MODEL KOMUNIKASI LINGKUNGAN
MASYARAKAT TRADISIONAL PAPUA
I. MASYARAKAT TRADISIONAL PAPUA
Hampir semua kelompok etnik di pedalaman Papua meyakini bahwa daerah pedalaman atau dataran tinggi dan gunung-gunung adalah gudang keramat berbagai makanan, harta benda, kekayaan yang melimpah untuk dinikmati masyarakat seumur hidup.
Pada masyarakat Mone menurut Cutts (1991:132) menyebutkan bahwa gunung-gunung di sekeliling suku Moni memuat harta karun. Suku-suku asli Papua di pedalaman masih meyakini bahwa hanya pendatang yang tahu bagaimana mencapai harta karun tersebut dan tidak akan mau memberitahukannya kepada penduduk asli sebab ingin memiliki sendirinya. Dalam pandangan manusia Papua mengenai alam, Tuhan dan roh sebagai satu kesatuan yang melingkupi kehidupan manusia merupakan manifestasi ajaran monism yang mempunyai makna positif dalam upaya pelestarian alam. Manusia adalah bagian dari alam, sehingga kalau ia merusak alam berarti merusak dirinya sendiri (Ngadisah, 2003:50). Ditambah lagi, manusia Papua mengidentikkan alam dengan orang tua, sehingga tanah dianggap sebagai ibu (mama).
Masyarakat Papua mempunyai hubungan spiritual yang istimewa dengan tanah (Erari, 2000:3;5). Bagi sebagian besar suku etnik asli Papua, tanah adalah tempat dimana berlangsungnya kehidupan dari generasi ke generasi. Erari menambahkan bahwa dalam Eko-Budaya Melanesia, tidak ada kawasan lingkungan di Papua yang masuk dalam kategori “no man’s land” atau tanah tidak bertuan. Setiap jengkal tanah mempunyai relasi budaya dengan masyarakat adat sekitar, kendati jarak jangkauannya bisa seminggu berjalan kaki (Erari, 2000:3;).
Makna konsep tanah meliputi seluruh wilayah yang digunakan masyarakat Papua termasuk laut, sungai, gunung dan sumberdaya yang ada di dalamnya.
1. Teori Kelompok Etnik dan Wilayah Budaya di Papua
Masyarkat adat Papua mengambil dan mengelola hasil alam secara langsung. Penyebabnya adalah kondisi medan geografi yang sangat berat (banyak gunung yang tinggi mencapai 5000-an meter di atas muka laut termasuk banyak hutan dan kekayaan sumber daya alam yang masih asli), aksesibilitas terbatas. Karena kondisi lingkungan alam seperti itu, sehingga masyarakat adat Papua menggantung hidupnya secara berlebihan atau secara penuh pada sumber kekayaan alam menurut kekerabatan dan pengetahuan kearifan lingkungan yang sangat kuat dan mendasar (Purba, 2002:44-56)
Secara umum masyarakat adat Papua mempunyai mata pencaharian sebagai peramu, peladang berpindah, peladang menetap, nelayan serta nelayan-peladang (Boellars, 1986: Purba, 2002: 44-56). Sebagai contoh masyarakat tipe peramu pemburu dan peladang adalah suku Asmat di bagian selatan papua. Masyarakat tipe peladang berpindah adalah suku dani di pedalaman papua. Masyarakat tipe peladang menetap adalah suku biak dan suku sentani di utara papua, sedangkan masyarakat tipe nelayan dan nelayan-peladang adalah suku-suku di pulau Yapen (Serui) di pesisir Utara Papua.
2. Batasan wawasan kosmologi Papua
Nilai budaya tanah sebagai ibu yang berlaku umum di Papua (Erari, 1999) menunjukkan bahwa wawasan kosmologi Papua adalah inward looking philosophy yang berintikan atau mengandung konsep, prinsip dan pandangan yang mempertahankan , menjaga, dan menjamin kelestarian lingkungan hidup yang berkesinambungan. Hal ini berarti, bahwa hubungan antara manusia Papua dengan alam adalah hubungan yang bersifat religio-magi (Soekanto, 1958:60 yang bukan semata-mata agama (karena banyak orang tidak beragama), tetapi suatu pandangan hidup yang bermartabat tinggi terhadap material di alam, yang terdiri dari dua macam pandangan:
a. Kepercayaan, beberapa benda-benda, tumbuhan mempunyai jiwa
b. Suatu kepercayaan, benda-benda atau tumbuhan mempunyai gaya gaib (dinamismus). Budaya “religio-magi” berlaku dalam berbagai hokum adat (termasuk adat pantang larang) yang mengatur tentang pelestarian lingkungan hidup dalam bidang kehutanan dan pertanian, ekonomi, sejara serta hak ulayat di Papua.
