Menurut Departemen Kehutanan (1989) hutan adalah suatu ekosisitem yang bercirikan liputan pohon yang cukup luas, baik yang lebat atau kurang lebat. Hutan berisikan lebih dari sekadar kayu bundar untuk kayu lapis atau perabot rumah yang diekspor. Hutan juga memuat hasil-hasil luar kayu, seperti buah-buahan, bahan serat, tumbuh-tumbuhan obat dan plasma nutfah untuk berbagai kebutuhan hidup, Hutan adalah pula rumah tempat permukiman dan sumber kehidupan spiritual masyarakat tradisional lokal. Hutan adalah penadah hujan pencegah banjir di musim hujan dan penyimpan air untuk musim kemarau. Hutan adalah pula penyerap asap pencemar karbon dan pelepas udara bersih. Hutan punya fungsi ekologi terdiri dari macam-ragam ekosistem sebagai tempat hunian tumbuh-tumbuhan dan hewan,serta fungsi social budaya sebagai sumber inspirasi bagi para seniman. Hutan juga punya fungsi ekonomi, memberi bahan bagi industri kayu, menjadi sumber devisa, membuka lapangan kerja dan menaikkan pendapatan nasional.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropis selain Brazil dan Kongo. Luas kawasan hutan Indonesia mencapai 108,5 juta hektar, nomor dua terluas di dunia (Departemen Kehutanan, 2001). Ada tiga blok utama hutan tropis dunia, yaitu: Hutan hujan Amerika: pusatnya di Dataran Amazone; Indo-Malaya: Indonesia, Papua New Guniea, Malaysia, Thailand, Indo-China, Philipina; Hutan Hujan Afrika: Pusatnya di Dataran Kongo
Hutan Tropis Indonesia memiliki berbagai macam kekayaan, antara lain; jumlahnya hanya 14% di permukaan bumi, hidup lebih dari 400 spesies pohon dipterocarps, 25.000 tanaman berbunga. Indonesia tergolong nomor satu di dunia untuk keanekaragaman mamalia (dengan 515 spesies), nomor satu untuk keanekaragaman kupu-kupu (dengan 121 spesies), nomor tiga untuk reptil (dengan 600 spesies), nomor empat untuk burung-burung (dengan 1.519 spesies), nomor lima untuk amfibi dengan (270 spesies), dan nomor tujuh untuk tanaman berbunga menurut “Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati” yang disusun Bappenas dalam hutan hujan tropis Indonesia.
Namun ada berbagai kendala untuk memanfaatkan kekayaan hutan tropis Indonesia yaitu kurang dari 1500 taksonomi yang mempunyai skill dibidang ini berasal di luar daerah tropika, studi hutan tropik masih terbatas dan akibat deforestasi 90 spesies baru punah dan 294 spesies flora dan fauna terancam punah.
Menurut catatan WWF, Laju Deforestasi Tahun 2002 mencapai lebih 2,2 juta ha dan Tahun 2003 mencapai lebih 3 juta ha. Bahkan WRI (World Resources Institute) pada tahun 1997 menyebutkan bahwa Indonesia telah kehilangan 72% hutan alamnya. Padahal hingga tahun 1982-1990 laju deforestasi di Indonesia baru mencapai 1,3 juta ha per tahun dengan rincian:
Menjadi karet dan kelapa sawit 160.000 ha/tahun
,
Transmigrasi dan infrastruktur 300.000 ha/tahun,
Perladangan berpindah 300.000 ha/tahun,
Kebakaran hutan 100.000 ha/tahun,
Pengaruh kebakaran hutan di Propinsi Kalimantan Timur 1982-1983 hingga mencapai 3,5 juta ha,
Dan lain-lain (transmigrasi spontan, pertambangan, dsb) mencapai 77.000 ha/tahun.
Dalam rangka mengelola hasil hutan secara optimal, pemerintah RI telah membagi kawasan hutan menjadi beberapa kategori atau status, yaitu hutan produksi (37%), hutan lindung (33%), kawasan konservasi alam (12%) dan sisanya (18%) merupakan hutan yang rusak. Namun dalam implementasinya pembagian tersebut sulit terlaksana. Berbagai pelanggaran dan kerusakan hutan terjadi dimana-mana, sehingga model pembagian tersebut hanya tertera dalam kertas.
Menurut Dr Mubariq Ahmad mantan direktur lembaga ekolabel Indonesia (LEI), kebutuhan kayu untuk bahan baku pabrik pulp di Indonesia yang tiap tahunnya mencapai 22,5 juta meter kubik. Padahal hasil hutan lestari yang penebangannya legal, diperhitungkan hanya 2,5 juta meter kubik. Ini berarti sisanya 20 juta meter kubik kayu bahan baku pabrik bubur kertas itu illegal. Saat ini saja tercatat Kapasitas Industri Perkayuan di Riau sebesar 22.685.250 m3/tahun, sementara kemampuan Hutan alam berproduksi secara lestari hanya sebesar 14.844.102,41 m3/ tahun, jadi ada kesenjangan kebutuhan bahan baku sebesar 7.841.147,59 m3/tahun ini belum ditambah dengan industri yang tidak terdaftar.
