LingkunganUncategorized

ENERGI BERKELANJUTAN atau ECO-ENERGY

[1]

I. Pendahuluan

Energi memiliki pengertian berbeda-beda tergantung konsumennya. Definisi tentang energi dapat menjadi sangat lebar. Menurut sarjana teknik, energi bisa berkaitan dengan istilah minyak bumi, listrik, panas bumi, gas alam, dan sebagainya. Menurut masyarakat awam, energi bisa berarti bensin, solar, pertamax, minyak tanah, baterai, dan bahkan makanan. Tapi secara umum, energi itu ialah sesuatu yang menghasilkan kerja.

Berbagai pakar memprediksi, energi akan menjadi kebutuhan vital masa depan selain pangan. Bertambahnya jumlah penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan perekonomian menyebabkan peningkatan konsumsi energi dunia. International Energy Agency (IEA, 2007) melaporkan peningkatan konsumsi energi dunia hampir dua kali lipat dari 6.128 Mtoe pada tahun 1973 hingga 11.435 Mtoe pada tahun 2005. Meski bila dilihat sisi jumlah, penggunaan bahan bakar fosil semakin meningkat, namun akibat masalah ketersediaan dan harga yang fluktuatif, persentase penggunaan minyak bumi mengalami penurunan; dari 46,2% pada tahun 1973 menjadi 35% pada tahun 2005. Penurunan persentase penggunaan minyak bumi tersebut dikompensasi oleh kenaikan penggunaan gas (16% menjadi 20,7%) dan batubara (24,4% menjadi 25,3%), serta sumber energi nuklir (0,9% menjadi 6,3%). Selama kurun waktu yang sama, penggunaan sumber energi air mengalami peningkatan dari 1,8% menjadi 2,2%, sedangkan sumber-sumber energi yang lain seperti surya, panas bumi, dan angin mengalami peningkatan dari 0,1% menjadi 0,5%. Selain itu, pembakaran biomassa dan sampah menyumbang suplai energi sekitar 10%. Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa peradaban dunia saat ini masih sangat ditopang oleh bahan bakar fosil.

Kebutuhan energi akan memicu berbagai konflik di seluruh dunia karena keberadaannya yang semakin langka. Invansi AS ke Irak, campur tangan Rusia terhadap konflik Georgia, kudeta tidak berdarah di Venezuela, dan berbagai konflik lainnya dipicu oleh kebutuhan energi.

Namun di sisi lain penggunaan bahan bakar minyak dan alternatifnya yang juga berasal dari fosil menyebabkan kekhawatiran akan pencemaran lingkungan tidak terkecuali pemanasan global. Hampir semua pencemaran lingkungan baik di darat, laut, dan udara disebabkan aktifitas produksi, distribusi dan konsumsi energi tersebut. Aktifitas penambangan atau eksplorasi energi menyebabkan perubahan morfologi dan struktur tanah. Akibatnya tanah menjadi gersang dan rawan terjadi erosi atau longsor. Aktifitas distribusi skala besar dengan menggunakan kapal tangker sering menyebabkan kebocoran sehingga ekosistem di laut menjadi terganggu. Dan aktifitas konsumsi menyebabkan polusi udara dan pemanasan global.

Karena besarnya dampak yang diberikan oleh energi namun kebutuhannya juga vital, maka perlu dirumuskan sebuah titik keseimbangan antara kebutuhan dan dampak. Titik keseimbangan tersebut berguna untuk menjaga keseimbangan fungsi lingkungan agar lingkungan dapat menopang seluruh aktifitas makhluk hidup tiddak hanya saat ini namun di masa depan.

II. Belajar Dari Pengalaman Pengelolaan Energi Di Beberapa Negara

Pengalaman beberapa negara dalam mengelola energi dapat dikatakan gagal. Ketergantungan yang besar hanya pada satu atau dua sumber energi yang berasal dari energi fosil menyebabkan ketahanan energi mereka menjadi labil. Tiga negara maju, yaitu Amerika Serikat bersama dengan Jepang dan Korea Selatan tergolong negara-negara yang masih sangat tergantung pada minyak-lebih dari 40% kebutuhan energinya dipasok oleh minyak.

Lain halnya dengan Cina, Rusia, Perancis dan Iran. Keempat Negara besar tersebut sudah meninggalkan minyak sebagai energi utamanya namun masih menempatkan energi fosil sebagai bahan bakar utamanya. Dan yang sudah meninggalkan energi fossil dan beralih pada energi terbarukan adalah Kanada dan Brasil.

Cina dengan pertumbuhan industri baru yang sangat pesat mampu mengembangkan batu bara sebagai sumber energi alternatif dengan tujuan ketergantungan pada minyak tidak terlalu besar. Disamping itu dengan harga batubara yang lebih murah mampu membuat industri Cina dapat bersaing. Meskipun cadangan batu bara Cina tidak sebesar Amerika Serikat (cadangan Amerika mencapai 27,1% dari seluruh cadangan batu bara di dunia sedangkan Cina memiliki 12,6%), murahnya harga energi batu bara membuat Cina begitu gencar mengintensifkan penggunaan batu bara untuk kebutuhan energinya (EIA Outlook, 2005).

