Golongan Miskin di Indonesia atau Poor Group in Indonesia

A. Kaum Miskin Kota
Dalam konteks kaum miskin kota, Friedman mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi : (a) modal produktif atau aset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan); (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit); (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, organisasi sosial); (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa; (e) pengetahuan dan ketrampilan; dan, (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto et.al., 2004).

Seperti juga apa yang dikatakan oleh Selo Soemardjan (1980), yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural, biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Mereka itu, walaupun merupakan mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya.

Golongan yang menderita kemiskinan struktural diperkotaan adalah, kaum migran yang bekerja di sektor informal dengan hasil yang tidak menentu sehingga pendapatannya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk golongan miskin lain adalah, kaum buruh, pedagang kaki lima, penghuni permukiman kumuh, pedagang asongan, dan lain-lain yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled labour). Golongan miskin ini meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah – yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi lemah (Soedjatmoko, 1981:46-61).Yang termasuk penduduk miskin kota ini, mereka bukan hanya kaum migran yang berasal dari desa, tetapi tidak sedikit yang menderita kemiskinan di kota adalah penduduk asli setempat yang sejak awal sebelum kota berkembang sudah tergolong miskin berpendidikan rendah dan tidak memiliki keahlian yang berguna dalam kegiatan industri, sehingga mereka tersingkir dari kegiatan perekonomian perkotaan karena ketidakmampuan mereka turut berpartisipasi dan memanfaatkannya (Suparlan, 2004: 259).

 Problem lain kaum miskin kota adalah Pedagang kaki lima (PKL). PKL di Indonesia umumnya disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi aktivitas sektor ini. Konsep perencanaan kota yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan potensial mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal seperti PKL (Deden Rukmana, 2009).

Fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogianya dipahami dalam konteks transformasi informalitas perkotaan ini. Aplikasi konsep informalitas perkotaan dalam praktik perencanaan kota tentu akan mengalokasi lebih banyak ruang bagi PKL dan mengintegrasikannya dengan sektor formal sebagai bagian dari informalitas kota.

Pemerintah Kota Liverpool, misalnya, menyusun perencanaan kota untuk mendukung perluasan lapangan kerja, dengan menyiapkan zona bebas bagi pedagang informal. Demikian pula di Kota Madras (India) atau di Hong Kong (China). Perencanaan kota di ketiga kota itu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan warga kota, sementara rencana fisik kota ditempatkan di urutan kedua (Saratri Wilonoyudho, 2008). Di Brasil, penataan ruang Kota Porto Alegre dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui diskusi yang melibatkan warga untuk menggali dan memecahkan masalah kota. Tak hanya dalam perencanaan kota, pemerintah kota Porto Alerge juga mengajak warga kota dalam menentukan alokasi untuk APBD. Hasilnya, perencanaan dan penganggaran kota Porto Alerge dibuat dengan model “APBD partisipatif”.

Berdasarkan proyeksi World Population Data Sheet (2002) penduduk Indonesia pada tahun 2025 akan berkisar 281,9 juta jiwa dengan Crude Birth Rate sebesar 2,2%, Crude Death Rate sebesar 0,6% dan Crude Growth Rate sebesar 1,6%. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2000, jumlah penduduk Indonesia berjumlah 240 juta jiwa dan pada tahun 2005 meningkat dua kali lipat dari tahun 1985. Proyeksi ini realistis mengingat pertumbuhan penduduk di Indonesia yang masih relatif tinggi yakni 1,35 %.

Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi akan berdampak pada peningkatan kebutuhan dasar manusia. Tuntutan kebutuhan dasar tersebut tidak lepas dari ketersediaan akan lahan. Peningkatan kebutuhan akan lahan, khususnya di daerah perkotaan semakin terlihat terutama lahan sebagai wadah untuk menampung kegiatan manusia maupun sebagai wadah untuk bermukim. Pesatnya perkembangan kota menjadi salah satu daya tarik bagi penduduk di daerah hinterland, untuk berbondong-bondong bermigrasi masuk ke daerah perkotaan, hal ini akan berakibat terkonsentrasinya penduduk di sekitar zona inti kota (core zone) atau di zone selaput inti kota.

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh faktor alamiah maupun adanya migrasi penduduk ke daerah perkotaan, permintaan akan lahan untuk permukiman juga semakin meningkat, sementara luas lahan kota secara administratif tetap, konsekuensi ekonomis yang harus disandang adalah harga akan lahan semakin meningkat, akibat yang muncul terutama bagi migran dan juga penduduk kota yang status ekonominya lemah, adalah rendahnya kemampuan untuk memiliki rumah. Akibat yang terjadi berikutnya adalah terjadinya pemadatan bangunan (densifikasi) permukiman, yang berakibat menurunnya kualitas permukiman. Di daerah perkotaan akan timbul daerah-daerah permukiman yang kurang layak huni yang sangat padat. Kondisi lingkungan tersebut cenderung buruk, dan sering disebut sebagai daerah kumuh (slum area). Sulitnya akses untuk memperoleh lahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah antara lain disebabkan oleh spekulasi lahan. Kepemilikan lahan yang berlebihan oleh pihak-pihak tertentu, aspek hukum kepemilikan, dan ketidak jelasan kebijaksanaan pemerintah dalam masalah lahan (Abrams; 1969).

Menurut catatan PBB tahun 2004, sekitar 1 (satu) milyar masyarakat di seluruh dunia hidup di permukiman kumuh (http//:www.City withouth slum.com). Jumlah penduduk yang tinggal di permukiman kumuh di seluruh dunia ini meningkat 36 % dalam dasawarsa 90an, dalam 3 dasawarsa yang akan datang diperkirakan penduduk yang tinggal di permukiman kumuh mencapai 2 milyar jiwa. Kota – kota di Afrika 40 – 70 persen penduduknya tinggal di permukiman kumuh, sebagai contohnya adalah di Nairobi 60% penduduknya tinggal di permukiman kumuh (http//:www.UN-HABITAT.Com).

Di Indonesia permukiman kumuh hingga tahun 2000 mencapai luasan 47 ribu hektar. Di kota-kota besar pada tahun 2002 meliputi: Jakarta dengan luasan 4.481,6 hektar dan dihuni oleh 2,4 juta jiwa atau sekitar 20 % dari seluruh penduduknya 4,296 dari luas permukiman keseluruhan, Bandung meliputi 402 hektar dihuni oleh 205.465 jiwa atau 20 %, Surabaya meliputi luasan 2.196 hektar dihuni oleh 900.870 jiwa (25%).(http:www.Kimpraswil.go.id/humas/ infoterkini/ppw 091002.htm).

