Lingkungan

ILLEGAL FISHING

ILLEGAL FISHING

(Kritisi Strategi Dan Kebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan)

I. Pendahuluan

Indonesia adalah Negara kepulauan yang 67% wilayahnya terdiri dari laut dan sisanya daratan. Luas laut Indonesia 5,8 juta Km2 dan luas daratan 1,932 juta Km2. Indonesia juga memiliki pantai terpanjang no 4 di dunia setelah Kanada, USA, dan Rusia dengan panjang pantai 95.181 km. Jumlah pulau Indonesia 17.504 pulau (12.000 tidak berpenduduk, 6.702 belum bernama).

Kota dan kabupaten di Indonesia sebagian besar berada di daerah pesisir sekitar 67,5% yaitu 297 kota/kabupaten dari 440 kabupaten atau kota di Indonesia. Lebih dari 80% industri dan 75% kota besar berada di wilayah pesisir.

Data-data diatas menunjukkan bahwa posisi laut di Indonesia yang sangat strategis. Laut memegang peranan sangat penting bagi aktifitas bangsa Indonesia. Posisi tersebut dapat lebih berperan bila potensi sumberdaya laut dan perikanan kita cermati.

· Perikanan laut + 6,4 juta ton ikan/thn, perairan umum 4,95 juta ton/thn

· Potensi lahan budidaya tambak 1,2 juta ha, budidaya laut 8,4 juta ha, budidaya tawar 2,2 juta ha

· Dari 60 cekungan migas Indonesia, 70% berada di laut

· Cadangan minyak bumi 9,1 Milyar Barel di laut

· Potensi Jasa Kelautan berupa: transportasi laut, industri maritime, wisata bahari, dll

· BMKT (Benda Muatan Kapal Tenggelam)

· Energi alternative (ombak, angin)

Gambar 1. Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan[1]

II. Kondisi Kelautan Indonesia

Potensi Kelautan dan perikanan yang sangat besar belum termanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan sumber daya kelautan masih terbentur berbagai masalah fundamental, baik itu mutu sumber daya manusia Indonesia yang belum memadai, infrastruktur yang masih minim, dan kurangnya kesadaran pemimpin bangsa mengenai pentingnya laut. Kurangnya kesadaran tersebut terbukti dari RUU Kementrian Negara yang diajukan DPR dengan alasan efisiensi anggaran menghilangkan Departemen Kelautan dan Perikanan.

Rumitnya permasalahan Kelautan di Indonesia dapat dilihat di gambar bawah ini

Cloud Callout: Instrumental input: Pancasila, UUD 45, UU no 31/2004Oval Callout: Lingk strategic: Globalisasi, MDG, Liberalisasi WTO Eforia Reformasi dan Otda

Kondisi Saat

Ini

Oval Callout: Potensi: Luas 5,8 juta Km2 Pantai 95.181 Km Pulau 17.504 Ikan 6,4 juta ton/thText Box: Isu: • Kedaulatan • Kemiskinan • Pencemaran Lingkungan • Illegal Fishing • Industri Terpuruk • Daya saing rendah • Kesadaran pelaku • Konflik Horizontal

Text Box: Strategi Pertumbuhan Ekonomi Mengurangi Kemiskinan Mengurangi Pengangguran  Kebijakan Revitalisasi Perikanan, Industrialisasi Nasional, Berantas illegal fishing, bangun pulau terluar, tingkatkan daya saing, pemberdayaan masyarakat, meningkatkan riset, tingkatkan kualitas SDM

Gambar 2. Strategi dan Kebijakan Kelautan Indonesia[2]


Kondisi kelautan Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri tetapi juga oleh lingkungan global yang tertuang dalam Millenium Development Goal dan liberalisasi perdagangan WTO. Oleh karena itu strategi dan kebijakan pengembangan kelautan harus memperhatikan berbagai macam factor.