Pendekatan yang menarik dari kebijakan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya juga bisa dilihat pada kasus Rusia atau Prancis. Dengan cadangan gas alam terbesar di dunia (Rusia menguasai 26,7% cadangan gas alam di dunia) Rusia menjadikan gas alam sebagai sumber utama pemenuhan energi dalam negerinya yang mencapai setara 361,8 juta ton minyak atau 54,1% dari total energi yang dikonsumsi negara tersebut. Produksi gas alam yang melimpah yang dilakukan oleh Rusia yang mencapai setara 530,2 juta ton minyak (setara dengan 21,9% dari total produksi gas alam di seluruh dunia yang merupakan produksi gas alam terbesar di dunia), membuat negara ini cukup stabil dalam pemenuhan kebutuhan energinya.

Sementara itu Prancis memiliki caranya sendiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Berbeda dengan Amerika, Cina atau Rusia yang cukup memiliki kekuatan menguasai sumber sumber energi fosil seperti minyak, batu bara ataupun gas alam, Prancis memiliki keterbatasan terhadap sumber sumber energi fosil tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan energinya yang besar, selain mengembangkan perusahaan-perusahaan minyaknya menjadi perusahaan berskala besar untuk menjamin suplai minyak dalam negerinya, Prancis secara serius menggarap sumber energi nuklirnya hingga mampu memproduksi setara 101,4 juta ton minyak (jumlah ini merupakan 16,2% dari total energi nuklir di dunia yang merupakan kedua terbesar setelah Amerika). Di Perancis nuklir menjadi sumber energi utama dibandingkan dengan minyak, gas ataupun batubara.

Tidak jauh berbeda dengan Iran. Meski produksi minyaknya 4,3 juta barel perhari (hampir lima kali lipat Indonesia), tapi pemerintahnya tetap hemat bahan bakar. Di dalam kota, kendaraan pribadi maupun umum dipaksa untuk memakai BBG, kebutuhan rumah tangga LPG, dan kebutuhan listrik nasional dupayakan dari PLTN. Itulah sebabnya Iran bertekad membangun PLTN untuk memenuhi kebutuhan energinya. BBM yang mahal, sebagian besar dijual untuk membiayai pembangunan industri dan pengembangan teknologi konversi bahan bakar, termasuk pembangunan PLTN.


Cara yang berbeda ditempuh oleh Kanada dengan memperbesar konsumsi gas alam dan sumber energi airnya sehingga jumlah keduanya mencapai 51%, jauh diatas konsumsi minyaknya yaitu 32,4% (Kanada merupakan negara yang memproduksi energi hydro terbesar di dunia yang mencapai 12% dari seluruh energi hydro di seluruh dunia).

Penggunaan alkohol sebagai bahan bakar mulai diteliti dan diimplementasikan di USA dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar fosil di kedua negara tersebut pada tahun 1970-an. Brazil tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan tinggi dalam implementasi bahan bakar alkohol untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan bahan bakar ethanol saat ini mencapai 40% secara nasional (Nature, 1 July 2005).

Brazil, sampai saat ini telah memiliki 320 pabrik bioethanol, Di tahun 1990-an, bioethanol di Brazil telah menggantikan 50% kebutuhan bensin untuk keperluan transportasi. Ini jelas sebuah angka yang sangat signifikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Bioethanol tidak saja menjadi alternatif yang sangat menarik untuk substitusi bensin, namun dia mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18% di Brazil. Dalam hal prestasi mesin, bioethanol dan gasohol (kombinasi bioethanol dan bensin) tidak kalah dengan bensin; bahkan dalam beberapa hal, bioethanol dan gasohol lebih baik dari bensin. Pada dasarnya pembakaran bioethanol tidak menciptakan CO2 neto ke lingkungan karena zat yang sama akan diperlukan untuk pertumbuhan tanaman sebagai bahan baku bioethanol. Bioethanol bisa didapat dari tanaman seperti tebu, jagung, singkong, ubi, dan sagu; ini merupakan jenis tanaman yang umum dikenal para petani di tanah air. Efisiensi produksi bioethanol bisa ditingkatkan dengan memanfaatkan bagian tumbuhan yang tidak digunakan sebagai bahan bakar yang bisa menghasilkan listrik.

Untuk jangka panjang, sepertinya Brazil dan Kanada memiliki ketahanan energi yang lebih kuat dibanding yang lain karena Negara tersebut sudah menggunakan energi terbarukan. Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain: panas bumi, bahan bakar nabati (biofuel), aliran air sungai, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut dan suhu kedalaman laut.

III. Kebijakan Energi Indonesia

Lonjakan harga minyak hingga US$ 140/barel pada akhir tahun 2008 mempengaruhi aktifitas perekonomian di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, kemelut tersebut diperparah dengan maraknya penyelundupan minyak yang ditengarai merugikan negara hingga 8.8 trilyun rupiah per tahun. Penerapan UU Migas No 22 Tahun 2001 juga dituding sebagai penyebab menurunnya kemampuan Pertamina dalam menyediakan BBM. Maka kelangkaan BBM merupakan pemandangan yang bisa dijumpai di berbagai daerah di tanah air. Dari segi APBN, subsidi BBM yang mencapai 25% dinilai sebagai sesuatu yang tidak wajar dan memberatkan. Krisis BBM ini disinyalir merupakan penyebab melemahnya rupiah terhadap dolar.

