LainnyaLingkunganUncategorized

Islam dan Kebersihan atau Islam and Cleanliness

Ada juga aturan yang mencegah muslim dari kotor dan najis, karena Islam menyukai kebersihan. Dalam surah Al-Maa’idah ayat 6

6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Dalam surah Al-Muddatstsir ayat 4

4. dan pakaianmu bersihkanlah,
Adanya kewajiban sholat lima waktu sehari semalam merupakan bentuk Islam dalam memelihara kebersihan badan. Ibadah shalat baru sah kalau orang terlebih dahulu membersihkan diri dengan wudhu. Demikian juga ibadah tersebut baru sah jika pakaian dan tempat dimana melakukannya dalam keadaan bersih. Kebersihan jasmani seorang muslim tidak hanya menghilangkan najis, beristinja dan berwudhu saja, tetapi harus membersihkan badan secara menyeluruh dengan cara mandi. Membersihkan diri dengan mandi menjadi suatu kewajiban dalam rangka pelaksanaan ibadah manakala junub.

Selain itu, muslim dianjurkan mandi dalam hubungan dengan pelaksanaan ibadah tertentu, misalnya: Shalat Jum’at, Shalat Idul Fitri dan Idul Adha, Shalat Istiqa, Shalat Khauf dan Shalat Khusuf; orang yang usai memandikan mayat; orang yang baru menganut agama Islam; Orang gila atau orang pingsan yang baru sadarkan diri; orang yang akan memulai berihram; orang yang akan memasuki kota suci Makkah; orang yang akan wukuf di Arafah; orang yang mabit di Muzdalifah; orang yang akan melontar jumrah; dan orang yang akan thawaf. Dalam ajaran Islam, anjuran untuk mandi tidak hanya terbatas pada waktu dan keadaan tersebut di atas, tetapi mandi diajurkan pada setiap waktu badan berubah bau disebabkan keringat dan lain sebagainya

Aturan berwudhu dan mandi dalam Islam dengan menggunakan air yang bersih dan suci memberikan petunjuk bahwa kebutuhan air yang bersih adalah sesuatu yang mutlak dalam Islam. Karena itu, menjadi kewajiban muslim untuk memelihara sumber air bersih. Sumber air bersih terdapat di sungai, sumur, danau, situ, waduk, dan sebagainya.

Aturan yang indah mengenai kebersihan dalam Islam ternyata belum dijalankan optimal oleh segenap muslim khususnya di Indonesia. Terbukti sampah menjadi masalah utama di kota-kota di Indonesia. Misalnya saja Jakarta. Produksi sampah Jakarta mencapai 6000 ton (setara 29.966 m3) per hari dengan kondisi sampah yang belum terpilah. Sampah di DKI Jakarta diangkut oleh 757 truk sampah untuk dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Sisa sampah ± 2041 M³ yang tak terangkut menjadi masalah yang masih menunggu untuk segera diatasi. Penanganan sampah masih mengandalkan pola Sanitary Land Fill di Bantargebang yang rawan menimbulkan masalah dan tapping fee yang cukup mahal. Hanya ada satu Pusat Daur Ulang Kompos (PDUK) milik swasta sebagai pendukung. Bisa dibayangkan 10 tahun kedepan dimana peningkatan konsumsi masyarakat semakin tinggi, dan jumlah penduduk semakin banyak.

Aturan sederhana menjaga kebersihan saja belum bisa dijalankan oleh sebagian besar muslim. Sungai sebagai sumber air dijadikan tempat pembuangan sampah. Tokoh-tokoh agama atau ceramah-ceramah agama jarang sekali menyinggung masalah pengelolaan sampah. Masyarakat juga masih menganggap sampah sebagai suatu yang kotor dan harus segera dibuang jauh-jauh agar tidak menimbulkan bau.

Secara umum membuang sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mengakibatkan tempat berkembang dan sarang dari serangga dan tikus dapat menjadi sumber pengotoran tanah, sumber pencemaran air serta menjadi sumber dan tempat hidup kuman-kuman yang membahayakan kesehatan.