Pendekatan untuk melihat suatu masalah mengalami perkembangan. Pendekatan lama dalam melihat suatu masalah dipengaruhi oleh pendekatan linear yaitu pendekatan yang berdasarkan sudut pandang model rasional dalam menyelesaikan suatu masalah.[3] Menurut pendekatan linear suatu masalah disebabkan oleh suatu sebab yang mempengaruhinya, karena itu penyelesaian masalah sangat tergantung pada kemampuan kita mempengaruhi factor penyebab masalah. Pendekatan klasik dalam menyelesaikan masalah kelautan selalu mengacu pada kurangnya infrastruktur di bidang kelautan menyebabkan peran Indonesia di bidang kelautan yang diwakili Departemen kelautan tidak optimal.

Sedangkan pendekatan baru dipengaruhi oleh systems thinking yaitu pendekatan yang melihat suatu masalah secara menyeluruh (holistic). Menurut pendekatan ini masalah dianggap bersikap terbuka yaitu berinteraksi dengan lingkungannya baik internal maupun eksternal. Karena itu pendekatan ini dapat menjelaskan hubungan timbal balik antara berbagai variable permasalahan sehingga dapat diketahui pola perubahan yang terjadi,[4] misalnya masalah kelautan tidak hanya karena kurang infrastruktur tetapi juga dipengaruhi lingkungan global, regional, kondisi ekonomi, sosial masyarakat dan budaya masyarakat.

Analisis yang mendalam terhadap systems thinking akan menghasilkan suatu variabel yang menjadi pengungkit. Varibel pengungkit adalah variabel yang paling berperan dalam memperbaiki kinerja organisasi. Variabel pengungkit didapatkan melalui uji sensivitas. Uji sensivitas dilakukan dengan cara menambah atau mengurangi peran variabel pengungkit tersebut. Dalam masalah kelautan misalnya, ditetapkan variabel yang berperan memperbaiki peran Indonesia dalam kelautan adalah kurangnya sarana prasarana kelautan. Sarana prasarana yang minim seperti kapal pengawas atau patroli perlu ditambah agar potensi kekayaan laut Indonesia tidak dijarah bangsa asing atau illegal fishing. Apabila kapal pengawas atau patroli di tambah apakah potensi kelautan dapat teroptimalkan atau tetap biasa saja. Kalau tetap berarti penambahan sarana dan prasarana bukanlah variabel pengungkit sesungguhnya.

Makalah ini akan membahas efektifitas strategi dan kebijakan departemen kelautan dan perikanan terutama masalah illegal fishing dari pendekatan systems thinking.

III. Illegal Fishing

Masalah kelautan yang paling sering dibicarakan adalah illegal fishing. Ilegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan:

  1. yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  2. yang bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional
  3. yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Kegiatan illegal fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah:

  1. penangkapan ikan tanpa izin
  2. penangkapan ikan dengan izin palsu
  3. penangkapan ikan dengan alat tangkap terlarang
  4. penangkapan ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin

Negara yang sering melakukan illegal fishing di perairan Indonesia adalah Thailand, Filipina dan Cina.

Dampak illegal fishing

  1. Hasil tangkapan umumnya dibawa langsung ke luar negeri (negara asal kapal) sehingga mengakibatkan: hilangnya sebagian devisa negara, berkurangnya peluang nilai tambah dari industri pengolahan
  2. Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan karena hasil tangkapan tidak terdeteksi, baik jenis, ukuran maupun jumlahnya
  3. Subsidi BBM dinikmati oleh kapal-kapal yang tidak berhak
  4. Berkurangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBK)
  5. Peluang kerja nelayan Indonesia (lokal) semakin berkurang karena kapal-kapal illegal adalah kapal-kapal asing yang menggunakan ABK asing
  6. Merusak citra Indonesia di mata Internasional dan ancaman embargo terhadap hasil perikanan Indonesia yang di pasarkan di luar negeri karena kapal asing berbendara Indonesia menangkap ikan dengan cara-cara dan alat-alat yang merusak lingkungan.

