Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP) atau Proyek Darurat Pengendalian Banjir Jakarta dan terakhir disebut juga sebagai proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI), akan segera dilaksanakan setelah memperoleh payung hukum melalui pengesahan dua Peraturan Pemerintah (PP) yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2006 dan PP No 54/2005.
PP No 2/2006 mengatur Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman yang direvisi menjadi PP No 10/2011 dan disahkan November 2011. PP No 54/2005 mengatur Pinjaman Daerah dan direvisi menjadi PP No 30/2011 pada Februari 2012.
Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP)- Proyek Darurat Pengendalian Banjir Jakarta ditujukan untuk berkontribusi terhadap perbaikan cara-cara pengoperasian dan pemeliharaan sistem pengelolaan banjir di Jakarta.
Tujuan dari JUFMP adalah secara umum adalah:
• Mengurangi dampak banjir tahunan di DKI melalui rehabilitasi dan pengerukan floodways, saluran air dan cekungan retensi, sesuai dengan standar praktik internasional.
• Memberikan keahlian teknis melalui pelatihan untuk memperkuat kapasitas pemerintah DKI untuk mengoperasikan dan memelihara sistem pengendalian banjir, sesuai dengan standar internasional.
Tujuan khusus dari Proyek adalah mendukung pengerukan saluran pengendali banjir, kanal dan waduk dari sistem pengelolaan banjir Jakarta dan membuang lumpur endapan ke fasilitas yang tepat dengan menggunakan cara-cara yang berkelanjutan (menitikberatkan pada koordinasi antar instansi dan keberlanjutan lingkungan dan sosial).
Dalam dokumen JUFMP, hasil model simulasi banjir menunjukkan bahwa untuk banjir seperti yang terjadi pada tahun 2007, maka pendekatan ini akan mengembalikan sistem pengendalian banjir ke sistem desain awal dan diperkirakan akan mengurangi sekitar 30% dari luas genangan banjir.
Peta proyek JUFMP
Melalui Proyek Darurat Pengendalian Banjir Jakarta, akan terjadi pengerukan 10 sungai, 1 kanal, dan 4 waduk. Ke-10 sungai yang akan dikeruk itu adalah Sungai Grogol, Sungai Sekretaris, Sungai Krukut, Sungai Cideng, Sungai Pakin, Sungai Kali Besar, Sungai Ciliwung, Sungai Gunung Sahari, Sungai Sentiong, dan Sungai Sunter. Empat waduk yang akan dikeruk adalah Waduk Melati, Sunter Utara, Sunter Selatan, dan Waduk Sunter Timur II. Sementara kanal yang akan dikeruk adalah Kanal Banjir Barat
. Pengerukan ini akan berpengaruh pada kehidupan 34.051 KK yang tinggal di sepanjang bantaran kali Ciliwung (Sumber: Kemenpera). Dari angka tersebut, jumlah yang terbesar adalah wilayah Srengseng Sawah (RW 02, 03, 04, 07, 08, 09, dan RW 19) dengan 8.791 KK, disusul oleh Kampung Melayu (RW 01, 02 03, 06, 07, dan 08) dengan 7.233 KK.
Selain dua wilayah tersebut, berikut adalah wilayah bantaran Sungai Ciliwung yang juga terdampak proyek JUFMP: Manggarai (RW 01, 04, dan 10) dengan 2.390 KK; Bukit Duri (RW 01, 09, 10, 11, dan 12) dengan 3.526 KK; Kebon Baru (RW 01 dan 04) dengan 264 KK; Cawang (RW 01, 02, 03, 05, 08, dan 12) dengan 1.623 KK; Cililitan (RW 07) dengan 441 KK; Pangadegan (RW 01 dan 02) dengan 270 KK; Rawa Jati (RW 01, 03, 06, 07, dan 08) dengan 3.521 KK; Pejaten Timur (RW 03, 05, 06, 09, dan 11) dengan 4.967 KK; Balekambang (RW 01, 02, 04, dan 05) dengan 363 KK; Gedong (RW 03, 07 dan 11) dengan 387 KK; dan Tanjung Barat (RW 01, 03, dan 05) dengan 275 KK.
Proyek ini merupakan program kerja sama Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia untuk menangani persoalan banjir di Ibu Kota Jakarta. Terdapat tiga pihak yang terlibat, yakni pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, dan Bank Dunia.
Pinjaman dari Bank Dunia untuk Proyek ini adalah Rp 1,35 triliun atau setara dengan 150,5 juta dollar AS. Pinjaman dibagi dua, yaitu pinjaman pemerintah pusat Rp 631 miliar (46,6 %) dan sisanya pinjaman Pemprov DKI Jakarta Rp 724 miliar (53,4%).
Menurut Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Stefan Koeberle, pendanaan untuk proyek lima tahun tersebut telah disetujui Dewan Direksi Eksekutif Bank Dunia pada 17 Januari 2012.
Untuk pengerukan 10 sungai, empat waduk dan satu kanal, volume lumpur galian yang memerlukan pembuangan diperkirakan sekitar 3,5 juta m3. Dari hasil pengerukan, sampah akan dibuang ke Bantar Gebang, bahan beracun berbahaya (B3) akan dibuang ke Cibinong dan lumpur akan dibuang ke Ancol.
Mengacu pada Kajian awal atas kualitas sedimen pada Agustus 2008 (dokumen JUFMP: Pemprov DKI Jakarta) yang menunjukan bahwa sedimen tidak merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan dianggap layak untuk dibuang ke fasilitas pembuangan laut, maka Pemerintah merencanakan pembuangan di Ancol. Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk Budi Karya Sumadi menyatakan siap menampung lumpur hasil pengerukan 11 sungai dan empat waduk dalam proyek penanggulangan banjir darurat Jakarta.