Yang jadi masalah, meski Indonesia punya minyak, tapi sebagian besar, 85%, dimiliki perusahaan asing (ExxonMobil, Chevron,Chinox, BP, ConocoPhillips, dll). Hal yang sama terjadi pada gas. Tragisnya, setiap ada tambang minyak atau gas besar, pemerintah (sekarang Pertamina) lebih suka memberikan kontraknya kepada asing. Alasannya, perusahaan dalam negeri, kurang modal dan teknologi. Inilah mitos yang harus dibongkar. Mitos ini pastilah dihembuskan oleh perusahaan minyak asing dan pemerintah percaya saja. Mental budak tampaknya belum sirna dari pikiran para petinggi negeri ini.

Akibat mental budak ini pula, banyak konsesi minyak dan gas yang sangat merugikan Indonesia. Indonesia, misalnya, menjual gas dari lapangan Tangguh, Papua, ke Cina, hanya 3,5 dolar AS per MMBTU di era Megawati – padahal PLN mau membelinya dengan harga dua kali lipat. Tapi karena sudah teken kontrak, pemerintah tak berani menggugatnya. Begitu juga dalam minyak bumi. Pemerintah banyak dirugikan korporasi asing karena biaya eksplorasi dan lain-lainnya yang dibebankan pada cost recovery amat tinggi. Padahal, kalau dikerjakan oleh swasta dalam negeri biaya cost recovery itu akan jauh lebih hemat. Hal ini, misalnya, bisa terlihat dari audit BPKP terhadap cost recovery periode 2000-2006 terhadap 152 kontraktor bagi hasil yang nilainya Rp 122,8 Triliun. Ternyata ditemukan indikasi penyimpangan sebesar Rp 18,07 Triliun. Ini terjadi karena perhitungan cost recoverynya melebar, sampai pada pembangunan rumah dinas, membangun tempat hiburan, biaya liburan, dan lain-lain. Padahal skema cost recovery hanya meliputi biaya kegiatan eksplorasi dan lifting.

Untuk Indonesia, ada tiga data yang sebenarnya bisa digunakan untuk memprediksi kemelut BBM saat ini, yakni: (1) Setelah mencapai puncaknya pada tahun 1980-an, produksi minyak Indonesia terus menurun; dari hampir 1.6 juta barel/hari, saat ini hanya 1.2 juta barel/hari, (2) Pertumbuhan konsumsi energi dalam negeri yang mencapai 10% per tahun, dan (3) Kecenderungan harga minyak dunia yang terus meningkat setelah krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1998.

Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil setidaknya memiliki tiga ancaman serius, yakni: (1) Menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui (bila tanpa temuan sumur minyak baru), (2) Kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak, dan (3) Polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil. Kadar CO2 saat ini disebut sebagai yang tertinggi selama 125,000 tahun belakangan. Bila ilmuwan masih memperdebatkan besarnya cadangan minyak yang masih bisa dieksplorasi, efek buruk CO2 terhadap pemanasan global telah disepakati hampir oleh semua kalangan. Hal ini menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Oleh karena itu, pengembangan dan implementasi bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai negara.

Pemerintah sebenarnya telah menyiapkan berbagai peraturan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil (misalnya: Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1980 dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No 996.K/43/MPE/1999 tentang prioritas penggunaan bahan bakar terbarukan untuk produksi listrik yang hendak dibeli PLN

Secara keseluruhan ada lima program aksi untuk reorientasi manajemen pemakaian BBM tersebut, yaitu program aksi substitusi BBM untuk rumah tangga dan industri kecil; substitusi BBM untuk transportasi, substitusi untuk sektor industri skala menengah dan besar, program aksi percepatan pembangunan pembangkit listrik non-BBM, dan program aksi pencairan batubara. Sasaran akhirnya dari Perpres dan Inpres di atas, adalah mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dan pemanfaatan yang lebih besar pada energi alternatif.

IV. Masa Depan Energi Indonesia

Indonesia sebenarnya telah merencanakan terwujudnya energi primer mix yang optimal pada tahun 2025. Masing-masing sumber energi sudah dibagi peranannya terhadap konsumsi energi nasional:

  1. Minyak bumi menjadi kurang dari 20%
  2. Gas bumi menjadi lebih dari 30%
  3. Batubara menjadi lebih dari 33%
  4. Bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5%
  5. Panas bumi menjadi lebih dari 5%
  6. Energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%
  7. Batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2%

Pembagian tersebut diatur dalam Perpres No 5 tahun 2006. Target capaian energi terbarukan pada perpres tersebut (yakni 15%) cukup maju dibandingkan dengan negara tetangga seperti Australia yang hanya 6% pada tahun 2029-2030 [Australia’s Energy Outlook, 2006], sedangkan India mentargetkan kontribusi tenaga air dan nuklir sebesar 11,8% pada tahun 2031-2032 [WEC, 2006]. Guna mencapai target penggunaan energi terbarukan tersebut, baru-baru ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 yang mewajibkan berbagai sektor pengguna energi untuk menggunakan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan persentase dan pentahapan tertentu.

