Kondisi Lingkungan Jakarta atau Environmental Condition Jakarta

1. Luas Jakarta 65.000 Ha; Luas 40 % (24.000 Ha) daratan rendah dibawah muka laut pasang 1 s/d 1.5 m; Dari 40 % tersebut yang sudah dilayani dengan sistem Polder baru 11.500 Ha; Daerah tangkapan hujan yang mempengaruhi Jakarta meliputi Bopunjur dengan luas 85.000 Ha;

2. Jumlah penduduk Jakarta saat ini diperkirakan mencapai sekitar 8,5 juta orang, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,4 persen. Tingkat kepadatan penduduk di Jakarta juga terus meningkat. Data statistik menunjukkan bahwa rata-rata kepadatan penduduk Jakarta pada tahun 2009 adalah 13.000 orang/km2, sementara kepadatan di daerah Jakarta Pusat jauh lebih tinggi dan mencapai 19.600 orang/km2

Jumlah penduduk Jakarta yang meningkat pada jam-jam kantor mau tidak mau juga memberikan tekanan yang tinggi pada infrastruktur kota yang terbilang tidak luas bila dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Dari dua puluh lima (25) kota di dunia yang tertinggi jumlah penduduknya, Jakarta menduduki urutan kesepuluh (10) terpadat di dunia. Tekanan pertambahan penduduk dalam hampir empat dasawarsa terakhir telah memperluas wilayah Jakarta dari sekitar 300 km2 menjadi 700 km2

3. Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman kumuh yang hampir semuanya ilegal. Permukiman semacam itu banyak dibangun di bantaran sungai sehingga menimbulkan penyempitan sungai-sungai di Jakarta. Bila hujan deras turun di hulu ataupun di Jakarta sendiri, volume air yang meningkat tinggi tidak dapat tertampung oleh sungai-sungai yang telah mengalami penyempitan dan pengaliran air ke laut terhambat sehingga banjir pun terjadi. Perilaku warga yang sering membuang sampah ke sungai juga memicu pendangkalan sungai yang pada gilirannya dapat mengakibatkan banjir. Air dari hulu mengalir melalui 13 sungai/kali menuju laut melewati Jakarta;

4. Daerah Hulu

Ekosistem DAS hulu merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain sebagai fungsi tata air, oleh karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

Pembangunan dan perubahan tataguna lahan di Bopunjur dan Jabodetabek yang sangat pesat menyebabkan terjadinya penambahan debit air sungai melampaui kapasitas maksimumnya ( menambah run-off air );

Pengaruh urbanisasi dan pembuatan rumah-rumah di kawasan puncak (hulu DAS), yang notabene merupakan daerah penyangga (buffer zone) kawasan di bawahnya. Di samping itu, kawasan puncak juga merupakan daerah tangkapan air hujan (catchment area) bagi daerah di bawahnya. Inti pokoknya adalah berkurangnya lahan terbuka dan digantikan kedudukannya (tergeser) oleh lahan tertutup. Lahan tersebut umumnya tertutup oleh struktur bangunan, seperti jalan raya, tempat parkir, dan pembuatan struktur bangunan yang sebagian besar bersifat menutup daerah-daerah yang sebelumnya terbuka.

5. Ruang Terbuka Hijau

Gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau dan memperkecil ruang terbuka hijau. Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70 persen.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keingin-an dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.

Tiga issues utama dari ketersediaan dan kelestarian RTH adalah (1) dampak negatif dari suboptimalisasi RTH dimana RTH kota tersebut tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selan-jutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan) (2) Lemahnya lembaga pengelola RTH; (3) Lemahnya peran stake holders; (4) Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH

Bianpoen (1989) menyatakan dari sudut kesehatan seorang penduduk kota maksimal memerlukan ruang terbuka seluas 15 m2, kebutuhan normal 7 m2, dan minimal harus tersedia 3 m2. Pendapat lain dari Simond (1961) bahwa ruang terbuka yang dibutuhkan oleh 4.320 orang atau 1.200 keluarga adalah 3 are (30.000 m2). Laurie (1979) menyatakan ruang terbuka yang dibutuhkan oleh 40.000 orang adalah 1 are.

Namun menurut Ecko (1964) penduduk yang berjumlah 100 sampai dengan 300 orang membutuhkan ruang terbuka hijau seluas 1 are. Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) melalui World Development Report (1984) menyatakan bahwa prosentase ruang terbuka hijau yang harus ada di kota adalah 50% dari luas kota atau kalau kondisi sudah sangat kritis minimal 15% dari luas kota. Direktorat Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, menyatakan bahwa luas ruang terbuka hijau yang dibutuhkan untuk satu orang adalah 1,8 m2. Jadi ruang terbuka hijau walaupun hanya sempit atau dalam bentuk tanaman dalam pot tetap harus ada di sekitar individu. Lain halnya jika ruang terbuka hijau akan dimanfaatkan secara fungsional, maka luasannya harus benar-benar diperhitungkan secara proporsional.

Exit mobile version