Kebijakan Kamuflase Penanganan Banjir atau Flood Handling Camouflage Policy

Dalam sebuah berita di Koran Tempo, 13 Juni 2008 Pemprov DKI Jakarta menyatakan telah meminta bantuan kepada pemerintah kota Rotterdam untuk mengeruk tiga kanal di DKI Jakarta. Program jangka panjang ini akan memakan biaya Rp 1,2 T dengan melibatkan lima tenaga ahli dari Belanda.

Sepertinya Pemprov DKI Jakarta tidak pernah belajar dari pengalaman yang sudah-sudah dan selalu mengambil jalan pintas terhadap suatu permasalahan. Suatu masalah selalu dilihat dari kacamata linear dan menanganinya dengan model the end of pipe atau kuratif.

Menurut pendekatan linear suatu masalah disebabkan oleh suatu sebab yang mempengaruhinya, karena itu penyelesaian masalah sangat tergantung pada kemampuan kita mempengaruhi factor penyebab masalah. Pemprov memandang masalah banjir karena sungai yang meluap, maka penyelesaiannya dengan mengeruk sungai agar dapat menampung air lebih banyak.

Pendekatan penyelesaian masalah lingkungan terbaru termasuk banjir adalah dengan menggunakan pendekatan holistic (menyeluruh). Lingkungan terkait dengan masalah lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan binaan, oleh karena itu untuk menyelesaikan masalah tersebut harus dilihat dari tiga perspektif tersebut. Karena itu pendekatan holistic lebih cocok untuk diterapkan di lingkungan. Pendekatan holistic menjelaskan hubungan timbal balik antara berbagai variabel permasalahan sehingga dapat diketahui perubahan yang terjadi. Masalah banjir tidak hanya terkait dengan sungai tetapi juga oleh konversi lahan di hulu dan di hilir, curah hujan yang tinggi (lingkungan alam), manusia yang tidak disiplin dan sering membuang sampah sembarangan, kebijakan pemprov yang tidak terpadu (lingkungan sosial), pelanggaran tata ruang, pembangunan yang kurang memperhatikan lingkungan (lingkungan binaan) oleh karena itu penanganan banjir harus memperhatikan kesemua faktor tersebut.

Sebenarnya gubernur Jakarta Fauzi Bowo sudah mengetahui penyebab banjir Jakarta tidak hanya masalah sungai namun juga disebabkan oleh ketidakdisiplinan masyarakat. “Belanda dianggap unggul mengatasi banjir. Negeri kincir angin ini berada 13 meter di bawah permukaan air namun tidak pernah banjir. Padahal air datang dari Swiss dan Jerman. Bedanya Belanda tidak mendapat limpahan air berisi sampah”. Namun mengapa solusi yang ditawarkan selalu melibatkan jumlah uang yang besar, proyek populis dan tenaga ahli asing yang bayarannya berkali lipat dibanding tenaga ahli local. Mengapa penanganan yang lebih komprehensif dengan melibatkan seluruh stakeholder tidak coba dilakukan? mengapa penanganannya hanya diserahkan kepada ahlinya sedangkan dampaknya dipikul oleh masyarakat luas?

Jakarta terletak di dataran rendah dengan topografi yang landai. Menurut Otto Soemarwoto, pada waktu tidak banjir pun permukaan rawa bakau terletak di bibir jalan permukaan jalan. Beberapa sungai bermuara di dan sekitar Jakarta. Sungai Ciliwung malah mengalir di tengah kota. Karena topografi yang landai tersebut sungai tidak dapat mengalir dengan cepat ke laut. Aliran air sungai yang lambat dan letak Jakarta yang rendah mempermudah terjadinya banjir.

Sungai di Jakarta seperti Ciliwung alirannya berkelok. Suatu hal yang normal pada sungai di dataran rendah. Kelokan banyak menghambat aliran sungai sehingga waktu debit air besar, dan mudah meluap. Masalah ini secara sederahana diatasi dengan meluruskan alur sungai, secara teknis tidak sulit namun biaya sosialnya tinggi. Karena bentuknya yang berkelok sehingga aliran air lambat dan akibat lainnya banyak Lumpur yang mengendap sehingga terjadi pendangkalan sungai-sungai. Pendangkalan sungai diperparah oleh sampah yang banyak dibuang ke sungai.

Masalah pendangkalan sungai dapat dikurangi dengan mengeruk sungai dan membuat atau mempertinggi tanggul. Jika laju pendangkalan lebih tinggi daripada laju pengerukan maka ancaman banjir kian tinggi dan perlu terus mempertinggi tanggul. Hal itulah yang coba di jawab oleh pemprov DKI dengan bekerjasama dengan pemerintah Rotterdam Belanda untuk melakukan pengerukan. Namun laju erosi di DAS yang melalui Jakarta sangat tinggi dan membutuhkan pengerukan yang terus-menerus.

