Strategi place ini berkenaan dengan saluran distribusi, lokasi dan sebagainya. Kotler (2009:482) mengatakan, seperti agen permukiman, para retail mengatakan bahwa tiga kunci keberhasilan adalah lokasi, lokasi dan lokasi. Misalnya pengecer besar seperti carefour, giant memilih letak strategis di perempatan kota besar, apartemen seperti permata hijau mencari letak strategis dekat dengan perkantoran, hotel seperti hotel putri duyung mencari letak strategis di daerah yang pemandangannya eksotik.
Strategi lokasi akan menghemat biaya promosi dan mempercepat sosialisasi usaha pada masyarakat. Namun strategi lokasi mengakibatkan lahan-lahan strategis di kota metropolitan menjadi rebutan pengusaha permukiman, hypermarket, real estate, apartemen, plaza, dan sebagainya. Lokasi strategis juga mempengaruhi hotel-hotel atau permukiman yang menjual pemandangan alam sebagai keunggulan kompetitif. Misalkan saja hotel yang berada di pegunungan dapat mengurangi daerah resapan air di hulu atau permukiman yang berada di dekat pantai yang dapat menghalangi run off air hujan ke laut sehingga daerah sekitarnya rawan banjir.
Karena permintaan yang tinggi pada lahan strategis, sedangkan lahan strategis jumlahnya terbatas sesuai hukum supply-demmand ekonomi maka harga lahan menjadi tinggi. Semakin tinggi harga lahan, maka semakin banyak pengembang yang tertarik memanfaatkannya. Faktanya kawasan SCBD di Jl Sudirman Jakarta, harga pasaran tanah tahun 2010 sudah mencapai Rp 20 juta/m namun tetap saja ramai peminat. Perburuan lahan-lahan strategis menyebabkan daerah sekitarnya kehilangan daya dukung, seperti: kemacetan semakin tinggi, boros energi yang diakibatkan kemacetan, pengeluaran CO2 yang semakin tinggi yang berarti meningkatkan pemanasan global dan banjir selalu menghantui daerah sekitarnya akibat daerah resapan air semakin berkurang. Data dari dinas tata ruang Jakarta menunjukkan ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta kurang dari 10% (idealnya sesuai dengan UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, RTH minimal 30%), sehingga wajar apabila Jakarta selalu dihantui oleh ancaman banjir.
Studi Bappenas sebelum krisis moneter 1997 yang mengemukakan penerbitan izin lokasi di Jabotabek telah mengakibatkan sekitar 200.000 ha kawasan pertanian beralih fungsi menjadi kawasan permukiman dan industri. Sedangkan di sekitar kota besar dan metropolitan lainnya di luar Jabodetabek setiap tahun sedikitnya 30.000 ha lahan pertanian beralih fungsi menjadi kawasan permukiman. Memang, penyerobotan lahan itu sempat terhenti selama krisis. Tapi, bukan tak mungkin terulang lagi bila tak segera diatasi pemerintah dengan aturan yang tegas. Sebenarnya aturan pembangunan permukiman telah ada dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) namun aturan tersebut belum sepenuhnya dijalankan. Strategi lokasi, lokasi dan lokasi lebih cenderung untuk diikuti oleh pengusaha dibandingkan mematuhi regulasi yang ada. Akibatnya persoalan mendasar kota seperti kepadatan arus lalu lintas, konversi ruang terbuka hijau dan ancaman banjir tidak terselesaikan.
Menurut Hakim (2002) ruang terbuka hijau meliputi a) ruang terbuka hijau makro, seperti kawasan pertanian, perikanan, hutan lindung, hutan kota dan landasan pengaman bandar udara, b) ruang terbuka hijau medium seperti, kawasan area pertamanan (city park), sarana olahraga, sarana pemakaman umum, c) ruang terbuka hijau mikro, lahan terbuka yang ada disetiap kawasan pemukiman yang disediakan dalam bentuk fasilitas umum seperti taman bermain (play gorund), taman lingkungan (community park), lapangan olahraga. Menurut Spreiregen (dalam Hakim 2002), ruang terbuka kota pada dasarnya adalah ruang kota yang tidak terbangun yang berfungsi sebagai penunjang tuntutan akan kenyaman, peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam yang terdiri dari ruang linear atau koridor dan ruang pulau atau oasis sebagai tempat perhentian.
Manfaat ruang terbuka hijau adalah (Hakim, 2002):
a. Sebagai areal untuk perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan
b. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, keselamatan, keserasian, dan keindahan lingkungan
c. Sarana rekreasi
d. Pengamanan lingkungan hidup perkotaan terhadap pencemaran, baik di darat, perairan maupun udara
e. Sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan
f. Tempat perlindungan plasma nutfah
g. Sarana mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro
Penataan RTH secara tepat mampu berperan meningkatkan kualitas atmosfir kota, penyegaran udara, menurunkan suhu kota, menyapu debu permukaan kota, menurunkan kadar polusi udara, meredam kebisingan. Penelitian Embleton (dalam Hakim 2002) menyatakan bahwa 1 ha RTH dapat meredam suara pada 7 db per 30 meter jarak dari sumber suara pada frekuensi kurang dari 1000CPS atau penelitian Carpenter dapat meredam kebisingan 25-80%. Menurut penelitian Greakls, 1 ha RTH dapat menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk konsumsi 1500 orang perhari
Green place mengenai pemanfaatan pengecer dan distributor dengan tepat. Misalnya untuk mendukung program daur ulang kemasan, perusahaan dapat bekerjasama dengan para pengecer agar mendorong konsumen mengembalikan kemasan melalui mereka, ditukar dengan souvenir, potongan harga, voucher atau produk promosi
Pilihan di mana dan kapan harus membuat produk yang dikehendaki mempunyai dampak penting terhadap konsumen. Hanya sedikit pelanggan akan keluar untuk membeli produk hijau. Dalam banyak kasus pemasar perlu memposisikan produk hijau dalam berbagai pasar yang luas bukan hanya kepada suatu pasar sempit saja. Penempatan produk pada pasar harus konsisten dengan gambaran yang diinginkan, karena itu pemasar harus merancang gambaran lokasi yang sesuai dengan produk hijau.