Menurut Keraf (2002:289-292) mengemukakan bahwa terdapat lima ciri khas kearifan lingkungan, yaitu
1. Kearifan lingkungan milik komunitas bukan perorangan
2. Kearifan lingkungan berarti pengetahuan yang lebih praktis
3. Kearifan lingkungan bersifat holistic, karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman mengenai seluruh kehidupan dengan segala relasi di alam semesta, alam adalah jaringan kehidupan
4. Kearifan lingkungan berarti aktifitas moral
5. Kearifan lingkungan bersifat local, karena terkait dengan tempat yang khusus dan nyata dalam suatu makna ruang (space) yang sacral
Teori-teori dasar revitalisasi nilai-nilai kearifan linkungan
1. Teori adaptasi manusia terhadap lingkungan
Adaptasi manusia terhadap lingkungan adalah bagaimana kebudayaan menyesuaikan manusia terhadap lingkungan hidupnya untuk bisa survive, dan juga berdampak pada organism lainnya dalam cara tak terbilang. Selain itu, adaptasi manusia terhadap lingkungan sering mengubah kenampakan lingkungan alam yang berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem bagian lain di bumi.
Kebudayaan menurut Soemarjan dan Soemardi (1964:113) kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang diperlukan oleh masyarakat untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan dan hasilnya dapat diabdikan pada keperluan masyarakat. Rasa meliputi jiwa manusia yang mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan dalam arti luas. Didalamnya termasuk misalnya agama, ideology, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang menghasilkan ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya, cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang di antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan, baik yang berwujud teori murni, maupun yang disusun untuk diamalkan dalam masyarakat.
Menurut Moran (1979), manusia membina hubungan dengan menggunakan karakter structural maupun fungsional lingkungan hidup, misalnya evolusi genetic adalah adaptasi dengan penyesuaian perlahan-lahan terhadap lingkungan hidup yang menghasilkan perubahan morfologi dan penyesuaian fungsional. Manusia beradaptasi terhadap lingkungan dengan mengacu pada kebudayaan sebagai abstraksi pengalaman.
Selanjutnya manusia yang beradaptasi dengan lingkungan hidup yang berbeda-beda memerlukan kemampuan untuk menciptakan budaya yang berbeda-beda (Sprandley & McCurdy, 1990). Karena itu keanekaragaman adaptasi lingkungan dibutuhkan untuk kelangsungan hidup dari relung-relung ekologi yang ada di bumi, tetapi hal ini dapat dirusak ketika semua orang tiba-tiba menemukan dirinya dalam relung yang sama. Spesies-spesies yang gagal beradaptasi dengan lingkungan hidup akan punah. Hal ini memberikan pemahaman bahwa suatu kebudayaan adalah keberlangsungan hidup yang memberikan kesanggupan pada manusia untuk memenuhi pasang-surut kondisi lingkungan hidup dengan kemampuan penyesuaian diri, akan tetapi dewasa ini manusia dihadapkan dengan perubahan lingkungan hidup yang radikal.
2. Teori kesadaran territorial
Menurut Ardrey (1966), setiap makhluk hidup mempunyai kesadaran wilayah/territorial. Territorial adalah suatu ruang wilayah: apakah air, atau tanah, udara, yang mana seekor binatang atau kelompok binatang mempertahankan keselamatan hidupnya.
3. Teori fungsi kebudayaan
Menurut Malinowski (1945), setiap unsur kebudayaan suatu masyarakat selalu mencoba memanfaatkan nilai-nilai kebudayaan itu sebagai kebudayaan secara keseluruhan. Bendecit (1949) menyatakan setiap suku bangsa mempraktekkan kemanfaatan nilai-nilai budaya berdasarkan the functional theory of culture dari Malinowiski (1945) untuk kepentingan-kepentingan tertentu agar bisa survive
4. Teori strategi kebudayaan
Teori van Peursen (1976) terfokus pada rencana yang terdapat dalam setiap kebudayaan, karena kebudayaan bersifat dinamis atau mengandung benih-benih perkembangan bagi kebudayaan kita.
Secara praktis strategi kebudayaan dibutuhkan untuk mengembangkan dan menyusun struktur-struktur masyarakat baru ekosistemik/sesuai system ekologi masing-masing daerah atas dasar kepentingan masyarakat dan bertujuan untuk mewujudkan cita-cita perbaikan kualitas hidup masyarakat dan wilayah secara berkelanjutan
Teori strategi kebudayaan diolah lebih lanjut oleh van Peursen menjadi suatu model kebudayaan bertahap tiga.
