Lingkungan

HUBUNGAN EKONOMI DAN EKOLOGI atau The Relationship between Economy and Ecology

1. Harmonisasi Kepentingan Ekonomi dan Ekologi
….janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (al-Qashash/28:77)
Air mata itupun menetes sederas curahan hujan yang melanda ibu kota, Jakarta. Pria tua itu terus berusaha tersenyum walaupun terasa sulit, namun itu semua dilakukan sekedar untuk menghibur sang belahan jiwa yang menggigil kedinginan di tengah curah hujan dan luapan air yang semakin meninggi. Pria itu hanya bisa mengelus-elus dahi anaknya yang susah untuk tidur karena cuaca semakin buruk. Tatapannya kosong. Pikirannya melayang jauh dengan keluh kesah dalam hati “bagaimana harus menjalani hidup selanjutnya, sementara aset ekonomi telah musnah dihanyut banjir..?”
Demikian potret kepedihan yang dialami masyarakat ketika Jakarta dihantam banjir pada awal Februari 2007. Jakarta menjadi kolam besar yang menakutkan. Aktifitas kegiatan sosio-ekonomi terhambat, kerugian material tak terhitung dan sedikitnya 55 korban nyawa berjatuhan.
Jakarta sebagai daerah rawan banjir merupakan predikat yang sudah dikenal bahkan sejak zaman kolonial. Banjir merupakan keniscayaan yang dihadapi masyarakat Jakarta setiap kali tiba masa puncak hujan pada bulan-bulan Januari-Februari. Artinya, banjir saat ini bukan kali pertama, bahkan bisa dikatakan sebagai banjir kedua di pemerintahan yang sama. Namun, kenapa hal itu terus terjadi? Kenapa harus menjadi siklis lima tahunan yang sulit ditangani?
Dalam lima tahun terakhir, banyak pengamat mengatakan bahwa tidak ada perubahan yang mendasar dari kebijakan pemerintah dalam mengatasi bencana rutin ini. Banjir pada tahun 1996 dan 2002 tidak menjadi suatu pelajaran bagi pemerintah. Pembangunan yang berjalan tetap saja berperspektif ekonomi dengan memanfaatkan lahan untuk kemajuan investasi dan ekonomi semata, tanpa ada suatu kepedulian dan pandangan tentang lingkungan.

a. Menimbang antara Ekonomi dan Ekologi
Alam pada awalnya bergerak secara teratur sesuai hukum Allah (sunnatullah). Air mengalir dari hulu ke hilir, hujan turun secara wajar dan tanah bertugas menyerap curah hujan berapapun banyaknya. Alur ini adalah hukum Tuhan yang berjalan teratur kecuali ada perbuatan manusia yang merusak sistem yang sudah tertata tersebut.
Perbuatan manusia yang sombong, serakah dan melampauai batas dalam memanfaatkan alam menjadi faktor penentu kerusakan alam dan bencana. Manusia lupa, selain tugas mencari kepentingan ekonomi ada tugas lain yang mesti dilakukan oleh manusia, yakni menjaga kelestarian lingkungan (kebutuhan ekologis) (al-Baqarah/2:11).
Pertentangan antara kepentingan ekonomi dan ekologi semakin dirasakan Jakarta, misalnya, justru bertumpu pada satu kaki dominasi ekonomi atas ekologi. Lahan terbangun menjadi semakin luas seiring dengan semakin majunya kegiatan ekonomi di kota metropolitan ini. Pusat-pusat pertokoan, apartemen, perkantoran bahkan villa tumbuh subur sembari menafikan kebutuhan untuk menjaga lingkungannya.
Salah satu unsur dominan yang menyebabkan banjir adalah semakin berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) yang dimiliki Jakarta. Padahal kawasan ini teramat penting sebagai kawasan tangkapan dan resapan air. Semakin menyempitnya RTH didorong oleh semakin meluasnya alih fungsi kawasan tersebut dengan berbagai bangunan yang hanya berperspektif ekonomi semata, tanpa memerdulikan lingkungan.
Kawasan pertokoan, industri, apartemen terbangun dengan megahnya dengan harapan semakin meningkatnya kemajuan perekonomian. Namun, pada kenyataannya kegiatan itu hanya berorientasi pada ekonomi kelas menengah ke atas. Lahan konservasi di puncak Bogor, misalnya, yang menjadi salah satu penentu terjadinya banjir banyak didapati apartemen dan villa yang justru banyak dimiliki oleh para elite Jakarta.
Ketika banjir melanda justru kelas bawah yang paling merasai getahnya. Ketika banjir melanda kerugian tidak hanya pada sisi ekonomi tetapi juga kerugian jiwa. Kepentingan ekonomi tidak diraih justru kerugian material dan jiwa dialami. Kalau demikian manakah yang harus didahulukan antara kepentingan ekonomi dan ekologi ?