Ketidaksiapan tinggal di tempat yang baru dengan berbagai bentuk budaya yang baru, mengakibatkan para pendatang di perkotaan ini menjadi tidak produktif. Kebiasaan-kebiasaan rutin di daerah asalnya ternyata sangatlah berbeda dengan yang dijumpainya saat ini, kesulitan mencari pekerjaan adalah hal yang sangat lumrah ditemui oleh para pendatang, pendapatan yang sangat rendah adalah konsekuensi logis yang didapat karena pekerjaan yang tanpa keahlian. Kemiskinan adalah merupakan refleksi dari kenyataan kehidupan kebanyakan para pendatang, yang selanjutnya disebut sebagai masyarakat miskin kota.

Penduduk miskin kota cenderung hidup di perkampungan kumuh, dan bahkan sebagian di antaranya hidup di pemukiman liar atau di zona-zona publik, akibat tidak lagi memiliki aset produksi yang dapat diandalkan untuk menopang kelangsungan kehidupannya. Sebagian besar penduduk miskin kota biasanya menjadi pekerja upahan di pabrik-pabrik atau pusat-pusat kegiatan perdagangan dan jasa, menjadi pedagang kecil atau penjual jasa di sektor informal, dan bahkan terkadang ada di antara mereka yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pelacuran, perjudian dan berbagai tindak kejahatan, baik perorangan maupun kelompok.

 Di kalangan keluarga miskin di kota, tidak jarang terjadi penghasilan yang diperoleh ibu dan anak terkadang lebih besar daripada penghasilan bapak. Bahkan, ketika harga BBM naik dan sebagian kepala keluarga menjadi korban PHK, ternyata yang mampu menopang kelangsungan hidup keluarga miskin adalah sosok ibu dan anak. Berbeda dengan sektor-sektor yang banyak didominasi laki-laki, yang ternyata rentan terjadi PHK, sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja perempuan dan anak seringkali justru lebih mampu survive dari tekanan dan ancaman krisi maupun efek domino dari kebijakan harga BBM.

Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika penduduk miskin kota yang setiap hari harus bekerja berat, ternyata setiap harinya jatah makan mereka dikurangi. Memang, untuk jangka pendek, mengurangi frekuensi makan merupakan jalan keluar yang paling pragmatis untuk menyiasati tekanan kemiskinan. Tetapi, dalam jangka panjang cara seperti ini sesungguhnya sangat berisiko, sebab jika seseorang mengeluarkan tenaga ekstra, tetapi pasokan energi yang masuk malah berkurang, maka jangan heran jika efeknya kemudian malah makin memberatkan. Seperti sudah disinggung di depan, bahwa salah satu anggota keluarga yang paling rentan terserang penyakit adalah bapak. Boleh jadi, faktor penyebab bapak lebih mudah terserang penyakit ini karena merekalah yang terpaksa mengurangi frekuensi dan kualitas menu makanan, sementara di saat yang sama tetap harus bekerja keras untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

Di kalangan penduduk miskin di kota, utang boleh dikatakan adalah hal yang lazim dan paling populer. Mekanisme gali lubang tutup lubang bagi penduduk miskin adalah sesuatu hal yang biasa dilakukan, karena memang hanya dengan cara itu mereka dapat memperpanjang nafas untuk melangsungkan kehidupannya. Berbeda dengan keluarga yang secara ekonomi mapan dan biasanya memiliki tabungan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendadak. Yang namanya keluarga miskin di kota rata-rata kehidupan sehari-harinya sangat rentan, tidak memiliki tiang penyangga atau tabungan yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendadak, sehingga ketika kebutuhan itu sudah ada di depan mata, maka tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali utang ke sana-sini, termasuk utang ke rentenir yang acapkali meminta beban bunga yang tinggi.

Pengalaman selama ini, sebetulnya sudah banyak mengajarkan kepada mereka bahwa utang adalah salah satu roda penggerak kemiskinan yang membuat kehidupan orang miskin menjadi makin sulit. Sebuah keluarga miskin yang terperangkap utang dan terpaksa menjual barang-barangnya untuk membayar utang itu, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka umumnya akan masuk dalam pusaran spiral kemiskinan yang membuat posisi mereka menjadi lebih tidak berdaya lagi. Kalau diperkenankan memilih, yang namanya keluarga miskin di kota sudah berusaha menghindari dari perangkap utang. Tetapi, diakui oleh sebagian besar responden bahwa menghindarkan diri dari perangkap utang sesungguhnya bukanlah hal yang mudah.

Dalam hal pandangan penduduk miskin perkotaan mengenai keluarga yang sejahtera, ternyata mereka memiliki indikator kesejahteraan yang sangat sederhana yang berbeda dengan indikator-indikator seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Mereka berpandangan bahwa, keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang mampu menyekolahkan anaknya agar pendidikannya lebih baik dari orang tuanya. Demikian juga dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan, mereka mengatakan apabila apa yang dibutuhkan dapat tercukupi tanpa harus berlebihan.

B. Petani
Hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar—milik sendiri maupun menyewa—meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan (land base farmers), 20,1 juta (82,7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin (Khudori, Kompas,16 Maret 2007).

Menurut Berita Resmi Statistik (September 2006), sebanyak 63,41 persen penduduk miskin ada di daerah pedesaan. Data-data ini menggambarkan sebagian besar petani dalam keadaan miskin. Sebagian besar orang miskin itu petani yang tinggal di pedesaan. Kemiskinan yang diderita petani adalah kemiskinan struktural (asset), yang tak bisa dipecahkan hanya dengan langkah karitatif.

Keberadaan tanah terlantar selama ini telah menjadi persoalan tersendiri yang cukup kompleks dalam realitas konflik agraria (sengketa tanah) di lapangan. Penelantaran tanah oleh pihak tertentu bisa mengandung motif spekulasi, untuk mendapatkan keuntungan mudah atas selisih jual beli tanah. Banyak pula kasus dimana rakyat mencoba masuk dan menggarap tanah-tanah yang secara fisik terlantar karena terdesak kebutuhan hidup. Namun secara legal formal rakyat dianggap salah karena menggarap tanah yang secara hukum masih menjadi hak pihak lain.