Departmen Kelautan mencatat kerugian negara akibat Illegal Fishing pertahun Rp 30 Triliun.

IV. Strategi Dan Kebijakan Penanganan Masalah Illegal Fishing menurut DKP

Kendala yang dihadapi dalam penanganan masalah illegal fishing:

1. Lemahnya pengawasan:

a. masih terbatasnya sarana dan prasarana fasilitas pengawasan

b. SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dalam kuantitas

c. Belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan

d. Masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah

e. Belum berkembangnya lembaga pengawasan

f. Penerapan sistem MCS yang belum sempurna

2. Belum tertibnya perizinan

  1. pemalsuan izin
  2. penggandaan izin

3. Lemahnya Law Enforcement

a. wibawa hukum menurun

b. ketidakadilan bagi masyarakat

c. maraknya pelanggaran

Berdasarkan kendala di atas maka strategi penanganan masalah illegal fishing menurut Departemen Kelautan adalah

1. Optimalisasi Implementasi MCS (Monitoring, Controlling, Surveillancea) dalam pengawasan:

2. Pembentukan kelembagaan pengawasan di tingkat daerah

3. Meningkatkan intensitas operasional pengawasan baik dengan kapal pengawas Ditjen P2SDKP secara mandiri maupun kerjasama dengan TNI AL dan Polri

4. Operasional penertiban ketaatan kapal di pelabuhan

5. Pengembangan dan optimalisasi implementasi VMS

6. Pengembangan sistem radar pantai yang terintegrasi dengan VMS

7. Koordinasi dalam penanganan pelanggaran tindak pidana

8. Pelibatan masyarakat dalam pengawasan Sumber Daya Ikan melalui SISWASMAS

9. Pembentukan pengadilan khusus perikanan

V. Kritik Terhadap Strategi dan Kebijakan Illegal Fishing Depatemen Kelautan dan Perikanan

Kebijakan pemerintah orde baru yang lebih menekankan pertumbuhan dan mengabaikan pemerataan mengakibatkan kesenjangan social yang tinggi. Kesenjangan social yang tinggi seperti bom waktu yang setiap saat meledak ketika ada pemicunya. Krisis moneter sebagai pemicu bom waktu krisis multidimensi meledak pertengahan 1997.

Hasil penelitian LIPI membuktikan bahwa sebelum krisis terjadi 5000 orang Indonesia atau 0,02 persen dari penduduk Indonesia menguasai 30 persen perekonomian nasional. Penelitian Aris Ananta dkk (1995) menunjukkan bahwa pada tahun 1993, 40 persen (75,3 juta jiwa) lapisan masyarakat yang berpendapatan paling bawah (US$ 266) hanya menikmati 14,6 persen pendapatan nasional dan 40 persen (75,3 juta jiwa) lagi penduduk lapisan berpendapatan menengah (US$ 755) menikmati 41,52 persen pendapatan nasional, sedangkan 20 persen (37,7 juta jiwa) lapisan masyarakat berpendapatan tertinggi (US$ 2.592) menikmati 43,87 persen pendapatan nasional. Hasil analisa konsultan McKinsey berdasarkan potensi aset private banking (uang yang dimiliki nasabah secara personal) menyebutkan bahwa 64 ribu orang Indonesia menyimpan sekitar 257 miliar dolar Amerika di perbankan luar negeri. Ini berarti semakin ke depan, pembangunan ekonomi Indonesia malah semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial ekonomi.[5]

Pemerintahan di Negara berkembang memiliki gaya kepemimpinan yang hampir mirip, yaitu gaya kepemimpinan paternalistic.[6] Gaya kepemimpinan paternaslitic memiliki ciri-ciri:

a. Menganggap bawahan sebagai manusia yang tidak dewasa

b. Bersikap terlalu melindungi

c. Jarang memberi kesempatan bawahan untuk mengambil keputusan dan inisiatif.