Namun Perpres dan Inpres di atas masih sangat konservatif, belum ada penekanan khusus kapan implementasi diversifikasi energy tersebut terealisir. (bandingkan dengan AS yang pada tahun 2017 bertekad, 20 persen kebutuhan energinya akan diperoleh dari biofuel, dan Prancis yang pada tahun 2020 bertekad mengekspor listrik dari PLTN ke Eropa)

Target pencapaian energi terbarukan pada tahun 2025 tersebut harus didukung kebijakan utama yang meliputi:

1. Penyediaan energi melalui:

a. Penjaminan ketersediaan pasokan energi dalam negeri

b. Pengoptimalan produksi energi

c. Pelaksanaan konservasi energi

2. Pemanfaatan energi melalui

a. Efisiensi pemanfaatan energi

b. Diversifikasi energi

3. Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan usaha kecil, dan bantuan bagi masyarakat tidak mampu dalam jangka waktu tertentu

4. Pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan

Kebijakan utama tersebut perlu diikuti kebijakan pendukung meliputi:

a. Pengembangan infrastruktur energi termasuk peningkatan akses konsumen terhadap energi

b. Kemitraan pemerintah dan dunia usaha

c. Pemberdayaan masyarakat

d. Pengembangan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan

Agar target pencapaian energi terbarukan 17% pada tahun 2025, maka perlu disempurnakan dengan strategi pencapaian sasaran, yaitu:

a. Perubahan paradigma pengelolaan energi yang berbasis energi berkelanjutan;

b. Penyempurnaan peraturan – peraturan untuk mempercepat penyediaan dan pemanfaatan Energi Terbarukan;

c. Mendorong diversifikasi pemanfaatan energi;

d. Menetapkan insentif bagi energi terbarukan agar dapat bersaing dalam mekanisme pasar;

e. Mendorong investasi swasta;

f. Peningkatan kemandirian desa dibidang energi.

V. Kebijakan Energi Berkelanjutan

Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak bumi, yang sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama penghasil energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter;

1. Dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil, khususnya minyak bumi

2. Dapat menyediakan energi listrik dalam skala lokal regional

3. Mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, serta

4. Ramah lingkungan, dalam artian proses produksi, disribusi dan pembuangan hasil produksinya tidak merusak lingkungan hidup disekitarnya.

Mayoritas pakar menyebutkan bahwa masa depan energi ada pada energi terbarukan, karena memiliki kelebihan antara lain, yaitu:

  1. Relatif mudah didapat,
  2. Dapat diperoleh dengan gratis, berarti biaya operasional sangat rendah,
  3. Tidak mengenal problem limbah,
  4. Proses produksinya tidak menyebabkan kenaikan temperatur bumi, dan
  5. Tidak terpengaruh kenaikkan harga bahan bakar (Jarass,1980).

Ada beberapa sumber energi terbarukan yang perlu diketahui, antara lain:

5.1 Tenaga Panas Bumi

Sebagai negara yang terletak di daerah ring of fire, Indonesia diperkirakan memiliki cadangan tenaga panas bumi tak kurang dari 27 GW. Jumlah tersebut tidak jauh dari daya total pembangkitan listrik nasional yang saat ini mencapai 39.5 GW. Pemanfaatan tenaga panas bumi di Indonesia masih sangat rendah, yakni sekitar 3%. Tenaga panas bumi berasal dari magma (yang temperaturnya bisa mencapai ribuan derajad celcius). Panas tersebut akan mengalir menembus berbagai lapisan batuan di bawah tanah. Bila panas tersebut mencapai reservoir air bawah tanah, maka akan terbentuk air/uap panas bertekanan tinggi. Ada dua cara pemanfaatan air/uap panas tersebut, yakni langsung (tanpa perubahan bentuk energi) dan tidak langsung (dengan mengubah bentuk energi). Untuk uap bertemperatur tinggi, tenaga panas bumi tersebut bisa dimanfaatkan untuk memutar turbin dan generator yang selanjutnya menghasilkan listrik. Sedangkan uap/air yang bertemperatur lebih rendah (sekitar 100oC) bisa dimanfaatkan secara langsung untuk sektor pariwisata, pertanian, industri, dsb. Dengan adanya UU No 27 Tahun 2003 tentang panas bumi serta inventarisasi data panas bumi yang telah dilakukan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, maka eksploitasi tenaga panas bumi ini bisa segera direalisasikan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil.

Untuk energi panas bumi, potensinya sangat besar, karena Indonesia berada dalam jajaran gugus pegunungan circum pasifik dan mediterania. Sampai saat ini terdapat 217 daerah potensi sumber panas bumi yang telah diinventarisasi dan diperkirakan mempunyai daya sekitar 16 ribu Megawatt (MW) dengan rincian 5.300 MW terdapat di Jawa dan 9.600 MW terdapat di Sumatera.

5.2 Mikrohidro

Mikrohidro adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil (bisa mencapai beberapa ratus kW). Relatif kecilnya energi yang dihasilkan mikrohidro (dibandingkan dengan PLTA skala besar) berimplikasi pada relatif sederhananya peralatan serta kecilnya areal tanah yang diperlukan guna instalasi dan pengoperasian mikrohidro. Hal tersebut merupakan salah satu keunggulan mikrohidro, yakni tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Mikrohidro cocok diterapkan di pedesaan yang belum terjangkau listrik dari PT PLN. Mikrohidro mendapatkan energi dari aliran air yang memiliki perbedaan ketinggian tertentu. Energi tersebut dimanfaatkan untuk memutar turbin yang dihubungkan dengan generator listrik. Mikrohidro bisa memanfaatkan ketinggian air yang tidak terlalu besar, misalnya dengan ketinggian air 2.5 m bisa dihasilkan listrik 400 W. Potensi pemanfaatan mikrohidro secara nasional diperkirakan mencapai 7,500 MW, sedangkan yang dimanfaatkan saat ini baru sekitar 600 MW. Meski potensi energinya tidak terlalu besar, namun mikrohidro patut dipertimbangkan untuk memperluas jangkauan listrik di seluruh pelosok nusantara.

