PertanianUncategorized

Daya Saing Peternakan…(2)

Daya Saing
2.1.1.1. Konsep Daya Saing
Dalam literatur ilmu manajemen dan pemasaran modern, daya saing sering diterjemahkan sebagai kemampuan yang dimiliki atau didapat oleh produsen atau perusahaan tertentu karena kemampuannya menggali potensi pasar, memahami dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan atau tuntutan pasar, terutama dilihat dari sudut konsumen (Porter, 1993).
Daya saing suatu negara merupakan derajat negara tersebut dalam kondisi pasar yang bebas dan adil dapat memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji pasar internasional secara simultan meningkatkan pendapatan riil warga negaranya.

2.1.1.2. Strategi Bersaing
Menurut Porter (1995) strategi adalah alat yang paling penting untuk mencapai keunggulan bersaing. Jnti dari persaingan adalah untuk mendapatkan ide memproduksi, menjual, mendistribusikan dan melayani. Operasional yang efektif adalah dengan meningkatkan daya saing yang lebih baik dan cepat serta menggunakan input lebih kecil dari pesaing. Untuk tetap dapat mempertahankan daya saing tersebut upaya perbaikan terus dilakukan secara berkelanjutan.
Terdapat tiga prinsip dalam menetapkan strategi bersaing, yaitu:
(1) Strategi merupakan kreasi yang unik dan bernilai dengan melibatkan berbagai kegiatan. Posisi strategi ini muncul dari tiga sumber yang berbeda dalam menyiapkan kebutuhan pelanggan, yaitu: a) menyiapkan sedikit kebutuhan untuk banyak pelanggan, b) menyiapkan banyak kebutuhan untuk sedikit pelanggan, c) menyiapkan banyak kebutuhan untuk banyak pelanggan.
(2) Strategi yang menghendaki pengelolanya untuk menutup perdagangan dalam suatu kondisi persaingan untuk memilih apa yang tidak akan dikerjakan.
(3) Strategi memilih kecocokan diantara beberapa kegiatan didalam perusahaan (Porter, 1980).

2.1.1.3. Keunggulan Bersaing
Menurut Porter (1993), keunggulan bersaing merupakan jantung kinerja industri dalam pasar bersaing. Pesaing pada industri sejenis dapat merupakan ancaman, namun pesaing yang ‘tepat’ justru dapat memperkuat posisi bersaing. Suatu industri tidak akan pernah dapat berpuas diri menghadapi para pesaingnya atau berhenti berusaha mencari jalan untuk memperoleh keunggulan bersaing. Kegagalan industri sebagai akibat ketidakmampuan menjabarkan strategi bersaing yang luas ke dalam sejumlah langkah tindakan spesifik yang diperlukan untuk memperoleh keunggulan bersaing.
Menurut Glueck dan Jauch (1997), kunci agar tetap berhasil dalam persaingan adalah dengan selalu melakukan inovasi serta riset dan pengembangan sebagai inkubator dari inovasi. Untuk itu setiap persaingan dalam dunia bisnis setiap perusahaan harus melakukan riset dan pengembangan. Agar tetap dapat bersaing, industri harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) persaingan dalam pengetahuan dasar, (2) melakukan inovasi, (3) peraturan ekonomi agar industri terus berjalan, (4) komitmen terhadap riset dan pengembangan, (5) komitmen terhadap “brand” image (Glueck dan Jauch, 1997).