d. Maha tahu

e. Jarang memberi kesempatan bawahan menembangkan daya kreatif dan fantasi

Gaya kepemimpinan tersebut berasal dari gaya kepemimpinan militer yang di kemas dalam suasana sipil. Pemimpin menganggap dirinya seorang bapak dan anggotanya adalah anak. Seorang bapak merasa tahu segalanya dan cenderung melindungi anaknya walaupun anak tersebut salah. Akibat gaya kepemimpinan paternalistic membentuk bawahan tidak mandiri dan lebih banyak menunggu kebijakan dari pusat. Untuk membangun ekonomi kuat orde baru memberikan banyak proteksi kepada beberapa perusahaan, subsidi kepada beberapa produk, melarang import barang-barang tertentu yang sudah di produksi di Indonesia agar industri tumbuh. Akibatnya muncul pengusaha lobi bukan pengusaha profesional[7]

Pemerintah menjadi “pasar” karena kebijakannya yang terlalu mencampuri kegiatan ekonomi. Sehingga pengusaha tidak berorientasi pada konsumen tetapi pada kemauan pemerintah karena pemerintah telah berubah menjadi pasar besar. Pengusaha beorientasi pada bagaimana melayani keinginan pemerintah bukan kehendak konsumen dan akibat lebih jauh produk yang berkembang di masyarakat bukan karena keprofesionalan pengusaha tetapi lebih karena keuletan pengusaha melayani pejabat.

Pada strategi dan kebijakan DKP terlihat bahwa pemerintah berusaha menjadi pasar kembali. Prioritas kebijakan pada pengadaan infrastruktur. Apabila infrastruktur sudah lengkap apakah dengan sendirinya illegal fishing akan berakhir atau justru ada modus baru kerjasama antar pengawas dan penangkap ikan illegal. Karena pada kondisi ini pemerintah menjadi pengawas yang kuat tetapi pelaku bisnis ikan dalam negeri tidak kuat sehingga kemungkinan terjadi kerjasama antara pengawas dan pelaku penangkapan ikan illegal dari luar negeri besar.

Pemberdayaan nelayan pesisir dan pengusaha ikan dalam negeri seharusnya merupakan program utama DKP. Apabila prioritas utama DKP memberdayakan nelayan dan pengusaha perikanan dalam negeri niscaya mereka sendiri yang akan menjadi penjaga bagi sumber mata pencahariannya. Pengadaan infrastruktur bagi nelayan, pemberian kredit berbunga ringan, dan pembinaan bagi nelayan akan membuat nelayan semakin berdaya.

Pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan melalui enam belas elemen, yaitu:[8]

1. Mendahulukan kepentingan umum: Porsi dari, dan tingkat kemana, kesiapan individu mengorbankan kepentingan mereka sendiri untuk kepentingan seluruh masyarakat. Sebagian kecil masyarakat menginginkan relokasi namun sebagian besar masyarakat menginginkan ganti untung, agar perjuangan efektif maka masyarakat korban Lapindo bersatu dan bulat suara menginginkan ganti untung.

2. Kesamaan nilai: Tingkatan dimana anggota masyarakat membagi nilai, khususnya ide yang berasal dari anggota masyarakat yang menggantikan kepentingan anggota dalam masyarakat.

3. Layanan masyarakat: Fasilitas dan layanan, mereka memelihara (pemeliharaan dan perbaikan yang dapat dipercaya), kesinambungan, dan tingkat akses semua anggota masyarakat pada semua fasilitas dan layanan.

4. Komunikasi: Dalam masyarakat, dan diantara mereka dan lingkungannya, komunikasi termasuk jalan, metode elektronika, media cetak, jaringan kerja, bahasa yang dapat saling dimengerti, kemampuan tulis baca dan keinginan dan kemampuan berkomunikasi secara umum.