5.3 Energi surya

Energi yang berasal dari radiasi matahari merupakan potensi energi terbesar dan terjamin keberadaannya di muka bumi. Berbeda dengan sumber energi lainnya, energi matahari bisa dijumpai di seluruh permukaan bumi. Pemanfaatan radiasi matahari sama sekali tidak menimbulkan polusi ke atmosfer. Perlu diketahui bahwa berbagai sumber energi seperti tenaga angin, bio-fuel, tenaga air, dsb, sesungguhnya juga berasal dari energi matahari. Pemanfaatan radiasi matahari umumnya terbagi dalam dua jenis, yakni termal dan photovoltaic. Pada sistem termal, radiasi matahari digunakan untuk memanaskan fluida atau zat tertentu yang selanjutnya fluida atau zat tersebut dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Sedangkan pada sistem photovoltaic, radiasi matahari yang mengenai permukaan semikonduktor akan menyebabkan loncatan elektron yang selanjutnya menimbulkan arus listrik. Karena tidak memerlukan instalasi yang rumit, sistem photovoltaic lebih banyak digunakan. Sebagai negara tropis, Indonesia diuntungkan dengan intensitas radiasi matahari yang hampir sama sepanjang tahun, yakni dengan intensitas harian rata-rata sekitar 4.8 kWh/m2. Meski terbilang memiliki potensi yang sangat besar, namun pemanfaatan energi matahari untuk menghasilkan listrik masih dihadang oleh dua kendala serius: rendahnya efisiensi (berkisar hanya 10%) dan mahalnya biaya per-satuan daya listrik. Untuk pembangkit listrik dari photovoltaic, diperlukan biaya US $ 0.25 – 0.5 / kWh, bandingkan dengan tenaga angin yang US $ 0.05 – 0.07 / kWh, gas US $ 0.025 – 0.05 / kWh, dan batu bara US $ 0.01 – 0.025 / kWh [13]. Pembangkit lisrik tenaga surya ini sudah diterapkan di berbagi negara maju serta terus mendapatkan perhatian serius dari kalangan ilmuwan untuk meminimalkan kendala yang ada.

5.4 Energi Angin

Pembangkit listrik tenaga angin disinyalir sebagai jenis pembangkitan energi dengan laju pertumbuhan tercepat di dunia dewasa ini. Saat ini kapasitas total pembangkit listrik yang berasal dari tenaga angin di seluruh dunia berkisar 17.5 GW. Jerman merupakan negara dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga angin terbesar, yakni 6 GW, kemudian disusul oleh Denmark dengan kapasitas 2 GW. Listrik tenaga angin menyumbang sekitar 12% kebutuhan energi nasional di Denmark; angka ini hendak ditingkatkan hingga 50% pada beberapa tahun yang akan datang. Berdasar kapasitas pembangkitan listriknya, turbin angin dibagi dua, yakni skala besar (orde beberapa ratus kW) dan skala kecil (dibawah 100 kW). Perbedaan kapasitas tersebut mempengaruhi kebutuhan kecepatan minimal awal (cut-in win speed) yang diperlukan: turbin skala besar beroperasi pada cut-in win speed 5 m/s sedangkan turbin skala kecil bisa bekerja mulai 3 m/s. Potensi angin di Indonesia relatif kecil, karena rata-rata kecepatan angin hanya berkisar 3-5 km/detik. Pada beberapa tempat di bagian Timur Indonesia, kecepatan angin dapat mencapai lebih dari 5 km/detik dan diperkirakan mempunyai potensi energi setara dengan 448 ribu MW.

5.5 Biomass

Bahan bakar bio adalah bahan bakar yang diperoleh dari biomass – organisme atau produk dari metabolisme mereka, seperti tai dari sapi. Biomass termasuk energi terbaharui.

Biomass dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar atau untuk memproduksi bahan bakar bio cair. Biomass yang diproduksi dengan teknik pertanian, seperti biodiesel, ethanol, dan bagasse (seringkali sebuah produk sampingan dari pengkultivasian Tebu) dapat dibakar dalam mesin pembakaran dalam atau pendidih.

Sebuah hambatan adalah seluruh biomass harus melalui beberapa proses berikut: harus dikembangkan, dikumpulkan, dikeringkan, difermentasi dan dibakar. Seluruh langkah ini membutuhkan banyak sumber daya dan infrastruktur.

Menurut sebuah penelitian residu biomassa dari kegiatan pemanenan akhir di hutan tanaman jumlahnya mencapai 20% untuk hutan tanaman yang dijarangi dan 35% dari hutan tanaman tanpa penjarangan. Besaran tersebut belum termasuk biomassa cabang dan ranting, atau residu biomassa dari kegiatan penjarangan. Laporan lain dalam Boer, menyebutkan bahwa produksi biomassa hutan tanaman adalah 8-25 ton/ha/tahun.

Dengan limpahan residu dari biomassa hutan yang sangat besar, maka implementasi energi biomassa memiliki prospek yang besar. Di samping itu pemanfaatan biomassa menjadi energi pun dapat mengurangi emisi CO2 baik dari respirasi akibat dekomposisi maupun dari kemungkinan kebakaran, serta berkontribusi besar pada penurunan penggunaan bahan bakar fosil yang semakin langka dan mahal.