Eksploitasi terhadap hutan yang hanya memperhitungkan aspek ekonomis saja berarti mematikan asset bangsa untuk bersaing di masa mendatang. Eksploitasi terhadap hutan tidak pernah berhenti dari rezim satu ke rezim yang lain. Presiden SBY saja yang getol berpartisipasi dalam kegiatan lingkungan hidup dan menjadi salah satu nominasi peraih hadiah nobel untuk lingkungan hidup tahun 2007, tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi hutan Indonesia, malah terkesan mempermudah sewa-menyewa hutan untuk kepentingan tambang. PP no 2/2008 yang mengatur soal kompensasi dan pengelolaan hutan sebagai bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya dari domain fiskal keuangan. Dengan kenaikan sewa hutan per hektar dari Rp 97.000 menjadi Rp 1,8 juta-Rp 3 juta per tahun, akan ada tambahan Rp 5 triliun dari Rp 33 triliun PNBP dari sektor kehutanan dan pertambangan nonmigas.
Perlu diingat, hutan Indonesia yang keberadaannya makin mengkhawatirkan adalah asset jangka panjang Indonesia. Ketika dunia terhenyak dengan laju perekonomian China yang mencapai 10% berbagai Negara juga tidak kalah agresif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Sebagian Negara seperti Indonesia terjebak menggadaikan kekayaan jangka panjangnya untuk kepentingan jangka pendek. Tercatat potensi tambang batu bara kita hanya 5% dari potensi tambang dunia, dan potensi pertambangan ada di hampir seluruh wilayah di dunia, namun potensi hutan tropis hanya ada 3 tempat di dunia (Brazil, Indonesia dan Kongo). Oleh karena itu tidak layak bagi Indonesia mengorbankan kekayaan alam hutan yang tiada terkira hanya untuk kepentingan jangka pendek saja.
Penelitian Oxfam AS, Extractive Industries and The Poor, memaparkan, negara yang bergantung pada sumber minyak dan mineral cenderung memiliki rekor korupsi tinggi, dikendalikan penyelenggara negara yang otoriter dan tidak efektif, tingkat kemiskinan tinggi, dan indikator kesejahteraan yang rendah. Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memperlihatkan, di semua wilayah eksploitasi tambang emas, minyak, dan gas, antara 20 persen dan 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Masih ada lagi peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia kedepannya (menurut John Naisbitt pengarang Megatrends dan Megatrends 2000 mengatakan masa depan milik orang yang dapat mengeksploitasi peluang bukan yang memecahkan masalah). China memiliki 166 kota dengan populasi lebih dari 1 juta-bandingkan dengan 12 di Jepang, 9 di AS, dan 1 di Inggris berupaya mengejar ketertinggalannya dengan kota-kota besar dunia walau pada akhirnya mengorbankan lingkungan. Pidato PM China Hun Jiabao pada awal tahun 2008 yang menyatakan akan memprioritaskan lingkungan pada perencanaan pembangunan karena dampak percepatan pembangunan menyebabkan beberapa daerah di China mengalami banjir, kekeringan dan polusi udara. Bayangkan tiap tiga hari, cina membuka sebuah pembangkit listrik baru tenaga batu bara, yang menciptakan polutan udara. Dan tercatat tiap tahun antara 300 ribu dan 400 ribu orang di Cina harus mati sebelum waktunya karena polusi udara.
Berdasarkan fakta tersebut, maka kebutuhan akan udara bersih akan semakin meningkat kedepannya. Oleh karena itu apabila hutan Indonesia terpelihara baik, maka hutan tersebut merupakan potensi wisata besar yang dapat mendatangkan devisa Negara kedepannya.
Belum lagi potensi keanekaragaman yang telah disebutkan diatas, Laboratorium Namru saja tidak mau hengkang dari Indonesia karena melihat potensi keanekaragaman hayati Indonesia yang besar. Hutan Indoensia yang memiliki keanekaragaman tertinggi dunia dapat menjamin stabilitas pangan dunia melalui penelitian rekayasa genetika. Apabila terjadi kerawanan pangan dunia akibat serangan hama atau organisme pengganggu lainnya, maka Laboratorium Namru dapat menjual hasil penelitian rekayasa genetiknya ke Negara-negara lain untuk menangkal organisme pengganggu tersebut. Oleh karena itu untuk melindungi asset hutan yang tidak berharga, maka kementrian lingkungan hidup perlu dibekali dengan hak veto untuk melindungi kekayaan bangsa yang tidak terkira ini.
Pemberian hak veto untuk membatalkan keputusan pembangunan yang merusak pembangunan hendaknya didukung oleh perangkat hukum dan lembaga independen yang memutuskan apakah pembangunan tersebut merusak lingkungan.
Perangkat hukum yang dimaksud adalah perangkat hukum yang memberikan wewenang kepada kementrian lingkungan hidup membatalkan keputusan pembangunan, eksplorasi dan sejenisnya yang merugikan lingkungan hidup dalam jangka panjang. Hak veto tersebut dapat diatur di dalam UU lingkungan hidup, oleh karena itu revisi UU no 23 thn 1997 tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan.
Lembaga independen diperlukan untuk mengkaji dan memberikan rekomendasi apakah suatu rencana atau pelaksanaan pembangunan berpotensi merugikan lingkungan hidup dalam jangka panjang. Lembaga independen tersebut terdiri dari berbagai kumpulan stakeholder seperti unsure pemerintah (KLH, Departemen Kehutanan, Dept Pertanian), unsure LSM, dan unsure akademisi (perwakilan berbagai PT terkemuka).