Dalam penanganan sampah, Indonesia perlu belajar dengan Negara lain, walaupun Negara tersebut mayoritas non muslim, misalnya (Zulkifli, 2014)
1. Belanda
Komisi Eropa telah membuat panduan dasar pengelolaan sampah yang diperuntukkan untuk negara-negara anggotanya, seperti Belanda, Swedia dan Jerman. Dalam penyusunan panduan itu melibatkan pemerintah, pengusaha, dan rakyat masing-masing negara. Kebijaksanaan Eropa itu kemudian diterjemahkan oleh parlemen negara masing-masing dalam bentuk perundang-undangan domestik, yang berlaku buat pemerintah pusat hingga daerah.

Sampai dengan abad ke-17 penduduk Belanda melempar sampah di mana saja sesuka hati. Di abad berikutnya sampah mulai menimbulkan penyakit, sehingga pemerintah menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah. Di abad ke-19, sampah masih tetap dikumpulkan di tempat tertentu, tapi bukan lagi penduduk yang membuangnya, melainkan petugas pemerintah daerah yang datang mengambilnya dari rumah-rumah penduduk. Di abad ke-20 sampah yang terkumpul tidak lagi dibiarkan tertimbun sampai membusuk, melainkan dibakar. Kondisi pengelolaan sampah di Negeri Kincir Angin (Belanda) saat itu kira-kira sama seperti di Indonesia saat ini.

Di Belanda, mereka memisahkan sampah menjadi: sampah organik, sampah yang bisa didaur ulang, sampah yang tidak berbahaya bila dibakar, dan sampah yang berbahaya/beracun. Pemerintah Belanda menyediakan tempat-tempat sampah sesuai jenisnya, sehingga memudahkan dinas pengelolaan sampah untuk mengolahnya. Sampah organik seperti sisa makanan ataupun daun-daunan kemudian diproses menjadi pupuk kompos. Sampah seperti kertas, kaca, dan logam bisa didaur ulang kembali. Sedangkan sampah yang tidak berbahaya dibakar untuk kemudian bisa membangkitkan pembangkit listrik tenaga uap. Sedangkan sampah berbahaya seperti batu baterai dan aki di karantina karena berbahaya bagi lingkungan atau sanitary landfill

2. Swedia
Pengelolaan sampah di Swedia selalu mengedepankan bahwa sampah merupakan salah satu sumber daya yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Dasar pengelolaan sampah diletakkan pada minimasi sampah dan pemanfaatan sampah sebagai sumber energi. Keberhasilan penanganan sampah itu didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat yang sudah sangat tinggi. Landasan kebijakan Swedia, senyawa beracun yang terkandung dalam sampah harus dikurangi sejak pada tingkat produksi. Minimasi jumlah sampah dan daur ulang ditingkatkan. Pembuangan sampah yang masih memiliki nilai energi dikurangi secara signifikan.

Sehingga, kebijaksanaan pengelolaan sampah swedia antara lain meliputi: Pengurangan volume sampah yang dibuang ke TPA harus berkurang sampai dengan 70 % pada tahun 2015. Sampah yang dapat dibakar atau combustible waste tidak boleh dibuang ke TPA sejak tahun 2002. Sampah organik tidak boleh dibuang ke TPA lagi pada tahun 2005. Tahun 2008 pengelolaan lokasi landfill harus harus sesuai dengan ketentuan standar lingkungan. Pengembangan teknologi tinggi pengolahan sampah untuk sumber energi ditingkatkan.

Kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat yang mengerti arti kebersihan dan energi, membuat Swedia menjadi negara maju dalam pengelolaan sampah. Dalam data statistik Eurostat, rata-rata jumlah sampah yang menjadi limbah di negara-negara Eropa adalah 38 persen. Swedia berhasil menekan angka itu menjadi hanya satu persen.