Luas tanah yang diindikasikan terlantar tidak bisa dibilang sedikit. Menurut data BPN RI, pada tahun 2006 (per Juni) luasnya 1.2.18.554,7300 Ha dan pada tahun 2007 (per Juni) seluas 1.578.915,0620 Ha

Meluasnya tanah terlantar ini fenomena yang bertolak belakang dengan terus menyempitnya luas pemilikan dan penguasaan tanah di tangan rakyat, khususnya tanah pertanian kaum tani. Tendensi luas tanah terlantar dari waktu ke waktu terus meningkat, sementara pemilikan tanah pertanian petani kian menyusut.

Penggarapan tanah-tanah “terlantar” oleh rakyat yang memicu persoalan hukum hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana. Menyalahkan secara langsung tindakan rakyat tentu harus dihindari. Penggunaan dasar-dasar juridis formal semata dipastikan tak akan cukup menjawab persoalan sengketa ini. Alasan-alasan sosio-historis dan sosio-ekonomis hendaknya dipertimbangkan pemerintah dalam penanganan sengketa di atas tanah terlantar.

Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Prof. Masyhuri memaparkan, konflik agraria biasanya terjadi antara petani dengan perkebunan, petani dengan pertambangan, petani dengan kehutanan, antara penduduk lokal dengan transmigran, petani kecil dengan petani kaya, dan antar petani kecil. Dalam tahun 2011 terdapat 163 konflik agraria yang menewaskan 24 petani. Konflik yang terkahir adalah di Mesuji Sumatera Selatan dan Lampung, petani dengan perkebunan serta Bima, petani dengan pertambangan.

Akar masalah konflik agraria di antaranya kurangnya kepastian hukum, ketimpangan penguasaan lahan, ketimpangan pendapatan, kecemburuan sosial, pengangguran, dan kemiskinan. Contoh terjadinya ketimpangan, selama tahun 1983-2003 jumlah petani dengan luas garapan kurang dari 0,5 ha meningkat jumlahnya dari 44,51% menjadi 56,41%, semengtara total luas lahan yang dikuasai berkurang dar 10,50% menjadi 4,95%. Pada sisi lain petani yang menguasai lahan lebih dari 2,00 ha berkurang jumlahnya dari 13,46% menjadi 11,27% dengan jumlah lahan yang dikuasai relatif tetap di atas 45%. Badan Pertanahan Nasional mengungkapkan 56% aset yang ada di Indonesia, baik berupa properti, tanah, maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2% penduduk Indonesia

Menteri Pertanian Suswono menyatakan Indonesia masih kekurangan lahan pertanian khusus pangan. Kebutuhan lahan baru untuk pertanian pangan pun mendesak. Kini pemerintah berupaya mencari tambahan lahan pangan. Menurutnya ada dua sumber tambahan lahan pangan yakni lahan kehutanan yang dialihfungsikan menjadi lahan pangan dan lahan yang terlantar di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, dia menambahkan, lahan terlantar di BPN sulit dieksekusi. Selain karena tidak cocok untuk lahan pangan, lahan terlantar juga masih diperkarakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dari kehutanan dari 300 ribu hektar yang potensi dapat dimanfaatkan, yang ada kecocokan 197 ribu hektar. Sedangkan yang dari BPN sekitar 80 ribuan, yang sudah bisa dimanfaatkan hanya 6 ribu. Karena lahan itu tidak semua sudah cocok untuk pangan.

Mentan menjelaskan jika dibandingkan dengan Thailand, Indonesia sangat tertinggal. Di Thailand, kata dia, lahan pertanian mencapai 9 juta hektar. “Indonesia hanya 1,5 kali lipatnya atau 13,5 juta hektar. Padahal penduduknya kan 4 kali lipat dari Thailand,.Lahan pertanian di Thailand mencapai 3 hektar per Kepala Keluarga atau per petani. Sementara di Indonesia, rata-rata lahan pertanian nasional hanya 0,3 hektar per petani.

Prof. Dr. J.W. Schrool dalam“Modernisasi; Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang”memberikan kita banyak informasi tentang proses tersebut. Pola industri memberikan hantaman dahsyat terhadap dunia produksi agraris. Menurut Schrool, pola kepemilikan tanah di era sebelum industrialisasi lebih banyak diwarnai dengan pola kepemilikan kolektif. Dalam beberapa kasus, beberapa satuan masyarakat agraris tidak mengenal hak milik atas tanah, namun sekedar hak guna dalam lingkup terbatas. Dalam pola tersebut, tanah adalah komoditas bersama yang diolah secara bersama-sama untuk mencukupi kebutuhan bersama.

Ketika muncul pola industri, sistem pengelolaan tanah menjadi berubah. Mengapa? Karena industri pun membutuhkan tanah. Hakikat industri, yaitu produksi massal yang menggunakan kemajuan tekonologi ternyata juga membutuhkan tanah, setidaknya untuk pembangunan pabrik-pabrik dan satuan-satuan industri lainnya. Mau tak mau, tanah-tanah yang tadinya berfungsi sebagai tanah pertanian sebagian beralih menjadi lahan industri.

Dalam sebuah pidatonya, Karl Marx pernah berkata “Pemilikan atas tanah-sumber awal dari semua kekayaan-telah menjadi masalah besar yang pemecahannya menentukan hari-depan klas pekerja”.11 Pemilikan tanah adalah masalah yang pelik mengingat posisinya sebagai faktor produksi. Hubungan manusia dengan tanah adalah juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain, terutama jika dikaitkan dengan proses produksi dan relasi sosial ekonominya atas tanah. Kehidupan manusia sehari-hari tentu sangat sulit untuk dipisahkan dari tanah.

Skema pemilikan/penguasaan tanah pasca kolonial sangat semrawut. Dasar penguasaan tanah tidak jelas. Besarannya sangat timpang antara pemilik satu dan yang lainnya. Masalah lain adalah kejelasan hukum yang mengatur mengenai tanah. Di satu sisi hukum modern yang berbasis dari peraturan pemerintah kolonial diberlakukan, namun di sisi lain, hukum-hukum adat maupun pola penguasaan tanah yang bersifat feodal juga masih diakui oleh sebagian masyarakat. Maka dari itu perlu pengaturan untuk mengatasi kesemrawutan itu.

