I. REGULASI
a) UU No 30 tahun 2007 tentang Energi
Pasal 2 Energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional.
Pasal 25 juga mengatur perihal penghematan energi. Semua sektor penyedia dan pengguna energi perlu melakukan upaya diversifikasi dan penghematan energi guna mencapai keamanan energi nasional.
b) Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Dalam peraturan tersebut, pada tahun 2025 konsumsi minyak bumi diharapkan turun menjadi 20%, gas alam naik menjadi 30%, batubara naik menjadi 33%, sedangkan energi baru dan terbarukan naik menjadi 17%. Target capaian energi terbarukan pada Perpres tersebut (yakni 15%) cukup maju dibandingkan dengan negara tetangga seperti Australia yang hanya 6% pada tahun 2029-2030 [Australia’s Energy Outlook, 2006], sedangkan India mentargetkan kontribusi tenaga air dan nuklir sebesar 11,8% pada tahun 2031-2032 [WEC, 2006].
c) Instruksi Presiden No 10 Tahun 2005 Tentang Penghematan energy.
Inpres tersebut berisi mengenai perlunya langkah-langkah penghematan energy dilingkungan pemerintah khususnya mengenai penerangan dan alat pendingin ruangan (AC) pada gedung pemerintah, peralatan yang menggunakan energi listrik, dan kendaraan dinas
d) Instruksi Presiden No 2 Tahun 2008 Tentang Penghematan energy dan air.
Hampir sama dengan Inpres no 10 tahun 2005 hanya saja ada tambahan mengenai pembentukan tim nasional penghematan energy dan air yang diketuai oleh menteri coordinator bidang perekonomian.
e) Surat keputusan bersama (SKB) lima menteri untuk pengoptimalan beban listrik
melalui pengalihan waktu kerja pada sektor industri di Jawa-Bali. SKB yang mulai diberlakukan pada 21 Juli 2008 itu ditandatangani Menteri Dalam Negeri (Mardiyanto), Menteri Energi Sumber Daya Mineral (Purnomo Yusgiantoro), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Erman Suparno), Menteri Negara BUMN (Sofyan Djalil), dan Menteri Perindustrian (Fahmi Idris). Melalui SKB tersebut, sektor industri diminta memindahkan sebagian hari kerja ke hari libur (Sabtu dan Minggu) selama dua hari setiap bulannya. Ini dimaksudkan untuk mengalihkan beban puncak listrik yang selama ini terjadi pada hari kerja biasa
II. MENGHEMAT BUKAN MEMBATASI
Penghematan energi tentu berbeda dengan mengurangi konsumsi energi karena pada penghematan energi output yang dihasilkan tetaplah sama. Artinya, ketika penghematan energi dilakukan jumlah energi yang digunakan lebih efisien dibandingkan sebelum penghematan energi dilakukan. Sedangkan pembatasan energi adalah memangkas konsumsi energi yang sangat mungkin berakibat kepada menurunnya output yang selama ini dihasilkan. Dapat juga dikatakan bahwa pada kebijakan pengurangan konsumsi energi tidak dilakukan proses peningkatan efisiensi sumber energi yang digunakan sehingga jumlah energi yang lebih sedikit akan menghasilkan output yang lebih sedikit dibandingkan sebelumnya.
III. INDONESIA LUMBUNG ENERGI
Kemajuan suatu bangsa membutuhkan dukungan ketersediaan energi. Sebagai contoh, Amerika yang dianggap sebagai negara “super power” mengkonsumsi 21,4% energi dunia, sedangkan China, Jepang, dan Indonesia berturut-turut sebesar 15,6%, 4,8%, dan 1,1% energi dunia pada tahun 2006 [BP, 2008]. Kemajuan peradaban dunia menyebabkan kenaikan konsumsi energi dari 6.128 Mtoe di tahun 1972 menjadi 11.435 Mtoe (Juta ton setara minyak) di tahun 2005 [IEA, 2007]. Peningkatan kebutuhan energi di satu sisi dan keterbatasan pasokan energi konvensional di sisi lain, memunculkan isu keamanan energi (energy security) di berbagai negara di dunia.