Pertama, tahap mitologis (nilai-nilai kearifan lingkungan Papua), bilamana manusia terbenam di lingkungan sekitarnya dalam perkembangan budaya
Kedua, tahap ontologism-rasional, bilamana manusia mengambil jarak terhadap alam raya dan terhadap dirinya sendiri
Ketiga, tahap fungsionalis, bilamana manusia mulai menyadari relasi-relasi lalu mendekati tema-tema tradisional (alam, Tuhan, sesame, identitas sendiri)
Ketiga tahap ini tidak merupakan urutan anak tangga. Tahap yang berikutnya tidak lebih tinggi dari sebelumnya. Setiap tahap saling mengandung unsur-unsur dari tahap lainnya, artinya tahap mitologis bisa mengandung unsur-unsur dari tahap ontologism atau tahap fungsionalis atau sebaliknya (van PEursen, 1976:6, 18,21) sebagai contoh ukiran patung-patung kayu (tahap ontologism) karya suku Kamoro sekarang di Kabupaten Mimika pun bernyawa (tahap mitologis)
Ketiga tahap model kebudayaan selain mengandung unsur positif juga mengandung unsur negative
a. Tahap mitologis kelihatan dalam praktek magi, yaitu usaha menguasai orang lain atau proses alam dengan sihir
b. Tahap ontologism, substansialisme menunjukkan unsur negative, yaitu usaha menjadikan manusia, barang-barang atau substansi yang terpecah, lepas yagn satu dari yang lain
c. Segi negative tahap fungsionalisme yaitu operasionalisme memperlakukan diri kita sebagai buah catur, nomor dalam seberkas kartu arsip
Teori mengenai interaksi antara manusia dan lingkungan. Ada dua kelompok masyarakat yang berhubungan dengan manusia yaitu
a. Kelompok manusia yang bersikap deterministic pasif terhadap lingkungan
b. Kelompok manusia yang bersikap possibilistik aktif terhadap lingkungan.
Pertemuan antara dua kedua sikap kelompok manuia dapat memungkinkan terjadinya ketidakserasian fungsi nilai-nilai lingkungan hidup sosial.
5. Teori penduduk asli nusantara
6. Teori akulturasi
Akulturasi adalah hasil interaksi dua atau lebih kebudayaan yang menghasilkan suatu budaya baru, misalnya interaksi budaya Jawa dan Hindu menghasilkan budaya Jawa-Hindu. Sedangkan masuknya suatu budaya dalam budaya secara utuh disebut integrasi (Widyosiswoyo, 2000:44)
7. Teori hukum adat
8. Teori ekologi politik
9. Teori kebenaran konsensus
Ada factor yang mempengaruhi nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat adat papua:
1. Proses adaptasi lingkungan yang memungkinkan manusia papua mengenal dan memahami sifat alam sekitarnya. Berdasarkan pengalaman tersebut manusia papua mengembangkan peralatan sebagai penyambung keterbatasan jasmaninya, memilih cara-cara yang tepat untuk menanggapi tantangan yang mereka hadapi. Di samping itu, manusia papua mulai mencoba menempatkan dirinya dalam jaringan kehidupan
2. Pengembangan kebudayaan manusia papua berfikir secara perlambang. Dengan lambang-lambang yang dikembangkan dan diberi makna yang kadang-kadang terlepas dari makna aslinya, manusia Papua mencoba memahami lingkungannya dan mengatasi masalah yang timbul karena sikap dan tingkah lakunya. Sebagai contoh gempa Nabire 2004. Gempa tersebut mendorong masyarakat Papua bersikap dan bertindak secara beragam dalam menghadapi gejala yang sama.
Karena kedua factor diatas manusia papua dapat menampung pengalamannya ke dalam system pengetahuan yang menguasai cara berfikir dan bersikap masyarakat adat papua. Tanggapan dari luar diwujudkan dalam keberhasilan manusia Papua mempertahankan hidup dan mengembangkan generasi dengan mengembangkan peralatan dan cara pengendaliannya. Sedangkan tanggapan ke dalam tercermin dalam system pengetahuan sebagai kerangka acuan yang mewujudkan sikap dan pola tingkah laku masyarakat adat Papua. Kedua proses adaptasi tersebut yang menjadi dasar kearifan lingkungan sebagai kerangka acuan untuk memelihara stabilitas keseimbangan mengenai kosmis.
Nilai-nilai kearifan lingkungan hidup Papua antara lain:
1. Nilai kesatuan moral dengan alam
Kesatuan antara moral dengan alam terungkap dalam pernyataan mereka “…terjadinya sejumlah konflik pemanfaatan lahan di Papua adalah kekuatiran terhadap pemanfaatan wilayah adatnya yang sacral yang dapat membawa berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan, hama, kegagalan panen, tidak adanya hasil tangkapan laut, dan sebagainya karena kesalahan sikap batin dan perilaku mereka terhadap alam”
2. Nilai budaya tanah sebagai ibu
3. Nilai suku Dani sebagai pohon sumber suku besar Papua yang menerapkan tradisional civil society
4. Nilai jati diri suku besar Papua sebagai Pengawal Pusaka NKRI
II. KOMUNIKASI LINGKUNGAN
1. Komunikasi
Komunikasi secara etimologis berasal dari perkataan latin “communication”. Istilah ini berasal dari kata “communis” yang berarti sama, maksudnya sama arti dan sama makna. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan.
Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.
Dalam bahasa komunikasi, pernyataan dinamakan pesan (message), orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator) sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama komunikan (communicate). Untuk tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol). Konkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, lambing adalah bahasa.
Menurut Susanto-Sunario, ilmu komunikasi ialah ilmu yang meneliti dan mempelajari gagasan-gagasan, pikiran dan perasaan yang disebarkan secara sadar, periodic dan kontinu, yang bernilai universal, actual dan dinyatakan secara anonym atau tanpa mencantumkan nama.
