Latar Belakang Lahirnya KLHS
Semenjak diterbitkannya EU Directive (atau yang umum disebut sebagai SEA Directive) di Eropa pada tahun 2001, setiap negara anggota Uni Eropa diwajibkan melakukan KLHS (di Eropa dikenal dengan istilah Strategic Environmental Assessment/SEA) terhadap rencana dan program. Sedangkan di Asia, Workshop AMDAL se-Asia yang diselenggarakan pada tanggal 28 Mei – 2 Juni 2007 di Hanoi, diketahui bahwa hanya sebagian kecil negara di Asia yang tidak mengaplikasikan atau belum memiliki pilot project KLHS. Vietnam dan China setahap lebih maju dalam mewajibkan KLHS dan telah dilembagakan dalam peraturan perundang-undangan.
Pengembangan KLHS di Indonesia dimulai dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dijabarkan pengertian pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Untuk dimensi pembangunan di tingkat proyek, telah tersedia instrumen pencegahan pencemaran lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun instrumen ini belum memuat agenda keberlanjutan karena focusnya adalah pada upaya penangananan dan pengendalian dampak yang dimulai dari studi identifikasi, prakiraan dan evaluasi dampak akibat kegiatan proyek tersebut, sehingga penelitian terhadap daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan masih bersifat sektoral pada lingkup areal proyek tersebut. Padahal sesungguhnya perhatian terhadap daya dukung lingkungan seyogyanya tidak terbatas pada lokasi di mana sebuah kegiatan berlangsung, namun harus mencakup wilayah yang lebih luas dalam satu ekosistem. Dengan demikian, keseimbangan ekologis yang terwujud juga tidak bersifat lokal, namun merupakan keseimbangan dalam satu ekosistem.
Dua faktor utama penyebab munculnya KLHS di berbagai belahan dunia ialah :
1) KLHS mengatasi kelemahan dan keterbatasan AMDAL, dan
2) KLHS merupakan instrumen yang lebih efektif untuk mendorong pembangunan berkelanjutan (Briffetta et.al., 2003).
Tambahan lagi penilaian dampak kegiatan tidaklah cukup pada alokasi in-situ nya saja (di tempat proyek berlangsung) tetapi sampai dengan entitas fungsional dampak lanjutan yang dapat terjadi sehingga dimensinya berkembang menjadi satu wilayah. Oleh karena itu, AMDAL tidaklah cukup memadai menjadi instrument pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dengan dimensi kajian yang lebih luas meliputi aspek kebijakan, aspek regional, aspek programatik, maupun aspek sektoral dan berada pada hulu siklus tataran pengambilan keputusan. Pemikiran diatas menjadi salah satu dasar lahirnya Kajian Lingkup Hidup Strategis (KLHS).
Makna-makna di atas juga menunjukan ciri khas yang membedakan dengan instrumen pengelolaan lain, yakni misalnya dengan AMDAL. KLHS bergerak di “bagian hulu” yakni pada proses pengambilan keputusan (Kebijakan, rencana dan/atau program), sedangkan AMDAL dilakukan pada bagian hilir dari suatu daur pengambilan keputusan pembangunan, yaitu pada tingkatan proyek (kegiatan). KLHS keberadaannya tidak untuk menggantikan AMDAL, melainkan keduanya saling mendukung dan diperlukan untuk mewujudkan pembanguan berkelanjutan. Hal ini mengandung pengertian bahwa jika KLHS dilakukan dengan memadai, maka pelaksanaan AMDAL pun akan lebih jelas, dan dalam batas tertentu akan menjadi lebih mudah karena dampak yang bersifat sinergistik, kumulatif, tidak langsung dan berdampak berskala besar telah dikaji oleh KLHS pada tingkat kebijakan, rencana dan/atau program.
Perbedaan KHLS dengan AMDAL