Restrukturisasi penguasaan tanah bukan suatu hal yang baru. Kebijakan itu telah berlangsung sangat lama di beberapa tempat, tentunya dengan berbagai motivasi dan mekanisme. Merujuk kepada buku Gunawan Wiradi berjudul “Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir”, reforma agraria adalah sebuah fenomena yang sudah berumur lebih dari 2500 tahun. Gunawan Wiradi menempatkan masa pemerintahan Solon (594 SM) di Yunani sebagai tonggak pertama kali dilaksanakannya redistribusi penguasaan tanah.

 Dari berbagai zaman dan pengalaman sejarah dunia, ternyata ketidakseimbangan pemilikan tanah (Agraria) yang paling banyak menimbulkan masalah dan penyengsaraan rakyat. Sebaliknya indikasi sejahtera tidaknya rakyat di suatu negara ditentukan oleh adanya pemerataan pemilikan dan penguasaan agrarian negara tersebut.

Istilah pembaruan agraria merupakan terjemahan dari agraria reform (reforma agraria), yang dalam pengertian terbatas dikenal sebagai landreform, dimana salah satu programnya yang banyak dikenal adalah dalam hal redistribisi (pembagian) tanah (Bonnie Setiawan, 1997 :3).

Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan sejak berabat-abat lamanya oleh negara-negara didunia. Perombakan dan pembaharuan struktur keagrarian terutama tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama rakyat tani yang semula tidak memiliki lahan olahan/garapan untuk memiliki tanah. Oleh Parlindungan (1980:27) dikatakan bahwa negara yang ingin maju harus mengadakan land reform.

Hampir semua negara di dunia pernah melakukan reforma agraria. Tonggak pertama reform agraria dimulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Preancis, hingga Rusia. Pada masa itu kaum bangsawan dengan fasilitas yang dimilikinya pada umumnya menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Untuk mencegah pemberontakan rakyat terutama petani-petani yang tidak mempunyai lahan atau mempunyai lahan tetapi sempit maka kaisar mengeluarkan titah tentang pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani.

Dalam perkembangannya reforma agraria mengalami perkembangan dan perubahan dimana ada negara yang berhasil dan membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan dalam negaranya namun ada pula yang gagal. Oleh Walinsky dikatakan reforma agraria sebagai masalah yang belum selesai (Gunawan Wiradi,2000:36). Terhadap pendistribusian tanah atau program landreform dalam sejarahnya pertama kali dipopulerkan oleh Amerika Serikat di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Ini kemudian berkembang ke negara lain di Asia, Amerika Latin maupun Afrika terutama dalam dekade 1950-an dan 1960-an.

Dilaksanakannya konferensi Dunia mengenal Reformasi Agraria dan pembangunan pedesaan (World conference on Agrarian Reform and Rural developent) yang diselenggarakan oleh FAO (Food and Agriculture Organisation) PBB di Roma pada bulan Juli 1979 merupakan tonggak yang penting dalam sejarah perjuangan yang panjang untuk melawan kemiskinan dan kelaparan. Konferensi ini berhasil merumuskan deklarasi prinsip-prinsip dan program kegiatan (decleration of principles and Programme of Action) yang dikenal dengan piagam petani (the Peasants’ charter). Secara umum deklarasi ini mengakui bahwa masalah kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia dan karenanya ditekankan bahwa program reforma agraria dan pembangunan pedesaan haruslah dilaksanakan secara serentak meliputi tiga bidang di tiga tingkat yang saling berkaitan yaitu ditingkat desa, mengikutsertakan lembaga pedesaan, ditingkat nasional, mendorong terlaksananya prinsip-prinsip tata ekonomi Internasional baru.

Indonesia merupakan salah satu peserta dari konfrensi dunia itu melakukan pembaruan dibidang keagrariaan pada periode 1960-an sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dengan keluarnya Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang (perpu) No. 1 tahun 1960 tentang Luas batas Maksimum dan Minimum Pemilikan Tanah, pada tanggal 24 Desember 1960. Perpu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1961 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang ini lebih dikenal dengan Undang-Undang Landreform. Untuk aturan pelaksanaannya dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Bila di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan bila dikatakan berhasil dalam program pembaruan agraria yang dilaksanakan terutama landreform dan menjadi contoh bagi negara-negara lain terutama di Asia, maka Indonesia setelah 32 tahun berlakunya UUPA, program landreform yang dilaksanakan belum menampakkan hasil bahkan pada pergantian pemerintahan dari Soekarno (masa Orde Baru) program landreform ini terpinggirkan posisinya dalam kebijakan pembangunan nasional. Pergantian dari Orde Baru ke reformasi ternyata tidak mengubah wajah dari pelaksanaan program landreform walaupun pemerintah baru reformasi mulai berupaya menggiatkan kembali program landreform ini seperti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan Dalam Rangka pelaksanaan landreform. Namun sampai sekarang belum nampak hasil dari tim yang dibentuk tersebut.

Reforma Agraria Indonesia.
Secara etymologis, istilah “agraria” berasal dari kata dalam bahasa Latin, “ager”, yang artinya (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah Negara. istilah lainnya adalah “ager” (degnan huruf g dobel), yang artinya: (a) tanggul penahan; (b) pematang; (c) tanggul sungai; (d) jalan tambak; (e) reruntuhan tanah; (f) bukit (Lihat, Prent, et.al, 1969: juga World Book Dictionary, 1982).

Sedangkan kata reform (bhs. Spanyol), atau Reform (bhs. Inggris), mengandung eseni: “ketidak-tertiban untuk sementara”, karena prosesnya memang “menata” ulang, membongkar yang lama, menyusun yang baru. Karena itu:
a. Bentuknya adalah sebuah “operasi” (menurut istilah Chirstodoulou, 1990);
b. Sifatnya “Ad Hoc” (menurut istilah Peter Dorner, 1972)
c. Proses “rapid” (istilah Tuma, 1965).
Karena itu, program RA mempunyai batas waktu, punya umur.

Dari berbagai zaman dan pengalaman sejarah dunia ternyata ketidakseimbangan pemilikan tanah (agraria) yang paling banyak menimbulkan masaalah dan penyengsaraan rakyat. Sebaliknya indikasi sejahtera tidaknya rakyat disuatu negara sangat ditentukan oleh adanya pemerataan pemilikan dan penguasaan agrarian tersebut.