Pikiran dan perasaan sebagai isi pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan, selalu menyatu secara terpadu, secara teoritis tidak mungkin hanya pikiran saja atau perasaan saja, masalahnya mana di antara pikiran dan perasaan itu, yang dominan. Yang paling sering adalah pikiran yang dominan.
Ferdinand Tonnies mengklasifikan pergaulan hidup manusia menjadi dua jenis, yakni Gemeinschaft dan Gesellschaft. Yang dikategorikan Gemeinschaft adalah pergaulan hidup dengan cirri-ciri pribadi (personal) tak rasional (irrasional), dan statis, sedangkan Gesellschaft merupakan pergaulan hidup dengan cirri-ciri tidak pribadi (impersonal), rasional (rational) dan dinamis. Gesellschaft adalah pergaulan hidup yang serba formal, birokratis dan kaku disebabkan peraturan-peraturan yang mengikat dan membatasi.
Ilmu komunikasi yang semakin kompleks disebabkan factor perkembangan teknologi yang canggih. Dewasa ini orang-orang semakin asyik mempelajari ilmu komunikasi oleh karena jika seseorang salah komunikasinya (miscommunication), maka orang yang dijadikan sasaran mengalami salah persepsi (misperception), yang pada gilirannya salah interpretasi (misinterpretation), yang pada giliran berikutnya terjadi salah pengertian (misunderstanding). Dalam hal-hal tertentu salah pengertian ini menimbulkan salah perilaku (misbehavior), dan apabila komunikasinya berlangsung berskala nasional, akibatnya bisa fatal.
Menurut Wilbur Schramm bidang pengalaman merupakan factor penting terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya kalau pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain, atau dengan kata lain tidak komunikatif.
Pesan komunikasi terdiri atas dua aspek, yakni isi pesan dan lambing. Isi pesan umumnya adalah pikiran, sedangkan lambang, umumnya adalah bahasa. Walter Lippman menyebut isi pesan itu “picture in our head”, sedangkan Waler Hagemann menamakannya “das Bewustseininhalte”. Proses “mengemas atau “membungkus” pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator itu dalam bahasa komunikasi dinamakan encoding. Hasil encoding berupa pesan itu kemudian di transmisikan atau dioperkan atau kirimkan kepada komunikan.
Mengapa kita mempelajari dan meneliti komunikasi? Jawabnya, karena kita ingin mengetahui bagaimana efek suatu jenis komunikasi kepada seseorang. Terhadap suatu pesan yang kita komunikasikan kita ingin mempunyai kemampuan untuk meramalkan efek yang akan timbul pada komunikan.
Wilbur Schramn menyatakan, ada beberapa kondisi yang dipenuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki:
1. Pesan yang harus di rancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga menarik perhatian komunikan
2. Pesan yang harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama mengerti.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut
4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok di mana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan
Cultip dan Center dalam bukunya “Effective Public Relations” mengemukakan fakta fundamental yang perlu diingat oleh komunikator:
1. Bahwa komunikan terdiri dari orang-orang yang hidup, bekerja dan bermain satu sama lainnya dalam jaringan lembaga social. Karena itu setiap orang adalah subyek bagi berbagai pengaruh diantarannya adalah pengaruh dari komunikator
2. Bahwa komunikan membaca, mendengar dan menonton komunikasi yang menyajikan pandangan hubungan pribadi yang mendalam
3. Bahwa tanggapan yang diinginkan komunikator dari komunikan harus menguntungkan bagi komunikan, kalau tidak ia tidak akan memberikan tanggapan
Berdasarkan bidangnya komunikasi meliputi jenis-jenis sebagai berikut:
1. Komunikasi social
2. Komunikasi organisasional
3. Komunikasi bisnis
4. Komunikasi politik
5. Komunikasi internasional
6. Komunikasi antarbudaya
7. Komunikasi pembangunan
8. Komunikasi tradisional
Ditinjau dari sifatnya komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Komunikasi verbal
a. Komunikasi lisan
b. Komunikasi tulisan
2. Komunikasi nirverbal
a. Komunikasi kial (gesture/body communication)
b. Komunikasi gambar
3. Komunikasi tatap muka
4. Komunikasi bermedia
Tatanan komunikasi adalah proses komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan, apakah satu orang, sekelompok orang, atau sejumlah orang bertempat tinggal secara tersebar. Berdasarkan jenis komunikasi itu, maka diklasifikasikan bentuk-bentuk sebagai berikut:
1) Komunikasi pribadi (personal communication)
a. Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication)
b. Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication)
2) Komunikasi kelompok (group communication)
a. Komunikasi kelompok kecil: ceramah, forum, symposium, diskusi panel, seminar, brainstorming, dll
b. Komunikasi kelompok besar
3) Komunikasi massa (mass communication)
a. Komunikasi media massa cetak/press: suratkabar, majalah, dll
b. Komunikasi media massa elektronik: radio, televise, film, dll
Tujuan komunikasi adalah mengubah sikap (to change the attitude), mengubah opini atau pendapat (to change the opinion), mengubah perilaku (to chang the behavior) dan mengubah masyarakat (to change the society).
