Untuk mewujudkan lingkungan hidup seperti yang diidamkan, menurut Salim (1986) ada beberapa dalil yang perlu dijadikan pegangan bagi pemegang kebijakan, perusahaan, lembaga sosial dan sebagainya, yaitu
1. Dalil pertama; segala zat, benda, organisme hidup dan lain-lain dalam lingkungan saling kait mengait sesamanya. Karena itu maka setiap usaha menyangkut zat, benda atau organisme tertentu langsung berinteraksi dengan zat, benda atau organisme hidup lainnya dibagian lain dalam lingkungan. Hubungan interaksi ini bisa insentif dan segera terasa dalam waktu pendek, bisa pula bersifat tidak langsung dan baru terasa setelah beberapa waktu. Contoh konversi lahan di Jakarta untuk lahan produktif baru terasa setelah beberapa waktu dan terjadi hujan lebat. Ketika itu semua orang khawatir banjir melanda daerahnya.
2. Dalil kedua; menyatakan bahwa sesuatu yang dibuang dalam lingkungan alam tidak akan hilang. Limbah industri yang dibuang bisa dianggap “hilang” oleh perusahaan. Namun limbah ini masuk dalam lingkungan alam melalui air, udara atau tanah sehingga dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Semua buangan industri, rumah tangga, manusia, binatang dan sebagainya tidak lenyap tanpa bekas. Buangan kotoran ini masuk ke tempat lain untuk beredar dalam siklus lingkungan.
3. Dalil ketiga; ekosistem terbentuk sebagai hasil perkembangan alam dalam ratusan, ribuan bahkan jutaan tahun. Untuk membuat lapisan atas (top soil) setebal 2,5 cm yang mampu menghidupi tanaman diperlukan proses pembusukan alamiah hampir 300 tahun. Ilmu dan teknologi belum berhasil menggantikan proses alamiah ini. Penggunaan zat kimia dan pupuk hanya mampu menggantikan sebagian dari fungsi lapisan atas ini. Inipun disertai pengaruh samping yang tidak kecil. Tidak semua tumbuh-tumbuhan bereaksi positif terhadap pupuk. Karena ekosistem ini membutuhkan waktu lama dalam proses pembentukannya, sudah sewajarnya pula jika penggunaannya dilakukan secara hati-hati dan tidak ceroboh.
4. Dalil keempat; stabilitas ekosistem berkaitan langsung dengan diversifikasi atau keanekaragaman isi lingkungan. Semakin beraneka ragam isi lingkungan maka semakin stabil ekosistemnya. Sebaliknya, semakin seragam (unifikasi) isi lingkungan maka semakin labil ekosistemnya.
5. Dalil kelima; ekosistem yang beranekaragam dan stabil membutuhkan kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem yang seragam dan labil. Misalnya kehidupan nelayan yang pendapatannya hanya tergantung dari laut, akan sangat peka terhadap gangguan alam seperti musim angin barat, badai taufan dan sebagainya, sehingga usaha untuk meningkatkan kualitas hidupnya semakin terhambat oleh sempitnya ruang pendapatan.
6. Dalil keenam; ekosistem yang kuat mendesak yang lemah. Kuat dalam makna fisik dan intelegensi. Dalam keseluruhan ekosistem, maka manusia adalah makhluk yang paling kuat karena mempunyai akal.
7. Dalil ketujuh; tidak ada yang gratis dalam kehidupan alam. Apabila manusia hanya memetik tanpa memberi kembali atau mengeluarkan sesuatu dari alam tanpa menambahkan sesuatu yang sejenisnya, maka alam akan kehilangan salah satu mata rantai dalam siklus kehidupan. Dan fenomena ini menimbulkan ketidakseimbangan. Karena itu hendaknya tumbuh-tumbuhan dan hewan yang bisa dimakan hanyalah jenis yang dapat dikembangbiakkan kembali. Dalil ini juga berarti mengelola sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui (non-renewable resources) seperti minyak, batu bara, gas alam, bahan mineral, dan lain sebagainya perlu memperhitungkan trade off antara manfaat yang sekarang diperoleh terhadap kerugian yang harus dibayar kelak akibat hilangnya sumber alam yang tidak bisa diperbaharui.
Untuk mencapai pola produksi dan konsumsi yang berwawasan lingkungan hendaknya mengacu pada ketujuh dalil lingkungan diatas. Peranan konsumen pada dalil-dalil lingkungan tersebut cukup signifikan. Menurut Salim (1986) permintaan konsumen akan barang dan jasa akan mempengaruhi:
a. Sumber alam yang diperlukan untuk menghasilkan barang utama yang diminta
b. Teknologi penggalian sumber alam dan teknologi informasi barang mentah menjadi bahan baku atau bahan jadi
c. Limbah, buangan dan kotoran yang dihasilkan oleh perusahaan dalam setiap tahapan produksi, distribusi dan konsumsi
d. Sumber alam dan teknologi produksi berikut pencemaran, limbah kotoran dan sampah yang menyertai barang dan jasa penunjang barang utama yang dibutuhkan semula. Maka permintaan akan mobil (barang, konsumsi utama), mendorong keperluan akan sumber alam, bahan mentah dan lain-lain untuk membuat ban mobil, mesin, jalan raya, tempat parkir dan lain-lain barang penunjang
e
. Pola hidup (life style) yang selanjutnya mempengaruhi sistem nilai, norma, ukuran pergaulan, status individu dalam masyarakat dan sebagainya.