Dalam kajian ushul fikih kepentingan ekonomi masuk dalam kategori hifdzul mal (menjaga harta) sementara ekologi karena menyangkut keselamatan jiwa masuk dalam kategori hifdzun nafs (menjaga jiwa). Ketika hifdzul mal dan hifdzun nafs bertentangan maka yang didahulukan adalah hifdzun nafs. (Ar-Raisuny, Nadzariyyat al-Maqashid, hlm. 180) Dalam kasus ini, kepentingan ekonomi bisa ditangguhkan untuk kepentingan menyelamatkan alam dalam rangka menyelamatkan jiwa manusia.
Dalam kaidah fikih persoalan ini bisa masuk dalam pembahasan :
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظهما بارتكاب أخفهما
“Jika terjadi dua mafsadah yang saling bertentangan maka mafsadah yang lebih besar harus lebih diperhatikan dengan melaksanakn mafsadah yang lebih ringan” (Mahmud al-Hariri, Al-Madkhal ila al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, hlm. 95)
Ketika dua mafsadah bertentangan maka mafsadah yang lebih ringan ditolerir untuk dijalankan demi menolak mafsadah yang lebih besar. Dengan ini, menolak bencana ekologis harus didahulukan dari kepentingan ekonomi sebab kepentingan ekonomi bisa berjalan walaupun tanpa membangun sarana-sarana apartemen, mall dan villa. Apalagi kepentingan ini hanya merupakan kepentingan pribadi (al-mashlahah al-khas) yakni bagi segelintir pemodal. Sementara itu ketika bencana melanda maka jiwa secara umum menjadi terancam.
Karena itulah ada satu lagi kaidah fikih yang sesuai dengan persoalan ini :
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak mafasadat lebih diutamakan dari pada menggapai kemaslahatan” (Al-Suyuthy, Al-Asybah wa al-Nadzair, hlm. 62)
Dengan kata lain menolak munculnya bencana yang menjadi kemudharatan bagi jiwa manusia harus diprioritaskan daripada sekedar untuk memperoleh keuntungan dan manfaat ekonomi. Apalagi kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah kepentingan ekonomi kelas menengah ke atas, seperti pembangunan mall, apartemen, villa dsb.
Dengan demikian, mulai saat ini pemerintah harus bersikap tegas dalam memberikan lisensi atas kegiatan pembangunan kawasan komersial. Harus ada analisis dampak lingkungan (amdal) yang ketat sehingga ada jaminan tidak merusak lingkungan. Begitu pula lahan yang sudah terlanjur beralih fungsi harus disikapi dengan tegas. Apabila lahan tersebut nyata berpoteni besar sebagai kawasan resapan air maka mutlak harus dikembalikan dan dibongkar. Semua ini demi menolak mudharat yang lebih besar yang berupa banjir yang seakan menjadi rutinitas di setiap daerah di Indonesia.

b. Mengakhiri dilemma Ekonomi dan Ekologi
Ketidakseimbangan ekonomi dan ekologi menjadi salah satu faktor penentu bagi terjadinya bencana alam. Apabila kegiatan ekonomi masyarakat dengan melakukan eksploitasi alam secara terus-menerus tanpa mempedulikan dampak lingkungan maka tidak mustahil bencana demi bencana akan tetap menjadi rutinitas bangsa.
Alam memang diciptakan oleh Allah sebagai anugerah dan nikmah bagi manusia (al-Baqarah/2:29) Dengan alam manusia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, harus diingatkan bahwa posisi tersebut bukan menempatkan alam sebagai sesuatu yang layak untuk dieksploitasi secara berlebihan (QS: al-Hajj/22:32).
Qur’an sebenarnya telah mengingatkan dengan tegas.
وابتغ فيما آتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا, وأحسن كما أحسن الله إليك ولاتبغ الفساد في الأرض إن الله لايحب المفسدين
“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qashash/28/77)
Ayat ini memiliki suatau pemahaman untuk saling menghamoniskan antara kepentingan ekonomi dan ekologi. Manusia diperintahkan untuk mencari nafkah dengan sekuat tenaga tetapi juga ada perintah untuk memperindah lingkungan. Ayat ini menjadi suatu panduan untuk melakukan harmonisasi antara kepentingan ekonomi dan ekologi. Kepentingan ekonomi bukan hal yang harus dipertentangkan dengan kebutuhan ekologis.