5. Percaya diri: Contohnya suatu kesepahaman dimana masyarakat dapat memperoleh yang pernah diharapkan untuk dilakukan, sikap positif, keinginan, motivasi diri, antusiasme, optimisme, bergantung pada diri sendiri daripada sikap ketergantungan, keinginan untuk memperjuangkan haknya, menghindari sikap masa bodoh dan pasrah, suatu “visi” dari sesuatu yang mungkin.

6. Keterkaitan (politis dan administrative): Suatu lingkungan yang mendukung perkuatan termasuk bersifat politis (termasuk nilai dan sikap pemimpin nasional, hokum dan legislative) dan elemen administrative (sikap dari pegawai dan teknisi sipil, sebaik peraturan dan prosedur pemerintah), dan lingkungan hukum.

7. Informasi: Kemampuan untuk mengolah dan menganalisa informasi, tingkat kepedulian, pengetahuan dan kebijaksanaan yang ditemukan diantara individu dan dalam kelompok secara keseluruhan. Informasi lebih efektif dan berguna, tidak sekedar volume dan besaran.

8. Rintangan: Pengembangan dan efektifitas pergerakan (perpindahan, pelatihan manajemen, munculnya kepedulian, rangsangan) ditujukan pada perkuatan masyarakat? Apakah sumber peningkatan amal dari dalam dan luar meningkatkan tingkat kebergantungan dan kelemahan masyarakat, atau apakah mereka menantang masyarakat untuk bertindak sehingga menjadi lebih kuat?

9. Kepemimpinan: Pemimpin-pemimpin memiliki kekuatan, pengaruh, dan kemampuan untuk memindahkan masyarakat. Pemimpin yang paling efektif dan berkelanjutan adalah salah satu yang mengikuti keputusan dan keinginan masyarakat secara keseluruhan, mengambil peran yang memungkinkan.

10. Jaringan kerja: Tidak hanya “apa yang kamu ketahui” tapi “siapa yang kamu ketahui”. Apa peningkatan pada anggota masyarakat, khususnya pemimpin-pemimpin, mengetahui orang-orang (dan badan atau organisasi mereka) yang dapat menyediakan sumber yang bermanfaat yang akan memperkuat masyarakat

11. Organisasi: Tingkatan dimana anggota masyarakat yang berbeda melihat diri mereka sendiri sebagai masing-masing yang memiliki peran dalam mendukung keseluruhan (berbeda hanya menjadi kumpulan individu yang terpisah), termasuk integritas organisasi, struktur, prosedur, pengambilan keputusan, proses, efektifitas, divisi tenaga kerja dan kelengkapan peran dan fungsi.

12. Kekuatan politik: Tingkatan dimana masyarakat dapat berperan dalam pengambilan keputusan daerah dan nasional. Hanya sebagai individu yang memiliki kekuatan yang beragam dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kekuatan dan pengaruh yang beragam dalam daerah dan nasional.

13. Keahlian: Kemampuan, wujud dalam individu, yang akan membawa pada organisasi masyarakat dan kemampuan mereka untuk menyelesaikan apa yang mereka ingin selesaikan, kemampuan teknis, kemampuan manajemen, kemampuan berorganisasi, kemampuan mengerahkan.

14. Kepercayaan: Tingkat kepercayaan dari masing-masing anggota masyarakat tehadap sesamanya, khususnya pemimpin dan abdi masyarakat, dimana dalam hal ini merupakan pantulan dari tingkat integritas (kejujuran, ketergantungan, keterbukaan, transparansi, azas kepercayaan) dalam masyarakat.

15. Keselarasan: Pembagian rasa kepemilikan pada pihak yang diketahui (contohnya kelompok yang menyusun masyarakat), meskipun setiap masyarakat memiliki divisi atau perbedaan (agama, kelas, status, penghasilan, usia, jenis kelamin, adat, suku), tingkat toleransi anggota masyarakat yang berbeda dan bervariasi antara satu dan lainnya dan keinginan untuk bekerjasama dan bekerja bersama-sama, suatu rasa kesamaan tujuan atau visi, perataan nilai.