Sedangkan fungsi komunikasi adalah menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain) dan mempengaruhi (to influence).
Berdasarkan keterampilan berkomunikasi, teknik komunikasi diklasifikasikan menjadi Komunikasi informatif, Komunikasi persuasive, Komunikasi pervasive, Komunikasi koersif, Komunikasi instruktif, dan Hubungan manusiawi.
2. Lingkungan
Menurut Soemarwoto (1998), pandangan manusia kepada lingkungan (ekosistem) dapat dibedakan atas dua golongan yaitu pandangan imanen dan transenden. Menurut pandangan imanen (holistic) manusia dapat memisahkan dirinya dengan system biofisik sekitarnya (hewan, tumbuhan, sungai dan gunung) namun merasa adanya hubungan fungsional dengan factor biofisik itu sehingga membentuk satu kesatuan sosio biofisik. Imanen hidup dan berkembang dimasyarakat timur yang masih tradisional, tunduk dan patuh pada perangkat peraturan kosmos yang sacral dijaga dalam bentuk adat istiadat berupa kebiasaan, kewajiban, pantangan atau tabu (buyut) sebagai panduan untuk bertingkat laku dengan baik dan benar. Hal ini sebagai pengaruh baru melalui agama Budha, Hindu, Kristen dan Islam (Hiding, 1984) diikuti Iskandar (2001:11).
Pandangan transenden walau secara ekologi bagian dari lingkungannya manusia merasa terpisah dari lingkungannya karena lingkungan dianggap sebagai sumber daya yang diciptakan untuk dieksploitasi sebesar-besarnya kemampuan (Soemarwoto dalam Iskandar Djauhari, 2001:11).
Ekologi dapat berfungsi sebagai pendekatan untuk mengkaji dan menganalisis suatu masalah yang berhubungan dengan lingkungan hidup, maka muncul istilah ekologi pembangunan, ekologi kependudukan, ekologi pangan dan sebagainya (Soemarwoto, 1997:146-153).
Prinsip ekologi yang perlu diperhatikan antara lain:
1. Interaksi yaitu kehidupan di alam ini tidak lepas dengan adanya interaksi dengan lingkungannya baik interaksi dengan makhluk hidup maupun non makhluk hidup, meliput:
a. Interaksi mutualisme yaitu memperoleh pengetahuan dari pihak-pihak yang berinteraksi
b. Interaksi komensalisme yaitu suatu pihak memperoleh keuntungan sedangkan pihak lain tidak memperoleh apa-apa, tetapi tidak dirugikan
c. Interaksi amensalisme yaitu interaksi dimana yang satu menderita kerugian sedangkan yang lain tidak terpengaruh apa-apa.
d. Interaksi kompetisi terjadi karena pemanfaatan bersama sumberdaya yang terbatas. Dalam kompetisi ini dapat saling melemahkan antara yang satu dengan yang lain, bahkan saling meniadakan. Lambat laun dalam waktu yang lama organism yang menang dalam berkompetisi akan mendominasi di dalam system tersebut
e. Parasitisme makhluk hidup yang menumpang atau tergantung pada yang lain
f. Prediksi yakni penangkapan oleh predator terhadap prey. Komunitas alamiah peranan seekor pemangsa dapat menjadi fungsional dalam memelihara keseimbangan yang serasi dengan populasi binatang yang dimangsa
2. Keanekaan yaitu kehidupan di alam ini sebenarnya terdiri dari beranekaragaman unsur kehidupan. Semakin beranekaragaman komponen penyusun suatu ekosistem menurut konsep ekologi akan semakin baik. Sebagai contoh hutan yang mono kultur dengan hutan tropis, secara ekologis akan lebih baik hutan yang tropis. Dengan system mono kultur, apabila ada serangan hama dan penyakit, maka akan cepat habis. Sebaliknya hutan yang di dalamnya beranekragam tumbuhan penyusunnya, maka apabila terjadi serangan hama dan penyakit, tidak semua jenis tanaman akan habis diserang.
3. Ketergantungan yaitu semua makhluk hidup di alam ini tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan kehidupan yang lainnya
4. Keharmonisan yaitu didalam suatu interaksi kita perlu menjaga adanya keharmonisan di dalam suatu hubungan sehingga tidak membahayakan keberlangsungan ekosistem
5. Keberlanjutan yaitu bagaimanapun kita semua termasuk makhluk hidup lainnya sangat memerlukan adanya keberlanjutan
Dalam pengelolaan lingkungan dibutuhkan ekologi manusia (Soemarwoto, 1997:20) yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Ekologi manusia disatu pihak dapat dilihat sebagai bagian dari autekologi, yaitu ekologi dari spesies tunggal (homo sapiens). Saat manusia dilihat sebgai makhluk sosial maka ekologi manusia dapat menggunakan sinekologi sehingga ekologi manusia bersifat sebagai social.