Banjir Jakarta menjadi suatu pelajaran yang berharga bagi kota-kota di Indonesia yang mempunyai gairah besar untuk menjadi metropolitan. Pembangunan ekonomi tidak boleh menafikan kepentingan konservasi lingkungan. Ekonomi dan ekologi harus berjalan secara seimbang atau kita akan terus mengalami bencana yang tidak kunjung berakhir.

2. Perlunya Pemungutan Pajak Ekologi
Belum sepenuhnya masyarakat menyadari, bahwa banyak permasalahan pembangunan dan modernisasi kehidupan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, serta akan menuju kepada permasalahan sosial dan ekonomi dalam jangka panjang.
Seperti dijelaskan (Colby, 1990), dalam paradigma ilmu ekonomi di era sekarang, semakin disadari perlunya dipertemukannya kembali ilmu ekologi dan ilmu ekonomi. Ibarat sekeping mata uang, ekologi merupakan salah satu sisinya, dan ekonomi merupakan sisi lainnya. Keduanya bertolak belakang, tetapi saling berkaitan.
Setelah revolusi industri 1900-an, pelaku ekonomi perusahaan multinasional memberlakukan alam sebagai sumber daya yang tak terbatas, dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan manusia (M Baiquni, 2002).
Begitu halnya di negara kita, pengaruh ekonomi global dengan sistem kapitalis yang dianut negara-negara kreditor sangat memengaruhi pula sistem perekonomian dan investasi serta gaya hidup bangsa ini. Terjadilah pengolahan sumber daya alam yang berlebihan, perusakan hutan akibat ekploitasi sumber daya alam, dan makin banyaknya kendaraan bermotor di jalan-jalan.
Seperti yang terjadi pula baru-baru ini, yaitu kasus penyelundupan sebuah mobil mewah seharga Rp 750 juta dan masuknya puluhan jenis truk Scania yang tidak dilengkapi surat-surat lengkap di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Penyelundup dan pengguna kendaraan-kendaraan tersebut, tidak pernah berpikir panjang tentang kerugian yang akan diderita negara, serta dampak jangka panjang yang secara tidak sadar akan merugikan masyarakat kota Semarang. Kerugian yang akan diderita ialah, selain tidak adanya pendapatan dari sektor pajak, juga karena turunnya kualitas udara di kota akibat gas buang yang dihasilkan oleh puluhan truk tersebut.
Beberapa hari yang lalu, juga diberitakan tentang protes beberapa LSM di Belgia terhadap pembangunan sebuah gedung yang diyakini menggunakan kayu hasil impor dari hutan tropis negara kita. Kesadaran masyarakat Belgia perlu dicontoh oleh masyarakat kita, bahwa sudah sekian puluh tahun kayu-kayu di bumi Nusantara dibabat, dan itu sangat memprihatinkan.
Menurut catatan Depertemen Kehutanan, dalam waktu tiga tahun terakhir laju kerusakan hutan mencapai hampir tiga juta hektare per tahun. Kerusakan tersebut, ditimbulkan oleh aksi penebangan resmi dan liar.
Kawasan hutan yang rusak di Indonesia, kini mencapai 57 juta hektare atau hampir separo dari luas hutan permanen di Indonesia (Gatra, 2002).
Terkena Imbasnya
Kendaraan merupakan salah satu penghasil polusi terbesar di dunia, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan barang dan komersial. Keuntungan materi secara langsung, mungkin hanya dirasakan oleh pengguna atau pemilik kendaraan-kendaraan tersebut; tetapi di lain pihak, terjadi penurunan kualitas udara akibat dari gas emisi yang dihasilkan oleh kendaraan-kendaraan itu.
Dampak tersebut, harus dibayar dan dirasakan oleh semua masyarakat pengguna jalan, termasuk pejalan kaki, abang becak, dan pengendara sepeda yang notabene rata-rata berasal dari golongan berkemampuan ekonomi lemah. Mereka harus menanggung akibat dengan menghirup CO, C02, dan kandungan unsur kimia lain yang berbahaya bagi metabolisme tubuh. Kesemuannya dihasilkan oleh penurunan kualitas udara, akibat gas emisi yang berlimpah dari kendaraan-kendaraan tersebut.
Kita tengok besarnya pendapatan asli daetrah (PAD) pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang mencapai Rp 1,5 triliun, atau naik sebesar Rp 102,69 miliar dari Rp 1,4 triliun. Kenaikan pendapatan daerah tersebut, sebagian besar disumbang dari sektor pajak kendaraan, baik Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) maupun Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) (Wawasan, 12 Mei 2004).
