Krisis multidimensi yang menerpa
Tidak mudah membuat definisi yang tepat bagi kepemimpinan berkelanjutan, karena akan menarik keberlanjutan yang notabenya istilah lingkungan ke dalam kancah politik. Kalau sudah masuk pada ranah politik, khawatirnya lingkungan tidak lagi obyektif dan sekadar menjadi alat komoditas untuk melanggengkan kekuasaan. Namun kepemimpinan dapat juga ditarik kedalam fungsi pengelolaan atau manajemen sehingga dari berbagai definisi kepemimpinan yang ada diambil definisi kepemimpinan yang tepat untuk bersanding dengan kebelanjutan.
Kata Kepemimpinan terjemahan dari bahasa Inggris “Leadership” yang menurut Ensiklopedi Umum dalam tahun 1993 penerbit Yayasan Kanisius, diartikan sebagai “hubungan yang erat antara seorang dan kelompok manusia, karena ada kepentingan yang sama”. Oleh karena itu kepemimpinan tidak hanya menyangkut proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan, namun juga adanya aspek hubungan. Hubungan yang diperlukan seorang pemimpin terhadap yang dipimpin agar dapat mencapai tujuan bersama tentunya hubungan yang erat. Membangun hubungan yang erat dapat berhasil baik dengan cara kesadaran dari dalam diri maupun paksaan. Hubungan mensyaratkan adanya interaksi, dan hubungan yang makin erat memungkinkan terjadinya interdependensi (ketergantungan).
Kepemimpinan dapat diukur antara lain melalui kemampuan mempengaruhi orang lain, melakukan perubahan, bergaul dengan bawahan, motivasi diri dan dorongan berprestasi, kedewasaan dan keluwesan hubungan sosial, dan kecerdasan. Bergaul dengan bawahan merupakan syarat dan tujuan agar tercapainya harmoni. Sedangkan kemampuan mempengaruhi orang lain, keluwesan hubungan social didasarkan adanya prinsip mengakui perbedaan dengan orang lain atau keanekaragaman (biodiversity).
Prinsip-prinsip kepemimpinan sebenarnya sudah banyak beririsan dengan prinsip ilmu lingkungan yaitu interaksi, interdependensi, harmoni dan keanekaragaman. Tinggal satu lagi prinsip ekologi yang belum ada dalam kepemimpinan yaitu keberlanjutan atau sustainability. Kebelanjutan diartikan sebagai mencukupi kebutuhan sekarang tanpa melupakan kebutuhan generasi mendatang. Sehingga definisi yang mendekati kepemimpinan berkelanjutan adalah hubungan yang erat antara seseorang dengan kelompok manusia, karena ada kepentingan yang sama, tanpa melupakan kepentingan generasi mendatang untuk hidup layak
Dalam konteks kepemimpinan berkelanjutan di
Karena belum ada pemimpin baik yang dahulu maupun sekarang yang mampu menciptakan system keberhasilan yang dapat diteruskan ke generasi sebelumnya dan sekitarnya, maka wajar bila masyarakat masih mengharapkan kedatangan Ratu Adil untuk menyelesaikan masalah Indonesia, atau diskusi politik kita masih diisi seputar the man behind the gun, bukan how to manage the gun.
Kasus banjir kali ini memberikan pelajaran berharga pada kepemimpinan berkelanjutan. Karena kepemimpinan berkelanjutan tidak berarti orang “internal” lebih menguasai permasalahan daripada orang eksternal. Memang ada beberapa contoh orang internal lebih mendekati kepemimpinan berkelanjutan, namun semua itu tergantung dari sudut pandang seperti apa orang tersebut melihat masalah. Muhammad Yunus mengurai dengan jelas perbedaan sudut pandang antara orang yang ahli dan orang yang ahli dan berhasil. Orang yang ahli melihat masalah seperti sudut pandang burung melihat dari jauh masalah namun dapat melihat secara keseluruhan, sedangkan orang yang ahli dan berhasil adalah orang yang menggunakan pendekatan mata cacing, apa yang paling dekat dengan mata, itu yang diselesaikan dahulu.
Salah satu contoh kepemimpinan berkelanjutan yang baik adalah Kepemimpinan di Intel dari Andy Groove ke Paul Otellini. Walaupun Paul Ottellini anak emasnya legenda Intel Andy Groove, tidak berarti Paul mengikuti semua arah kepemimpinan Andy, bahkan sebagian media mengatakan Paul membunuh karya besar Andy. Namun Andy tidak marah, dan Paul juga tidak besar kepala karena setiap zaman punya tantangan sendiri, setia waktu ada model persaingan sendiri dan setiap kreatifitas punya bentuk yang paling cocok untuk setiap persaingan.
Sutiyoso punya bentuk kepemimpinan sendiri yang sesuai dengan zamannya. Ketika itu keadaan transisi dari system otoriter menuju demokrasi, Sutiyoso menerapkan kepemimpinan tegas agar demokrasi tidak melenceng dari rel. Zaman itu Jakarta kehilangan positioning sebagai “pusatnya daerah” atau “daerahnya pusat” dan Sutiyoso menjawab dengan konsep Megapolitan. Saat itu
Tantangan yang berbeda zaman sekarang tentu membutuhkan kepemimpinan yang berbeda. Pemanasan global dan perubahan iklim membuat iklim dan curah hujan tidak menentu menuntut
Persoalan macet di
Imigran yang datang ke