Pengembangan Energi Biomassa

Penggunaan bahan bakar biomassa atau kayu sebagai bahan pensubstitusi bahan bakar fosil merupakan salah satu peranan penting hutan. FAO mengestimasi bahwa penggunaan biomassa di negara berkembang berkontribusi sekitar 15% dari total biaya energi yang diperlukan.

Pada tahun 2000, sekitar 18,4 GW energi biomassa telah diinstalasi di negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), yang terdiri dari negara-negara di Amerika Utara, Europa dan Pasifik. Amerika Serikat mendominasi 7.4 GW, salah satunya dikembangkan di Wisconsin oleh Northern States Power Co. dengan kapasitas 75 MW.

Finlandia merupakan negara yang memiliki instalasi energi biomassa terbanyak dengan proporsi sekitar 8% dari total negara-negara anggota OECD. Dengan luas areal dan potensi hutan yang jauh lebih besar dari Finlandia (24.4 juta ha), Indonesia memiliki prospek pengembangan energi biomassa yang potensial dan kompetitif.
Terkait dengan kelangkaan bahan bakar minyak serta besarnya potensi pengembangan energi biomassa di Indonesia, maka dalam proses pengembangannya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Pengembangan energi dari biomassa perlu didukung teknologi konversi yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
  2. Pasar yang kompetitif perlu diciptakan sehingga residu biomassa dari kehutanan dapat dimanfaatkan optimal, tanpa berefek negatif pada keberlanjutan eksploitasi.
  3. Pengembangan bioenergi dari biomassa harus diintegrasikan dengan kebijakan terkait dari sektor energi, lingkungan, pertanian, dan kehutanan, sehingga terjadi insentif yang merangsang pertumbuhan dari semua sektor yang diintegrasikan.
  4. Kebijakan yang dibuat harus berjangka panjang untuk merangsang investasi, dan pemerintah harus menetapkan target dan ukuran kebijakan yang menguntungkan semua pihak.
  5. Kontinuitas penelitian, pengembangan, desiminasi, dan demonstrasi terhadap tipe/jenis biomassa, manajemen, serta teknologi konversinya, sehingga efektif dan efisien secara ekonomi dan ramah lingkungan dari sisi ekologi.


Disamping iklim usaha yang kompetitif, pengembangan energi dari biomassa yang berkesinambungan secara ekonomi, lingkungan dan sosial, harus pula memperhatikan beberapa kriteria berikut:

  1. Biomassa yang digunakan harus berasal dari sumber yang dapat diperbaharui yang dikelola dengan manajemen yang berkelanjutan.
  2. Biaya-biaya proses harus dijaga rendah untuk memastikan efisiensi ekonomi.
  3. Bahan input lain yang dipergunakan dalam rantai teknologi konversi yang berasal dari sumber yang tidak dapat diperbaharui harus tetap rendah untuk menekan tingkat emisinya dan dengan tetap menggunakan teknologi konversi terbaik.
  4. Rancangan pengembangan bioenergi harus bermanfaat bagi pembangunan masyarakat secara luas.

5.6 Bahan Bakar Nabati

Banyak jenis sumber nabati yang bisa diolah menjadi BBN, mulai dari buah atau biji (misalnya jarak pagar dan kelapa sawit), batang (tebu), bahkan sampai ke akar tumbuhan (jenis umbi-umbian, seperti ubi kayu atau singkong). Menurut catatan kantor Menristek, Indonesia setidaknya memiliki 60-an jenis tumbuhan penghasil minyak. Pengembangan BBN ditetapkan sasaran tahun 2010 yang diantaranya adalah terciptanya lapangan kerja untuk 3,5 juta orang dengan pendapatan minimal sama dengan upah minimum regional (UMR), pengembangan tanaman BBN seluas 5,25 juta ha, terciptanya 1.000 desa mandiri energi dan 12 kawasan khusus pengembangan BBN, pengurangan pemakaian BBM nasional minimal 10%, penghematan devisa sekitar US$ 10 miliar dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, serta tersedianya ekspor BBN.

Itu baru masalah energi dalam negeri. Jika orientasinya ekspor, di masa datang peluang bisnisnya juga luar biasa. Peluang bisnis biofuel di dunia sangat besar. Berdasarkan laporan Clean Edge seperti dikutip buku The Clean Tech Revolution (2007) karya Ron Pernick dan Clint Wilder, pasar biofuel di dunia tahun 2006 mencapai 20,5 milyar dolar AS (untuk etanol dan biodisel). Nilai pasar itu akan meningkat empat kali lipat pada tahun 2016. Di AS, etanol dicampur dengan gasoline (premium) dengan kadar campuran berkisar 2 hingga 85 persen. Di Brasil, sudah diproduksi mesin-mesin yang bisa memakai etanol seluruhnya (100 persen).