Swedia, negara terbesar ke-56 di dunia, dikenal memiliki manajemen sampah yang baik. Mayoritas sampah rumah tangga di negara Skandinavia itu bisa didaur ulang atau digunakan kembali. Satu-satunya dampak negatif dari kebijakan ini adalah Swedia kini kekurangan sampah untuk dijadikan bahan bakar pembangkit energinya.

Swedia kini mengimpor 800 ribu ton sampah per tahun dari negara-negara tetangganya di Eropa. Mayoritas sampah ini berasal dari Norwegia. Sampah-sampah ini sekaligus untuk memenuhi program Sampah-Menjadi-Energi (Waste-to-Energy) di Swedia. Dengan tujuan utama mengubah sampah menjadi energi panas dan listrik.

Norwegia, sebagai negara pengekspor, bersedia dengan perjanjian ini karena dianggap lebih ekonomis dibanding membakar sampah yang ada. Namun, dalam rencana perjanjian disebutkan, sampah beracun, abu dari proses kremasi, atau yang penuh dengan dioksin, akan dikembalikan ke Norwegia.

Sedangkan bagi Swedia, mengimpor sampah adalah pemikiran maju dalam hal efisiensi dan suplai energi bagi kebutuhan manusia. Membakar sampah dalam insinerator mampu menghasilkan panas. Di mana energi panas ini kemudian didistribusikan melalui pipa ke wilayah perumahan dan gedung komersial. Energi ini juga mampu menghasilkan listrik bagi rumah rakyatnya.

Sesudah Norwegia, Swedia menargetkan mengimpor sampah dari Bulgaria, Rumania, dan Italia. Selain membantu Swedia dalam menyediakan sumber energi, impor sampah ini juga menjadi solusi pengelolaan sampah bagi negara-negara pengekspornya.

3. Osaka, Jepang
Menurut Katsuya Tokurei (Kepala Bappeda Kota Osaki), di Kota Osaki pemilahan sampah dimulai sejak 15 tahun lalu dengan 25 jenis sampah yang dipilah. Pemilahan sampah diawali sejak keluar dari rumah, untuk mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA). Selama 8 tahun pemerintah secara konsisten menjelaskan kepada masyarakat mengenai pentingnya memilah sampah sejak dari dapur. Sampai akhirnya sekarang ini masyarakat Osaki selalu memilah sampah sejak dari dapur dan sekarang ditanamkan hal tersebut ke anak-anak sejak usia dini.

Sampah rumah tangga paling banyak menghabiskan tempat dan volume. Sedangkan sampah organik adalah sampah yang paling berat, paling sulit dibuang saat keluar dari rumah. Namun, sampah organik bila dipisah dapat menjadi sumber daur ulang dengan nilai ekonomis.

Menurut Tokurei, tahun 1998 lalu, sampah di Kota Osaki mencapai 4.382 ton setiap hari. Setelah masyarakat diberikan ilmu tentang pemilahan sampah, maka setahap demi setahap jumlah sampah mulai menurun. Tahun 1999, sampah yang dihasilkan tinggal 3.763 ton, tahun 2000 menurun lagi menjadi 2.393 ton, memasuki tahun 2001 jadi tinggal 1.700 ton. Dan terus menurun, hingga akhirnya tinggal nol dan 80 persen sampah di Kota Osaki dapat didaur ulang, dan yang masuk ke TPA tinggal 20 persen.

Berdasarkan informasi diatas pengolahan sampah diberbagai Negara yang notabenya bukan muslim lebih baik dari Negara muslim. Kondisi tersebut patut menjadi pemikiran bersama. Benarlah kata Rasulullah SAW, suatu saat umat muslim akan seperti buih di lautan, jumlahnya banyak namun tidak mampu memberikan pengaruh besar hanya menjadi rebutan bangsa-bangsa lain. Dengan bahasa lain, hanya menjadi follower bukan aktor utama. Wajar bila Allah belum memberikan kesempatan kepada umat Islam menjadi pemimpin dalam memberikan rahmat dimuka bumi, boleh jadi karena belum optimalnya umat Islam menjalankan ajaran agamanya.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button