Kenaikan pendapatan daerah dari sektor pajak kendaraan bermotor tersebut, menunjukan bahwa secara kuantitas jumlah kendaraan bermotor di provinsi ini terus meningkat. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor, juga secara otomatis akan meningkatkan jumlah gas emisi di provinsi ini. Penurunan kualitas udara, juga akan terjadi seiring dengan peningkatan kendaraan tersebut. Tidak semua orang bisa menikmati kemewahan atau fungsi kendaraan-kendaraan tersebut; tidak semua orang bisa menikmati pajak kendaraan tersebut; akan tetapi gas emisi yang dihasilkan oleh kendaraan-kendaraan itu harus dirasakan oleh hampir semua orang di provinsi ini.
Belum lagi bentuk ekplorasi alam yang hanya menguntungkan segelintir orang, dan efek kerusakan alam yang ditanggung oleh banyak orang yang tidak pernah mencicipi keuntungan tersebut. Tanah longsor, banjir, dan pemanasan global, merupakan akibat langsung dari ekploitasi dan ekplorasi alam yang tidak mengindahkan prinsip keberlanjutan.
Dari sekian banyak jenis pajak yang diberlakukan oleh Pemerintah, tidak ada satu pun yang dikhususkan untuk mengganti kerusakan udara, air, tanah, dan hutan akibat membanjirnya kendaraan (roda empat maupun roda dua).
Seperti kajian beberapa ahli lingkungan hidup, sekarang sudah saatnya para pengguna kendaraan menyisihkan sebagian uangnya untuk secara khusus membayar pajak ekologi, atau pajak yang dikhususkan untuk membiayai kerusakan ekologi akibat dampak langsung maupun tidak langsung dari penggunaan kendaraan, ekplorasi alam, dan kerusakan hutan.
Selain pengenaan pajak ekologi bagi pengguna jalan raya (kendaraan bermotor), pajak itu juga dikenakan kepada semua jenis kegiatan -baik yang menggunakan mesin maupun yang tidak- yang secara langsung maupun tidak langsung kegiatannya menghasilkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti kegiatan manufacture (pabrik), ekploitasi pasir sungai, serta pemanfaatan hutan bukan hutan produksi.
Pajak Ekologi
Sudah saatnya kita mendukung Pemerintah untuk memberlakukan kebijakan yang berpihak kepada lingkungan dan masyarakat umum demi mengurangi efek negatif akibat gas emisi dan kerusakan lingkungan lainnya.
Pemberlakuan pajak ekologi atau pemungutan pajak tambahan bagi semua aspek yang memengaruhi rusaknya lingkungan, baik penurunan kualitas udara, air, tanah, maupun hutan, sudah saatnya dikaji untuk diimplementasikan. Dengan kontrol ketat dari wakil rakyat, pajak tersebut hanya diperuntukan untuk memperbaiki kerusakan alam akibat campur tangan manusia, seperti penurunan polusi udara.
Pajak ekologi dipakai untuk pembuatan hutan kota dan biaya peningkatan kontrol emisi, serta pembuatan jalur-jalur khusus pejalan kaki dan pemakai sepeda. Terhadap penurunan kualitas air dan cadangan air, pajak ekologi dipakai untuk menambah pusat penampungan dan penjernihan air, serta subsidi bagi pembuatan sumur resapan di rumah-rumah penduduk yang kurang mampu.
Terhadap penurunan kualitas tanah akibat penambangan liar dan ekplorasi atas kandungan tanah, pajak ekologi digunakan untuk merehabilitasi kawasan yang rusak dan membuka lapangan kerja baru bagi pekerja-pekerja kasar di pertambangan tersebut.
Terhadap kerusakan hutan, pajak ekologi digunakan sebagai modal awal pembuatan hutan produksi. Sudah saatnya di setiap provinsi memiliki hutan produksi sendiri, yang bertujuan untuk memenuhi permintaan kayu bagi daerahnya dan kebutuhan ekspor.
Pajak ekologi diberlakukan seperti halnya pajak biasa, akan tetapi hanya dipungut dari sektor-sektor usaha, kegiatan, dan penggunaan yang -secara langsung atau tidak- dapat menurunkan kualitas alam; seperti pemungutan pajak ekologi bagi pengguna kendaraan bermesin, yang dimulai dari kendaraan roda dua dan seterusnya. Pemberlakuan pajak, dibebankan secara berimbang; semakin mahal kendaraan yang digunakan, semakin banyak pajak yang dibebankan. Hal itu juga harus mempertimbangkan besarnya efek gas buang dari kendaraan tersebut; semakin besar persentase gas emisi yang terbuang, semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan kepada Pemerintah.
Pajak ekologi juga dipungut dari perusahaan penghasil limbah udara, cair, maupun padat. Jenis pajak ekologi itu, lepas dari pajak-pajak yang sudah dipungut sebelumnya.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button