Dilihat dari ketersediaan dan produksi energi fosil (minyak bumi, batubara, dan gas alam), Indonesia termasuk salah satu lumbung energi dunia. Betapa tidak, pada tahun 2006 kita memproduksi minyak bumi sebesar 1.071.000 barrel minyak per-hari (setara dengan 51,9 Juta ton minyak per-tahun); gas alam sebesar 66,6 Juta ton setara minyak; dan batubara sebesar 119,9 Juta ton setara minyak [BP, 2008]. Sedangkan pada tahun yang sama kita hanya mengkonsumsi bahan bakar fosil sebesar 112 Juta ton setara minyak (minyak bumi, gas, dan batubara berturut-turut sebesar 48,7, 35,6 dan 27,7 Mtoe) [BP, 2008]. Negara kita hanya mengkonsumsi sekitar 47% bahan bakar fosil yang dihasilkan dari bumi Ibu Pertiwi
Indonesia tidak berdaulat penuh atas sumber daya energi yang dimilikinya. Jangan terkecoh dengan angka-angka produksi bahan bakar fosil nasional di atas, karena 48,4% gas dan 76,3% batubara kita dijual ke luar negeri [IEA, 2007]; dan tak ketinggalan pula, 41,3% minyak bumi kita juga diekspor [DESDM, 2006]. Sebagian dari ekspor tersebut diikat dengan kontrak jangka panjang. Kita justru mengekspor energi yang murah yakni batubara dan gas, tetapi mengimpor energi yang mahal yaitu BBM atau minyak mentah. Maka tidak “aneh” manakala terdengar goncangnya industri lokal akibat ketiadaan pasokan gas alam. Ya, disadari ataupun tidak, “kita” lebih mementingkan keamanan energi bangsa lain dibandingkan dengan bangsa sendiri; meski hal tersebut mungkin muncul akibat pilihan bisnis semata. Hal tersebut diperparah dengan kurangnya diversifikasi sumber energi, kekeliruan managemen, dan watak “Kurawa” dari sebagian oknum yang pada akhirnya menyengsarakan rakyat.
Misalnya kasus LNG Tangguh, Negara akan dirugikan miliaran dolar dalam jangka waktu 25 tahun dalam kontrak penjualan LNG Tangguh ke empat Negara yakni CNOOC (Fujian, (China), Sempra (AS) (sudah dialihkan kontraknya dan berhasil di jual USS20 perjuta Btu), K-Power dan Posco (Korsel)). Kontrak penjualan LNG Tangguh merupakan tragedy nasional karena harga LNG Tangguh dipatok sangat murah yaitu US$3,35 per juta Btu (British thermal unit) dengan asumsi harga minyak di batasi maksimal US$38 perbarel. Pakar Perminyakan nasional Kurtubi menyarankan kontrak LNG Tangguh dibatalkan saja walau harus bayar denda US$300 juta daripada rugi miliaran dolar dalam 25 tahun
IV. PENGHEMATAN MENYELURUH
Dalam BluePrint Pengelolaan energy nasional 2005-2025, pemerintah berkomitmen untuk menjamin penyediaan energy untuk kepentingan nasional dengan kebijakan utama meningkatkan kemampuan pasokan energy dan mengoptimalkan produksi energy serta efisiensi pemanfaatan energy.
Efisiensi pemanfaatan energy tidak hanya terkait pada masalah konsumsi tetapi juga menyeluruh meliputi produksi, konversi energy dan diversifikasi energy.
Langkah-langkah efisiensi pemanfaatan energy ini menjadi mutlak. Dimulai dari yang paling dasar adalah konversi minyak tanah ke gas. Kegagalan konversi selama ini harus dievaluasi menyeluruh untuk kemudian dibuat langkah baru yang lebih strategis sehingga bisa diterima masyarakat. Konversi ini bisa menghemat Rp 22 triliun per tahun.
Dalam skala yang lebih besar adalah konversi BBM ke biofuel. Jika itu segera dilakukan, maka konsumsi minyak akan menurun signifikan sehingga akan terjadi pula penghematan BBM. PLN sebagai perusahaan listrik juga perlu diversifikasi energi yakni ke sumber energi lain seperti batu bara, panas bumi, dan nuklir.
Penghematan juga bisa dilakukan dengan pembenahan transportasi, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Kemacetan sepanjang puluhan kilometer yang terjadi tiap hari jelas memboroskan BBM. Untuk itulah diperlukan angkutan umum yang massal dan nyaman. Busway menjadi salah satu angkutan yang representatif. Karena itu tak perlu grogi menghadapi orang-orang kaya di Pondok Indah yang tidak setuju busway.