Tahun 2006, produksi etanol di dunia (di AS dibuat dari Jagung dan di Brasil dari Tebu) mencapai 12 milyar galon. Di AS, campuran premium dan 10 persen etanol (E-10) dipakai mobil-mobil di sana tanpa modifikasi mesin. Sedangkan untuk campuran 85 persen etanol (E-85), mesinnya dimodifikasi dengan FFVs (flex-fuel vehicle). Jika produksi etanol di dunia makin besar dan kendaraan di dunia sudah pro-biofuel, niscaya semua kendaraan di muka bumi akan memakainya. Jika sudah demikian, “emas hitam” yang berasal dari kilang-kilang minyak di Timur Tengah akan bergeser ke “emas hijau” yang berasal dari kebun-kebun minyak di daerah tropis seperti Asia dan Amerika Latin. Fenomena ini, pas sekali dengan apa yang pernah dikatakan Henry Ford, raja mobil dan minyak AS: Di masa datang energi tidak akan bersumber dari minyak fosil bumi, melainkan dari tumbuh-tumbuhan. Karena itu tak heran bila AS, misalnya, sudah mulai melaksanakan program untuk menyongsong era 2017, di mana 20 persen bahan bakarnya berasal dari tanaman. Ini artinya, setiap hari di tahun 2017, AS akan membutuhkan lebih dari 8 juta barel biofuel.. Program ini jelas sangat raksasa dan AS sudah bertekad melaksanakannya.

Perlu diketahui bahwa mesin disel mobil pertama, ketika baru diciptakan oleh Diesel, seorang ahli mesin Jerman, bahan bakarnya adalah minyak kedelai – bukan solar. Karena itu, era biofuel tak lama lagi akan mulai. Ini semua tantangan bagi Indonesia ke depan. Mampukah Indonesia menjadi negeri mandiri biofuel tanpa merusak lingkungan dan keanekaragaman hayati? Soalnya, belum apa-apa, banyak orang yang sudah mempersoalkan kerusakan lingkungan dan biodiversitas jika program biofuel dilaksanakan. Untuk itulah, pemerintah perlu membuat rencana dan skema program yang matang, sehingga program biofuel yang prospektif itu tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, biodiversitas, dan kecukupan pangan.

5.7 Energi Samudera

Energi yang terkandung dalam gelombang samudera cukup besar yaitu sekitar 20-70 KW/meter. Dengan asumsi efisiensi 40% saja, daya tersebut dapat menghasilkan listrik kurang lebih 8- 28 KW/meter. Pengembangan energi samudera masih tahap permulaan, dan menjadi tugas generasi mendatang untuk mengetahui pengelolaannya.

Energi laut merupakan alternatif energi terbarukan termasuk sumberdaya non-hayati yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Selain menjadi sumber pangan, laut juga mengandung beraneka sumberdaya energi yang keberadaannya semakin signifikan untuk mengantisipasi berkurangnya pasokan energi konvensional. Sedangkan, energi ombak adalah energi alternatif yang dibangkitkan melalui efek osilasi tekanan udara (pumping effect) di dalam bangunan chamber (ruang) akibat fluktuasi pergerakan gelombang yang masuk ke dalam chamber.

Berdasarkan paparan berbagai energi terbarukan diatas, dapat dikemas potensi dan kapasitas terpasangnya, seperti terlihat pada table 1 dibawah ini:

Table 1. Potensi Pengembangan Renewable Energy di Indonesia [1]

Jenis

Potensi

Kapasitas Terpasang

Hydropower

76.17 GW

4,284 MW

Geothermal

27.00 GW

807.00 MW

Biomass

49.81 GW

445.00 MW

Wind

3-6 m/detik

0.6 MW

Solar

4.8 kWh/m2-hari

8.00 MW

Walaupun Indonesia memiliki berbagai potensi energi terbarukan namun masih ada kendala sehingga implementasinya masih terhambat. Kendala pengembangan Energi terbarukan di Indonesia antara lain:

1. Rekayasa dan teknologi pembuatan sebagian besar komponen utamanya belum dapat dilaksanakan di Indonesia, jadi masih harus mengimport dari luar negeri.

2. Biaya investasi pembangunan yang tinggi menimbulkan masalah finansial pada penyediaan modal awal.

3. Belum tersedianya data potensi sumber daya yang lengkap, karena masih terbatasnya studi dan penelitian yang dilakukan.

4. Secara ekonomis belum dapat bersaing dengan pemakaian energi fosil.

5. Kontinuitas penyediaan energi listrik rendah, karena sumber daya energinya sangat bergantung pada kondisi alam yang perubahannya tidak tentu.

Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia

Berdasar atas kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan peran energi terbarukan, maka beberapa strategi yang mungkin diterapkan, antara lain:

1. Meningkatkan kegiatan studi dan penelitian yang berkaitan dengan;

a. Pelaksanaan identifikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbarukan secara lengkap di setiap wilayah;

b. Upaya perumusan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konversi energinya yang sesuai dengan kondisi di Indonesia;

c. Pembuatan “prototype” yang sesuai dengan spesifikasi dasar dan standar rekayasanya;

d. Perbaikan kontinuitas penyediaan energi listrik; pengumpulan pendapat dan tanggapan masyarakat tentang pemanfaatan energi terbarukan tersebut.

2. Menekan biaya investasi dengan mengupayakan agar sebagian komponennya dapat diproduksi di dalam negeri, sehingga tidak semua komponen harus diimport dari luar negeri. Penurunan biaya investasi ini akan berdampak langsung terhadap biaya produksi.

3. Memasyarakatkan pemanfaatan energi terbarukan sekaligus mengadakan analisis dan evaluasi lebih mendalam tentang kelayakan operasi sistem di lapangan dengan pembangunan beberapa proyek percontohan .

