung bermuara ke laut. Tanggul yang mengelilingi polder bisa berupa pemadatan tanah dengan lapisan kedap air, dinding batu, dan bisa juga berupa konstruksi beton dan perkerasan yang canggih. Polder juga bisa diartikan sebagai tanah yang direklamasi. Sistem polder banyak diterapkan pada reklamasi laut atau muara sungai, dan juga pada manajemen air buangan (air kotor dan drainase hujan) di daerah yang lebih rendah dari muka air laut dan sungai.
Polder identik dengan negeri kincir angin Belanda yang seperempat wilayahnya berada di bawah muka laut dan memiliki lebih dari 3000 polder. Sebelum ditemukannya mesin pompa, kincir angin digunakan untuk menaikkan air dari suatu polder ke polder lain yang lebih tinggi.
Sistem polder ini telah direncanakan oleh Herman van Breen dan tim (dengan banjir kanal barat dan timur) ketika merancang kota sebagai respon terhadap banjir besar yang melanda Batavia tahun 1918.
Sistem polder untuk menanggulangi banjir di Jakarta, khususnya untuk 40% wilayah Jakarta yang katanya berada di bawah permukaan laut. Sistem polder ini sebenarnya sudah diterapkan di kawasan perumahan elit di tepi laut Jakarta Utara.
13. Pengaruh perubahan iklim global pada Jakarta adalah kenaikan paras muka air laut.
Pemuaian air laut dan pelelehan gletser dan lapisan es di kutub menyebabkan permukaan air laut naik antara 9 hingga 100 cm. Kenaikan tinggi muka air laut antara 8 hingga 30 centimeter akan berdampak parah pada Kota Jakarta yang rentan terhadap banjir dan limpasan badai. Suatu penelitian memperkirakan bahwa kenaikan paras muka air laut setinggi 0,5 meter dan penurunan tanah yang terus berlanjut dapat menyebabkan enam lokasi di Jakarta dengan total populasi sekitar 270.000 jiwa terendam secara permanen, yakni di kawasan Kosambi, Penjaringan dan Cilicing dan tiga lagi di Bekasi yaitu di Muaragembong, Babelan dan Tarumajaya.
Jakarta dahulunya disebut sebagai kota air. Hal ini bisa dilihat dari aspek eco-geografisnya. Jakarta terletak di bawah Bopunjur (Bogor Puncak dan Cianjur) – sebuah kawasan yang mempunyai curah hujan tinggi dan menjadi asal muasal berbagai sungai yang mengalir ke wilayah Jakarta. Karena itu, secara alami, di zaman dulu, Jakarta terkenal sebagai wilayah yang mempunyai banyak situ atau rawa. Hal itu terlihat dari banyaknya nama kelurahan dan kecamatan yang berawal dengan kata “rawa”. Jumlahnya ratusan, antara lain Rawasari, Rawamangun, Rawabokor, Rawabuaya, dan Rawajati. Nama-nama tersebut jelas menunjukkan bagaimana asal dari tempat tersebut, yaitu rawa.