a. Progam lampu hemat energy:
Tahun 2004 lalu, ketika PLN mulai mengenalkan program lampu hemat energi dan menjualnya pada harga Rp 19.000, yang terjual hanyalah 300.000 buah lampu. Padahal pelanggan PLN mencapai 30 juta dan diperkirakan ada 120 juta titik lampu. Agar target tercapai PLN seharusnya memberi diskon yang lebih besar lagi, bahkan kalau memungkinkan subsidinya Rp 12 ribu per buah lampu, sehingga pelanggan hanya membeli lampu hemat energy pada harga Rp 3 ribu. Subsidi yang besar ini tidak akan merugikan PLN karena hanya akan memaksa BUMN itu mengeluarkan dana Rp 240 miliar. “Dana itu masih jauh lebih kecil dibanding kalau PLN harus membangun pembangkit berkekuatan setara listrik yang dibutuhkan untuk menyalakan 20 juta titik lampu 40 watt. Rencananya PLN akan membangun PLTU Tanjung Jati B dengan kapasitas 600 MW yang bakal menghabiskan investasi US$ 2,5 miliar. K
euntungan lain yang bakal diperoleh Indonesia, produsen-produsen lampu akan berinvestasi di Indonesia untuk memproduksi lampu hemat energi. Kalau permintaannya masih rendah seperti saat ini, Indonesia malah akan menguntungkan Cina, sebagai sentra produsen lampu hemat energi Asia Pasific saat ini. Sebagai catatan tambahan, 80 persen konsumsi lampu hemat energi yang dikonsumsi Indonesia pada tahun 2002 masih didatangkan dari Cina. Mereka masuk secara legal maupun ilegal.
b. KONSUMSI
Untuk GDP (gross domestic product) US$1 juta saja kita butuh energi 470 ton oil equivalent (toe). Bandingkan dengan Jepang yang untuk setiap US$1 juta GDP-nya hanya membutuhkan 92,3 toe, hanya seperlima dari yang dibutuhkan Indonesia. Bahkan jika dibandingkan negara-negara tetangga pun Indonesia masih juga tergolong boros, Malaysia, ujarnya, hanya membutuhkan 315 toe untuk US$1 juta GDP-nya dan Thailand 385 toe.
Peningkatan taraf kehidupan
Masalah pada konsumsi energi tidak hanya terkait dengan lampu atau barang yang hemat energi tetapi taraf kehidupan yang semakin meningkat juga membutuhkan energi yang meningkat, misalnya saja kita sekarang memakai minimal 1 buah hp, lalu juga memiliki laptop dan iPod yang perlu dicharge. 5-10 tahun lalu itu semua mungkin barang langka. AC sekarang juga semakin hemat energi dan murah. Karena itu kita juga malah memasang AC dimana-mana, ditempat yang jarang dipakai juga. Akhirnya pengeluaran malah lebih banyak. Jadi taraf hidup yang semakin tinggi akan memerluakan energi yang lebih tinggi lagi.
Sikap hidup pragmatis
Selain pelupa dan abai, kita juga tergolong pemalas. Dalam memasak nasi, misalnya, sekarang orang lebih mengandalkan magic jar. Entah bagaimana ceritanya, rakyat bangsa ini telah dengan sadar mengimpor dan menggunakan berjuta-juta magic jar untuk menopang gaya hidup malasnya. Dalam Fenomena Magic Jar betapa setiap hari rata-rata penduduk Indonesia diperkirakan mengonsumsi tidak kurang 12 giga watt hour (GWh) daya listrik hanya untuk memanaskan nasi (Trust, 30/5/2005).
Sering kali magic jar itu dibiarkan hidup 24 jam dalam sehari hanya untuk memanaskan sekepal nasi hingga menguning dan kering. Sementara itu, di Filipina, Thailand, dan beberapa negara ASEAN lainnya, penduduknya masih tetap menggunakan rice cooker yang hanya dihidupkan seperlunya.
V. EFEKTIFITAS KAMPANYE HEMAT ENERGI
Target penghematan energi nasional yang telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mudah direalisasikan. kesulitan itu terjadi pertama-tama adalah budaya hemat energi di masyarakat masih amat memprihatinkan.Kedua, sosialisasi pemerintah yang mengajak hemat energi masih bersifat sporadis dan insidentil, sehingga gagal membangkitkan kepedulian masyarakat. Kalaupun penghematan dilaksanakan, lebih karena terpaksa. untuk mencapai target penghematan sampai 30 persen, butuh contoh nyata dari pemerintah. Dari target itu, porsi penghematan pemerintah harus lebih besar agar bisa dicontoh oleh masyarakat. Para pejabat tidak lagi ikut-ikutan mengonsumsi BBM bersubsidi dan pemakaian alat penyejuk ruangan (AC) diminimalisir dengan pengaturan suhu tertentu.
Yang paling penting adalah pengawasan. Pertanyaannya, siapa yang mengawasi program penghematan ini? Siapa yang menegur pengelola bangunan pemerintah yang tidak menjalankan penghematan. Kalau hanya sebatas imbauan, target penghematan energi bakal sulit dicapai.