Normalisasi Sungai Ciliwung dan Relokasi Warga
Untuk tahun 2012, pengerukan diawali di wilayah sepanjang sungai Ciliwung. Untuk tahap pertama, penataan akan dilakukan di bantaran Sungai Ciliwung sepanjang Jembatan Kampung Melayu hingga Manggarai. Melalui penataan, Sungai Ciliwung akan dinormalisasi hingga lebar mencapai 50 meter.
Diperuntukan sebagai tempat relokasi, Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat akan membangun rusunawa di kawasan Berlan, Jakarta Timur di atas lahan seluas 20 Ha. Pembangunan 29 tower rusunawa, yang akan dimulai pada 2012 dan diharapkan selesai pada 2014, diperkirakan membutuhkan anggaran 9 Triliun.
Kerangka Kebijakan Pemukiman Kembali (KKPK)
Relokasi akan menggunakan Resettlement Policy Frameworks (RPF) atau kerangka kebijakan pemukiman kembali dari Bank Dunia. Kerangka Kebijakan Pemukiman Kembali (KKPK) akan menjadi panduan, yang berisikan prinsip-prinsip, prosedur-prosedur dan tatacara pengorganisasian.
KKPK sendiri merupakan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Dunia kepada Pempov DKI Jakarta untuk mendapatkan dana bantuan. KKPK merupakan pendekatan baru dalam proses relokasi atau “penggusuran” di Jakarta. Dengan KKPK ini, warga yang akan direlokasi diharapkan akan lebih terjamin hak-hak nya. Beberapa prinsip-prinsip dalam KKPK dapat dilihat sebagai instrumen yang lebih baik, dengan asumsi apabila semua prinsip-prinsip dapat terpenuhi.
Berikut adalah prinsip-prinsip dan kebijakan yang akan diterapkan pada mekanisme pemukiman kembali yang terkait dengan subproyek JUFMP :
1. Meminimalkan permukiman kembali, dengan cara mencari semua alternatif desain-desain proyek yang layak;
2. Jika permukiman kembali tidak dapat dihindarkan, maka Warga Terpaksa Pindah (WTPi) berhak untuk mendapatkan akses terhadap hunian yang memadai. Jika pemindahan berdampak terhadap pendapatan dan/atau kehidupan WTPi tersebut, maka kepada mereka akan diberikan bantuan selama masa transisi/peralihan, yang lamanya kurun waktu, jenis dan besarnya cukup untuk mengembalikan tingkat kehidupan mereka seperti kondisi semula.
3. Pilihan dan bantuan permukiman kembali akan direncanakan melalui konsultasi dengan WTPi. Konsultasi akan menggunakan komunikasi informasi dua arah antara staf JUFMP dan WTPi.
4. WTPi yang menempati tanah pemerintah atau tanah negara yang harus pindah karena JUFMP akan diberikan kesempatan bermukim di tempat yang legal sesuai ketentuan yang berlaku.
5. Dalam hal relokasi dilakukan secara berkelompok/grup, fasilitas publik dan prasarana masyarakat yang terkena proyek akan dibangun kembali di lokasi permukiman baru jika pada lokasi pemukiman baru belum tersedia fasilitas dan prasarana publik sejenis.
6. Informasi tentang anggaran yang digunakan untuk mendanai pelaksanaan KKPK ini akan diumumkan.
Terdapat pengakuan atas aspirasi warga dengan diaturnya proses konsultasi dalam semua tahap pengambilan keputusan dan fasilitasi desain alternatif sebagai upaya meminimalkan pemukian kembali. Pemaksimalan proses partisipasi juga dilakukan dengan mekanisme keterbukaan informasi melalui pengumuman tahapan proyek. Selain itu, modal sosial yang melekat pada kehidupan bersama warga juga difasilitasi dalam bentuk relokasi berkelompok. P
elaksanaan subprojek JUFMP akan membawa sedikit-banyak dampak bagi warga sekitar proyek (yang disebut sebagai Warga Terdampak Proyek – WTP). Untuk itu, diatur dalam dokumen JUFMP bahwa secara umum terdapat dua kategori WTP dalam KKPK, yaitu: (1) warga terkena sebagai akibat penguasaan kembali tanah negara atau tanah pemerintah; dan (2) warga terkena sebagai akibat pengadaan tanah yang berupa tanah milik.
Dari kajian singkat yang dilakukan pemerintah, terindikasi bahwa mayoritas warga yang berpotensi terkena dampak dalam pelaksanaan subproyek JUFMP adalah warga yang menempati tanah negara atau tanah pemerintah yang kemudian dikategorikan ke dalam empat kelompok, yaitu :
1. Warga yang memiliki dan menghuni bangunan hunian di atas tanah negara atau tanah pemerintah tanpa suatu hak legal
2. Penyewa hunian atau bangunan lainnya yang dibangun di atas tanah negara atau tanah pemerintah tanpa suatu hak legal
3. “Penyerobot”, yaitu warga yang memperbesar atau memperluas penguasaannya (tanah dan aset diatas tanah milik) dengan cara menyerobot tanah negara atau tanah pemerintah yang berdekatan/bersebelahan
4. Warga yang mengambil manfaat secara tidak sah dari sewa atas bangunan yang dibangun di atas tanah negara atau tanah pemerintah, tetapi tidak tinggal/menghuni bangunan tersebut.
Warga yang termasuk dalam dua kategori pertama dan kedua berhak untuk mendapatkan manfaat sesuai dengan KKPK. Sedangkan bagi yang masuk ke dalam kategori ke 3 dan 4, diatur bahwa tidak berhak mendapatkan manfaat apapun.