Ekologi manusia adalah studi yang mengkaji interaksi manusia dengan lingkungan. Sebagai bagian dari ekosistem, manusia merupakan makhluk hidup yang ekologik dominan. Hal ini karena manusia dapat berkompetensi secara lebih baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Hadi, 2000).
Secara analitik (Rambo dalam Soerjani, 1985:3) membedakan lingkup ekologi manusia dalam dua system yaitu system alam dan system sosial. Kedua system tersebut saling berhubungan timbal balik terus menerus dan teratur melalui aliran energy, materi dan informasi sehingga terjadi proses seleksi dan adaptasi. Lingkungan manusia didefiniskan sebagai segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang berpengaruh pada kehidupan manusia itu sendiri (lihat Gambar 1). Menurut Rambo (1983), factor system biofisik atau ekosistem adalah berupa iklim, udara, air, tanah, tanaman, binatang. Di alam nyata terjadi daur (siklus) materi dan energy hanya satu arah yaitu dari alam, terjadi arus energy sedangkan materi terdapat pada arus informasi. Timbulnya perubahan hubungan interaksi manusia dan lingkungan sekitar disebabkan oleh factor internal (pertambahan penduduk) dan eksternal (perkembangan ekonomi pasar, pembangunan, kebijakan pemerintah).
Ekologi manusia dipelopori oleh para ilmu sosial (Auguste Comte tahun 1800 tentang rekonstruksi sosial). Kajian sosial akan penyebaran manusia dalam tata wilayah dipelajari dalam konteks ekologi manusia. Ekologi manusia menekankan penyebaran manusia dan variable sosialnya dalam tata ruang, sehingga kajiannya berkaitan dengan geografi. Saat ini semua kajian berkaitan dengan ekologi manusia, yaitu biologi, antropologi, ekonomi, teknologi, psikologi, hokum, pertanian, pendidikan, kesehatan masyarakat, filsafat, agama dan lain-lain.
Gambar 1. Hubungan Antara Sistem Sosial dengan Ekosistem
Manusia adalah bagian dari alam, tetapi dalam konsep lingkungan binaan manusia dengan kemampuannya dapat menguasai dan mengubah alam dan menciptakan sarana dan prasarana yang mendukung kehidupan manusia itu sendiri. Dalam konsep lingkungan hidup sosial, manusia berada dalam hubungan dengan manusia lain sebagai sesama anggota masyarakat.
Hubungan manusia dengan alam sangat erat, kualitas lingkungan akan ditentukan oleh perilaku manusia dan sebaliknya perilaku manusia juga akan dipengaruhi oleh lingkungannya (Darsono, 1995)
Perkembangan manusia menurut Kline (1997) dalam Bianpoen (2002) memerlukan 6 faktor yaitu:
1. Lingkungan yang serasi
2. Jaringan sosial dalam masyarakat
3. Kecukupan ekonomis
4. Lingkungan buatan (human settlement) yang aman
5. Keadilan sosial
6. Keberlanjutan ekologis
Gambar 2. Faktor Penentu Perkembangan Manusia
Pengembangan kualitas hidup manusia meliputi kualitas fisik dan non-fisik. Dahlan & effendi (1992) dalam KMNLH (1997), membagi pengembangan kualitas hidup manusia non-fisik menjadi 6 aspek yaitu:
1. Kualitas kepribadian (kecerdasan, kemandirian, kreatifitas, ketahanan mental)
2. Kualitas masyarakat (kesetiakawanan sosial dan keterbukaan)
3. Kualitas berbangsa (kesadaran berbangsa)
4. Kualitas spiritual (religious dan moralitas)
5. Wawasan lingkungan
6. Kualitas kekaryaan (perwujudan aspirasn dan pengembangan potensi diri)
Melalui lingkungan sosial, manusia melakukan interaksi dalam bentuk pengelolaan keutuhan hubungan masyarakat dengan alam dan binaanya melalui pengembangan perangkat nilai, norma, ideology dan perangkat sosial serta budaya lainnya. Dari kegiatan tersebut masyarakat dapat menentukan arah pembangunan lingkungan yang selaras dan sesuai dengan daya dukung lingkungan alam dan lingkungan binaan.
Lingkungan hidup, menurut Budhisantoso (2001): “pola-pola pengolahan sumber daya dan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan itu tidak bebas dari pengaruhi system nilai yang berfungsi dalam masyarakat yang bersangkutan. System nilai itu biasanya tercermin dalam kearifan lingkungan atau pengetahuan setempat yang memberikan petunjuk tentang apa yang dapat dilakukan dengan cara apa dan dimana manusia dapat mengolah sumber daya dan mengelola lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup biologis dan sosial maupun kebutuhan integratifnya.
