Kementerian Lingkungan mengumumkan indeks kualitas lingkungan hidup 2011. Indeks kualitas lingkungan hidup menilai tiga hal yaitu kualitas air sungai, kualitas udara dan luas tutupan hutan. Dari 29 provinsi yang dinilai menunjukkan DKI Jakarta sebagai provinsi dengan kualitas lingkungan terburuk. Indeks yang diraih Jakarta sebesar 41,81, tak jauh lebih besar dari perolehan indeks Jakarta sebelumnya di angka 41,73.
Peringkat kedua terendah adalah Banten dengan indeks 48,98, lalu Jawa Timur dengan indeks 49,49 dan Kalimantan Tengah pada peringkat empat terendah yaitu dengan indeks 50,38. Adapun provinsi dengan indeks terbaik diperoleh Bali dengan nilai indeks tertinggi yaitu 99,65 dari 29 provinsi yang dinilai.
Kondisi Obyektif
Posisi DKI Jakarta menjadi semakin penting dengan munculnya era globalisasi di semua bidang. DKI Jakarta menjadi tulang punggung atau garis depan dari berbagai proses interaksi global. Ternyata wilayah daratan yang hanya 0,035 persen dari luas wilayah Republik Indonesia itu dihuni oleh sekitar 4 persen penduduk Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai hampir 9,6 juta jiwa.
Mengenai kondisi permukiman, fakta yang ada tidak lebih baik. Data BPS tercatat jumlah rumah kumuh sebanyak 181.256 unit dengan kategori kumuh berat sebanyak 21.720 unit. Permukiman kumuh tersebut berada di 279 RW kumuh. Pemukiman kumuh di daerah DKI dapat ditemukan di daerah-daerah pinggiran kali, selain itu ada juga di derah-daerah kolong Jembatan Layang dan daerah pinggiran rel kereta api. Rumah-rumah kumuh ini biasanya berbentuk gubuk-gubuk yang terbuat dari triplek kayu pada dinding-dindingnya.
Ekosistem Jakarta sudah berada dalam posisi yang tidak seimbang (disequilibrium). Kondisi sumberdaya alam sudah terkuras dan nyaris habis. Unsur-unsur seperti air bersih, udara bersih, jumlahnya amat terbatas. Sebagian besar air dan udara berada dalam wujud yang paling tercemar. Bahkan di kawasan-kawasan tertentu udaranya tergolong paling kotor di dunia.
Berdasarkan data Koalisi Jakarta, 70 persen polusi udara bersumber dari kendaraan bermotor. Warga Jakarta hanya menikmati udara bersih selama 27 hari dalam setahun, serta kualitas udaranya jauh lebih buruk dari Kota Semarang dan Bandung. Kendaraan bermotor yang menyebabkan pencemaran udara juga menjadi penyebab adanya pencemaran suara di 49 Kelurahan (18,35 persen).
Polda Metro Jaya mencatat jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta saat ini ada 11.362.396 unit yang terdiri dari roda dua sebanyak 8.244.346 unit dan roda empat sebanyak 3.118.050 unit. Dari jumlah tersebut, 98 persen adalah kendaraan pribadi sisanya sebanyak 859.692 unit atau 2 persennya angkutan umum yang mengangkut 66 persen total penduduk Jakarta. Kondisi ini diperparah dengan tidak sinkronnya pertumbuhan jalan dan kendaraan. Panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 km dan luas jalan 40,1 km atau 0,26 persen dari luas wilayah DKI. Sedangkan pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 persen per tahun. Belum lagi tingginya angka perjalanan di Jakarta yang mencapai 21 juta perharinya.
DKI Jakarta sudah padat dengan penduduk, hingga sebagian pemukiman tak layak huni. Pemukiman kumuh tersebar secara merata di lima kota yang ada, baik Jakarta Pusat, Jakarta barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.
Kondisi ekosistem Jakarta semakin terdegradasi. Memang ada upaya penyelamatan atau pemulihan. Sebagai contoh Proyek Kali Bersih (Prokasih), yang hingga saat ini masih cukup populer, hasilnya memang cukup lumayan, paling tidak bisa meningkatkan minat sebagian penduduk untuk turut memelihara kebersihan sungai.
Namun gebrakan tersebut tampaknya baru sampai taraf “menggugah” kesadaran sebagian penduduk, dan belum berhasil “menggerakan” penduduk untuk terjun ke sungai-sungai dan membersihkannya dari berbagai limbah.
Sungai-sungai di Jakarta umumnya masih tampak kusam, hitam-legam, bahkan ada yang mengandung bahan berbahaya beracun. Tak dapat dipungkiri, masih ada kalangan pengusaha atau penduduk biasa yang “membandel” membuang limbah atau sampah dengan seenaknya.
