Kampung Nelayan secara administrative berada di kelurahan kapuk muara, kecamatan penjaringan, kotamadya Jakarta Utara. Tempat tersebut terkenal sebagai tempat pelelangan dan pelabuhan ikan serta tempat makan ikan bakar. Namun dibalik itu semua, kampong nelayan menyimpan persoalan
Bertahun-tahun Muara Angke menjadi ”tempat pembuangan sampah” Jakarta. Harapan nelayan sederhana. Mereka hanya ingin pemerintah menghentikan pembuangan limbah ke laut. Tidak hanya itu, ketika musim hujan datang banjir rob pun menghantui warga kampung nelayan. Banjir rob diduga sebagai dampak reklamasi di pesisir utara Jakarta.
Setiap hari kampung nelayan mendapat limpahan 1.400 meter kubik sampah, namun hanya 40 meter kubik saja yang dapat diambil oleh Suku Dinas Kebersihan DKI, sisa yang tidak terangkut itu akhirnya terbiarkan. Sampah rumah tangga kebanyakan berasal dari wilayah selatan Jakarta yang dibawa Sungai Ciliwung, sedangkan limbah industri dari Kali Angke.
Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air Kali Angke oleh BPLHD DKI Jakarta tahun 2005, ada beberapa indikator pencemaran limbah cair yang telah melebihi ambang batas, seperti phospat yang naik 34% dari ambang batas yang 0,5mg/L menjadi 0,67 mg/L.
Limbah jenis surfaktan meningkat drastis 154% dari ambang batas 0,5 mg/L menjadi 1,27 mg/L. Sedangkan untuk beberapa parameter pencemar lainnya seperti mangan, seng, sulfat, minyak dan lemak masih di bawah ambang batas, namun perlu diwaspadai keberadaannya.
Tidak hanya itu, Kampung Nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara membutuhkan bantuan agar anak-anak bisa bemain dan belajar dengan layak. Selama ini tempat bermain anak-anak berada diatas tumpukan sampah
Dibalik kampung nelayan terdapat Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Luas keseluruhan suaka ini 170,6 hektare, yang terbagi atas suaka margasatwa, hutan lindung dan Taman Wisata Alam Angke-Kapuk. Sementara SMMA sendiri luasnya hanya 25 hektare. kawasan hutan bakau seluas 25,02 hektare yang dihuni tak kurang dari 90 spesies burung. Pada tahun 2003, Birdlife International, organisasi pelestari burung, memasukkan kawasan Muara Angke sebagai daerah penting yang harus dilindungi.
Perkampungan nelayan di Muara Angke sudah ada sejak 30 tahun yang lalu. Saat ini terdapat sepuluh kelompok warga yang dipimpin seorang ketua warga. Tiap kelompok terdiri dari sekitar 200 hingga lebih dari 300 kepala keluarga (KK). Sebagian besar warga berprofesi sebagai nelayan atau penjual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke.
Pengelolaan kampung nelayan harus terpadu tidak hanya melihat dari aspek fisik tapi juga kearifan masyarakat local. “Perkampungan nelayan di Muara Angke sudah ada sejak 30 tahun lalu, saat ini terdapat sepuluh kelompok warga yang dipimpin seorang ketua warga dan tiap kelompok terdiri lebih dari 200-300 KK. Karena itu perlu memperhatikan kearifan masyarakat local”, ujarnya.
Kampung Nelayan nantinya merupakan satu paket dari wisata lingkungan di Jakarta. Pengelolaannya dapat mencontoh seperti kampung nelayan di Belanda dan Thailand. Bahkan kampung nelayan memiliki nilai lebih karena memiliki hutan mangrove dan perlindungan bagi burung. Ada 91 jenis burung, yakni 28 jenis burung air dan 63 jenis burung hutan, yang hidup di wilayah ini. Sekitar 17 jenis di antaranya adalah jenis burung yang dilindungi.
Jenis burung yang sering dijumpai antara lain adalah pecuk-padi kecil (Phalacrocorax niger), cangak (Ardeola spp.), kuntul (Egretta spp.), kareo padi (Amaurornis phoenicurus), mandar batu (Gallinula chloropus), betet biasa (Psittacula alexandri),merbah cerukcuk (Pycnonotos goiavier), kipasan belang (Rhipidura javanica), remetuk laut (Gerygone sulphurea) dan lain-lain. Beberapa di antaranya merupakan burung khas hutan bakau seperti halnya sikatan bakau (Cyornis rufigastra). Selain itu, SMMA juga menjadi rumah bagi perenjak Jawa (Prinia familiaris)