Saatnya pemprov mengubah cara berpikir dari pendekatan kuratif menjadi pendekatan preventif. Laju erosi yang tinggi salah satunya disebabkan daerah sempadan sungai di hilir banyak yang berubah fungsi menjadi perumahan. Menurut data KLH, selama lima tahun (2000-2005) perkembangan pemukiman di sekitar DAS Ciliwung bertambah rata-rata 27,71%. Sebagai gambaran perkembangan pemukiman di sekitar DAS Ciliwung tahun 2000-2005 dari daerah yang paling rendah konservasinya hingga yang tertinggi untuk daerah Jakarta Timur 14,1%, Jakarta Selatan 16,43%, Jakarta Barat 20,76%, Jakarta Pusat 30,35%, dan Jakarta Utara 58,39%. Bayangkan daerah Jakarta Utara yang merupakan daerah run off air hujan terakhir sebelum menuju ke laut, dipenuhi dengan hutan-hutan beton dan terus menerus terjadi konversi lahan khususnya di sempadan sungai. Tentunya air yang akan menuju ke laut akan semakin terhambat alirannya dan ancaman banjir akan semakin meluas.

Pemprov berargument konversi lahan di hilir disebabkan dinamika ibukota yang sangat tinggi sehingga membutuhkan lahan yang juga besar. Pemprov justru menyalahkan daerah hulu yang telah banyak berubah fungsi sehingga curah hujan yang mengalir ke hilir semakin tinggi.

Sebenarnya masalah konversi tersebut dapat dikurangi dengan menerapkan kebijakan mekanisme insentif dan disinsentif. Bagi perumahan yang sudah terlanjur berdiri di daerah sempadan sungai, maka pemprov harus memungut retribusi lingkungan. Retribusi lingkungan tersebut digunakan untuk memberikan kompensasi bagi warga yang membiarkan lahannya di sempadan sungai baik di hulu maupun di hilir tidak dijadikan lahan produktif. Dan pemprov tidak lagi memberi izin bagi pengembang yang ingin mendirikan bangunan di sempadan sungai atau daerah resapan air.

Pendekatan preventif lainnya adalah mengusahakan agar Jakarta mempunyai RTH minimal 30% sesuai dengan amanat UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Saat ini Jakarta baru mempunyai ruang terbuka hijau kurang dari 10% dan pada tahun 2012 baru menjadi 14%. Dalam berbagai kesempatan Gubenur menyatakan sulit bagi Jakarta mencapai RTH 30% karena 1% ruang terbuka berarti 650 Ha dan berarti juga seluas 6 kali lapangan monas.

Untuk memenuhi 30% Ruang terbuka hijau di ibukota, pemprov DKI hendaknya mengupayakan tata ruang yang lebih integral melibatkan kawasan sekitarnya Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur atau yang disebut JABODETABEKPUNJUR. Untuk menjaga daerah resapan air di hulu sungai, maka pemprov DKI Jakarta ikut membantu melestarikan situ atau danau di BODETABEKPUNJUR. Menurut catatan KLH terdapat beberapa kerusakan situ di sekitar Jakarta, yaitu Di Tangerang terdapat 45 situ dan 40 dalam kondisi rusak, Parung ada 24 situ dan 11 rusak, Kec. Leuwiliang ada 4 situ dan 2 rusak, Kec. Jasinga ada 19 situ dan 14 rusak, Kec. Cigudeg ada 14 situ dan 11 dalam kondisi rusak, Ciawi 2 situ dan 1 rusak, Cileungsi 12 situ dan 6 rusak, di Bekasi ada 16 situ dan 10 rusak.

Untuk menangani banjir dari aspek preventif pemprov DKI Jakarta sangat berkepentingan untuk melestarikan situ dan daerah sempadan sungai. Untuk itu hendaknya dibuat sebuah lembaga bersama antara 8 daerah tersebut untuk menanggulangi banjir.

Usaha mencegah banjir yang lain adalah dengan kampanye tidak membuang sampah sembarangan, membuat sumur resapan di rumah-rumah, atau menampung air hujan. Misalnya saja kampanye menampung air hujan. Setiap hari rata-rata masyarakat Indonesia membutuhkan air 250 liter atau 0,25 m3. Kampanye menampung air 1 m3 air setiap rumah dan gedung menampung 3 m3 ketika hujan dapat mengurangi air yang jatuh ke tanah dan menambah persediaan air masyarakat. Air hujan yang ditampung dapat digunakan untuk kebutuhan tersier dan juga sekunder seperti mencuci mobil, menyiram tanaman, mengepel dsbnya.

Namun kampanye tersebut disadari pemprov akan berakibat negative pada citra pemprov sendiri seperti hokum Newton III: ada aksi ada reaksi. Karena masyarakat sekarang tidak lagi bodoh. Kampanye tidak membuang sampah sembarangan akan ditanggapi oleh tuntutan fasilitas tempat sampah diberbagai tempat kepada pemprov. Padahal pemprov lebih senang meletakkan pot untuk mengusir PKL atau memperbagus tanam dibanding meletakkan tempat sampah. Karena pot lebih punya nilai yang tinggi untuk mendapat kalpataru dibanding tempat sampah. Membuat sumur resapan masyarakat akan ditanggapi dingin oleh masyarakat terutama masyarakat yang lahannya terbatas. Masyarakat justru akan balik bertanya, mengapa situ-situ di DKI banyak di konversi atau kenapa ruang terbuka hijau di DKI banyak dijadikan mall, kenapa rakyat yang harus memikirkan penyerapan air.

Exit mobile version