Kondisi sungai di Jakarta lebih memprihatinkan. Dirjend Cipta Karya Kementerian PU menyatakan 13 Sungai yang mengalir di Jakarta, tidak satupun yang bebas dari pencemaran. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Program Pascasarjana UI yaitu, seluruh sungai yakni 13 sungai di Jakarta tercemar bakteri E-Coli, baik tercemar berat maupun sedang. Tidak hanya itu, air tanah dangkal di Jakarta tercemar 80 hingga 90 persen oleh bakteri E-Coli. Padahal kebutuhan air bersih orang di Jakarta setiap hari diperkirakan 175 liter air per orang. Dan untuk 9 juta penduduk, diperlukan 1,5 juta meter kubik per hari. Perusahaan air minum baru bisa memenuhi kebutuhan 52 persen lebih..
berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), intrusi air laut di permukaan Jakarta sudah mencapai 3 kilometer ke daratan. Sedangkan intrusi air laut di bagian tanah dalam sudah lebih 10 kilometer ke daratan.
Intrusi di permukaan terjadi karena sebab alami berupa air laut pasang. Intrusi air laut tanah dalam terjadi karena penyedotan air tanah secara berlebihan dan tak terkendali selama bertahun-tahun. Rongga- rongga tanah yang kosong akibat penyedotan air menyebabkan tanah memadat dan terjadi penurunan permukaan tanah. Namun, di daerah pesisir, rongga tanah yang kosong diisi air laut yang bersifat korosif.
Kondisi ini terjadi karena pengambilan air tanah di Jakarta saat ini mencapai 252, 6 juta meter kubik per tahun. Padahal, ambang batasnya hanya 186 juta meter kubik per tahun sehingga terjadi defisit sekitar 66,65 juta meter kubik per tahun.
Parahnya, defisit air tanah ini sulit diatasi secara alami dari limpahan air hujan karena minimnya ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta. Menurut BPLHD Jakarta, RTH di Jakarta baru 9,7%. Masih jauh dari amanat UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang yaitu sedikitnya 30%.
Untuk menetralisir dampak pencemaran udara, di Jakarta perlu terus dikembangkan program penghijauan, seperti melalui gerakan sejuta pohon. Pohon yang ditanam meliputi pohon pelindung, pohon produktif dan pohon hias. Gerakan sejuta pohon di DKI Jakarta hendaknya bukan sekedar basa-basi, terutama mengingat fungsi vegetasi yang amat strategis dalam ekosistem.
Dalam suatu kawasan padat seperti Jakarta, pohon tak ubahnya berperan sebagai “paru-paru” kota, yang bertugas membersihkan udara kota, menyerap polutan, dan mempertinggi kadar oksigen. Salah satu aktivitas pohon atau tumbuhan ialah melakukan fotosintesis, di mana karbon dioksida bereaksi dengan air plus dukungan cahaya, untuk membentuk glukosa ditambah oksigen. Dengan adanya berjuta-juta di Jakarta, diharapkan konsentrasi karbon dioksida dan berbagai polutan lainnya bisa menurun, selain itu kondisi udara pun diharapkan semakin bersih.
Jakarta memang sangat kekurangan pepohonan. Hutan yang ada di Jakarta hanya sekitar 475 hektar, atau hanya sekitar 0,72 persen dari luas wilayah secara daratan keseluruhan. Itupun sebagian besar justru berada di wilayah Kepulauan Seribu yang termasuk Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Sebagian besar permukaan DKI Jakarta memang ditumbuhi hutan beton dan aspal, yang justru berdampak kurang menguntungkan terhadap kondisi ekosistem. Dengan berdirinya gedung-gedung pencakat langit umpamanya, jelas menyebabkan penyinaran matahari berlangsung tidak optimal. Hal tersebut menimbulkan degradasi terhadap kualitas ekologi. Persoalan lingkungan di Jakarta memang makin rumit dan kompleks, namun dengan adanya upaya program kali bersih, program langit bersih dan penanaman sejuta pohon, diharapkan menjadi fenomena yang positif terhadap pemeliharaan lingkungan secara global
Masalah lain yang menyebabkan ketidaknyamanan adalah sampah. Sumber limbah padat di wilayah DKI Jakarta umumnya berasal dari kegiatan rumah tangga, pasar, industri, komersial, taman, jalan dan sungai. Persentasi sampah terbesar disumbang oleh rumah tangga, yaitu sebesar 52,97 persen, sementara pasar 4 persen, sekolah 5,32 persen, dan selebihnya perkantoran serta industri.