4. Meningkatkan promosi yang berkaitan dengan pemanfaatan energi dan upaya pelestarian lingkungan.

5. Memberi prioritas pembangunan pada daerah yang memiliki potensi sangat tinggi, baik teknis maupun sosio-ekonomisnya.

6. Memberikan subsidi silang guna meringankan beban finansial pada tahap pembangunan. Subsidi yang diberikan, dikembalikan oleh konsumen berupa rekening yang harus dibayarkan pada setiap periode waktu tertentu. Dana yang terkumpul dari rekening tersebut digunakan untuk mensubsidi pembangunan sistem pembangkit energi listrik di wilayah lain.

Strategi pengembangan energi terbarukan diatas perlu diikuti dengan pengembangan instrumen kebijaksanaan dibidang fiskal yang berkaitan dengan energi, seperti diperlukan adanya berbagai insentif secara adil dan konsisten. Insentif yang diperlukan, diantaranya adalah:

a. Pemberian insentif pajak berupa penangguhan, keringanan dan pembebasan pajak pertambahan nilai, serta pembebasan pajak bea masuk kepada perusahaan yang bergerak dibidang energi terbarukan dan konservasi energi;

b. Penghargaan kepada pelaku usaha yang berprestasi dalam menerapkan prinsip konservasi energi dan pemanfaatan energi terbarukan;

c. Penghapusan pajak barang mewah terhadap peralatan energi terbarukan dan konservasi energi;

d. Memberikan dana pinjaman bebas bunga untuk bagian rekayasa teknik pada investasi pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi.

VI. Semua Bisa Mandiri Energi

Strategi pengembangan energi terbarukan dalam jangka panjang hendaknya tidak mengarah kepada proses yang bersifat massal. Lebih jelasnya, jangan sampai masyarakat hanya tergantung pada beberapa sumber energi saja. Ketergantungan pada beberapa sumber energi dapat menyebabkan ketahanan energi menjadi labil.

Menggantikan suatu energi misalnya energi fossil BBM dengan energi BBN, misalnya pohon jarak akan menyebabkan permintaan akan pohon jarak semakin tinggi. Yang berarti kebutuhan lahan untuk menanam pohon jarak, mesin-mesin pengolah pohon jarak, dan limbah yang dihasilkan tentu akan meningkat. Permintaan dan pengeluaran suatu bahan secara besar dalam jangka waktu cepat akan menyebabkan kerusakan lingkungan.

Walaupun lingkungan memiliki sifat homeostatis atau kemampuan ekosistem untuk menahan berbagai perubahan dalam system secara keseluruhan. Namun kemampuan ekosistem untuk menahan perubahan ini sifatnya terbatas. Dan juga perlu diingat proses homestatis membutuhkan jangka waktu yang lama. Karena itu masalah lingkungan yang disebabkan oleh manusia yang dalam waktu singkat mengubah komposisi alam, maka alam sulit dan lama untuk kembali kekeadaan semula.

Olej karena itu, cara paling efektif dan aman dalam strategi pengembangan energi berkelanjutan adalah melakukan keanekaragaman penggunaan energi di setiap kawasan di Indonesia. Dengan melakukan keanekaragaman maka kebutuhan input atau pengeluaran limbah yang sama dalam jumlah besar dapat dikurangi. Misalkan saja dengan membagi potensi energi berdasarkan letak geografisnya maka wilayah pesisir Indonesia mempunyai potensi energi alternatif angin, pasang surut air laut dan samudera, atau wilayah pertanian memiliki potensi energi alternatif biomassa, biogas dan biodiesel. Ataupun daerah dekat dengan gunung berapi punya potensi energi alternatif panas bumi. Atau dengan membagi potensi energi berdasarkan demografis dan behaviour masyarakat, maka masyarakat kota yang memiliki sampah dalam jumlah besar dapat memanfaatkan sampah untuk sumber energi atau masyarakat peternak dapat memanfaatkan kotoran sapi atau biogas untuk sumber energi mereka.

Keanekaragaman model penggunaan energi baik berdasarkan geografis, demografis dan behaviour seyogyanya dituangkan dalam bentuk peta energi alternatif di Indonesia. Peta tersebut merupakan acuan pengembangan konsep energi Indonesia jangka panjang yang harus diikuti oleh setiap level kebijakan baik di pusat maupun di daerah.

Pemilihan energi alternatif di daerah tersebut selayaknya mengacu pada:

1. Jumlahnya yang melimpah di daerah tersebut,

2. Mudah untuk mengelolanya (mengoperasionalkannya, perawatannya dan pengendaliannya),

3. Murah harganya dan biaya opersionalnya,

4. Dapat digunakan teknologi yang sederhana,

5. Dapat dioperasikan oleh tenaga berskill rendah,

6. Keberadaannya tidak menimbulkan pencemaran baru,

7. Keberadaannya tidak mengancam ekosistem lain seperti membutuhkan lahan yang besar sehingga harus mengkonversi hutan atau mengancam spesies makhluk hidup lain yang hampir punah.

8. Melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan awal hingga penggunaannya


[1] Oleh DR (can) Arif Zulkifli ST. MM. untuk mewujudkan energi ramah lingkungan untuk semua. Untuk bab I hingga V adalah hasil olahan dari berbagai sumber dan bab VI adalah original hasil analisis dari berbagai bacaan dan situasi yang berkembang

Video Energi Alterntif, Berkelanjutan atau Rewenable

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button