16. Kekayaan: Tingkat pengendalian masyarakat secara keseluruhan (berbeda pada individu dalam masyarakat) terhadap semua sumber daya potensial dan sumber daya actual, dan produksi dan penyaluran barang dan jasa yang jarang dan bermanfaat, keuangan dan non keuangan (termasuk sumbangan tenaga kerja, tanah, peralatan, persediaan, pengetahuan, keahlian)

Keuntungan memberdayakan masyarakat pesisir antara lain:

a. Membantu mengurangi angka kemiskinan

b. Memperkecil angka pengangguran

c. Membantu pemerintah mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi

d. Produktifitas semakin tinggi dan devisa negara dapat meningkat

e. Lingkungan terjaga kelestarian dan keseimbangannya karena masyarakat berkepentingan terhadap sumber daya alam

f. Masyarakat akan menjadi penjaga bagi lingkungannya. Apabila ada kapal yang melakukan illegal fishing masyarakat yang akan serta merta menjadi penjadi pengawasnya. Selama ini peran keamanan hanya di berikan pada AL sehingga masyarakat tidak merasa bertanggungjawab terhadap sumber daya ikan.

DKP jangan lagi mengulang kesalahan yang sama berkali-kali dengan menjadikan pemerintah sebagai ”pasar” dan kurang memperhatikan peran masyarakat. Akibatnya masyarakat menjadi lemah dan pemerintah tidak menjadi pelayan bagi masyarakat tapi ingin menjadi yang dilayani.

Pemberdayaan peran masyarakat dapat mencontoh pola Muhammad Yunus yang mendirikan bank Grameen di Bangladesh. Pada saat sekarang sulit mengharapkan bank mengucurkan kredit pada masyarakat bawah dan sektor riil. Oleh karena itu DKP harus punya strategi agar masyarakat mudah memperoleh kredit dan masyarakat diberdayakan agar dapat mengembalikan kredit.

Dari paparan di atas terlihat bahwa

1. Maksud dan tujuan pengelolaan lingkungan Illegal Fishing adalah

a) Agar sumber daya ikan yang dimiliki bangsa dapat seoptimal mungkin di berguna bagi bangsa Indonesia, meningkatkan devisa negara, meningkatkan peluang nilai tambah dari industri pengolahan.

b) Dapat menjaga kelestarian sumberdaya ikan karena illegal fishing menyebabkan hasil tangkapan tidak terdeteksi, baik jenis, ukuran maupun jumlahnya

c) Memberdayakan masyarakat pesisir sehingga angka kemiskinan dapat menurun, pengangguran berkurang, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi

2. Pendekatan ekosistem adalah terjadinya illegal fishing menyebabkan sumber daya ikan di Indonesia jauh berkurang. Kapal-kapal yang melakukan penangkapan ikan ilegal kerapkali juga menggunakan alat tangkap pancing yang tidak boleh digunakan atau menangkap spesies ikan yang tidak diperbolehkan oleh peraturan. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan populasi ikan menjadi jauh berkurang. Alat pancing seperti pukat harimau dapat menangkap ikan dari ukuran kecil hingga ukuran besar dalam skala yang sangat besar atau dengan kata lain dari anak ikan hingga induknya tertangkap sehingga spesies ikan terancam punah.

3. Pendekatan yang dilakukan dengan systems thingking, yaitu pendekatan yang melihat suatu masalah dari berbagai aspek dan kemudian memilih salah satu aspek sebagai pengungkit untuk diintervensi. Setelah di telaah ternyata faktor pemberdayaan masyarakat merupakan faktor pengungkit. Apabila masyarakat diberdayakan maka tujuan pengelolaan lingkungan dapat tercapai. Masyarakat diberikan peluang lebih besar untuk mengelola laut dan perikanan dengan cara:

  1. Memberikan kemudahan dibidang finansial dalam bentuk kredit berbunga ringan atau mencontoh model Bank Grameen yang di buat prakarsai Muhammad Yunus.
  2. Pembinaan masyarakat agar dapat menggunakan pinjaman dengan sebaik-baiknya
  3. Membina masyarakat agar mereka punya bargaining position dihadapan pembeli ikan dengan membantuk koperasi.