Secara spesifik lagi Iman Soetijkno (kompas cyber, 13 Mei 2002) mengungkapkan bahwa majunya suatu negara selalu (umumnya) didahului atau disertai dengan perombakan struktur agrarianya yang berat sebelah , dalam arti adanya segologolongan manusia menguasai/memiliki tanah disatu pihak, dan adanya segolongan besar manusia yang hidup dari bercocok tanam, tetapi tidak mempunyai tanah atau hanya mempunyai tanah sempit. Sebagai contoh :
1. Domexico pada tahun 1859 oleh juarez, semua tanah gereja disita kemudian dibagi-bagi pada petani. Tapi baru berhasil pada tahun 1910 yaitu adanya “Agraria Revolution “, yang berakibat adanya perubahan besar-besaran mengenai struktur agraria.
2. Sebelas negara dieropa, 60 juta are tanah yaitu 11% dari luas seluruh wilayah negara-negara itu disita atau dibeli oleh pemerintah masing-masing dari tangan tuan-tuan tanah, bangsawan, raja maupun gereja dan kemudian dibagibagikan kepada petani yang tidak mempunyai tanah.
3. Di Chekoslovakia, 10 juta area tanah disita, seperdua dibagi-bagikan kembali kepada petani kecil atau petani yang tidak mempunyai tanah selebihnya tetap dikuasai negara untuk kepentingan umum.

Melihat program pembaruan agraria yang dilakukan oleh berbagai Negara didunia tersebut, Indonesia nampaknya kurang belajar dari sejarah agraria tersebut. Banyak dokumen baik sebelum maupun semasa penjajahan menunjukan bahwa ternyata penumpukan pemilikan dan penguasaan tanah pada segolongan kecil selalu berulang dan baru disadari setelah terjadi tuntutan-tuntutan, bahkan pemberontakan rakyat.

Pada saat Indonesia masih terdiri dari kerajaan kecil maupun besar, umumnya yang paling banyak menikmati hasil agraria adalah raja, keluarga raja dan kronikroninya. Kepentingan rakyat nampak disepelekan dan kepentingan rajalah yang diutamakan. Yang terjadi kemudian kerajaan muda disusupi dan diadu domba sehingga terjadi perang antar kerajaan (perang saudara). Salah satu penyebab utamanya dapat dikatakan karena kerajaan tidak berakar oada kepentingan rakyat.

Pada masa penjajahan, yang paling banyak menikmati hasil agraria pastilah penjajah dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan penjajah sebab politik agraria yang ditetapkan memang politik yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat jajahan.

Pada saat merdekapun ternyata tidak serta merta politik agraria nasional, memerlukan belasan tahun untuk mewujudkan suatu UU sebagai jelmaan politik agraria nasional yaitu tanggal 24 September 1960 yang dikenal dengan UU No.5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Disingkat UUPA) , bahkan lebih awal dari dilaksanakannya konfrensi Dunia di Roma tahun 1979 yang menghasilkan piagam petani dimana Indonesia merupakan salah satu negara yang mengirimkan delegasi besar ke konfrensi tersebut.

Diundangkannya UUPA merupakan tonggak penting dalam hukum Nasional Indonesia terutama dalam pembaruan agraria yaitu ketentuan-ketentuan Landreform seperti ketentuan-ketentuan mengenai luas maksimun-minimum hak milik atas tanah (pasal 7 dan 17ayat (1) UUPA) dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah (Pasal 17 ayat (3) UUPA). Pengaturannya terdapat dalam UU No.56 Prp 1960 tentang Penetapan Luar Tanah Pertanian (lebih dikenal dengan UU landreform) dan PP no.224 tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberioan Ganti Kerugian.

Tujuan dari dilaksanakannya landreform oleh Boedi Harsono dikatakan adalah untukmempertinggi penghasilan dan taraf hidup para penggarap petani, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Sudargo Gautama, 1990:23).

Sejak awal pelaksanaan landreform sekitar tahun 1961 sampai dengan tahun 2002 setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hak tanah obyek landreform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani yang tersebar diseluruh Indonesia antara lain adanya administrasi pertanahan yang tidak sempurna. Hal ini mengakibatkan luas tanah obyek landreform yang akan dibagikan menjadi tidak tepat Kelemahan ini sangat rawan dan membuka peluang bagi penyimpangan dan penyelewengan (kompas cyber,13 Mei 2002).

Hambatan utama pelaksanaan landreform adalah lemahnya kemauan politik pemerintah seperti pada masa Orde Baru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini kurang memberikan keberpihakkan pada masyarakat golongan ekonomi lemah termasuk petani yang memang membutuhkan tanah. Meski tanah memang langkah karena tidak bisa diperbaharui (unrenewable resources ), saling sengketa antara rakyat dengan pemodal diuntungkan denghan kebijakan ekonomi yang lebih disebabkan oleh ekspansi modal secara besar-besaran. Dalam hal, ini para pemodal diuntungkan para kebijakan ekonomi yang lebih condong pada pertumbuhan ketimbang pemerataan ekonomi. Data sensus pertanian tahun 1983 dan 1993 misalnya menyebutkan ternyata hampir 2 (dua) juta petani dijawa digusur dan melorot statusnya menjadi buruh tani karena lahan mereka digunakan pembangunan prasarana ekonomi, kawasan industri dan perumahan tanpa konpensasi yang amat memadai.

Perhepi (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia) memberikan saran kepada seluruh pemangku kepentingan berupa model redistribusi lahan yang berbasis masyarakat, yaitu 1) model pertama adalah pengembangan usaha bersama antara masyarakat dan korporasi dalam pola kerjasama yang saling menguntungkan, 2) setiap adanya konsesi lahan untuk korporasi, dikembangkan dalam persentase tertentu lahan untuk masyarakat sekitarnya, 3) petani sebagai pemilik lahan ditingkatkan kapasitasnya secara bersama-sama untuk dapat mengembangkan usaha yang setara dengan yang dikembangkan korporasi, dan 4) petani dan korporasi berkembang bersama, dimana petani dapat secara maksimal menikmati nilai tambah dari usaha yang dikembangkannya.

C. Nelayan
Kondisi nelayan saat ini sangat dilematis, dengan sumber daya alam laut yang luar biasa, nasib nelayan seakan berjalan ditempat. Adalah hal yang rasional apabila nelayan hidup dalam kesejahteraan. Namun pada kenyataannya, sebagian besar nelayan masih merupakan masyarakat tertinggal dibandimg komunitas masyarakat lain. nelayan sering disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor). Itu disebabkan salah satunya karena tingkat pendidikan mereka masih rendah. Masa depan kelestarian pengelolaan potensi kelautan kita membutuhkan kearifan dan sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola dan memanfaatkannya.

Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial (Suharto, 2005). Oleh karena itu, harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan. Terdapat beberapa aspek yang menyebabkan terpeliharanya kemiskinan nelayan atau masyarakat pinggiran pantai, diantaranya; Kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kondisi bergantung pada musim sangat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan nelayan, terkadang beberapa pekan nelayan tidak melaut dikarenakan musim yang tidak menentu. Rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan peralatan yang digunakan nelayan berpengaruh pada cara dalam menangkap ikan, keterbatasan dalam pemahaman akan teknologi, menjadikan kualitas dan kuantitas tangkapan tidak mengalami perbaikan.

Kondisi lain yang turut berkontribusi memperburuk tingkat kesejahteraan nelayan adalah mengenai kebiasaan atau pola hidup. Tidak pantas jika kita menyebutkan nelayan pemalas, karena jika dilihat dari daur hidup nelayan yang selalu bekerja keras. Namun kendalanya adalah pola hidup konsumtif, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder. Namun ketika paceklik, pada akhirnya berhutang, termasuk kepada lintah darat, yang justru semakin memperberat kondisi. Deskripsi diatas merupakan pusaran masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan umumnya di Indonesia.

Pokok Masalah
Terdapat 5 (lima) masalah pokok terkait penyebab kemiskinan masyarakat nelayan, diantaranya:
1. Kondisi Alam. Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.
2. Tingkat pendidikan nelayan. Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.
3. Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.
4. Pemasaran hasil tangkapan. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga di bawah harga pasar.
5. Program pemerintah yang belum memihak nelayan, kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top downdan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kebijakan yang pro nelayan mutlak diperlukan, yakni sebuah kebijakan sosial yang akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan nelayan.

Kusnadi, (2002) mengidentifikasi sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada masyarakat nelayan:
a) Belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku pembangunan.
b) Mendorong pemda merumuskan blue print kebijakan pembangunaan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan secara terpadu dan berkesinambungan.
c) Masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk barang, jasa, kapital, dan manusia. Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat nelayan.
d) Keterbatasan modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya.
e) Adanya relasi sosial ekonomi ”eksploitatif” dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan.
f) Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup.
g) Kesejahteraan sosial nelayan yang rendah sehingga mempengaruhi mobilitas sosial mereka.

Subade dan Abdullah (1993), mengajukan argumen bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.

Panayotou (1982), mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

Menurut Rokhmin guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, banyak faktor yang menyebabkan mayoritas nelayan di Indonesia masih terlilit derita kemiskinan. Sejumlah faktor itu dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) faktor teknis, (2) faktor kultural, dan (3) faktor struktural.

Dalam tataran praktis, nelayan miskin karena pendapatan (income) nya lebih kecil dari pada pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan diri nya dalam kurun waktu tertentu. Sejauh ini pendapatan nelayan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan ABK dari kapal ikan komersial/modern (diatas 30 GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta/bulan) dan sangat fluktuatif alias tidak menentu.

Secara teknis, pendapatan nelayan bergantung pada nilai jual ikan hasil tangkap dan ongkos (biaya) melaut. Selanjutnya, nilai jual ikan hasil tangkapan ditentukan oleh ketersediaan stok ikan di laut, efisiensi tekonologi penangkapan ikan, dan harga jual ikan. Sedangkan, biaya melaut bergantung pada kuantitas dan harga dari BBM, perbekalan serta logistik yang dibutuhkan untuk melaut yang bergantung pula pada ukuran (berat) kapal dan jumlah awak kapal ikan. Selain itu, nilai investasi kapal ikan, alat penangkapan, dan peralatan pendukungnya sudah tentu harus dimasukkan kedalam perhitungan biaya melaut. Berdasarkan pada sejumlah variables yang mempengaruhi pendapatan nelayan tersebut, sedikitnya ada sembilam permasalahan teknis yang membuat sebagian besar nelayan masih miskin.

Pertama, banyak nelayan yang kini melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang stok SDI (sumber daya ikan) nya mengalami overfishing(tangkap lebih). Secara nasional, total potensi produksi lestari (MSY, Maximum Sustainable Yield) SDI di seluruh wilayah laut Indonesia, termasuk ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), sebesar 6,52 juta ton/tahun (Komnas Kajiskan, 2010). Pada 2010 total produksi ikan hasil tangkapan dari laut mencapai 5,1 juta ton (KKP, 2011) atau sekitar 78% dari total MSY. Agar stok SDI tetap lestari dan usaha perikanan tangkap bisa berkelanjutan, maka laju (tingkat) penangkapan SDI maksimal sebesar 80% MSY (FAO, 1995). Artinya, status pemanfaatan SDI laut Indonesia saat ini hampir mendekati jenuh (fully exploited). Bahkan banyak kelompok SDI terutama udang penaeid, ikan demersal, ikan pelagis besar, dan ikan pelagis besar di banyak wilayah pengelolaan perikanan (WPP) telah mengalami overfishing .

Indikator kondisi overfishing dari suatu stok SDI adalah: (1) total volume ikan hasil tangkapan (produksi) lebih besar dari MSY SDI tersebut; (2) hasil tangkapan ikan per satuan upaya tangkap (Catch per unit of effort) cenderung menurun; (3) rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin mengecil; dan (4) fishing ground (daerah penangkapan ikan) semakin menjauh dari daratan, atau semakin dalam ke dasar laut seperti yang sedang terjadi pada stok ikan lemuru di Selat Bali dalam dua tahun terakhir. Oleh sebab itu, overfishingjelas mengakibatkan volume ikan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan semakin menurun. Apabila, kegiatan penangkapan ikan dengan laju yang lebih besar dari pada MSY dibiarkan terus, maka bukan hanya pendapatan nelayan yang bakal kian menurun, tetapi stok ikan pun bisa punah seperti yang dialamai oleh stok ikan lemuru di perairan Selat Malaka, ikan terbang di perairan laut selatan Sulawesi, dan lainnya.