Gambar 3. Bagan Sistem Budaya
Kebudayaan manusia adalah hasil proses dari dua keadaan yang saling mengisi yaitu:
1. Berkembang dari adanya hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, mendasari manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara menanggapi tantangan aktif dari waktu ke waktu sehingga terciptalah kebudayaan
2. Menyangkut kemampuan manusia berfikir metaforik, manusia dapat mengembangkan lambang-lambang yang diberi makna dan berfungsi sebagai acuan dalam bersikap dan menentukan tindakan menghadapi tantangan dalam proses adaptasi terhadap lingkungan secara aktif (Budhisantoso, 1981)
Daya tahan terhadap perubahan lingkungan alami, sosial dan binaan menuntut kemampuan adaptasi. Cara manusia menanggapi lingkungan tidak bebas dari pengaruh system pemahaman (cognitive system) yang mereka kuasai. Dalam usahanya menyesuaikan diri dengan lingkungan alamnya, manusia terikat oleh kaidah yang berlaku dalam system pemahaman mereka sebagaimana tercermin dalam lambang-lambang yang mereka beri makna. (Budhisantoso, 1981).
Kebudayaan sebagai wujud tanggapan aktif manusia terhadap tantangan yang mereka hadapi dalam proses adaptasi terhadap lingkungan artinya kebudayaan manusia tidak pernah statis, karena situasi dikembangkan sesuai dengan perubahan lingkungan dan teknologi. Setiap perubahan lingkungan akan merangsang perubahan kebudayaan (Budhisantoso, 1987).
Sedangkan hubungan manusia dengan alam berlangsung secara bertahap dengan peradaban manusia di muka bumi ini. Menurut Davis (173) dan Morris (1979), perkembangan peradaban manusia terbagi atas lima tahapan atau zaman yang menunjukkan pandangan secara filosofis mengenai hubungan manusia dengan alam sebagai berikut:
1. Kosmo sentris, zaman sampai tahun 4000 SM ditandai oleh pandangan manusia yang terfokus kealam. Manusia hidup berkelana dan berburu untuk mendapatkan makanannya
2. Teo-sentris, zaman yang dimulai tahun 4000 SM sampai awal abad ke-16, ditandai dengan pandangan manusia yang memuja kepada Tuhan (Teo berasal dari bahasa Yunani theos yang berarti Tuhan) pada zaman itu manusia sudah mulai mengenal pertanian. Pada zaman ini pula lahir kota-kota pertama di dunia
3. Antropo-sentris, yaitu zaman yang dimula akhir abad ke-17 M ,ditandai dengan pemujaan manusia kepada manusia itu sendiri (Yunani: anthropos yang berarti manusia). Zaman ini ditandai oleh pencerahan revolusi ilmiah. Tahapan antroposentris mencapai puncaknya pada abad ke-18 dan 19 yang ditandai dengan lahirnya revolusi industry. Menjelang abad ke-20 pandangan ini mulai menunjukkan pegeserannya kea rah pandangan lain yaitu eko-sentris
4. Ekosentris yaitu pandangan yang menganggap bumi atau alam sebagai pusat dari kehidupan (eko berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal). Manusia adalah bagian dari alam sehingga alam harus menjadi pusat segala kegiatan manusia. Pandangan ini dimulai pada akhir abad 20 dan awal abad ke-21
5. Logo-sentris yang diawali abad ke-21. Zaman ini ditandai dengan pengembangan bidang telekomunikasi dan informasi yang menuntut manusia untuk berfikir secara teliti, tertib dan benar (Logos dalam bahasa Yunani berarti kalam, ucapan, pengertian)
Dalam melakukan adaptasi itu manusia tidak semata-mata mengandalkan kemampuan jasmaniahnya melainkan lebih penting dari itu, ia memanfaatkan kemampuan superorganiknya yaitu kebutuhannya (Adimihardja, dkk, 1986:1). Dengan kebudayaan manusia bukan sekadat menyesuaiakan diri dengan lingkungannya secara pasif, melainkan juga menciptakan lingkungan buatan dengan segala kebutuhan sampingan yang ditimbulkan. Akibatnya manusia senantiasa dihadapkan pada berbagai macam tantangan, baik yang timbul karena kebutuhan pokok biologis maupun kebutuhan sampingan yang jauh lebih banyak ragamnya. Adaptasi pada manusia, dengan demikian dapat diartikan sebagai suatu proses mengatasi keadaan biologi, alam dan lingkungan sosial tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain lingkungan itu dapat mempengaruhi dan mengubah manusia secara fisik dan psikis.
Salah satu penyebab perubahan lingkungan adalah perubahan social. Proses perubahan sosial dapat diketahui dari ciri-ciri tertentu antara lain:
1. Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap masyarakat mengalami perubahan secara lambat atau secara cepat
2. Perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakat tertentu, akan diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya. Karena lembaga-lembaga sosial tadi bersifat interdependen, maka sulit sekali untuk mengisolasi perubahan pada lembaga-lembaga sosial tertentu saja. Proses awal dan selanjutnya adalah mata rantai
3. Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara karena dalam proses penyesuaian diri. Disorganisasi akan diikuti oleh suatu reorganisasi yang mencakup pemantapan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang baru
4. Perubahan-perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau bidang spiritual saja, karena kedua bidang tersebut mempunyai ikatan timbal balik yang sangat kuat
5. Tipologis, perubahan-perubahan sosial dapat dikategorikan sebagai:
a. Social process: the circulation of various rewards, facilities, and personnel in an existing structure
b. Segmentation: the proliferation of structural units that do not differ qualitatively from existing units
c. Structural change: the emerge of qualitatively new complexes of roles and organization
d. Changes in group structure: the shifts in the composition of group, the level of consciousness of group and the relations among the group in society.