Apabila masyarakat pesisir berdaya, memiliki peralatan yang sama canggihnya dengan kapal illegal fishing maka masyarakat yang dengan sendirinya akan menjaga wilayah tangkapan mereka.

4. Pola pengambilan keputusan yang digunakan:[9]

  1. Efisiensi dan Efektifitas. Keputusan penanganan masalah illegal fishing harus berdasarkan efisien dan efektifitas. Efisien berarti keputusan yang dibuat merupakan keputusan terbaik dengan biaya terendah sedangkan efektifitas berarti keputusan tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai macam pilihan.[10] Keputusan untuk memberdayakan masyarakat pesisir harus merupakan keputusan yang efisien dan efektif. Dibanding keputusan pengadaan kapal pengawas, keputusan memberdayakan masyarakat membutuhkan biaya yang lebih murah. Dari berbagai macam pengalaman dan teori yang ada keputusan memberdayakan masyarakat merupakan keputusan yang efektif
  2. Kepatuhan Hukum. Keputusan harus menjadi mengikat dan dipatuhi semua pihak. Supaya tingkat kepatuhan tinggi maka perlu dibuat mekanisme yang mendorong semua pihak (stake holder) merasa memiliki hokum tersebut. Oleh karena itu jalur-jalur aspirasi harus dibuka seluas-luasnya kepada stake holder
  3. Akseptabilitas. Keputusan dapat di akses dan dievaluasi oleh semua pihak.
  4. Keragaman. Keputusan harus mencerminkan keanekaragaman kepentingan stake holder. Keragaman akan memperkaya proses pengambilan keputusan sehingga di dapatkan keputusan yang terbaik.

Beberapa teknik pengambilan:

1) Brainstorming.

Setiap anggot yang terlibat dalam analisis diberi kebebasan mengemukakan alternatif solusi yang mungkin bisa dipakai.

2) The Nominal Group Technique

Memberi rangsangan kepada anggota kelompok untuk memberi dan mengevaluasi informasi bagi pembuatan keputusan terutama oleh mereka yang akan terpengaruh oleh suatu alternative keputusan.

3) The Delphi Technique

Mendapatkan pendapat dari suatu panel ahli yang besar secara anonym. Pendapat tersebut dianalisis dan diberi umpan balik kepada panel. Cara ini diulangi berkali-kali sampai tercapai konsensus.


[1] Freddy Numberi, Bedah Masalah Pembangunan Kelautan dan Perikanan dalam Kerangka NKRI, Dep Kelautan dan Perikanan, 30/03/07

[2] Ibid

[3] Sutton, Rabecca. “The Policy Process: An Overview.” London:Overseas Development Institute, August 1999

[4] Azhar Kasim, Perubahan Pendekatan Ilmu Administrasi Publik dan Implikasinya Terhadap Studi Kebijakan, Jurnal Bisnis & Birokrasi No 3, Vol 9, September 2001, hal 39

[5] Hidayatullah Muttaqin, Mengguggat Kebijakan atas Indikator Makro Ekonomi, www.e-Syariah.ORG, 15/09/2003

[6] Wazri A.Afifi, Hand Out Kepemimpinan, UMJ Pascasarjana

[7] Tanri Abeng, Manajemen Lobi vs Manajemen Profesional

[8] Phil Bartle, PhD, Enambelas Elemen Kekuatan Masyarakat,www.googlesearch.com

[9] Raldy, Hand Out “Analisis dan Proses Pengambilan Keputusan”

[10] Stoner. A.F. James, Frreman, R.E, Gilbert, Management, Sixth Edition, Prentice Hall, Inc, 1995 p 9

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button