Permasalahan lainnya adalah karena sebagian besar (95%) nelayan nasional menggunakan kapal ikan yang tidak bermesin atau kapal bermesin di bawah 30 GT dengan alat tangkap yang umumnya tradisional (kurang efisien), maka mereka sebagian besar menangkap ikan di perairan laut dangkal kurang dari 12 mil laut yang pada umumnya telah fully exploited (laju penangkapan sama dengan MSY) atau overfishing. Konsekuensinya, hasil tangkapan ikan per satuan upaya (kapal ikan atau alat tangkap) dan pendapatan pun rendah. Sementara itu, fishing grounds yang masih produktif (underfishing) sebagian besar dijarah oleh armada kapal ikan asing. Fishing grounds tersebut meliputi ZEEI Samudera Hindia, Laut Natuna dan ZEEI Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Sulawesi, ZEEI Samudera Pasifik, Laut Banda, Laut Arafura, dan wilayah laut dalam serta wilayah laut perbatasan lainnya.

Kedua, pencemaran laut, perusakan ekosistem pesisir (seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari) yang semakin dahsyat, dan perubahan iklim global ditenggarai menurunkan stok (populasi) SDI.

Ketiga, sebagian besar nelayan menangani (handling) ikan hasil tangkapan selama di kapal sampai di tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) belum mengikuti cara-cara penanganan yang baik (Best Handling Practices). Akibatnya, mutu ikan begitu sampai di tempat pendaratan sudah menurun atau bahkan busuk, sehingga harga jualnya murah. Hal ini disebabkan karena kebanyakan kapal ikan tidak dilengkapi dengan palkah pendingin atau wadah (container) yang diberi es untuk menyimpan ikan agar tetap segar. Selain itu, banyak nelayan tardisional yang beranggapan bahwa membawa es berarti menambah biaya melaut, apalagi kalau tidak dapat ikan atau hasil tangkapnnya sedikit, atau esnya mencair sebelum mendapatkan ikan, maka rugi besar.

Keempat, hampir semua nelayan tradisional mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pemukiman nelayan, tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang tidak dilengkapi dengan pabrik es atau cold storagedan tidak memenuhi persyaratan standar sanitasi dan higienis. Sehingga, semakin memperburuk mutu ikan yang berimplikasi terhadap harga jual ikan. Hampir semua nelayan tradisional tidak bisa mendaratkan ikannya di pelabuhan perikanan samudera (PPS) atau pelabuhan perikanan nusantara (PPN) yang pada umumnya sudah memenuhi persyaratan sanitasi dan higienis, karena mereka harus membayar biaya tambat-labuh yang mahal (tidak terjangkau).

Kelima, di masa paceklik dan kondisi laut sedang berombak besar atau angin kencang (badai), antara 2 sampai 4 bulan dalam setahun, nelayan tidak bisa melaut untuk menangkap ikan. Bagi nelayan dan anggota keluarganya yang tidak memiliki usaha lain, saat-saat paceklik seperti ini praktis tidak ada income, sehingga mereka terpaksa pinjam uang dari para rentenir yang biasanya mematok bunga yang luar biasa tinggi, rata-rata 5 persen per bulan. Di sinilah, awal nelayan mulai terjebak dalam ‘lingkaran setan kemiskinan’, karena pendapatan yang ia peroleh di musim banyak ikan, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari juga dikeluarkan untuk bayar utang sekaligus bunganya.

Keenam, pada musim paceklik, harga jual ikan di lokasi pendaratan ikan biasanya tinggi (mahal), tetapi begitu musim ikan (peak season) tiba, harga jual mendadak turun drastis. Lebih dari itu, nelayan pada umumnya menjual ikan kepada padagang perantara (middle-man), tidak bisa langsung kepada konsumen terakhir. Sehingga, harga jual ikan yang mereka peroleh jauh lebih murah dari pada harga ikan yang sama di tangan konsumen terakhir. Padahal, jumlah pedagang perantara itu umumnya lebih dari dua tingkatan.

Ketujuh, kebanyakan nelayan membeli jaring, alat tangkap lain, BBM, beras, dan bahan perbekalan lainnya untuk melaut juga dari pedagang perantara yang jumlahnya bisa lebih dari dua tingkatan, tidak langsung dari pabrik atau produsen pertama. Sehingga, nelayan membeli semua sarana produksi perikanan tersebut dengan harga yang lebih mahal ketimbang harga sebenarnya di tingkat pabrik. Kondisi ini tentu membuat biaya melaut lebih besar dari pada yang semestinya.

Kedelapan, harga BBM dan sarana produksi untuk melaut lainnya terus naik, sementara harga jual ikan relatif sama dari tahun ke tahun, atau kalaupun naik relatif lamban. Hal ini tentu dapat mengurangi pendapatan nelayan.

 Kesembilan, sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan, nahkoda kapal, fishing master, dan ABK ditenggarai jauh lebih menguntungkan pemilik kapal. Dan, yang paling dirugikan adalah ABK. Karena itu, pada umumnya pemilik kapal modern (diatas 30 GT) beserta nahkoda kapal dan fishing master sudah sejahtera, bahkan kaya. Sementara, ABK nya masih banyak yang miskin.

Konstalasi sumberdaya pesisir dan laut selalu berdampak terhadap komunitas nelayan kecil hampir di seluruh wilayah nusantara ini. Eksistensi nelayan tradisional hampir selalu tidak pernah diperhitungkan. Posisi tawar mereka sangat kecil dibandingkan dengan keberadaan nelayan besar atau para pengusaha perikanan skala besar. Bahkan anggapan terburuk yang telah di labelkan terhadap para nelayan kecil ini adalah sebagai perusak lingkungan. Disisi lain hal ini tak dapat dipungkiri, aktifitas illegal fishing (bom ikan) oleh nelayan tradisional masih terus berlanjut, walaupun sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi kegiatan illegal ini, namun tingkat kriminal terhadap lingkungan ini masih cukup tinggi. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan model pengelolaan sumberdaya pesisir-laut yang tidak ramah lingkungan.

Nasib nelayan tradisional di perbatasan sangat miskin dibanding nelayan asing yang kehidupannya gemerlap. Dari segi peralatan dan kapal pun, nelayan Indonesia yang tinggal di perbatasan sangat jauh berbeda dari nelayan asing. Seperti yang terjadi nelayan di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, yang perbatasan langsung ddengan negara Vietnam.