2.1.2. Peternak Sapi Perah
2.1.2.1. Profil Peternak Sapi Perah
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia saat ini sebagian besar (90%) masih merupakan usaha peternak rakyat (Putri, 2003). Kuswaryan (1992) dengan mengacu kepada beberapa hasil penelitian menyebutkan ciri-ciri yang menonjol dari pola usaha ini, diantaranya adalah: (1) tingkat pendidikan petani dan keluarganya secara umum relatif rendah; (2) tingkat pengelolaan (managerial skill) usaha ternak dan pemasaran masih lemah; (3) penguasaan terhadap faktor produksi masih lemah (Hadiana, 1990); (4) curahan tenaga kerja per unit usaha terlalu tinggi sehingga kurang efisien; dan (5) tidak mempunyai basis usaha yang cukup. Akibat dari semuanya itu, maka tingkat produktivitas dari sapi yang dipelihara peternak tergolong masih rendah yakni 9-10 liter/ekor/hari. Masih rendahnya produktivitas sapi perah tersebut disebabkan oleh kondisi manajemen usaha sapi perah di tingkat peternak yang masih tradisional. Manajemen budidaya (on farm) yang baik dan benar belum diadopsi sempurna oleh peternak. Hal ini diperburuk lagi dengan sistem pemberian pakan yang kurang baik, rendahnya mutu sapi pengganti, dan sistem mata rantai pengumpulan dan distribusi susu yang tidak memadai serta kebijakan pemerintah yang kurang mendukung (Putri, 2003; Centras, 2005).
Untuk membuat agar usaha sapi perah rakyat efisien dan produktif selain harus ada kebersamaan visi dan kemauan antara Industri Pengolah Susu (IPS), pemerintah daerah (Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Koperasi), Koperasi (KUD) dan peternak, yang terpenting adalah pandangan ekonomi dari pengelola KUD dan pengetahuan cara beternak dari peternak (Sjahir, 2003). Melihat karakter peternakan sapi perah rakyat seperti tersebut diatas, tampaknya untuk mendorong pengembangan peternakan yang lebih progresif dibutuhkan penyuluhan dengan intensitas tinggi dan pemilihan metode yang tepat (Kuswaryan, 1992).

2.1.2.2. Pengertian Pemberdayaan
Inti dari konsep pemberdayaan (empowerment) adalah ide dari pengertian daya (power). Kemungkinan terjadinya pemberdayaan tergantung dua hal. Pertama, pemberdayaan membutuhkan bahwa daya (power) dapat mengubah. Dengan kata lain, jika daya dapat mengubah, pemberdayaan adalah mungkin. Kedua, konsep pemberdayaan tergantung dari ide dimana daya (power) dapat diperluas (Page dan Czuba, 1999). Upaya pemberdayaan masyarakat menurut Kartasasmita (1996) dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang (enabling). Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kedalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat makin berdaya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, secara eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

2.1.2.3. Keberdayaan Peternak Sapi Perah
Menurut Chandra dan Hendro (2006) kebutuhan yang perlu bagi seseorang untuk memulai usaha ialah: (1) pengalaman, (2) pengetahuan, (3) keterampilan atau skill, (4) keberanian (kemampuan untuk mengatasi rasa takut), (5) konsep bisnis, (6) jaringan relasi atau networking, (7) gairah dan semangat atau spiritual support, (8) kreativitas dan inovasi, (9) uang/asset atau equity, dan (10) keberuntungan.

2.1.2.4. Pengembangan Peternakan di Suatu Daerah
Pengembangan peternakan di suatu daerah umumnya harus dipertimbangkan dari berbagai segi, seperti karakteristik wilayah berupa iklim, topografi, jenis komoditi, tanah dan kecenderungan penggunaannya, serta kondisi masyarakat suatu daerah, ketersediaan modal, pola pengembangan, ketersediaan pakan, infrastruktur dan kelembagaan. Secara spesifik pelaksanaan pengembangan peternakan dapat melalui berbagai cara yaitu: (1) perwilayahan produksi, (2) wilayah sumber bibit, (3) pengembangan sistem pola, (4) sarana, (5) pemberdayaan peternak, dan (6) pengembangan pakan ternak.
Menurut Mosher (1966), yakni membangun dan mengembangkan agriculture, harus ditunjang oleh agri-support yaitu tersedianya sarana usaha yang memadai dan agri-climate atau iklim usaha yang kondusif. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mendukung suatu kegiatan usaha, maka harus tersedianya sarana produksi berupa bibit, makanan dan obat-obatan serta penggunaan alat-alat produksi. Ini berarti faktor-faktor makro dan mikro harus menjadi pertimbangan dalam pengembangan suatu daerah.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button