Akibat berlakunya dalil interdependensi antara satu dengan yang lainnya dalam lingkungan hidup (dalil pertama), tidak ada sesuatu yang hilang terbuang dalam lingkungan (dalil kedua), dan tidak ada yang gratis dalam kehidupan lingkungan (dalil ketujuh), maka keputusan konsumen untuk meminta (demmand) sesuatu langsung memberi dampak pada lingkungan hidup.
Disamping konsumen, tidak kurang penting adalah tanggungjawab produsen terhadap lingkungan. Produsen harus mengembangkan kemampuan sedini mungkin memperhitungkan berbagai dampak dari usahanya kepada lingkungan. Mulai dari tahap perencanaan hingga ke tahap studi kelayakan, desain, dan tahap pelaksanaan pembangunan proyek. Untuk melindungi konsumen dan menegakkan haknya akan lingkungan hidup yang lebih baik, maka produsen bertanggung jawab membangun bisnis dengan dampak negatif sekecil mungkin pada lingkungan.
Pernyataan tersebut mengandung arti, beban pencemaran lingkungan langsung dipikulkan kepada pencemar itu sendiri. Sehingga berlaku ketentuan bahwa “yang mencemarkan harus membayar akibat pencemaran ini atau poluters-pay principle (Salim, 1986). Ketentuan ini beranjak dari anggapan bahwa pencemaran bisa dikendalikan dan untuk ini diperlukan biaya. Biaya untuk mengendalikan pencemaran harus dipikul oleh produsen. Walaupun biaya ini tidak langsung menyangkut kepentingan produk dan lebih banyak menyangkut kepentingan luar perusahaan (external cost), namun produsen tidak boleh lepas tanggungjawabnya kepada masyarakat dan lingkungan sehingga biaya eksternal dapat dijadikan internal cost. Ini mengakibatkan kenaikan harga, sehingga konsumen yang harus membayar kenaikan harga. Selayaknya biaya pencemaran dipikul bersama baik oleh produsen maupun konsumen, yakni produsen dengan berkurangnya keuntungan dan konsumen dengan naiknya harga. Pembagian ini lebih adil bila biaya pencemaran dan kerusakan lingkungan dipikul oleh semua orang, baik konsumen maupun khalayak umum yang tidak memakai barang tetapi kecipratan pencemarannya.
Sekarang, banyak konsumen bersedia membeli produk dengan harga lebih tinggi untuk mendukung perusahaan yang ramah lingkungan. Sikap konsumen yang demikian telah memicu revolusi marketing yaitu green marketing, suatu gerakan perusahaan untuk mengembangkan dan memasarkan produk-produk yang dapat dipertanggungjawabkan secara lingkungan. Perusahaan yang mempunyai komitmen yang kuat terhadap lingkungan tidak sekadar mencemari saja tetapi juga berusaha mencegah polusi. Pekerjaan ”ramah lingkungan” mengharuskan perusahaan mempraktikkan 3R manajemen limbah: reducing (mengurangi), reusing (menggunakan kembali), dan recycling (mendaur ulang) limbah.
Soerjani (2000) menyebutkan bahwa kualitas kehidupan yang meningkat ditandai dengan pemantapan partisipasi penduduk dalam pembangunan serta terpeliharanya kualitas SDA yang beranekaragam dalam mendukung kehidupan secara keseluruhan. Peningkatan kualitas hidup itu diperoleh melalui berbagai kriteria sebagai berikut (Soerjani, 2000):
a. Peningkatan harapan hidup manusia, yang diwujudkan oleh tingkat kesehatan
b. Teruwjudnya pengentasan kemiskinan, yakni dilampauinya ambang batas kemiskinan melalui peran serta penduduk dalam peningkatan produktifitas yang diikuti peningkatan pendapatan masyarakat
c. Peningkatan kecerdasan dan keterampilan melalui pendidikan untuk dapat mewujudkan peningkatan kreatifitas dan produktifitas
d. Pemerataan kesempatan berperan serta dalam pembangunan
e. Perolehan hasil dan makna pembangunan secara adil dan proporsional
f. Ketentraman sosial
g. Terpeliharanya kualitas SDA yang beranekaragam dengan daya dukung dan daya tampung yang sesuai dengan tuntuan serta laju pembangunan.