 Natuna, salah satu pulau terluar di Provinsi Kepulauan Riau, terkenal sangat kaya akan potensi sumber daya alamnya, terutama di sektor perikanan laut, namun nelayannya tetap saja “miskin”, di tengah maraknya pencurian ikan oleh kapal modern dari negara tetangga. Taslam (50), nelayan asal Pulau Laut menuturkan nasib nelayan yang berada di ujung utara negeri perbatasan sangat miskin. Ia tak mampu tak mampu menelan kekecewaan terhadap kondisi yang menimpa nasib nelayan yang kian hari kian menyedihkan. Hasil tangkapannya semakin lama semakin menurun. Mereka hanya bisa menjadi penonton, orang-orang mengeruk hasil laut. Kekayaan hasil laut Natuna dijaring oleh nelayan-nelayan asing dengan alat tangkap serta alat navigasi kapal yang serba canggih. Sementara nelayan-nelayan tradisional hanya gigit jari melihat nelayan-nelayan asing mencuri kekayaan laut Indonesia.

Ironisnya, pencurian ikan dilakukan oleh negara-negara tetangga, di antaranya Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Penyelesaian batas perairan terkait Zona Ekonomi Eksklusif dengan negara tetangga yang tidak tuntas selama puluhan tahun menyebabkan gerbang terdepan itu menjadi lahan empuk pencurian.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi kerugian akibat penangkapan ikan ilegal sebesar Rp 11,8 triliun per tahun. Lebih mencengangkan, data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) merilis, potensi kerugian Indonesia akibat pencurian ikan Rp 30 triliun per tahun.

Modus penangkapan ikan ilegal antara lain kapal tidak dilengkapi dokumen izin. Selain itu, juga penggunaan alat tangkap yang berbahaya, pemalsuan dokumen, penggunaan bendera ganda, ataupun pemindahan barang muatan antarkapal (transshipment) di tengah laut.

Pengerukan sumber daya ikan Indonesia oleh kapal asing tak lepas dari lambannya pemerintah dan ketidaktegasan dalam memperjuangkan wilayah kedaulatan. Awal tahun ini, pemerintah justru membuka kelonggaran bagi nelayan Malaysia untuk memasuki perairan Indonesia. Kesepahaman Indonesia-Malaysia untuk tidak menangkap nelayan yang memasuki wilayah perbatasan kedua negara membuat kapal negara asing terus merambah perairan.

KKP merilis, ada indikasi terdapat 200-300 kapal asal Vietnam dan Thailand di Kuching, Serawak, Malaysia. Kapal itu bekerja sama dengan Malaysia dan menggunakan bendera Malaysia untuk menangkap ikan di bibir perbatasan dengan Indonesia. Maraknya kapal-kapal penangkap ikan asal Vietnam dan Thailand menggunakan bendera Malaysia ini jelas perlu dicegah.

Rekomendasi yang harus dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah:
1. Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat nelayan. Dalam hal ini konteksnya adalah nelayan sebagai kepala rumah tangga, dan nelayan sebagai seperangkat keluarga. Nelayan yang buta huruf minimal bisa membaca atau lulus dalam paket A atau B. Anak nelayan diharapkan mampu menyelesaikan pendidikan tingkat menengah. Sehingga kedepan akses perkembangan tekhnologi kebaharian, peningkatan ekonomi lebih mudah dilakukan. Pendidikan untuk nelayan pada hakekatnya merupakan human investmen dan social capital, baik untuk kepentingan pembangunan daerah maupun pembangunan nasional. Pendidikan merata dan bermutu baik melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah akan berdampak pada kecerdasan dan kesejahteraan nelayan. Demikian pula halnya dengan pendidikan memadai, paling tidak dapat dijadikan modal untuk mencari dan menciptakan peluang-peluang kerja yang dapat menjadi sumber kehidupan dan peningkatan kesejahteraan. Dalam banyak hal, terjadinya kemiskinan nelayan bukan semata-mata karena masalah ekonomi akan tetapi salah satu penyebabnya ialah pendidikan yang rendah.
Dilihat dari sumberdaya manusia nelayan paling tinggi hanya 80 % tamat sekolah dasar, bahkan banyak yang tidak tamat atau tidak sekolah sama sekali. Fakta tersebut menyiratkan kemampuan nelayan mengelola sumberdaya alam pesisir sangat terbatas. Ini disebabkan karena mereka identik dengan berbagai prilaku sosial yang tidak menguntungkan selama ini, misalnya budaya konsumtif, menyebabkan mereka terjebak pada lingkaran utang dan kemiskinan. Hal itu tentu jauh dari harapan untuk mengelola potensi sumberdaya kelautan yang tidak terbatas secara berkelanjutan, maka diperlukan regenerasi nelayan yang memiliki kemandiran, kompetensi dan kapasitas yang memadai pula.
2. Perlunya merubah pola kehidupan nelayan. Hal ini terkait dengan pola pikir dan kebiasaan. Pola hidup konsumtif harus dirubah agar nelayan tidak terpuruk ekonominya saat paceklik. Selain itu membiasakan budaya menabung supaya tidak terjerat rentenir. Selain itu perlu membangun diverifikasi mata pekerjaan khusus dipersiapkan menghadapi masa paceklik, seperti pengolahan ikan menjadi makanan, pengelolaan wialyah pantai dengan pariwisata dan bentuk penguatan ekonomi lain, sehingga bisa meningkatkan harga jual ikan, selain hanya mengandalakan ikan mentah.
3. Peningkatan kualitas perlengkapan nelayan dan fasilitas pemasaran. Perlunya dukungan kelengkapan tekhnologi perahu maupun alat tangkap, agar kemampuan nelayan Indonesia bisa sepadan dengan nelayan bangsa lain. Begitupula fasilitas pengolahan dan penjualan ikan, sehingga harga jual ikan bisa ditingkatkan.
4. Perlunya sebuah kebijakan sosial dari pemerintah yang berisikan program yang memihak nelayan, Kebijakan pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan harus bersifat bottom up sesuai dengan kondisi, karakteristik dan kebutuhan masyarakat nelayan. Kebijakan yang lahir berdasarkan partisipasi atau keterlibatan masyarakat nelayan, bukan lagi menjadikan nelayan sebagai objek program, melainkan sebagai subjek. Selain itu penguatan dalam hal hukum terkait zona tangkap, penguatan armada patroli laut, dan pengaturan alat tangkap yang tidak mengeksploitasi kekayaan laut dan ramah lingkungan.

Exit mobile version