Dalam proses perubahan sosial dan kebudayaan terdapat penyesuaian masyarakat kearah perubahan, yang serasi atau harmoni yang merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat (Soekanto, 1990:367)
3. Komunikasi Lingkungan
Komunikasi lingkungan adalah proses pernyataan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Proses komunikasi lingkungan memiliki unsur manusia, lingkungan dan pesan. Komunikasi lingkungan berfungsi sebagai bagian dari interaksi, interdepedensi, dan harmoni antara manusia dan lingkungan untuk mewujudkan keberlanjutan hubungan.
Komunikasi yang dilakukan bersifat sederajat dalam arti satu pihak tidak berusaha menjadi lebih (mempengaruhi, menonjol, mengintervensi) dari pihak yang lain. Manusia dianggap memiliki derajat yang sama dengan lingkungan, karena itu komunikasi yang dibangun egaliter dan tidak mendominasi.
Menjadi komunikator lingkungan tidak berarti kita harus mencontoh apa yang dilakukan oleh masyarakat tradisional Papua seperti upacara-upacara adat dan sebagainya. Namun subtansi dari model komunikasi mereka yang kita renungi, pahami dan amalkan. Subtansi seperti penghormatan terhadap alam (ekosentris), menjaga keseimbangan alam, beraktifitas dengan batasan daya tampung dan daya lenting alam, dan sebagainya.
III. MODEL-MODEL KOMUNIKASI
Model komunikasi adalah bagian dari strategi komunikasi. Strategi komunikasi secara makro maupun secara mikro mempunyai fungsi ganda:
1. Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasive dan instruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil optimal
2. Menjembatani “cultural gap” akibat kemudahan diperolehnya dan kemudahan dioperasionalkannya media massa yang begitu ampuh, yang jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai budaya.
Strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan komunikasi dan manajemen komunikasi untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut strategi komunikasi harus dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya secara taktis harus dilakukan.
Ada berbagai macam model komunikasi seperti model Lasswell, Teori S-O-R, model S-M-C-R, teori matematikal komunikasi, model sirkular, model Helical Dance, dan lain sebagainya.
Namun berdasarkan paparan masyarakat tradisional Papua, bagaimana mereka berhubungan dengan lingkungan maka model komunikasi yang paling mendekati adalah model Lasswell dan model sirkulasi Osgood dan Schramm
Model Lasswell menyatakan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect (Siapa mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dengan efek apa). Menurut Lasswell unsur-unsur proses komunikasi yaitu komunikator, pesan, media, komunikan dan efek.
Adapun fungsi komunikasi menurut Lasswell adalah sebagai berikut:
1. The surveillance of the environment (pengamatan lingkungan)
2. The correlation of the parts of society in responding to the environment (korelasi kelompok-kelompok dalam masyarakat ketika menanggapi lingkungan)
3. The transmission of the social heritage from one generation to the next (transmisi warisan social dari generasi yang satu ke generasi yang lain)
Model sirkulasi Osgood dan Schramm
Gambar 4. Model Sirkular Osgood dan Schramm
Sumber informasi memproduksi sebuah pesan untuk dikomunikasikan. Pesan tersebut terdiri dari kata-kata lisan atau tulisan, music, gambar, dll. Kemudian pesan menjadi, menyandi balik dan ditafsirkan kemudian menjadi pesan kembali dan begitu seterusnya seperti sebuah siklus.
IV. KOMUNIKASI LINGKUNGAN MASYARAKAT PAPUA
Masyarakat tradisional Papua mengenal model komunikasi seperti model komunikasi Lasswell dan model sirkulasi Osgood dan Schramm. Model komunikasi Lasswell tergambar dari sikap dan penghormatan mereka terhadap alam. Tanah ibarat ibu bagi mereka yang menaungi dan menjaga mereka.
Sedangkan model sirkulasi Osgood dan Schramm tergambar dari ritual yang mereka lakukan ketika mereka melakukan intervensi terhadap alam, misalnya upacara sebelum menebang pohon. Mereka khawatir alam akan memberikan respon seperti bencana alam apabila mereka bertindak pada lingkungan. Komunikasi masyarakat tradisional seperti Papua bersifat timbal balik, dua arah.
Komunikasi tersebut didasarkan pada konsep ekosentris yang mereka anut. Ekosentris yaitu konsep yang menganggap manusia bagian dari lingkungan karena itu manusia harus menghormati lingkungan. Manusia dan alam saling membutuhkan sehingga apabila manusia mengeksploitasi alam sewenang-wenang, maka alam akan menjadi rusak sehingga manusia sendiri yang akan merasakan akibat kerusakan alam. Karena itu komunikasi dengan lingkungan perlu dijaga agar tercipta lingkungan yang dapat terus mendukung aktifitas manusia.